Anda di halaman 1dari 4

Penyebab Gejala Hiponatremia yang Tak Terduga pada Penyakit Paru Obstruksi

Kronik : Adenoma Pituitari



ABSTRAK
Hiponatremia pada pasien penyakit paru kronik disebabkan oleh berbagai sebab (masih dicari
penyebab gangguan yang bisa dirawat dan disembuhkan). Seorang pasien pria usia 75 tahun
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang memiliki gejala episode sinkope. Pasien
ini tidak menggunakan obat diuretik dan steroid sistemik, tetapi hanya menggunakan obat
bronkodilator oral untuk penyakit parunya. Tekanan dan volume darah pasien ini normal. Pasien
ini mengalami hiponatremia dengan kadar natrium serum 122 mmol/L. Awalnya hal ini diduga
sebagai sindrom ketidakseimbangan sekresi hormon antidiuretik (SIADH) yang umum terjadi.
Hiponatremi ini bersifat persisten akibat dari PPOK yang terkontrol. Hasil Magnetic Resonance
Imaging (MRI) menunjukkan bahwa terdapat Makroadenoma Pituitari di Sella nya. Tumor
tersebut diangkat dengan bedah transspenoidalis kemudian dirawat dengan obat
glukokortikosteroid dan obat pengganti hormon tiroid sementara. Kadar natrium serum pasien ini
kembali normal tanpa pengobatan lainnya. Sekarang menjadi hal yang patut diperhatikan adanya
kemungkinan hiponatremia pada penyakit paru akibat tidak berfungsinya kelenjar pituitari
(hipopituarism et cause non-functional pituitary adenoma).
PENDAHULUAN
Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang sering terjadi pada pasien-pasien yang
mondok di rumah sakit dan terkadang menyumbang pada angka morbiditas dan mortalitas.
Pasien PPOK bisa mengalami hiponatremia dengan berbagai sebab. Hipoksia kronik dan
hiperkapnia sekunder pada penyakit paru yang sedang terjadi, gagal jantung atau insufisiensi
ginjal akibat penggunaan diuretik, SIADH, hipokalemia akibat penggunaan bronkodilator atau
steroid, malnutrisi, dan intake yang buruk selama ekstrasebasi akut merupakan beberapa
penyebab yang sering terjadi pada pasien paru. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan
peningkatan kadar Vasopresin Arguinin Plasma (VAP) yang tidak proporsional menjadi
penyebab terjadinya hiponatremia yang terlihat sebagai SIADH. SIADH merupakan perpaduan
dari gangguan pulmonar (seperti pneumonia, tuberculosis, asma, pneumothorax, kanker paru,
adenoma bronkus, dan cidera ventilasi tekanan barik positif) dan penyebab non-pulmonar
(contohnya : efek samping pengobatan sistem saraf pusat, kondisi stres berat, dan produksi VAP
ektopik). Bahaya pengobatan PPOK adalah menyangka hiponatremia sebagai SIADH tanpa
menghiraukan penyebab lainnya. Peneliti mendapatkan kasus serupa.
PELAPORAN KASUS
Seorang pasien pria berkebangsaan Cina mengalami PPOK derajat sedang dan riwayat hipertensi
selama 6 tahun. Pasien ini juga memiliki kebiasan merokok 30-40 bungkus rokok per tahun.
Pasien ini memeriksakan diri setelah mengalami dispnea saat ekspirasi dan dahak berwarna
kuning selama sebulan. Pengobatan yang dilakukan selama 6 bulan yang lalu adalah obat
semprot salbutamol 8mg/ hari dan obat semprot ditiazem 90mg/ hari. Pasien ini tidak
mengonsumsi obat steroid dan tidak mengalami perubahan berat badan. Pasien ini juga rutin
meminum 300-500 ml air sebelum tidur karena kehausan dan diet yang dilakukannya sesuai.
Pasien ini dibawa ke rumah sakit setelah mengalami sinkope ketika pasien tersebut hendak ke
toilet paginya. Pasien ini kembali sadar 1 jam setelah ditemukan keluarganya tergeletak di lantai.
