Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BAHASA INDONESIA

CERPEN
SEPERTI LAVENDER


Nama : Fenny Gunawan
Kelas : x2
No absen : 9






Seperti Lavender
Pagi yang cerah di pertengahan bulan Juni, membuat sinar matahari pagi
memasuki celah-celah jendela kamar Mimiko, membuatnya terbangun dari tidurnya.
Dengan langkah berat, ia menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kesekolahnya.
Ia tinggal dengan kakak laki-lakinya. Walaupun selalu sibuk, tetapi kakaknya sangat
menyayangi Mimiko. Mimiko, seorang anak yang pemalu disekolah dan mungkin bias
dikatakan bahwa ia tidak memiliki teman karena ia terlalu malu untuk berbicara
dengan teman-temannya. Kakaknya tidak mengetahui hal itu, karena jika kakaknya
mengetahui hal itu, maka kakaknya akan sangat menghawatirkan dirinya, dan Mimiko,
tidak ingin hal itu terjadi.
Mimiko berangkat dengan menggunakan sepeda yang diberikan kakaknya tahun
kemarin sebagai hadiah ulang tahunnya. Sampai disekolah, seperti biasa, Mimiko
menaruh tasnya dimejanya dan mulai duduk terbengong melihat kearah bawah, karena
kelasnya berada dilantai atas. Ia tidak pernah berani berbicara dengan temannya
karena ia sangat pemalu dan sangat gugup hanya untuk sekedar berbicara dengan
teman-temannya. Bel masuk berbunyi, dan guru memasuki ruangan.
Anak-anak, pada akhir bulan, akan ada acara perpisahan siswa kelas 3 dan kebetulan
tahun ini kelas kita yang mendapat tugas untuk mengisi acara sebagai paduan suara.
Oleh karena itu, bapak minta supaya kalian mempersiapkannya. Untuk pembagian
tugas, bapak serahkan pada ketua kelas." Kata pak Willy didepan kelas.
Aurel, sang ketua kelas berambut hitam kecoklatan sebahu tampak mengangguk
mengerti saat dirinya disebut oleh Pak Willy, sang wali kelas.
Baik pak. Jawab Aurel tegas.
"Kalian harus menampilkan yang terbaik karena nanti kalian akan ditonton oleh
seluruh siswa 3 dan orangtua siswa," jelas lagi. Semua murid tidak berkomentar dan
hanya mendengarkan.
Pak Willy menatap Aurel. "Aurel, berikan laporannya pada bapak kalau sudah selesai,"
perintahnya.
"Baik, pak," jawab Sakura tegas.
Perlu diketahui, bahwa Aurel sangat senang dengan tugas-tugas untuk mengadakan
acara seperti itu. Aurel menjadi sangat bersemangat. Dalam hati, Mimiko pun ikut
senang, karena dengan kata lain, ia pun dapat perlahan-lahan mendekatkan diri
dengan teman-teman kelasnya. Akan tetapi, berbeda dengan teman-teman kelas yang
lainnya. Mereka semua merasa bahwa acara seperti itu sangat merepotkan buat
mereka, karena ulangan-ulangan harian sudah siap menunggu mereka.

Kelas mendadak riuh setelah Pak Willy keluar dari kelas. Para siswa sangat tidak
berminat untuk berpartisipasi diacara perpisahan anak kelas 3. Hal itu terlihat saat
seruan Aurel yang cukup keras tidak begitu didengarkan oleh semuanya.
"Aduh, padahal sebentar lagi 'kan ada banyak ulangan" keluh siswa.
"Iya, aku juga ada les tambahan," tambah yang lainnya.
"Lebih baik waktunya dipakai untuk belajar. Kalau nanti nilai ulangannya jelek lalu
tidak naik kelas bagaimana? Memangnya pak Willy mau tanggung jawab? Payah!" gerutu
yang lainnya lagi.
Meski banyak keluhan, Aurel mencoba untuk tidak menghiraukannya. Ia tetap berdiri
didepan kelas, mendiskusikan pembagian suara dan juga lagu yang akan dinyanyikan.
