Anda di halaman 1dari 10

Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 0



OS 4105 TSUNAMI
Tsunami Pangandaran 2006




Oleh:
HAMDI EKO PUTRANTO
12908026






PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2011
Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Deskripsi
Pada tanggal 17 juli 2006 telah terjadi gempa di sebelah selatan pantai Pangandaran.
Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika atau PGN BMG menyatakan gempa
bumi yang terjadi di kawasan pantai Pangandaran tersebut terjadi pada pukul 15.19
berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), dengan pusat gempa tektonik pada kedalaman kurang dari
30 km di titik 9,4 Lintang Selatan, dan 107,2 Bujur Timur. Pusat gempa tepatnya berada di
sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km, dan merupakan zona pertemuan
dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman kurang dari 30 km.
Gempa bumi yang terjadi tersebut juga menyebabkan terjadinya gelombang tsunami
yang menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab.
Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi. Bahkan,
gelombang tsunami juga menerjang Pantai Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah, serta pantai
selatan Kab. Bantul, Yogyakarta. Gempa yang diiringi tsunami ini telah menelan korban jiwa
hingga mencapai ratusan orang dan ratusan lainnya mengalami cedera, dan puluhan jiwa
dinyatakan hilang. Ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi,
Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, hancur. Demikian pula, hotel-hotel di sepanjang objek wisata
pantai barat Pangandaran.
Getaran gempa tidak begitu terasa oleh masyarakat sepanjang pantai. Namun,
kepanikan terjadi ketika muncul gelombang pasang. Akibat air pasang ini, kurang lebih 500
meter dari bibir pantai Pangandaran terendam hingga ketinggian sekitar lima meter. Getaran
gempa cukup dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam rumah di sekitar pantai selatan
Jawa Barat sampai Jawa Tengah. Sementara itu menurut catatan dilaporkan di beberapa kota
di Jawa Barat, di gedung berlantai tinggi, gempa cukup terasa.

Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 2

1.2 Sejarah Kegempaan di sekitar Pantai Selatan Jawa
Bila melihat sejarah, menurut zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude
kegempaan lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas 8
skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil dibandingkan
Sumatera.Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan
tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa.
Sejarah gempa di Pulau Jawa yang dimiliki LIPI tidak begitu banyak, hanya untuk
rentang waktu 1840-2000. Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan
di atas 7 SR. Sedangkan 10 Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta yang menewaskan 500
orang lebih. Pusat gempa diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta, Mei
2006 lalu, namun magnitude pada 1867 lebih besar dengan perkiraan 8 SR dibandingkan pada
2006 yang hanya 6,3 SR. Sementara itu pada 11 September 1921 terjadi gempa yang pusatnya
berdekatan dengan pusat gempa di Pangandaran pada bulan juli 2006.
Sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami di Selatan Jawa tidak terekam secara
alami, seperti halnya di pantai barat Sumatera. Periode naik dan turunnya permukaan pesisir
pantai barat Sumatera dalam periode ratusan tahun terekam pada terumbu karang yang hidup
disana. Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik, yang
menyebabkan terumbu karang yang naik ke permukaan akan mati. Namun ketika pesisir itu
tenggelam karena proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali.
Dengan mengetahui sejarah terjadinya gempa besar yang disertai tsunami berdasarkan catatan
itu, penduduk paling tidak dapat mengantisipasi periode pengulangan, dan berwaspada pada
bahaya itu.
Sedangkan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Di sekitar
daerah ini memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan
yang dangkal diantaranya. Padahal perairan dangkal memungkinkan tumbuhnya terumbu
karang. Sejarah kegempaan dan tsunami di Jawa pernah dilaporkan Fisher, peneliti dari
Belanda pada tahun 1920an. Laporannya antara lain menyebutkan daerah Pacitan pernah
dilanda tsunami.
Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 3


Gambar 1 Proses seismic di Selatan Jawa dari tahun 1990 hingga saat ini.
Dengan melihat fakta informasi yang minim mengenai kegempaan dan tsunami yang
terjadi disekitar pantai selatan Jawa, maka wajar saja apabila kita tidak dapat menduga dengan
baik potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini, dan bahkan muncul kontradiksi yang
menyatakan pantai selatan Jawa aman dari tsunami, atau adanya pernyataan yang
mengungkapkan kecilnya peluang untuk terjadi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti, maka sudah seharusnya penelitian yang lebih
intensif dilakukan di sekitar pantai selatan Jawa, untuk melihat karakteristik potensi
kegempaan dan tsunami di daerah ini. Salah satu kajian yang menarik setelah terjadinya
gempa pangandaran 17 juli 2006 yaitu dengan melakukan penelitian mekanisme gempa yang
terjadi di tahun 2006 tersebut dengan menerapkan berbagai metode dan teknologi yang ada.


Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 4

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Studi Mekanisme Gempa Pangandaran 2006
Sebagai upaya pembelajaran bagaimana dapat memahami lebih karakteristik
kegempaan dan tsunami di sekitar Pantai Selatan Jawa, untuk selanjutnya dijadikan bahan bagi
langkah penanganan potensi gempa di masa yang datang khususnya di wilayah Pantai selatan
Pangandaran dan sekitarnya, dan umumnya di deretan pantai selatan Jawa, maka salah satunya
perlu untuk dilakukan penelitian mekanisme gempa bumi dan tsunami Pangandaran yang
terjadi pada tanggal 17 Juli 2006, meski gempanya sudah terjadi.
Untuk melihat mekanisme dari gempa bumi dan tsunami di pangandaran tersebut dapat
dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan teknologi geodetik seperti Global Positioning
System (GPS), untuk melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya
Gempa Bumi (coseismic dan postseismic). Studi mengenai tahapan coseismic dan postseismic
gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi nilai potensi energi pasca Bencana
Alam gempa bumi, untuk dijadikan input upaya mitigasi dimasa datang.
Selain pengukuran dengan GPS, pengukuran tinggi tsunami berdasarkan bukti-bukti
fisik di lapangan juga penting untuk dilakukan untuk memodelkan energi gempa yang
menyebabkan tsunami dengan lebih baik lagi. Sementara itu tak kalah pentingnya
mendapatkan informasi bagaimana penduduk merasakan gempa, getaran seperti apa yang
dirasakan, yang akan menjadi salah satu faktor penting untuk memahami karakteristik gempa
yang terjadi.
2.1 Pengolahan Data dan Analisis Hasil Penelitian
Dari hasil pengolahan data GPS Pangandaran 2006 menggunakan sofware bernese 4.2
memperlihatkan deformasi coseismic yang cukup kecil besarnya sekitar 2 sentimeter, dengan
pola arah menuju ke pusat gempa di selatan Pantai Pangandaran. Pola deformasi
menunjukkan mekanisme gempa yang biasa terjadi di zona subduksi. Namun demikian, nilai
Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 5

deformasi yang kecil cukup menarik untuk di kaji lebih lanjut, mengingat gempa ternyata di
barengi dengan tsunami.
Untuk mendapatkan deformasi postseismic terlebih dahulu harus dilakukan
pengukuran kembali satu atau dua tahun ke depan setelah gempa. Informasi postseismik akan
berguna dalam mengkaji mekanisme release energy gempa, dan evaluasi pada potensi
kegempaan untuk masa yang akan datang.
Hasil pengolahan data ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan dari
sampel yang diambil mulai dari pantai Pameungpeuk, Cipatujah, Sindangkerta, Pangandaran,
Kali Peucang, hingga pantai Cilacap, yang diolah oleh Tokyo University (Kato et. Al, 2006),
menunjukan ketinggian tsunami ternyata lebih besar nilainya dibandingkan dengan data hasil
pemodelan sementara dari data inversi seismisitas. Bahkan di beberapa tempat tertentu tinggi
tsunami ada yang mencapai 6 meter lebih.
Hasil wawancara dengan penduduk tentang getaran gempa yang dirasakan secara garis
besar dapat disimpulkan bahwa sebagian dari mereka ketika ada di luar rumah dan sekitar
pantai hampir tidak merasakan adanya getaran gempa. Orang-orang di sekitar pantai selatan
yang berada di dalam rumah rata-rata merasakan adanya getaran gempa. Kemudian informasi
penting yaitu jenis getaran yang lambat (slow shaking) dirasakan oleh mereka.
Dari hasil pengolahan data penelitian di atas, terlihat bahwa kejadian gempa di
Pangandaran 2006 yang disertai tsunami memberikan mekanisme deformasi coseismic yang
kecil (2cm), kemudian catatan tinggi tsunami yang lebih besar dari pemodelan data
seismisitas, dan terakhir gempa tidak terasa cukup kuat dan sifat gempa yang dirasakan berupa
getaran lambat (slow shaking). Data-data ini selanjutnya akan digunakan untuk membuat
model coseismic slip dan model tsunami. Kesimpulan sementara yang dapat menerangkan
gempa diikuti tsunami yang terjadi 17 juli 2006 berdasarkan data-data penelitian di atas yaitu
kemungkinan tipe gempa adalah slow earthquake atau tsunami earthquake.


Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 6

2.3 Dampak Gempa dan Tsunami Gempa Pangandaran 2006
Gempa Pangandaran 2006 menimbulkan gelombang pasang yang menyebabkan selain
korban jiwa juga kerusakan infrastruktur di sektor energi dan sumber daya mineral, sebagai
berikut :
1. Bidang Migas
Area tangki penampungan minyak mentah dan dermaga.
Operasi kapal diberhentikan (loading dan discharge minyak).
Banyak kapal besar yang hanyut sehingga bongkar muat BBM di Kilang Pertamina
Cilacap dihentikan.
2. Bidang Ketenagalistrikkan
PLTU Cilacap mengalami gangguan sehingga pasokan listrik dari pembangkit
tersebut diturunkan menjadi 100 MW (kondisi normal 600 W) dan akhirnya
terpaksa dimatikan karena tergenang air.
2.4 Slow Earthquake -Tsunami Earthquake
Gempa dengan kekuatan lebih dari 6 skala richter yang terjadi di laut berpotensi
menimbulkan tsunami, itu hanyalah baru sebagai hipotesa awal. Untuk mengetahui secara
lebih baik lagi mekanisme gempa yang berpotensi kita harus banyak melakukan penelitian.
Dari hasil penelitian yang ada sekarang ini muncul istilah tsunami earthquake atau slow
earthquake.
Tsunami earthquake mengambil istilah dari earthquake atau gempa yang menimbulkan
tsunami, sementara slow earthquake mengambil istilah dari sifat karakteristik getaran gempa
yang lambat (slow shaking) yang dapat menimbulkan tsunami. Secara definisi detail bahwa
yang dimaksud tsunami earthquake atau slow earthquake yaitu gempa yang cukup kuat (> 6
skala richter) dengan sifat getaran yang lambat (slow shaking) dan terjadi di laut, kemudian
menimbulkan tsunami.
Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 7

Sifat slow shaking ini yang memberikan respon terhadap dinamika air yang lebih besar
dari pada fast shaking (getaran yang cepat). Respon besar inilah yang dapat membangkitkan
gelombang tsunami. Getaran yang lambat ini salah satunya dapat disebabkan oleh tebalnya
sedimen di sekitar pusat gempa di laut yang memberikan efek lubrikasi ketika gempa terjadi.
Sifat getaran yang lambat ini dapat dicirikan dari rekaman long wavelength seismograf, orang
merasakan getaran/goyangan yang lamban, dan perbedaan ketinggian model tsunami dengan
data fisis di lapangan.
Gempa yang terjadi di Nikaragua tahun 1992 merupakan contoh slow earthquake -
tsunami earthquake, dimana gempa pada waktu itu menimbulkan tsunami, dan rekaman
gelombang seismik memperlihatkan gelombang long wavelength. Gempa yang terjadi di
Pangandaran tahun 2006 mungkin merupakan contoh lain dari slow earthquake -tsunami
earthquake apabila melihat data-data yang ada. Untuk memastikannya maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
2.5 Detail Gempa
Magnitude 7,7
Tanggal Jam Senin, 17 Juli 2006 03:19:28 PM
Lokasi 9,222
0
LS 107,32
0
E
Kedalaman 34 km
Jarak 230 km dari Pulau Christmas
235 km dari Tasikmalaya
260 km dari Bandung
355 km dari Jakarta
Simpangan Posisi 7,5 km
Parameter NST = 234, Nph=234, Dmin 999 km, Rmss
= 1,12 sec, Gp = 400, M-Type = teleseismic
moment magnitude (Mw), Version = Q
Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 8


Gambar 2 Peta dan keterangan intensitas saat gempa terjadi.







Hamdi Eko Putranto 12908026

Tsunami Pangandaran 2006 9

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Energi Sumber Daya Mineral, 2006. Gempa Bumi dan Tsunami di Pangandaran,
Ciamis, Jawa Barat.
http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqinthenews/2006/usqgaf/#details
http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=81

Anda mungkin juga menyukai