Pasien ini menyangkal bahwa pasien ini mengalami periode batuk parah atau mikturasi atau
defekasi. Pasien ini memiliki tinggi badan 170 cm dengan berat badan 68 kg. temperaturnya 36,7
0
C, tekanan nadi 90 per menit dengan irama teratur, dan tekanan darah 130/80 mmHg tanpa
hipotensi postural. Volume cairan ekstraselularnya normal. Rambut ketiak dan pubis mengalami
penurunan jumlah. Pada pemeriksaan dada ditemukan ronki pada basal sebelah kiri. Pemeriksaan
fisik lainnya tidak menunjukkan gejala apa-apa. Tidak ditemukan pula trauma kepala, gejala dan
tanda tekanan intrakranial meningkat, gangguan penglihatan, kekakuan leher, defisit neurologis
fokal, perubahan Cushingoid, atau pigmentasi kulut yang abnormal.
Pasien ini mengalami leukositosis dengan pergeseran ke kiri sedang (15.900 /L dengan 86%
neutrofil). Hasil abnormal pada pemeriksaan biokemia pertama kali hanya pada kadar natrium
sebesar 122 mmol/L dan osmolaritas plasma sebesar 260 mosm/ kg. Hasil tes urin menunjukkan
ekskresi natrium yang cukup tinggi (55 mmol/ L) dan konsentrasi urine yang abnormal (337
mosm/ kg. Hasil elektrokardiogram normal. Hasil foro rontgen dada menunjukkan peningkatan
bronchovascular marker pada bagian bawah kedua lapang paru. Hasil tomografi beresolusi
tinggi dari paru menunjukkan adanya dilatasi ringan bronkus pada bagian basal posterior dari
lobus bawah dengan bronkiektasi traktus, penebalan difus septa interlobularis, dan empisema
panlobularis dan sentrilobularis. Pasien ini diduga menderita eksaserbasi dari PPOK dan infeksi
parunya. Berdasarkan kadar elektrolit serum dan urine dan derajat euvolemiknya, diduga terjadi
SIADH sekunder dari penyakit parunya. Kemudian pasien ini diberikan antibiotik broad
spectrum untuk mengontrol infeksi parunya. Walaupun demikian, setelah pemberian infus
natrium klorida 20 meq pada larutan normal saline 1.000 mL setiap hari selama 2 minggu, pasien
ini tidak mengalami perbaikan kadar natrium serum (129 mmol/ L). Episode sinkope yang terjadi
tidak dapat dijelaskan mekanismenya apakah dari penyakit kardiovaskularnya, cidera vaskular di
otak, efek samping pengobatan, atau hipotensi ortostatik.
Pemeriksaan lanjut menunjukkan adanya hipopituitari anterior sebagaian yang tak terduga
dengan peningkatan kadar prolaktin dan sedikit peningkatan hormon pertumbuhan, LH, dan
testosteron. Hasil pemeriksaan MRI dengan dan tanpa kontras menunjukkan bahwa terdapat
tumor pituitari yang telah meluas ke bagian supraselar menyentuh bagian inferior dari chiasma
optikus. Pasien tersebut mengalami hemianopia bitemporal 3 minggu setelahnya. Kemudian
pasien ini menjalani reseksi tumor pituitari secara transspenoidalis. Pasien ini diberikan obat
glukokortikoid dan penggantian hormon tiroid dari 2 hari sampai 1 minggu setelah operasi untuk
menanggulangi stress selama dan setelah reseksi tumor tersebut. Diet normal langsung dijalani
pasien setelah operasi. Hasil follow up kadar natrium serum pada hari pertama dan minggu ketiga
setelah operasi menunjukkan kadar yang kembali normal (139 mmol/ L). Kadar ini tetap normal
sampai follow up selama 3 bulan.