Mimiko memerhatikan semua teman kelasnya. Ia tidak mengerti, padahal dirinya
senang kelasnya terpilih sebagai partisipan. Sepertinya hanya dirinya dan Aurel saja
yang merasa antusias. Em dan satu orang lagi, Erwin cowok bertubuh tinggi, kekasih
Aurel yang selalu bersemangat seperti halnya dirinya.
Segera setelah bel istirahat berbunyi, semua orang langsung bersorak dan mulai pergi
dari bangku masing-masing. Banyak siswi perempuan dikelas itu membawa bekal ke
sekolah dan memakannya bersama-sama. Sedangkan siswanya, ada yang kekantin
ataupun ada sebagian yang hanya tidur.
Mimiko membuka tasnya dan mengeluarkan bekalnya. Mimiko ingin sekali memakan
bekal bersama yang lain, namun niat itu selalu diurungkannya. Mimiko berpikir
mungkin teman-temannya akan merasa tidak nyaman. Karena itu, kali ini pun Mimiko
keluar kelas untuk taman belakang sekolah yang tidak begitu ramai. Selama ini,
Mimiko selalu memakan bekalnya disana, karena tempat itu nyaman dan sejuk. Mimiko
sangat suka berada disana karena ditempat itu juga tumbuh bunga lavender yang
cantik. Setiap hari, sebelum jam pelajaran mulai dan sebelum pulang, Mimiko selalu
pergi kesana untuk menyiramnya. Dengan melihat bunga itu, perasaan Mimiko menjadi
tenang. Tidak heran, karena memang bunga lavender merupakan salah satu aroma
terapi yang bisa menenangkan pikiran.
Selain alasan-alasan itu, ada satu hal lagi yang membuatnya betah lama-lama di taman
belakang itu. Ia merasa bahwa bunga lavender itu sama seperti dirinya, selalu sendiri
dan jarang diperhatikan orang lain.
Setiap melihat bunga lavender, Mimiko teringat akan bunga lavender yang dulu
sempat ia berikan dengan susah payah dan penuh kegugupan kepada Ernest, teman
kelasnya yang waktu itu terlihat duduk dikursi taman itu sendirian dengan kedua
tangannya menumpu dagu dan kepala yang sedikit tertunduk dan wajahnya juga
tampak sedih. serta pandangan mata yang juga terlihat menerawang ,dengan maksud
agar perasaan hati Ernest dapat lebih tenang dengan adanya keharuman bunga
lavender itu. Dan ternyata besoknya, Mimiko baru tahu bahwa yang membuat Ernest
seperti itu adalah karena kematian kakaknya. Ernest adalah teman sepermainan Aurel
dan Erwin sejak kecil.
Setelah sadar dari lamunannya, Mimiko menghela napas dan bertopang dagu sambil
memandangi bunga lavender didepannya yang bergerak pelan tertiup angin. Bunga
lavender mempunyai warna yang khas. Ia cantik dan membuat takjub yang melihatnya.
Kalau saja bunga itu bertambah banyak, pasti ada banyak orang yang datang ke taman
itu untuk menikmati keindahannya. Tidak akan merasa kesepian karena tidak
diperhatikan.
"Kau memang sering kemari, ya, Mimiko?"
Mimiko kaget saat mendengar suara seseorang dibelakangnya. Ia terkejut saat tahu
bahwa Ernest berjalan kearahnya.
"e e e ernest?" Mimiko merasa sangat gugup.
"Kau suka bunga lavender?" tanya Ernest tiba-tiba.
Mimiko mengangguk dengan kikuk. 'Kenapa Ernest tiba-tiba kemari?' pikirnya dalam
hati.
"Aku juga. Rasanya menenangkan," lanjut Ernest.
Mata Mimiko membulat mendengarnya. Mimiko tidak menyangka kalau Ernest juga
menyukai bunga berwarna ungu itu.
"B-benarkah?" Tanya Mimiko
Ernest mengangguk. Kemudian Ernest duduk disebelah Mimiko. Hal itu tentu saja
membuat Mimiko gugup dan wajahnya memerah. Mimiko tidak tahu harus bersikap
seperti apa didepan Ernest. Mimiko merasa malu dan gugup sekali!
"Ernest, kamu juga ingin melihat bunga lavender ini, ya? K-kalau begitu aku pergi
dulu." Dengan cepat, Mimiko berdiri dari kursi taman itu, tetapi sebelum sempat
pergi, langkahnya tertahan karena tiba-tiba ia merasakan tangan Ernest yang menarik
pergelangan tangannya untuk menahannya beranjak dari tempat itu. Mimiko terkejut
lalu menatap Ernest bingung. Wajah Mimiko semakin memerah karena Ernest belum
melepaskan genggaman tangannya. "Ernest?" kata Mimiko gugup.
"Kenapa kau pergi?" jawab Ernest.
"Habisnya, kupikir kamu sedang ingin sendirian ?" sambung Mimiko
"Tidak. Kau disini saja."
Jantung Mimiko benar-benar berdegup kencang ketika mendengar jawaban yang
Ernest lontarkan padanya. Bayangkan saja, Ernest memintanya untuk menemaninya!
Mimiko tak percaya dengan apa yang ia dengar. Mimiko sungguh senang tak terkira.
"B-baiklah."
'Tapi... kenapa aku? Selama ini belum ada seseorang yang ingin menghabiskan waktu
denganku. Tapi kenapa Ernest.... Aku tidak mengerti,' batin Mimiko bertanya-tanya.
Setelah beberapa saat mereka hanya terdiam sambil memandangi bunga lavender. Dan
sementara itu, Mimiko sesekali mencuri pandang kearah Ernest lewat ekor matanya.
Mimiko sedang bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang sedang dipikirkan Ernest saat
ini. Ekspresi wajah Ernest memang datar, tapi kali ini terlihat tenang, tidak seperti
waktu Mimiko memberikan bunga lavender padanya pertama kali.
"Mimiko, kau bisa main piano?" tanya Ernest tiba-tiba.
"Ha?" Mimiko menatap Ernest dengan ekspresi seseorang yang kebingungan. "piano?
sebenarnya tidak terlalu mahir sih tapi aku senang main piano." Lanjut Mimiko.
Memangnya ada apa?
Ernest yang melihatnya tersenyum kecil dan berkata "Emm, kalau begitu kamu bisa
mengajukan diri untuk acara perpisahan nanti, aku lihat, Aurel sedang kebingungan
mencari pengiring untuk acara perpisahan itu."
"Apa? Mengajukan diri? Aku?" jawab Mimiko semakin kaget
"Kenapa? Kamu tidak mau?" Tanya Ernest
"Bukannya begitu, emm, Cuma, aku tidak yakin. Emm,, maksudku... pasti ada orang
lain yang bisa bermain piano lebih bagus dari pada aku dikelas kita." Lanjut Mimiko.
"Emmmm,, tapi sayangnya tidak ada sama sekali. Aku rasa ,di kelas kita tidak ada yang
bersedia menjadi pengiring." Kata Ernest sambil mengangkat kaki kirinya agar
bertumpu pada paha kanannya. "Kamu,,,, coba saja, Mimiko. Aku yakin kamu bisa
bermain degan baik nanti." Lanjut Ernest.
Mimiko menunduk, sambil memalingkan wajahnya dari Ernest. Ia sudah sangat gugup.
Ini pertama kalinya Mimiko bisa banyak berbicara seperti ini. 'Mengajukan diri?
Memangnya Aurel akan bersedia menerimaku sebagai pengiring? Lebih lagi, teman-
teman sekelas. Aku tidak yakin... Tapi setidaknya aku ingin menunjukkan
partisipasiku. Kalau memang itu bisa membantu, aku tidak akan keberatan.' Mimiko
berbicara dalam hati.
"ayolah, Mimiko. Berjuanglah. Aku akan membantumu." Kata Ernest sambil menepuk
pundak Mimiko. Setelah berkata seperti itu, Ernest pun beranjak pergi, agar Mimiko
dapat berpikir dan memutuskannya. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Mimiko
telah memutuskan, kemudian ia pergi ke kelanya, karena bel masuk sudah berbunyi.
Mimiko duduk dikursinya dengan tidak nyaman. Dari tadi Mimiko terlihat meremas-
remas jari-jari tangannya. Mimiko telah memutuskan, kalau memang Aurel
membutuhkan seorang pengiring untuk acara perpisahan nanti, Mimiko bersedia, tapi
Mimiko tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Karena itu, sejak tadi
Mimiko merasa bingung.
Saat isitirahat, kelas Mimiko terlihat sepi karena hampir semua teman kelasnya
istirahat di luar kelas. Hanya ada beberapa orang saja yang tinggal di kelas. Mimiko
melihat ke bangku Ernest. Cowok itu sedang asyik tidur di bangkunya. Kemudian
Mimiko melihat kearah bangku Aurel. Aurel kelihatannya sedang asyik mengobrol
dengan Erwin sambil makan siang.
Jantung Mimiko berdegup kencang karena hanya ada mereka berempat yang ada di
kelas sekarang. Mungkin ini bisa menjadi kesempatan untuk Mimiko. Mimiko
memejamkan matanya erat-erat sebelum ia berdiri dari duduknya untuk menghampiri
Aurel dan Erwin.
Dengan langkah kaku, Mimiko pun menghampiri Aurel.
"Emm,, maaf,,,," Suara Mimiko terdengar parau.
Aurel dan Erwin yang merasa dipanggil pun menghentikan aktivitas makan mereka,
lalu menoleh secara bersamaan kearah Mimiko. Hal itu semakin membuat Mimiko
menjadi sangat gugup untuk berbicara.
Aurel menatap Mimiko dengan pandangan penuh Tanya dan berkata,. "Ya, Mimiko,
ada apa?"
Mimiko memainkan kedua jari telunjuknya, hal ini sering dilakukan Mimiko jika ia
merasa gugup. "Emmm... ku-kudengar Aurel sedang mencari pengiring untuk acara
perpisahan? Ma-maksudku... kalau kamu tidak keberatan... a-aku bisa main piano..."
kata Mimiko ragu. 'Aku... aku sudah mengatakannya! Ya ampuunnn... betapa malunya
aku!' kata Mimiko dalam hati sambil tertunduk dengan wajah yang memerah.
Aurel dan Erwin sama-sama menaikkan alis, saling berpandangan.
"Kamu bisa main piano, Mimiko?" Tanya Aurel, untuk meyakinkan kembali kalau apa
yang ia dengar tidak salah.
Mimiko mengangguk.
"Dan kamu bersedia untuk menjadi pengiring diacara perpisahan nanti?" Aurel kembali
bertanya.
Sekali lagi Mimiko mengangguk. "Tapiii, itu k-kalau kalian semua tidak keberatan..."
Mimiko mengepalkan jari-jarinya, menunggu saat Aurel dan Erwin akan
menertawakannya.
"Serius?" Nada bicara Aurel terdengar sangat tidak percaya sekaligus terkejut. Lalu
tanpa Mimiko duga, wajah Aurel tiba-tiba saja berubah jadi senang dan saat itu juga
ia langsung memeluk Mimiko dengan erat. Mimiko dan Erwin terlihat melongo dengan
mata yang membulat. Mereka sama-sama terkejut dengan perbuatan Aurel. "Terima
kasih! Terima kasih! Aku sungguh tertolong, Mimiko!" seru Aurel lega. Suara Aurel
yang cukup keras sudah mengganggu Ernest yang sedang tertidur di dekat tempat
mereka.
"Aku tidak tahu kalau kamu bisa main piano, Mimiko... Ya ampuunnn! Bodohnya aku
bisa lupa menanyakannya padamu. Aku sempat kebingungan karena yang lainnya tidak
mau menjadi pengiring di acara nanti." Kata Aurel sambil menghela napas lega.
"Syukurlah, Aurel!" kata Ernest yang juga ikut berseru senang.
"Baiklah, kalau begitu semuanya sudah beres. Karena pengiringnya sudah dapat dan
lagunya juga sudah ditentukan, aku bisa memberikan laporannya pada Pak Willy.
Dengan begitu, besok atau lusa kita mungkin sudah bisa mulai latihan." Kata Aurel
semangat.
