Anda di halaman 1dari 42

6.

MENINGITIS
A.LatarBelakang
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia. Salah satu upaya pembangunan kesehatan
yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan adalah melalui Program Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M) yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan
kecacatan serta mengurangi dampak sosial dari penyakit menular. Dengan kemajuan teknologi,
di negara maju banyak penyakit menular yang telah mampu diatasi, bahkan ada yang telah
dapat dibasmi. Namun, masalah penyakit menular masih tetap dirasakan oleh sebagian besar
penduduk negara berkembang, salah satunya adalah penyakit meningitis. 2 Meningitis
merupakan infeksi cairan otak yang disertai radang selaput otak dan medulla spinalis yang
superfisial. Lebih dari 70 % kasus meningitis terjadi pada anak usia bawah lima tahun.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter(lapisan dalam
selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan
medula spinalis yang superfisial/suatu peradangan selaput otak yang biasanya diikuti pula oleh
peradangan otak/peradangan pada selaput meninges yang menyelubungi otak yang disebabkan
oleh bakteri atau virus.Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadipada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosaditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinalyang
jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis danvirus.
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifatakut dan
menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakterispesifik maupun virus.
MeningitisMeningococcus merupakan meningitis purulentayang paling sering terjadi.Penularan
kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dandroplet infection yaitu
terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairantenggorok penderita.17 Saluran
nafas merupakan port dentreeutama pada penularanpenyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan
pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang
masuk secara hematogen(melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan
otak.
B.TUJUAN
1.Mengetahui berbagai macam jenis penyakit meningitis.
2.Mengetahui faktor-faktoryang berkaitan dengan penyakit meningitis
3.Mengetahui identifikasi gizi pada pasien penyakit meningitis.
BAB II
ISI
A. Jenis-jenis Meningitis
Meningitis Viral
a) Identifikasi.
Relatif sering ditemukan namun penyakit ini jarang sekali ditemukan dengan sindroma klinis
serius atau dengan penyebab virus yang multiple, ditandai dengan munculnya demam tiba-tiba
dengan gejala dan tanda-tanda meningeal. Pemeriksaan likuor serebrospinal ditemukan
pleositosis (biasanya mononukleosis tapi bisa juga polimorfo 353 nuklier pada tahap-tahap
awal), kadar protein meningkat, gula normal dan tidak ditemukan bakteri. Ruam seperti rubella
sebagai ciri infeksi yang disebabkan oleh virus echo dan virus coxsackie; ruam vesikuler dan
petekie bisa juga timbul. Penyakit dapat berlangsung sampai 10 hari.
Paresis sementara dan manifestasi ensefalitis dapat terjadi; sedangkan kelumpuhan jarang
terjadi. Gejala-gejala sisa dapat bertahan sampai 1 tahun atau lebih, berupa kelemahan,
spasme otot, insomnia dan perubahan kepribadian. Penyembuhan biasanya sempurna. Gejala
pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan biasanya karena infeksi enterovirus. Berbagai
jenis penyakit lain disebabkan oleh bukan virus gejalanya dapat menyerupai meningitis aseptik;
misalnya seperti pada meningitis purulenta yang tidak diobati dengan baik, meningitis karena
TBC dan meningitis kriptokokus, meningitis yang disebabkan oleh jamur, sifilis serebrovaskuler
dan LGV.
Reaksi pasca infeksi dan pasca vaksinasi perlu dibedakan dengan meningitis aseptik antara lain
gejala sisa akibat campak, mumps, varicella dan reaksi pasca imunisasi terhadap rabies dan
cacar; gejala yang muncul biasanya tipe ensefalitis. Leptospirosis, listeriosis, sifilis,
limfositikchoriomeningitis, hepatitis, infeksi mononucleosis, influenza dan penyakit-penyakit
lain dapat memperlihatkan gejala klinis yang sama dan penyakit-penyakit ini akan dibahas pada
bab tersendiri. Pada kondisi optimal identifikasi spesifik penyakit ini dapat dibuat terhadap
hampir separuh dari kasus-kasus yang ditemukan dengan menggunakan teknik serologis dan
isolasi. Virus dapat diisolasi pada stadium awal penyakit dari bilas tenggorok dan tinja, kadang-
kadang virus ditemukan dari likuor serebrospinal dan darah dengan teknik biakan jaringan dan
inokulasi pada binatang.
b) Penyebab infeksi
Berbagai macam organisme dapat sebagai penyebab infeksi, banyak diantaranya sebagai
penyebab penyakit spesifik lainnya. Banyak sekali jenis virus yang dapat menimbulkan
gejala meningeal. Separuh lebih dari kasus tidak ditemukan penyebabnya. Pada waktu terjadi
KLB mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab lebih dari 25% kasus meningitis aseptik pada
populasi yang tidak diimunisasi.
Virus coxsackie grup B tipe 1-6 sebagai penyebab dari 1/3 kasus; dan echovirus tipe 2,5,6,7,9
(kebanyakan), 10, 11, 14, 18 dan 30, kira-kira sebagai penyebab separuh kasus.
Virus coxsackiegrup A (tipe 2,3,4,7,9 dan 10), arbovirus, campak, herpes simplex I dan
virus varicella, virusChoriomeningitis limfositik, adenovirus dan virus jenis lain
bertanggungjawab terhadap terjadinya kasus-kasus sporadis. Insidensi dari tipe-tipe spesifik
bervariasi menurut wilayah geografis dan waktu. Leptospira bertanggungjawab terhadap lebih
dari 20% kasus-kasus meningitis aseptik di berbagai wilayah di dunia ini
c) Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia, timbul sebagai kasus-kasus endemis dan sporadis. Angka insidensi
yang sebenarnya tidak diketahui. Meningkatnya jumlah kasus berhubungan dengan musim,
pada akhir musim panas dan awal musim semi jumlah penderita meningkat terutama yang
disebabkan oleh arbovirus dan enterovirus sementara KLB meningitis aseptik yang terjadi di
akhir musim dingin terutama disebabkan oleh mumps.
d) Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1) Laporan ke kantor Instansi Kesehatan setempat: di daerah endemis tertentu penyakit ini
wajib dilaporkan; di beberapa negara dan negara bagian di Amerika Serikat bukan sebagai
penyakit yang harus dilaporkan, Kelas 3 B. Bila penyebab infeksi dapat dipastikan melalui
pemeriksaan laboratorium maka didalam laporan sebutkan penyebab infeksinya; sebaliknya
apabila penyebabnya tidak diketahui laporkan sebagai kasus yang tidak diketahui etiologinya.
2) Isolasi: Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium biasanya baru
didapat setelah penderita sembuh. Oleh karena itu kewaspadaan enterik sudah harus dilakukan
7 hari setelah mulai sakit, kecuali kalau diagnosa pasti sudah menyatakan bahwa penyebabnya
adalah nonenterovirus.
3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan kewaspadaan khusus selain menerapkan sanitasi rutin.
4) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Biasanya tidak dilakukan.
5) Pengobatan spesifik: Seperti halnya pada penyakit yang disebabkan oleh virus, tidak ada
pengobatan spesifik.
2. Meningitis Bakterial
Angka insidensi meningitis bakterial yang dilaporkan di Amerika Serikat, 10 tahun setelah
pertama kali vaksin terhadap Haemophillus influenza serotipe b (Hib) diijinkan beredar adalah
2,2/100.000/tahun dan kira-kira sepertiga penderita anak berumur 5 tahun. Hampir semua
bakteri dapat menyebabkan infeksi pada semua umur, tetapi seperti yang dilaporkan pada akhir
tahun 1990-an penyebab yang paling sering adalah Neisseria meningitidis dan Streptococcus
pneumoniae.
Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus, timbul secara sporadis dan
kadang-kadang muncul sebagai KLB; di banyak negara meningokokus merupakan penyebab
utama dari meningitis bakterial. Meningitis yang disebabkan oleh Hib, sebelumnya merupakan
salah satu penyebab yang paling sering dari meningitis bakterial. Bakteri penyebab meningitis
yang paling jarang adalah stafilokok, bakteri enterik, grup B streptokokus dan Listeria yang
menyerang orang dengan kerentanan yang spesifik (seperti pada neonatus, penderita gangguan
sistem imunitas) atau sebagai akibat trauma pada kepala.
3. Meningitis Meningokokus
a) Identifikasi.
Penyakit bakterial akut dengan katarektistik muncul demam mendadak, nyeri kepala hebat,
mual dan sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul ruam petekie dengan
makula merah muda atau sangat jarang berupa vesikel. Sering terjadi delirium dan koma; pada
kasus fulminan berat timbul gejala prostrasi mendadak, ecchymoses dan syok. Dulu angka
kematian mencapai >50% namun dengan diagnosa dini, terapi modern dan tindakan suportif,
angka kematian 5-15%. Lebih dari 5-15% penduduk di negara endemis merupakan carrier tanpa
gejala, ditemukan koloniNeisseria meningitidis di daerah nasofaring. Sebagian kecil dari orang
ini akan berkembang menjadi penyakit yang invasif dengan ditandai satu atau lebih gejala klinis
seperti bakteremia, sepsis, meningitis atau pneumonia.
Banyak pada penderita sepsis timbul ruam petekie, kadang-kadang disertai dengan nyeri dan
radang sendi. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput otak dan harus dicurigai
pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui penyebabnya dengan ruam petekie dan
lekositosis. Pada meningococcemia fulminan angka kematian tetap tinggi walaupun telah
diobati dengan antibiotika yang tepat. Diagnosis pasti dibuat dengan
ditemukannya meningococci pada LCS atau darah. Pada kasus dengan kultur negatif, diagnosis
dibuat didukung dengan ditemukannya polisakarida terhadap grup
sepesifik meningococcal pada LCS dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi; atau
ditemukannya DNA meningococcal pada LCS atau pada plasma dengan PCR. Pemeriksaan
mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie organismenya dapat
diketahui.
b) Penyebab Infeksi
Penyebab inveksi adalahN. meningitidis, suatu jenis meningokokus N. meningitidis grup A,
penyebab utama KLB di AS (tidak ditemukan sejak tahun 1945) dan di tempat lian; sedangkan
grup B, C dan Y diakhir tahun 1990-an sebagai penyebab kebanyakan kasus di AS. Genotipe
tertentu tercatat sebagai penyebab terjadinya beberapa KLB. Serogrup lainnya diketahui juga
berperan sebagai patogen (misalnya grup W-135, X dan Z). Organisme dari kelompok ini kurang
begitu virulen, namun kasus-kasus fatal dan infeksi sekunder pernah dilaporkan disebabkan
oleh hampir semuaserogroup. KLB N. meningitidis biasanya disebabkan oleh strain yang
berdekatan. Untuk mengetahui strain penyebab KLB dan luasnya KLB, maka subtyping dari
isolat dengan menggunakan metoda seperti disebutkan di bawah ini sangat bermanfaat: 356 -
multilocus enzyme electrophoresis pulsed-field gel electrophoresis enzyme-restricted DNA
fragments.
c) Distribusi penyakit
Infeksi oleh meningokokus terjadi dimana-mana, namun puncaknya terjadi pada akhir musim
dingin dan awal musim semi. Pada awalnya infeksi meningokokus terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda, di banyak negara laki-laki lebih banyak terserang daripada wanita, dan sering
terjadi pada pendatang baru yang berkumpul/berjejalan pada suatu tempat seperti di dalam
barak dan asrama penampungan. Wilayah yang selama ini diketahui sebagai daerah yang
insidensinya tinggi adalah AfrikaTengah dimana infeksi disebabkan oleh grup A.
d) Cara penularan
Penularan terjadi dengan kontak langsung seperti melalui droplet dari hidung dan tenggorokan
orang yang terinfeksi. Infeksi biasanya menyebabkan infeksi subklinis pada mukosa. Invasi
dengan jumlah bakteri yang cukup untuk menyebabkan terjadinya penyakit sistemik sangat
jarang. Prevalensi carrier yang mencapai 25% atau lebih dapat terjadi tanpa ada kasus
meningitis. Selama KLB lebih dari setengah laki-laki personil militer mungkin sebagai carrier
sehat kuman meningokokus. Penyebaran melalui barang dan alat-alat tidak terbukti. Masa
inkubasi bervariasi dari 2-10 hari, biasanya 3-4 hari.
e) Masa penularan
Penularan dapat terus terjadi sampai kuman meningokokus tidak ditemukan lagi di hidung dan
mulut. Meningokokus biasanya hilang dari nasofaring dalam waktu 24 jam setelah pengobatan
dengan antibiotika trerhadap mikroba yang masih sensitif terhadap antibiotika tersebut apabila
kadar obat mencapai konsentrasi yang cukup di dalam sekret orofaring. Penisilin dapat
menekan jumlah organisme untuk sementara namun biasanya tidak dapat menghilangkan
organisme ini dari oronasofaring.
f) Kerentanan dan kekebalan
Kerentanan terhadap penyakit klinis rendah dan menurun sesuai dengan umur; rasio antara
carrier dengan kasus sangat tinggi. Dan mereka yang di dalam darahnya kekurangan beberapa
komponen komplemen sangat mudah kambuh dan terserang penyakit ini lagi. Orang yang telah
diambil limpanya sangat mudah mengalami bakteriemia walaupun hanya mengalami infeksi
subklinis. Dapat muncul kekebalan spesifik terhadap grup bakteri yang menginfeksi. Lamanya
antibodi spesifik ini bertahan belum diketahui.
g) Cara-cara pemberantasan
Cara-cara pencegahan
1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk mengurangi kontak langsung dan menghindari
terpajan dengan droplet penderita.
2) Mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti dalam
barak, sekolah, tenda dan kapal.
3) Vaksin yang mengandung polisakarida meningokokus grup A, C, Y dan W-135 telah terdaftar
dan beredar di Amerika Serikat dan negara lainnya untuk digunakan pada orang dewasa dan
anak-anak yang lebih besar, saat ini hanya vaksin kuadrivalen yang tersedia di Amerika Serikat.