DISKUSI
Temuan pertama dari pasien PPOK dengan infeksi sekunder dan ekskresi air yang tidak
seimbang adalah hipoosmotik hiponatremia yang diduga karena SIADH. SIADH didefinisikan
sebagai sekresi berlebihan atau kerja berlebih dari VAP pada euvolemiknya tanpa mengalami
penurunan intake air yang berujung pada retensio air dan penurunan kadar osmolaritas plasma
dan natrium. Pasien tersebut memenuhi kriteria tersebut dengan bukti adanya riwayat haus
malam hari dan diet teratur yang mengarah ke diagnosis. Masuknya air murni atau air dengan
kadar garam rendah akan memperburuk hiponatremia ketika pengeluaran air terganggu.
Derajat hiponatremia pada pasien PPOK berbanding lurus dengan beratnya penyakit parunya.
Hal ini sering terjadi pada pasien yang mengalami hiperkapnia dan hiposik dan stres
biomolekular yang fisiologis, begitu juga pada PPOK berat, infeksi sekunder berat, atau stres
resperatorik. Gejala hiponatermia menjadi pertimbangan karena gejala ini menjadi faktor risiko
pneumonia dengan prognosis buruk pada pasien tua. Tetapi pada kasus ini, pasien belum
mencapai derajat keparahan tersebut dan infeksinya masih bisa dikontrol dengan antibiotik.
Pasien ini mengalami hiponatremia persisten dengan perbaikan kondisi pulmonar yang membuat
peneliti mencari sebab SIADH yang lain dan pada akhirnya mengarah pada penemuan
makroadenoma hipopituitari anterior sekunder sebagian.
Hiponatremia sering terjadi pada pasien dengan hipopituitarism yang tak terkontrol yang
biasanya ditandai dengan hipotiroidism dan atau hipokortisolism. Akan tetapi, tidak ada laporan
kasus yang mengarahkan bahwa SIADH dapat disebabkan oleh tumor pituitari. Penjelasan yang
masuk akal mengenai hubungan SIADH dengan tumor pituitari adalah 1.) stimulus kimiawi dari
sistem hipotalamus-neurohipofisis-adrenal atau 2.) tumor memberikan stres kimiawi lokal
melalui ekskresinya. SIADH mungkin berkembang pada pasien dengna tumor pituitari yang
tidak memiliki bukti klinis adanya disfungsi kelenjar pituitari. Pada beberapa kasus
pengangkatan tumor bisa menyembuhkan SIADH.
Tumor yang diangkat dari pasien tersebut tidak berfungsi sehingga terjadi hipopituitari sebagian.
Kadar natrium serum pasien ini tetap dalam kadar normal setelah penghentian pemberian terapi
pengganti hormon yang dilakukan selama 3 bulan setelah operasi. Kelenjar tiroid dan adrenal
tidak terganggu. Hal inilah yang menjadi latar belakang penarikan hipotesis berupa
makroadenoma hipopituitari anterior sekunder sebagian yang dialami pasien ini memberikan
stres kimiawi lokal pada tangkai pituitari yang menyebabkan sekresi berlebih VAP kemudian
terjadi SIADH. Hasil MRI menunjukkan adanya penggeseran tangkai pituitari sedikit ke kiri oelh
makroadenoma. Kadar natrium yang kembali normal setelah operasi pengangkatan menjadi bukti
benarnya hipotesis yang peneliti ajukan.
Dapat disimpulkan bahwa hiponatremia pada SIADH jarang terjadi pada pasien penyakit paru,
tetapi bukan berarti tidak dapat terjadi (bisa dikatakan sebagai fenomena transisten sekunder
selama penyakit paru masih terjadi). Hal ini menjadi hal penting yang patut diperhatikan pada
pasien lanjut usia yang memiliki komorbiditas tinggi dan medikamentosa multipel yang
mengaburkan diagnosis banding. Pada akhirnya riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik menjadi
bahan acuan untuk mengarahkan adanya tanda dan gejala lesi intrakranial. Jika gejala
hiponatremia tidak kunjung hilang bersamaan dengan peningkatan keparahan penyakit paru,
pencarian penyebab SIADH lainnya harus menjadi perhatian untuk mencegah hilangnya
kemungkinan kesembuhan gangguan yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai