Anda di halaman 1dari 3

Continuous Electroencephalography (cEEG)

Selama beberapa tahun terakhir ini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah menjadi semakin jelas bahwa aktivitas kejang umum biasanya terjadi pada
pasien neurologis kritis. Salah seorang peneliti mendapatkan bahwa lebih dari 20% pasien
dengan cedera otak traumatis menunjukkan aktivitas kejang saat berada di ICU, setengah dari
kejang tersebut merupakan kejang non epileptik yang hanya dapat terdeteksi dengan
menggunakan continuous electroencephalography (cEEG). Fokus kejang dapat berasal dari
bagian otak yang mengalami trauma, misalnya kontusio pada bagian lobus kanan, atau dapat
menjadi lebih tersebar dan bahkan mengenai seluruh jaringan otak. Kejang pasca trauma
biasanya berhubungan dengan derajat cedera yang dialami pada otak, cenderung terjadi dalam
beberapa hari pertama setelah cedera (meskipun dengan pemberian profilaksis antikonvulsan)
dan ini berhubungan erat dengan peningkatan angka mortalitas jika hal ini tidak dikontrol dengan
baik (Vespa, 2005).
Peningkatan penggunaan cEEG berdampak positif pada penemuan kasus epileptik yang
tidak terdeteksi. Hasilnya meningkat secara dramatis yang dari semula hanya 10% menjadi
sekitar 67%. Tabel di bawah menunjukkan angka kejadian kejang dan status epileptikus yang
terjadi pada penyakit-penyakit kritis (Sutter, 2013).
Tabel Angka Kejadian Kejang dan Status Epileptikus pada Penyakit Kritis (Sutter, 2013)
Penyakit
Angka Kejadian
Kejang Status Epileptikus
Pasien ICU nonneurologis 4%-15% 0.4%
Stroke iskemik 5% 1%-10%
Perdarahan subarachnoid 4%-16% 10%-14%
Perdarahan intraserebral 10%-30% 1%-21%
Ensefalopati iskemik 5%-40% 30%
Cedera otak traumatis 12%-50% 8%-35%

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa angka kejadian kejang dan status epileptikus pada
penyakit-penyakit yang kritis cukup tinggi dimana cedera otak traumatis merupakan penyebab
terbanyak yakni kejang sebesar 12%-50% dan status epileptikus sebesar 8%-35%. Hal ini tentu
sangat membahayakan bagi pasien, karena kejang dapat memperburuk kondisi kesehatan pasien.
Untuk itu perlu dilakukan upaya deteksi dini terhadap adanya aktivitas yang dapat memicu
terjadinya kejang. Dengan menggunakan rekaman cEEG, 56% kejang dapat dideteksi dalam satu
jam pertama, dan 88% dalam 24 jam pertama (Sutter, 2013).

Gambar Waktu dari Awal Monitoring dengan cEEG hingga Kejang Terdeteksi pada
Pasien Penyakit Kritis (Sutter, 2013)
Keterlambatan dalam mendiagnosis aktivitas kejang dan durasi kejang yang
berkepanjangan berhubungan dengan meningkatnya angka mortalitas pasien penyakit kritis.
Sedangkan deteksi dini aktivitas kejang dengan cEEG dan tatalaksana yang cepat dan tepat
berhubungan dengan meningkatnya hasil yang dicapai (Sutter, 2013).
Namun, tidak semua pasien dengan penyakit kritis dilakukan pemeriksaan cEEG.
Terdapat beberpa indikasi klinis yang mengharuskan seorang klinisi untuk segera melakukan
pemeriksaan cEEG seperti yang terangkum dalam tabel di bawah ini (Friedman, 2009).
Tabel Indikasi cEEG (Friedman, 2009)
1. Deteksi kejang pada pasien dengan perubahan status mental dengan:
Riwayat epilepsy
Tingkat kesadaran berfluktuasi
Cedera otak akut
Menderita status epileptikus baru-baru ini
Aktivitas sterotipik seperti gerakan paroksismal, nistagmus, twitching
2. Monitoring terapi
Pada pasien dengan peningkatan TIK atau status epileptikus yang refrakter
Menilai derajat sedasi
3. Deteksi iskemia
Vasospasme pada perdarahan subarachnoid
Iskemia serebral pada pasien dengan risiko tinggi menderita stroke
4. Menilai prognosis
Pasca henti jantung
Pasca cedera otak akut

Masih terdapat banyak rintangan yang harus dihadapi untuk dapat menciptakan suatu alat
yang dapat melakukan memantau fungsi otak secara aktual, reliabel, praktis, dan dapat
digunakan secara luas (Friedman, 2009). Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain (Vespa, 2005):
1. Seseorang yang ahli dalam membaca EEG
2. Deteksi aktivitas kejang seseorang secara otomatis
3. Akses EEG jarak jauh yang memungkinkan untuk memberikan laporan secara aktual
Namun, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang ada, hal tersebut
lambat laun tentunya akan dapat terpecahakan. Sehingga seorang klinisi dapat melakukan
diagnosis dan memberikan terapi secara lebih cepat dan tepat.

Anda mungkin juga menyukai