Vaksin meningokokus efektif pada orang dewasa diberikan pada saat melakukan rekruitmen
militer di AS sejak tahun 1972. Vaksin ini juga digunakan untuk mengendalikan KLB grup C yang
terjadi di masyarakat dan di sekolah pada tahun 1990-an. Vaksin ini harus diberikan kepada
kelompok risiko tinggi tertentu yaitu anak-anak pada usia di atas 2 tahun yang rentan terhadap
infeksi berat meningokokus termasuk harus diberikan kepada penderita yang limpanya sudah
diambil, orang dengan defisiensi komplemen terminal, staf laboratorium yang terpajan secara
rutin dengan N. meningitidis. Sayang sekali komponen C mempunyai imunogenisitas rendah
dan tidak efektif bila diberikan bagi anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin serogroup A mungkin
efektif bila diberikan kepada anak usia lebih muda, 3 bulan sampai 2 tahun, pada usia ini
diberikan 2 dosis vaksin dengan interval 3 bulan. Sedangkan untuk anak usia di atas 2 tahun
hanya diberi dosis tunggal. Waktu perlindungan sangat terbatas, terutama pada anak usia
kurang dari 5 tahun. Imunisasi rutin bagi masyarakat umum di Amerika Serikat tidak dianjurkan.
Pemberian imunisasi kepada para pelancong akan mengurangi risiko tertulari apabila mereka
berkunjung ke negara yang pernah mengalami wabah meningokokus grup A atau C. Imunisasi
ulang dapat dipertimbangkan untuk diberikan dalam jangka waktu 3- 5 tahun apabila tidak ada
indikasi untuk mendapatkan vaksinasi. Tidak ada vaksin yang terdaftar saat ini di AS efektif
terhadap infeksi grup B, walaupun beberapa jenis vaksin telah dikembangkan dan telah
diujicoba menunjukkan efikasi yang lumayan bila diberikan kepada anak-anak yang lebih besar
dan kepada orang dewasa. Vaksin konyugat terhadapserogroup A dan C masih dalam proses uji
coba klinis. Untuk bayi dan anak-anak, vaksin meningokokus konyugat serogroup A, C, Y dan W-
135 telah dikembangkan dengan metoda yang sama dengan metoda pembuatan vaksin
konyugat untuk Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin-vaksin ini diharapkan sudah dapat
digunakan rutin di Inggris mulai tahun 2000 dan di Amerika Serikat dalam waktu 2-4 tahun
kemudian.
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Wajib dilaporkan di banyak negara bagian (di
Amerika) dan di beberapa negara di dunia, Kelas 2 A.
2) Isolasi: Lakukan isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulai
pemberian chemotherapy. 3) Disinfeksi serentak: lakukan desinfeksi terhadap discharge yang
berasal dari sekret hidung dan tenggorokan, dan barang-barang yang terkontaminasi.
Pembersihan menyeluruh.
5) Perlindungan kontak: Lakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga penderita, rumah
penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini, khususnya
terhadap mereka yang demam agar segera dilakukan pengobatan yang tepat secara dini;
pemberian profilaktik, kemoterapi yang efektif untuk melindungi kontak (kontak diantara
anggota keluarga satu rumah, personil militer yang berbagi tempat tidur dan orang-orang yang
secara sosial sangat dekat untuk saling bertukar peralatan makan seperti teman dekat di
sekolah, tapi bukan seluruh kelas. Anak-anak di tempat penitipan merupakan pengecualian dan
walaupun bukan teman dekat maka semua harus diberikan pengobatan profilaksis setelah
ditemukan satu kasus indeks. Pilihan antibiotika profilaksis adalah rifampisin, diberikan 2 kali
sehari selama 2 hari: orang dewasa 600 mg per dosis; bayi di atas 1 tahun 10 mg/kg BB; anak
umur kurang dari 1 bulan 5 mg/kg BB. Rifampisin harus dihindari untuk diberikan bagi wanita
hamil. Rifampisin dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral. Untuk orang
dewasa, ceftriaxone 250 mg IM dapat diberikan sebagai dosis tunggal dan terbukti cukup
efektif; 125 mg IM untuk anak di bawah umur 15 tahun. Ciprofloxacin 500 mg per oral dosis
tunggal dapat juga diberikan untuk orang dewasa. Bila kuman sensitif terhadapsulfadiazine,
dapat diberikan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar dengan dosis 1 gram setiap
12 jam, dalam 4 dosis; untuk bayi dan anak-anak dosisnya adalah 125-150 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, setiap 2 hari sekali. Pada tahun 1993 sulfadiazine tidak lagi diproduksi di Amerika
Serikat dan diperlukan bantuan dari CDC Atlanta untuk mendapatkan obat ini. Petugas
kesehatan jarang sekali berada dalam risiko tertulari sekalipun dia merawat penderita, hanya
mereka yang kontak erat dengan sekret nasofaring (seperti pada waktu resusitasi mulut ke
mulut) yang memerlukan pengobatan profilaksis. Pemberian imunisasi kepada kontak dalam
lingkungan keluarga kurang bermanfaat karena tidak cukup waktu.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Kultur dari tenggorokan dan nasofaring tidak
bermanfaat untuk menentukan siapa saja yang harus menerima pengobatan profilaksis karena
pembawa kuman sangat bervariasi dan tidak ada hubungan yang konsisten antara koloni yang
ditemukan secara normal pada populasi umum dengan koloni yang ditemukan pada saat terjadi
KLB.
7) Pengobatan spesifik: Penisilin yang diberikan parenteral dalam dosis yang adekuat
merupakan obat pilihan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi meningokokus;
ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Pengobatan harus segera dimulai bila diagnosa
terhadap tersangka telah ditegakkan, bahkan sebelum kuman meningokokus dapat
diidentifikasi. Pada penderita anak-anak sambil menunggu agen penyebab spesifik dapat
diidentifikasi, pengobatan harus segera diberikan dengan obat yang efektif
terhadap Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan terhadap Streptococcus
pneumonia. Ampisilin merupakan obat pilihan untuk kedua bakteri tersebut selama mereka
masih sensitif terhadap ampisilin. Ampisilin harus dikombinasikan dengan generasi
ketigacephaloposporin, atau dengan kloramfenikol, atau dengan vancomycin sebagai subsitusi
di wilayah dimana ditemukan H. influenzae dan S. pneumoniae yang resisten terhadap
ampisilin. Pasien dengan infeksi meningokokus atau Hib harus diberi rifampisin sebelum
dipulangkan dari rumah sakit apabila sebelumnya tidak diberikan obat generasi
ketiga cephalosporin atau ciprofloxacin. Hal ini dilakukan agar ada kepastian bahwa organisme
telah terbasmi.
Penanggulangan KLB
1) Bila terjadi KLB, upaya paling penting yang harus dilakukan adalah meningkatkan kegiatan
surveilans, diagnosa dan pengobatan dini dari kasus-kasus yang dicurigai. Kepanikan dan
kecurigaan yang terlalu tinggi tidak bermanfaat.
2) Pisahkan orang-orang yang pernah terpajan dengan penderita dan berikan ventilasi yang
cukup terhadap tempat tinggal dan ruang tidur bagi orang-orang yang terpajan dengan kuman
yang disebabkan karena kepadatan (misalnya: barak dan asrama tentara, pekerja tambang dan
tahanan). 3) Pengobatan pencegahan masal biasanya tidak efektif untuk mengatasi KLB. Pada
KLB yang terjadi pada sekelompok kecil penduduk (misalnya di suatu sekolah), pemberian
pengobatan pencegahan pada semua orang dikelompok itu dapat dipertimbangkan terutama
apabila KLB tersebut disebabkan oleh serogrup yang tidak termasuk dalam vaksin yang ada. Bila
dilakukan pengobatan masal harus diberikan pada seluruh anggota masyarakat pada saat yang
sama. Semua kontak dekat harus dipertimbangkan untuk mendapat pengobatan profilaksis,
tanpa melihat apakah seluruh anggota masyarakat sudah diobati (lihat 9B5 di atas).
4) Pemberian vaksin pada semua kelompok umur yang terkena seharusnya dipertimbangkan
dengan sungguh-sungguh apabila terjadi KLB di suatu institusi yang besar atau di masyarakat
dimana kasus disebabkan oleh infeksi grup A, C, W-135 dan Y. Vaksin meningokokus sangat
efektif untuk menghentikan wabah yang disebabkan oleh serogrup A dan C. Hal-hal yang
diuraikan berikut ini dapat membantu apakah kita perlu memberikan imunisasi kepada orang-
orang yang berisiko pada saat terjadi KLB yang diduga disebabkan oleh grup C:
a) Pastikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi KLB dan deskripsikan secara epidemiologis
untuk menemukan kelompok umur yang terkena dan denominator sosial lainnya (misalnya:
sekolah, tempat penitipan anak, organisasi kemasyarakatan, kelab malam, kota) dari orang-
orang yang terkena;
b) hitung attack rate strain bakteri yang menyebabkan KLB pada populasi yang berisiko; c) bila
mungkin, lakukan isolasi subtipe N. meningotidis penyebab KLB menggunakan metoda
molekuler. Bila paling tidak ditemukan tiga kasus yang disebabkan oleh grup C dengan subtipe
yang sama selama 3 bulan dan kasus baru 360 tetap muncul dan attack rate meningkat menjadi
10 kasus grup C per 100.000 penduduk, maka pemberian imunisasi kepada kelompok
masyarakat yang berisiko tersebut harus dipertimbangkan.
4. Haemophilus Meningitis (Meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae)
a) Identifikasi
Di masa vaksin konyugat Haemophilus b belum dipakai secara luas, H. influenzae merupakan
penyebab meningitis bakterial yang paling utama pada anak-anak umur 2 bulan sampai dengan
5 tahun di Amerika. Biasanya disebabkan oleh karena terjadi bakteriemia. Timbulnya gejala
dapat subakut tetapi biasanya muncul mendadak; gejalanya berupa demam, muntah, letargi
dan iritasi meningeal, dengan ubun-ubun menonjol pada bayi atau kaku kuduk dan kaku
punggung pada anak yang lebih besar. Sering cepat terjadi stupor atau koma. Biasanya
didahului dengan demam ringan selama beberapa hari dengan gejala SSP yang samar. Diagnosis
dibuat dengan melakukan isolasi organisme penyebab dari darah atau cairan serebro spinal.
Polisakarida kapsular spesifik dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknik CIE atau LA.
b) Penyebab infeksi
Penyebab paling sering adalah H. influenzae serotipe b (Hib). Organisme ini dapat juga
menyebabkan epiglottitis, pneumonia, septic arthritis, cellulites, pericarditis,
empyema danosteomyelitis. Serotipe lainnya jarang sekali menyebabkan meningitis.
c) Distribusi penyakit
Tersebar di seluruh dunia; paling prevalens diantara amak umur 2 bulan sampai 3 tahun; jarang
terjadi pada usia 5 tahun. Di negara berkembang, puncak insidensi adalah pada anak usia
kurang dari 6 bulan; di Amerika Serikat pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum adanya vaksin
untuk Hib di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada anak
umur kurang dari 5 tahun dibandingkan dengan hanya 25 kasus pada tahun 1998. Sejak tahun
1990-an, dengan penggunaan vaksin secara luas pada anak-anak, meningitis yang disebabkan
Hib boleh dikatakan telah menghilang; sekarang banyak kasus terjadi pada orang dewasa
dibandingkan pada anak-anak. Kasus sekunder dapat terjadi di lingkungan dan tempat
penitipan anak.
d) Reservoir Manusia.
e) Cara penularan
Melalui droplet, sekret hidung dan tenggorokan selama periode infeksius. Tempat masuknya
kuman seringkali adalah nasofaring.
f) Masa inkubasi Tidak diketahui, mungkin sekitar 2-4 hari.
g) Masa penularan
Selama masih ada kuman di tenggorokan selama itu orang tersebut dapat menularkan kepada
orang lain; berlangsung cukup lama, walaupun tidak ada discharge hidung. Penderita tidak lagi
menular dalam waktu 24-48 jam setelah dimulainya pengobatan dengan antibiotika yang
efektif.
h) Kerentanan dan kekebalan
Semua orang rentan terhadap infeksi. Imunitas timbul ditandai dengan adanya antibodi
bakterisidal dan atau antibodi antikapsul di dalam darah baik yang didapat
secara transplacental maupun karena terinfeksi sebelumnya atau karena imunisasi.
i) Cara-cara pemberantasan
Upaya pencegahan
1) Melalui program imunisasi pada anak-anak. Beberapa jenis vaksin yang berisi konyugat
protein polisakarida dapat melindungi anak-anak dari meningitis pada umur lebih dari 2 bulan
dan vaksin ini telah terdaftar di AS sebagai vaksin tunggal atau sebagai vaksin kombinasi dengan
lainnya. Imunisasi dianjurkan mulai diberikan sejak usia 2 bulan, diikuti dengan dosis berikutnya
diberikan setelah 2 bulan, jumlah dosis bervariasi tergantung jenis vaksin yang digunakan.
Semua jenis vaksin membutuhkan booster pada usia 12-25 bulan. Imunisasi rutin tidak
dianjurkan pada anak usia di atas 5 tahun.
2) Lakukan pengamatan kasus yang mungkin timbul pada populasi yang rentan seperti pada
tempat-tempat penitipan anak dan rumah yatim piatu.
3) Berikan penyuluhan kepada orang tua tentang kemungkinan timbulnya kasus sekunder pada
saudara penderita yang berumur kurang dari 4 tahun dan perlu dilakukan evaluasi dan
pengobatan bila ditemukan penderita dengan demam atau kaku kuduk.
.
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar
1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat; di daerah endemis tertentu di Amerika Serikat
wajib dilaporkan.
2) Isolasi: Isolasi saluran nafas selama 24 jam setelah dimulainya pengobatan.
3) Perlindungan kontak: Pengobatan profilaksis dengan rifampin (diberikan oral sehari sekali
selama 4 hari dengan dosis 20 mg/kg BB, dosis maksimal 600 mg/hari), diberikan kepada semua
kontak serumah (termasuk orang dewasa) 362 dimana di dalam rumah tersebut ada satu atau
lebih bayi (selain dari kasus indeks) yang berumur kurang dari 12 bulan atau di rumah tersebut
ada anak berumur 1-3 tahun yang tidak mendapatkan imunisasi secara adekuat. Apabila dua
atau lebih kasusinvasive ditemukan dalam waktu 60 hari, anak-anak yang tidak diimunisasi atau
diimunisasi tidak lengkap berkunjung ke tempat penitipan anak tersebut, maka dilakukan
pemberian rifampin kepada semua pengunjung dan petugas perawatan anak. Bila hanya timbul
satu kasus saja, pemberian pengobatan profilaksis dengan rifampin masih diperdebatkan.
4) Investigasi kontak dan sumber infeksi: lakukan pengamatan kontak bagi mereka yang berusia
di bawah 6 tahun khususnya terhadap bayi yang ada di rumah, yang berada pada pusat
perawatan anak untuk melihat kalau ada tanda-tanda sakit khususnya demam.
5) Pengobatan spesifik: Ampisilin merupakan obat pilihan (dalam bentuk suntikan 200-400
mg/kg BB/hari). Oleh karena 30% dari strain yang ada sudah resisten terhadap ampisilin oleh
karena bakteri tersebut memproduksi beta laktamase, maka dianjurkan untuk
menggunakan ceftriaxione, cefotaxime atau chloramphenicol bersama dengan ampisilin atau
tersendiri sampai saat hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika diperoleh. Pasien harus
diberi rifampin, sebelum dipulangkan dari rumah sakit untuk memastikan eliminasi kuman.
5. Penumococcal Meningitis
Meningitis pneumokokus mempunyai angka kematian yang sangat tinggi. Dapat muncul dalam
bentuk fulminan dan timbul bakterimia tanpa harus ada infeksi di tempat lain, walaupun
mungkin terjadi otitis media atau mastoiditis pada saat yang sama. Biasanya penyakit muncul
tiba-tiba berupa demam tinggi, kelemahan umum atau koma dan tanda-tanda iritasi
meningeal.Pneumococcal meningitis dapat muncul sebagai penyakit sporadis pada neonatus,
pada orang usia lebih tua dan kelompok tertentu yang berisiko seperti pasien tanpa limpa dan
pada penderita dengan hipogamaglobulinemia. Fraktur pada basioscranii menyebabkan terjadi
hubungan yang menetap dengan nasofaring diketahui sebagai faktor predisposisi.
6. Neonatal Meningitis
Neonatus dengan neonatal meningitis, timbul letargi, kejang, episode apnoe (napas terhenti),
susah makan, hipotermi dan kadang-kadang terjadi gangguan berat pada pernafasan dan
biasanya terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan. Hitung darah putih bisa meningkat
atau menurun. Kultur LCS memperlihatkan adanya streptokokus grup B, Listeria
monocytogenes (lihat Listeriosis), E. coli K-1 atau kuman lainnya yang didapat melalui jalan
lahir. Bayi usia 2 minggu-2 bulan bisa menunjukkan gejala yang sama, ditemukan
mikroorganisme Streptokokus grup B atau kelompokKlebsiella- Enterobacter-Serratia didalam
LCS dan bakteri ini biasanya didapat dari ruang perawatan. Meningitis pada kedua grup ini
berkaitan dengan terjadinya septikemia. Pengobatan dilakukan dengan ampisilin ditambah
dengan obat generasi ketiga cephalosporin atauaminoglycoside, sampai kuman penyebab
diketahui dan hasil tes sensitivitas terhadap antibiotika sudah ada.
B. Infectious Agent Meningitis
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa. Penyebab
paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih
fatal dibandingkan meningitis penyebab lainkarena mekanisme kerusakan dan gangguan otak
yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.Infectious Agent meningitis
purulentamempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan
neonatuspaling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeriamonositogenes.
Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan olehH.influenzae, Meningococcus dan
Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahundisebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
meningitidis danStreptococcusPneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan
olehMeningococcus,Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria.20 Penyebab
meningitisserosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik,
cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes simplex ,
Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
C. Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak
Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang
halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga
lapis, yaitu:
1. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak, sumsum tulang
belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi lagi atas durameter
bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak (periosteum) dan durameter bagian dalam
(meningeal) meliputi permukaan tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium
serebelum dan diafragma sella.
2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh
susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural
yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh
darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh
cairan serebrospinal.
3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah kecil yang
mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat erat dengan jaringan
otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piameter disebut sub
arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang.Disini mengalir cairan
serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.
D. Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organatau jaringan
tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya
pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis,
Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma
kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak.23 Invasi kuman-kuman ke dalam
ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan
sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel
leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam
beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua selsel
plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung
leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag.Proses
radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan
trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi
eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri.
E. Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah dan
kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairanserebrospinal (CSS) melalui
pungsi lumbal.Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta
rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan
oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti
oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit
tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak
gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada
meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan
pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri
punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan
dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan
konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih
kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus
pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak
dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga
bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan
nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadiumprodormal selama
2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksibiasa. Pada anak-anak,
permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan turun, mudahtersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan kesadaran berupaapatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang
hilang timbul, nyeri kepala,konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangatgelisah.Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3 minggu
dengangejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat
dankadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda
peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau
stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya.
F. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi danrotasi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendipanggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif
(+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinyadibawah kepala dan
tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada
sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter
pada leher.
4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendipanggul (seperti pada
pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

Pemeriksaan Penunjang Meningitis 3
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein
cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel darah putih
dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju EndapDarah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada Meningitis
Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
3. Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi)
dan foto dada.
G. Epidemilogi Meningitis
1. Distribusi Frekuensi Meningitis
a. Orang/ Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.Penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata
pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.Puncak insidensi kasus meningitis
karena Haemophilus influenzae di negaraberkembang adalah pada anak usia kurang dari 6
bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990
atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira
12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.Insidens Rate pada usia < 5
tahun sebesar 40-100 per 100.000.7 Setelah 10 tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate
menjadi 2,2 per 100.000.9 Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate meningitis Hib pada usia < 5
tahun sebesar 88 per 100.000.28
b. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomirendah, lingkungan
yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah haji), dan penyakit ISPA.16
Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan pada
negara maju. Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the AfricanMeningitis
belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara.
Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per 100.000 penduduk
dan diselingi dengan KLB besar secara periodik.Di daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002
Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000
penduduk.
c. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasuskasusinfeksi saluran
pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih
tinggi pada musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi
pada musim kering. Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering
terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen pengantar
virus. Sebagian besar kasus terjadi pada musim panas.
2. Determinan Meningitis
a. Host/ Pejamu
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerangbayi di bawah usia dua
tahun.7 Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Pneumokokus 3,4 kali lebih besar pada anak
kulit hitam dibandingkan yang berkulit putih.Meningitis Tuberkulosa dapat terjadi pada setiap
kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan
jarang pada usia di bawah 6 bulan kecuali bila angka kejadian Tuberkulosa paru sangat tinggi.
Diagnosa pada anak-anak ditandai dengan test Mantoux positif dan terjadinya gejala
meningitissetelah beberapa hari mendapat suntikan BCG.
Penelitian yang dilakukan oleh Nofareni(1997-2000) di RSUP H.Adam Malik
menemukan odds ratio anak yang sudah mendapat imunisasi BCG untuk menderita
meningitisTuberculosis sebesar 0,2.Penelitian yang dilakukan oleh Ainur Rofiq (2000) di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengenai daya lindung vaksin TBC terhadap
meningitis Tuberculosis pada anak menunjukkan penurunan resiko terjadinya meningitis Tb
pada anak sebanyak 0,72 kali bila penderita diberi BCG dibanding dengan penderita yang tidak
pernah diberikan BCG.Meningitis serosa dengan penyebab virus terutama menyerang anak-
anak dan dewasa muda (12-18 tahun). Meningitis virus dapat terjadi waktu orang menderita
campak, Gondongan (Mumps) atau penyakit infeksi virus lainnya. Meningitis Mumpsvirus sering
terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun dan lebih banyak menyerang laki-laki daripada
perempuan.Penelitian yang dilakukan di Korea (Lee,2005) , menunjukkan resiko laki-laki untuk
menderita meningitis dua kali lebih besar dibanding perempuan.
b. Agent
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitispurulenta paling sering
disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae sedangkan
meningitis serosa disebabkan olehMycobacterium tuberculosa dan virus. 3
Bakteri Pneumococcusadalah salah satu penyebab meningitis terparah. Sebanyak 20-30 %
pasien meninggal akibat meningitis hanya dalam waktu 24 jam. Angka kematian terbanyak
pada bayi dan orang lanjutusia.
Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan jemaah haji dandapat
menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup A,B,C,X,Y,Z dan W 135.
Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C
sebagai penyebab utama sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A.Wabah
meningitisMeningococcusyang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun 2000
menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup A. Hal ini
merupakan wabah meningitisMeningococcus terbesar pertama di dunia yang disebabkan oleh
serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A,B,dan C paling banyak menimbulkanpenyakit.
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip sakitflu biasa dan
umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi KLB Mumps, virus ini diketahui
sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis aseptik pada orang yang tidak diimunisasi.
Virus Coxsackiegrup B merupakan penyebab dari 33 % kasus meningitis
aseptik, Echovirus dan Enterovirusmerupakan penyebab dari 50 % kasus.Resiko untuk terkena
aseptik meningitis pada laki-laki 2 kali lebih sering dibanding perempuan.
c. Lingkungan
Faktor Lingkungan (Environment) yang mempengaruhi terjadinya meningitisbakteri yang
disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah lingkungan dengan kebersihan yang
buruk dan padat dimana terjadi kontak atau hidup serumah dengan penderita infeksi saluran
pernafasan.Risiko penularan meningitis Meningococcus juga meningkat pada lingkungan yang
padat seperti asrama, kampkamp tentara dan jemaah haji.Pada umumnya
frekuensi Mycobacterium tuberculosa selalu sebanding dengan frekuensi
infeksi Tuberculosa paru. Jadi dipengaruhi keadaan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosial ekonomi rendah,
lingkungan kumuh dan padat, serta tidak mendapat imunisasi.
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika seringterjadi selama musim
panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen pengantar virus. Lebih sering
dijumpai pada anak-anak daripada orang dewasa.Kebanyakan kasus dijumpai setelah infeksi
saluran pernafasan bagian atas.
H. Prognosis Meningitis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yangmenimbulkan
penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit
sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai
prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkancacat berat dan kematian.Pengobatan
antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta, tetapi 50% dari
penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis
purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan
perkembangan mental, dan 5 10% penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnyatinggi. Prognosa
jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada
stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8
minggu.Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh
lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat
penyembuhan total bisa terjadi.
I. Pencegahan Meningitis
a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resikomeningitis bagi individu
yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.Pencegahan
dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk
kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type
b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide
vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine(MCV4), dan MMR
(Measles dan Rubella).Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak
usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaandengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio
dan MMR.Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga
97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6
bulanm sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan
interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak
dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk
antibodi.Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis
(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.Vaksin yang
dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.meningitis TBC dapat dicegah
dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan
pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over
crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang
cukup.Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan
seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara
meningkatkan personalhygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah
dari toilet.5
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saatmasih tanpa gejala
(asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi
dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk
mengenali gejala awal meningitis.Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah
dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru .Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap
anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
penderita secara dini.Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis penyebab meningitis yaitu :
b.1. Meningitis Purulenta
1. Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim, seftriakson.
2. Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin, seftriakson.
3. Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson.
b.2. Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)
Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang beratdapat ditambahkan
etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison digunakan sebagai anti inflamasi
yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakanlanjut atau mengurangi
komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk
menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisikondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
ketidakmampuan untuk belajar.38 Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah
dan mengurangi cacat.
J. Mengidentifikasi masalah gizi pada pasien meningitis.
Pasien meningitis dengan kesadaran menurun cenderung mengalami gangguan asupan gizi,
karena secara otomatis Intrake peroral yang dibutuhkan untuk mendukung therapi hydrasi yang
terbatas untuk mencegah komplikasi oedeem cerebi, menjadi berkurang, selain untuk
memenuhi kebutuhan energi bagi pasien. Untuk ini biasanya dokter menganjurkan untuk
pemasangan Nasogastric tube / maagslang dan pemberian diit cair guna mengatasi hal
tersebut. Dalam menentukan jumlah dan jenis diet cair yang akan diberikan pada pasien,
seorang dokter anak harus memperhitungkan ; kebutuhan cairan / hr berdasarkan umur BB
pasien, status gizi saat pasien dirawat, kondisi dan fisik pasien. Disini seorang dokter anak akan
melakukan kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu menyusun komposisi gizi yang
terkandung dari makanan cair sesuai standar gizi berdasarkan umur dan BB pasien.
Misal : Pada anak usia 1 tahun BB normal : 7,5 8,9 kgkebutuhan cairan per hari : 120 135 ml
/ kg BB / hari atau sekitar 900 1000 ml / hari. Bila pada saat pemeriksaan fisik didapatkan BB
pasien tidak sesuai dengan umur pasien, maka akan ditentukan diet cair jenis TKTP.
Seorang ahli gizi kemudian akan menentukan komposisi kalori dan protein dalam diet cair
tersebut berdasarkan umur dan BB untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein pasien/ hari.
Misal : untuk usia 1 tahun dengan BB normal 7,5 8,9 kgKebutuhan kalori / kg 1 hari = 105 kal
atau 900 kalori / haridan protein 2,5 gr / kg / hari atau 22 gram / hari. Makanan akan dibuat
dalam bentuk cairan kental yang dibuat dengan susu atau tanpa susu. Menurut kebutuhan
pasien dapat diberikan cairan antara 1000 2000 ml dimana makanan cair standar
mengandung 1000 kilokalori tiap 1000 ml, yang dapat diberikan dalam porsi kecil dan sering (6
8 kali sehari ). Pada pasien meningitis, sebenarnya tidak memerlukan diet cair khusus bila
tidak didapati kondisi malnutrisi atau status gizi buruk. Biasanya diet TKTP menjadi pilihan
utama untuk kasus-kasus penyakit Infeksi akut seperti meningitis guna meningkatkan daya
tahan tubuh untuk melawan Infeksi di samping obat-obatan supportif yang diberikan dokter.
Bila dengan cara ini belum bisa membantu asupan gizi pasien meningitis, maka dokter akan
memutuskan untuk memberikan Nutrisi Parentral seperti Amiparen dan Iriparen yang
diindikasikan pada pasien dengan infeksi berat dengan gizi buruk untuk memenuhi suplai air,
elektorlit dan kalori melalui vena.
Cara mengidentifikasi berhasil tidaknya pemberian manakan cair melalui sonde ( dapat dicerna
baik atau tidak ) adalah dengan melihat residu yang keluar dari NGT pada saat kita menarik
keluar dengan menggunakan spuit. Bila cairan yang keluar sama seperti jumlah cairan yang kita
amasukkan setelah 2 jam pemberian sonde maka bisa dipastikan makanan cair tidak bisa
dicerna dengan baik, namun bila residu tidak lebih dari 50% dari diit cair yang masuk berarti diit
cair masih bisa ditolerir oleh sal. pencernaan. Pemberian Nutrisi parentral merupakan alternatif
terakhir yang akan dianjurkan oleh dokter.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadipada cairan otak
yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.Meningitis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis
penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri
maupun produk bakteri lebih berat.Pasien meningitis dengan kesadaran menurun cenderung
mengalami gangguan asupan gizi, karena secara otomatis Intrake peroral yang dibutuhkan
untuk mendukung therapi hydrasi yang terbatas untuk mencegah komplikasi oedeem cerebi,
menjadi berkurang, selain untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Betz L dan Sowden A Linda 1999, keperawatan pedaitri, Penerbit buku kedokteran ECC, Jakarta.
Halaman 316-321. Diakses tanggal 19 Desember 2011
Bagbei Laily 1990, Infectectious Diseases, Nelson Essentials of Pediatric, halaman 284-308.
Diakses tanggal 19 Desember 2011
Anonim. 2007. Apa Itu Meningitis. URL : http://www.bluefame.com/lofiversion/indexphp/
t47283.html. Diakses tanggal 19 Desember 2011
Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006. Lumbar Puncture.
Diakses tanggal 19 Desember 2011
The New England Journal of Medicine. 12 : 355 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf. Diakses tanggal 19 Desember 2011
Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2
URL:http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.html. Diakses tanggal 19 Desember 2011
Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library URL
:.http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdf. Diakses tanggal 19
Desember 2011




SITUS 2

SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANDUNG
2006

MENINGITIS BAKTERIAL
ISI
LATAR BELAKANG
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit
pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut
dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari,
sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada
banyak kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri
sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat
akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus
influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma,
dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang
disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan gejala meningeal
akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan
laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di
antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis merupakan
penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi
meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin
vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada
70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis, trauma kepala,
hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi dapat
terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan
genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang
(seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf
pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke
SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung,
misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama
manipulasi intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun (
misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen
ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.


Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum
begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya
jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade
inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha
(TNF-), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis
dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas
meningitis bakterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan
bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi.
Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti
peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor)
TNF- merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel
mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi
bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation
factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon
dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas
yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan
permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor
pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB
sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap
molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak
sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid
dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri,
neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan
pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat danhypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan
hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani
dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis di mana
keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi aliran LCS),
edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik
(peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada tentorial
dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan
cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural,
palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara
pesat berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus meningitis terbanyak
pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun
sebanyak 11,9% .

Gambar 2. Kasus Meningitis di Amerika Serikat pada tahun 2003
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-30.000
kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4 kasus/100.000 anak usia 1-23
bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniaemeningitis adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan.
Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm,
insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5
kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan
meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup tinggi. Dengan
adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih tetap dikhawatirkan tinggi. 19-
26% mortalitas diakibatkan karena meningitis olehSterptococcus pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus
influenzae, 3-13% olehNeisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi pada tahun pertama
kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada usia tua.
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada
populasi Kaukasia dan Hispanik.
JENIS KELAMIN
Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding bayi
perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis olehListeria monocytogenes.
Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan
maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak
dengan usia kurang dari 2 tahun.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai berikut: sulit
makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol,
pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak
yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol
(bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia,
nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat
hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya disertai febris dan
fotofobia.
Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis bakterialis.
Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat
Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan
diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.

Gambar 3. Kaku kuduk (nuchal rigidity) pada penderita meningitis
Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang syaraf.
Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap inflamasi vaskuler
dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi dan timbulnya
sekuelae jangka panjang.
Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang memanjang dan tidak
terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang
memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.
Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah disertai
bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin
seperti abses otak.
6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik (seperti
febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang subdural.
Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.
Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi meningitis:
Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk adanya
meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya kebocoran LCS
yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atauHaemophilus influenzae dan meningitis
yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap pertumbuhan
bakteri di meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan
Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang menerima berbagai
terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan Staphilococcus
epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen
yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan sering
dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan. Penyakit ini sering menyerang
bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi
setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa
perinatal.Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens,
Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi olehCitrobacter diversus dan Salmonella
sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi sudah
tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.
Streptococcus pneumoniae meningitis
Gambar 4. Streptococcus pneumoniae
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan penyebab utama
meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan
dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan
tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki
riwayat fokus infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu
dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan
meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau
fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi
antar manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada
musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural,
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam.
Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap
penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam
pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor
menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi
terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3
(cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang
telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan
kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus
dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.
Neisseria meningitidis meningitis
Gambar 5. Neisseria meningitidis
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan intraselular.
Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-
135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan
atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet
infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi
umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen
komplemen terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis,
penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua adalah saat
adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis
biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi
pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia,
petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada
sediaan apus darah tepi.
Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
Gambar 6. HIB
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler sampai
bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi
dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun,
banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah
terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia ke
manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi
kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin karena
produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang.
Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.
Listeria monocytogenes meningitis
Gambar 7. Listeria monocytogenes
Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised. Patogen ini
sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus
disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial meningitis cenderung
tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering
disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.
Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita
dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised sering
mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia, Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
1. Abses otak
2. Tumor otak
3. Vaskulitis SSP
4. Lead encephalopathy
5. Meningitis fungal
6. Meningitis tuberculosis
7. Tuberculoma
8. Stroke
9. Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari
LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis,
peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga
warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi
dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian terapi
tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan intrakranial
terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat membantu penanganan
penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi.
Gambar 8. Tabung spesimen LCS
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung
jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial antigen
perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari
100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan onset
yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan
dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan
sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi oleh sel
Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram
dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur
pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae
juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga
dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler
Agent
Opening
Pressure
WBC count
per mL
Glucose
(mg/dL)
Protein
(mg/dL)
Microbiology
Bacterial meningitis 200-300
100-5000;
>80% PMNs*
<40 >100
Specific pathogen demonstrated
in 60% of Gram stains and 80% of
cultures
Viral meningitis 90-200
10-300;
lymphocytes
Normal,
reduced in
LCM and
mumps
Normal but
may be
slightly
elevated
Viral isolation, PCR

assays
Tuberculous
meningitis
180-300
100-500;
lymphocytes
Reduced,
<40
Elevated,
>100
Acid-fast bacillus stain, culture,
PCR
Cryptococcal
meningitis
180-300
10-200;
lymphocytes
Reduced 50-200
India ink, cryptococcal antigen,
culture
Aseptic meningitis 90-200
10-300;
lymphocytes
Normal
Normal but
may be
slightly
elevated
Negative findings on workup
Normal values 80-200
0-5;
lymphocytes
50-75 15-40 Negative findings on workup
Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen etiologiknya.
Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada cairan
tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS, darah atau urin.
Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum lengkap
(Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS tetapi
antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat dikonsentrasikan
beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif danS. pneumoniae serotipe tertentu
yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat HIB sehingga
pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test.
PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)
Beberapa anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Dosis kecil antimikroba
oral atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena dosis tunggal tidak mengubah hasil
pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri khususnya pada penderita HIB meningitis.
Hasil kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen penyebabnya adalah
pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan sitologis dan kimiawi tetap eksis. Karena hal
ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila terjadi kesulitan untuk
membedakan antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka lumbal punksi dapat diulang dalam
rentang waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral, pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung
untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah
dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan
ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi
dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial
masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus dengan
meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH.
Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam
pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus
mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi tetapi
tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas
metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras diperlukan
untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis
perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba yang
adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-
tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat,
penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema
serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar
80 mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen
inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi antimikroba yang
diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang
baik terhadap kokus gram positif termasukStreptococcus grup B, Enterococcus, Listeria
monocytogenes, beberapa strainEscherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif
termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar rendah
dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa
cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan
infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan
bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi
cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko
bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa
tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L.
monocytogenes dan Enterococcussehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk
terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration) yang sangat
rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan
aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniaeyang resisten terhadap penicillin. Kombinasi
Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji
sensitivitas antimikroba dilakukan.
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai kombinasi dengan
ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan.
Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis
melawan Streptococcus grup B danEnterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah
terapi adekuat dengan penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya
resistensi.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan antimikroba lain
seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk
infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram
negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan untuk memastikan
LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk
memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
Antibiotics
(dosage in
mg/kg/day)
Route
Of Administration
Body
weight
<2000>
Body
Weight
<2000>
Body
Weight
>2000 g
Body
Weight
>2000 g
Age 0-7
days
Age > 7
days
Age 0-7
days
Age > 7
days
Penicillins
Ampicillin IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
150 div
q8h
300 div
q6h
Penicillin-G IV 100,000 U
div q12h
150,000 U
div q8h
150,000 U
div q8h
250,000 U
div q6h
Oxacillin IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
150 div
q8h
200 div
q6h
Ticarcillin IV,IM 150 div
q12h
225 div
q8h
225 div
q8h
300 div
q6h
Cephalosporins
Cefotaxime IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
100 div
q12h
150 div
q8h
Ceftriaxone IV,IM 50 once
daily
75 once
daily
50 once
daily
75 once
daily
Ceftazidime IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
100 div
q8h
150 div
q8h
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia
Anti
biotics
Route of
Admini
stration
Desired
Serum
Levels
(mcg/ml)
New
born
Age
26
weeks
(mg/kg/
New
born
Age
27-34
weeks
(mg/kg/
New
born
Age
35-42
weeks
(mg/kg/
New
born
Age
43
weeks
(mg/kg/
dose) dose) dose) dose)
Aminoglycosides
Amikacin IV,IM 20-30
(peak)
<10
(trough)
7.5 q24h 7.5 q18h 10 q12h 10 q8h
Gentamycin IV,IM 5-10
(peak)
<2,5
(trough)
2.5 q24h 2.5 q18h 2.5 q12h 2.5 q8h
Tobramycin IV,IM 5-10
(peak)
<2,5
(trough)
2.5 q24h 2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h
Glycopeptide
Vancomy
cin
IV,IM 20-40
(peak)
<10
(trough)
15 q24h 15 q18h 15 q12h 15 q8h
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat penting.
Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen umum
yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan pemberian
vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari
dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan
cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin
dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang
kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya meropenem)
sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti
oxazolidinone (linezoid) masih dalam penelitian.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan sifat
kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan
perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS adekuat.
Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan. Chloramphenicol
secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan hanya jika tidak tersedia
obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan mual muntah berkurang.
Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi vancomycin dan
chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping chloramphenicol tidak diinginkan
maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau trovafloxacin.
Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, sulbactam
untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data mengenai daya
penetrasinya ke dalam SSP.
Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-kadang diulang
sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak
dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus bertahan
dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis yang berhasil. Karena alasan ini, penderita
perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di rumah
atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret
nasofaring setelah terapi meningitis berhasil.
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa penyebab
umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris perlu untuk
dievaluasi ulang.
Antibiotics Dose
(mg/kg/day)
Dosing
Interval
Maximum
Daily Dose
Ampicillin 400 q6h 10 g
Vancomycin 60 q6h 4 g
Penicillin G 250,000 U q6h 24 million
Cefotaxime 200-300 q6h 12 g
Ceftriaxone 100 q12h 4 g
Chloramphenicol 100 q6h 4 g
Ceftazidime 150 q8h 6 g
Cefepime 100 q12h 4 g
Imipenem 60 q6h 4 g
Meropenem 120 q8h 6 g
Rifampin 20 q12h 600 mg
*Pemberian dexamethasone
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone ditunjukkan
pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit
sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam,
kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi
menunjukkan penurunan insidensi sekuelae neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang
berhubungan dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniaemeningitis kurang
meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan
penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan. Gejala awal
dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle,
palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami herniasi otak.
Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan pergerakan okuler, bradikardia,
hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas ruang
intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang intravaskular.
Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya dapat diulang bila
diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data terbaru
tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid juga sering
digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan
pada controlled trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat dan
oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara intravena.
Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam
mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena kadar adekuat dalam SSP dicapai
dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-
20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.
Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan secara bolus
intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek antikonvulsi berlangsung singkat,
sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya
bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk
diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat
tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat
disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati
sehingga dapat meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita
tetap kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan
pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita perlu diberi
kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah
rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di
mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat
terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari pertolongan medik saat
timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak dengan
penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan penderita maka anak
tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan
kontak adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang
telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 5-7 hari
sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan kesehatan
maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan dramatis terhadap
insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi
pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima
imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.

Gambar 9. Contoh vaksin HIB (Act-HIB)
Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya wabah. Vaksin
quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi
termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional,
defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah
dimurnikan. The Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan vaksin
ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.
KOMPLIKASI
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia penderita,
gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi
sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot, ataxia, kejang
kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat mengurangi
komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat menganggu
perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap
kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik,
okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi
motorik.
PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko
kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae
neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil
gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis
meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.

KESIMPULAN
- Meningitis merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan memberikan sekuelae yang
bernakna pada penderita
- Pemberian terapi antimikroba merupakan hal penting dalam pengobatan meningitis bakterial di
samping terapi suportif dan simptomatik
- Pencegahan meningitis dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
- Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics
and HumanDevelopment Michigan State University. College of Medicine and
En SparrowHospital. www.emedicine.com/PED/topic198.htm.
- Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of
Medicine. Mayo Clinic College of Medicine.www.emedicine.com/med/topic2613.htm
- www.alb.ac.be/sciences/biodic/ImBacterie2.htm
- www.infectionsnetz.at/view.php?name=bakterien
- www.msnbc.msn.com/id/7994214/
- www.surgerydoor.co.uk/livingwith/detail2.asp
- www.thachers.org/internal-medicine.htm

Anda mungkin juga menyukai