"Oh ya? Yeeesss!" Ernest berseru girang.
" Kamu berisik sekali, Erwin!" kata Ernest dari bangkunya.
"Apaan, sih? Dasar Ernest!" balas Erwin.
Aurel menepuk bahu Mimiko. "Terima kasih, ya Mimiko!"
Mimiko tersenyum senang. "Aku juga, terima kasih banyak! Aku akan berusaha supaya
bisa bermain dengan baik di acara nanti!" jawab Mimiko sambil tersenyum senang.
"Hehehe... Ya, kita berusaha sama-sama ya!" kata Aurel
"Oh ya, ngomong-ngomong kau sudah makan, Mimiko? Ayo kita makan siang sama-sama
disini!" ajak Aurel.
Mimiko terkejut. "Eh? memangnya boleh, Aurel?"
"Tentu saja, kenapa tidak boleh?!" jawab Aurel sambil tersenyum.
"Iya, ayo, makan disini saja sama kita, daripada sendirian," tambah Erwin.
Senyum Mimiko kembali terlihat. "Terima kasih!" Sekali lagi Mimiko tersenyum sebelum
dia kembali ke bangkunya untuk mengambil bekal makan siangnya.
Sungguh, Mimiko merasa begitu senang. Inilah hal yang selalu diharapkan Mimiko.
Makan siang bersama-sama yang lain, saling bertukar cerita dan tertawa bersama
teman-teman. Akhirnya hal itu bisa terwujud. Mimiko sangat bersyukur karena telah
menuruti saran Ernest. Dan juga, respon Aurel terhadapnya juga telah membuatnya
percaya diri.
'Aku... harus berterima kasih pada Ernest," gumam Mimiko dalam hati.
Sekilas, Mimiko menoleh kearah bangku Ernest. Mimiko tersenyum saat melihat
sebuah senyum kecil yang sangat tipis diwajah Ernest, sebelum cowok itu kembali
melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu oleh teriakan Erwin tadi.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah, dengan perasaan gugup, Mimiko menunggu
Ernest di depan gerbang. Meskipun Ernest jarang berinteraksi dengan orang lain dan
terkesan pendiam, tapi karena kepiawaiannya, Ernest dapat menjabat sebagai ketua
OSIS di sekolah. Ernest begitu dikagumi orang banyak, tak terkecuali Mimiko. Entah
kenapa saat melihat Ernest, semangat Mimiko jadi terpompa. Mimiko ingin sekali bisa
menjadi seperti Ernest yang selalu bisa diandalkan oleh teman-temannya dan selalu
optimis.
Beberapa saat kemudian, Mimiko melihat Ernest sedang berjalan menuju gerbang.
Mimiko semakin gugup dan menggenggam tasnya dengan erat. Untung saja tidak ada
Aurel dan Erwin bersamanya. Saat Ernest semakin dekat, Mimiko berpikir untuk
membatalkan niatnya saja, tapi terlambat. Ernest sudah terlanjur melihat Mimiko.
"Mimiko?" panggil Ernest.
Mimiko menoleh ragu dengan wajah yang mulai merona. "Ernesttt..."
"Apa yang kamu lakukan disitu?" Tanya Ernest.
"Emmmmm... itu..." Mimiko menundukkan wajah dan berpikir untuk lari saja. Tapi,
saat itu Mimiko sudah memutuskan untuk lebih berani. Tanpa menjawab pertanyaan
Ernest, Mimiko mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini untukmu, Ernest...,"
kata Mimiko sambil memberikan bungkusan plastik kecil yang berisi kue kering pada
Ernest. Bisa Mimiko rasakan, saat itu tangannya bergetar karena gugup.
Ernest terlihat bingung dan menatap kue yang diberikan oleh Mimiko padanya, lalu
kemudian melihat Mimiko.
"Apa ini?" Tanya Ernest.
"Ini ucapan terima kasihku karena berkat saranmu, aku bisa menjadi pengiring diacara
perpisahan nanti." Jawab Mimiko.
Ernest yang baru mengerti maksud Mimiko terlihat mendesah. "Kamu tidak perlu
repot-repot seperti ini, Mimiko. Aku tidak melakukan apa-apa, kamu sendiri yang
sudah memutuskan, bukan?" kata Ernest.
"Aku tahu tapi... kalau bukan karena doronganmu,, aku ..."
"Baiklah, aku mengerti. Terima kasih ya,Mimiko." Kata Ernest sambil menerima hadiah
yang diberikan Mimiko padanya.
Saat itu juga, Mimiko tersenyum senang karena Ernest mau menerima hadiah tanda
terima kasihnya.
"Rumahmu dimana, Mimiko?" Tanya Ernest.
"Rumahku di Jalan Garuda, tidak begitu jauh dari sini, kenapa?."
"Em, kalau begitu kita searah. Kita bareng aja."
"Apaa?" Mimiko terkejut mendengar ajakan Ernest. Wajah Mimiko semakin memerah.
Pulang bersama Ernest... rasanya seperti mimpi! "Baiklah!" Mimiko mengangguk senang.
Mereka berdua pun berjalan berdampingan sepanjang jalan. Suasana begitu hening,
tidak ada obrolan yang keluar dari keduanya. Mimiko tidak tahu harus membicarakan
apa karena ia begitu senang dan ingin menikmati saat yang seperti ini lebih lama lagi.
Mimiko tidak pernah merasa sedekat ini sebelumnya dengan Ernest. Meskipun laki-laki
disampingnya itu terlihat pendiam, tapi sebenarnya, ia baik dan peduli walau tidak ia
tunjukkan secara terang-terangan. Ernest adalah orang pertama yang mau mengajak
Mimiko bicara banyak. Dan walaupun gugup, Mimiko sangat bersyukur karena Ernest
selalu mau mendengarkannya.
"Apa pendapatmu mengenai acara perpisahan nanti?" Ernest mulai membuka
percakapan.
Mimiko menoleh kearah Ernest yang pandangannya menerawang keatas pohon. Sesaat
kemudian Mimiko tersenyum.
"aku senang sekali, karena sangat jarang kita mendapat kesempatan seperti ini kan?
Pasti menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama teman-teman sekelas dan
membuat satu momen yang akan menjadi kenangan saat kita semua lulus nanti," ucap
Mimiko dengan wajah berseri-seri.
Ernest menatap Mimiko selama beberapa saat. Raut wajahnya terlihat agak terkejut
mendengar jawaban Mimiko. "yaa, aku mengerti."
"aku juga senang sekali karena Aurel bersedia menjadikan aku sebagai pengiring.
Rasanya... rasanya saat ini aku seperti dipercaya oleh teman-teman."
"Baguslah."
"Semua ini... berkat kamu." Mimiko menunduk malu sebelum akhirnya memberanikan
diri untuk menatap Ernest yang menatapnya dengan wajah terkejut. "Aku... ingin
seperti Ernest yang selalu optimis! Aku... ingin berteman baik dengan teman-teman
sekelas."
Wajah Ernest terlihat seperti menahan tawanya. "Emm, apa maksudmu ingin seperti
aku? Tidak perlu sampai seperti itu. Kamu hanya harus menjadi dirimu sendiri,
Mimiko, lalu... berusaha untuk melakukan yang terbaik."
Itulah... Satu lagi dorongan dari Ernest yang menjadi pemicu bagi Mimiko.
"Aku akan berusaha!" kata Mimiko bersemangat.
Dengan senyum diwajah, Mimiko dan Ernest melanjutkan perjalanan tanpa ada banyak
percakapan. Mimiko begitu menikmati saat-saat seperti ini.
Keesokan paginya
"Hei, kalian lebih seriuslah sedikit! Waktu kita tidak banyak lagi. Kalau latihannya
seperti ini terus, bagaimana bisa tampil bagus dipanggung nanti?" seru Aurel dengan
tegas. Entah sudah yang keberapa kalinya Aurel berseru seperti itu pagi itu.
Selama 5 hari, latihan paduan suara untuk perpisahan yang hanya tinggal beberapa
hari lagi itu tidak pernah berjalan dengan baik. Meski Aurel sudah berseru entah
berapa kali agar mereka latihan sungguh-sungguh, namun tidak didengar oleh yang
lainnya. Mereka terlihat malas-malasan dan seringkali bercanda. Apalagi dengan
ketidakhadiran Pak Willy yang mengawasi latihan seperti pagi ini, mereka semakin
terlihat main-main sehingga latihan pun berantakan dan harus diulang berkali-kali.
Jessy sebagai dirigen terlihat sudah kesal sekali, terlebih lagi Aurel sebagai
penanggung jawab kelas yang sudah teriak-teriak memperingatkan.
"Ayo, kita ulangi lagi dari awal!" seru Aurel lagi.
"Ck, merepotkan sekali, sih! Kalau hanya harus bernyanyi sih ya tinggal nyanyi saja,
tidak perlu diulang-ulang terus, kan?" celetuk seseorang disana dengan cueknya.
"Ya, kami capek tahu! Buang-buang waktu saja! Mending waktunya dipakai belajar
saja, kita kan banyak ulangan. Jangan seenaknya saja," tambah yang lainnya lagi.
Aurel yang sudah mencoba untuk bersabar, mulai terlihat geram. Aurel mengepalkan
tangan menahan kesal. Tentu saja, siapa yang tidak kesal kalau usahanya untuk
menampilkan yang terbaik tidak disambut dengan baik oleh yang lainnya? Aurel merasa
dikhianati oleh teman-teman sekelasnya sendiri. Seolah-olah seperti ia sendiri yang
mati-matian berusaha, sementara yang lain acuh tak acuh.
"Ya sudah, terserah kalian saja! Aku tidak mau bertanggung jawab lagi!" Dengan kasar,
Aurel melemparkan kertas not lagu ke lantai. Semua orang tampak kaget. Saat itu
juga, Aurel langsung keluar dari ruang musik, meninggalkan teman-temannya yang
masih terkejut atas sikapnya barusan.
"Aurel, tunggu!" teriak Erwin yang kemudian mengejar Aurel.
Mimiko terpaku didepan piano yang sebelumnya ia mainkan. Suasana jadi kacau. Yang
lainnya hanya bisa mengeluh, menggerutu, merasa direpotkan oleh hal yang menjadi
tugas kelas. Mimiko mengerti bagaimana perasaan Aurel. Perasaan ketika kita tidak
dihargai ketika kita mencoba untuk berusaha sekuat tenaga demi kelas. Semuanya
seakan-akan egois.
Mimiko yang baru kali ini merasa mendapat penghargaan dari Aurel dan Ernest
merasa ikut sedih dengan perlakuan teman-temannya. Aurel yang setahunya selalu
bersemangat dan ceria, baru pertama kali di lihat Mimiko semarah ini. Meski Aurel
sering terlihat galak, namun kali ini berbeda. Aurel terlihat kecewa.
"Kalian, lebih seriuslah!" ucap Ernest dengan dingin dan tegas. Sepertinya Ernest juga
ikut kesal. Tentu saja, dengan latihan yang seperti ini sudah membuat waktunya
terbuang percuma, padahal tugasnya sebagai ketua OSIS sangatlah padat. Namun,
Ernest masih bisa mengutamakan mana kepentingan yang lebih penting dan mana yang
bisa ia tunda. Ernest merasa punya tanggung jawab untuk latihan paduan suara,
sehingga tugas OSIS ia kesampingkan terlebih dahulu.
Suara gumaman dan gerutuan kembali terdengar samar-samar.
Mimiko menatap satu-persatu teman-teman sekelasnya. Mimiko merasa tidak nyaman
berada didalam ketegangan ini.
Kenapa semuanya jadi seperti ini?
Mimiko mengepalkan kedua tangannya lalu berdiri. Mimiko sudah meyakinkan diri agar
bisa menyampaikan apa yang kini ia rasakan.
"maaf,, semuanya,,,,,,," kata Mimiko ragu.
Semua mata yang menoleh menuju kearah Mimiko, terlihat terkejut, begitu juga
dengan Ernest. Mimiko menarik napas sebelum kemudian mengeluarkannya dalam satu
hembusan. Mimiko memberanikan diri untuk menatap teman-teman sekelasnya yang
menanti apa yang akan keluar dari bibir gadis pemalu itu.
"Aku tidak bermaksud untuk lancang, hanya saja... aku harap teman-teman
memikirkan sedikit bagaimana perasaan Aurel. Dia... sudah berusaha keras agar kelas
kita bisa menampilkan yang terbaik."
Hening sesaat. Wajah teman-teman Mimiko berubah tampak malas. Apalagi sekarang
mendengar celotehan Mimiko. Tapi Mimiko berusaha untuk tidak menghiraukannya.
Setidaknya Mimiko ingin teman-temannya bisa saling menghargai. 'Aurel sudah percaya
padaku. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kesempatan ketika seseorang
menaruh harapan padaku.' Kata Mimiko dalam hati.
Mencoba mengabaikan tatapan tak mengenakkan dari teman-teman sekelasnya,
Mimiko melanjutkan bicaranya.
"Aku tahu kalau sebentar lagi akan ada banyak ulangan,... tapi itu bukanlah
penghalang untuk kita berusaha bersama untuk acara perpisahan kakak-kakak kelas
kita. Bukankah... kita semua juga nanti akan mengalami hal yang sama? Apa yg kalian
rasakan seandainya nanti adik kelas kita melakukan hal yang sama untuk kita?
Bukankah itu mengharukan?" Kata Mimiko.
"Hei, kamu ini" Kata Karin salah seorang teman kelas Mimiko.
"Sst!" Miska, gadis modis yang populer tampak menyenggol sahabatnya, Karin, yang
hendak memotong kata-kata Mimiko.
"Aku sangat senang ketika Aurel memberiku kesempatan untuk menjadi pengiring.
Aku sadar kalau permainan pianoku tidak begitu bagus, tapi ketika melihat Aurel
yang begitu bersemangat menyambut acara ini, aku jadi ingin memberi timbal balik dan
berusaha bermain sebaik mungkin. Saat seperti ini begitu jarang... kenangan saat ini
mungkin akan membekas saat kita lulus nanti. Karena itu... teman-teman, mari kita
berusaha sama-sama untuk yang terbaik!" Sambung Mimiko. Entah kenapa teman-
teman sekelasnya mendadak terdiam dan menunduk.
Tiba-tiba, pandangan Mimiko bertemu dengan Ernest. Mimiko bisa merasakan
pancaran mata Ernest yang tampak sependapat dengannya.
Ini adalah pertama kalinya Mimiko bisa mengutarakan semua isi hatinya didepan
semua orang. Dan Mimiko merasa begitu lega sudah mengatakannya. Kepercayaan
Ernest dan Aurel padanya telah memberinya kekuatan. Mimiko juga ingin melakukan
sesuatu untuk mereka.
Tiba-tiba saja Miska berdehem, memecah keheningan. "Jessy, mau bengong sampai
kapan, ha? Ayo kita lanjutkan latihannya!" kata Miska, sehingga menarik semua
perhatian yang lain. Miska mulai bersiap dengan kertas notnya.
Jessy tampak terkejut sebelum akhirnya mencari halaman kertas not-nya dan ikut
bersiap.
Saat itu juga, yang lainnya mengikuti dan kembali berbaris dengan rapi.
Dalam hati, Mimiko tidak percaya! Ia telah berhasil menggerakan hati teman-
temannya. "Terima kasih, teman-teman!" seru Mimiko bersemangat.
"Biar aku yang memanggil Aurel dan Erwin," Kata Ernest, kemudian keluar
meninggalkan ruang musik.
"Aurel, sudahlah jangan menangis..." Erwin berusaha menenangkan Aurel yang sedang
menangis. Mereka sekarang berada di atap sekolah.
"Aku sudah mencoba bersabar, Erwin. Tapi... tapi mereka semua tidak peduli! Kalau
begini terus percuma saja, sepertinya hanya aku yang antusias" kata Aurel.
"Siapa bilang?" potong seseorang dari arah pintu atap yang kini terbuka.
Aurel dan Erwin menoleh bersamaan dan mendapati Ernest berjalan menghampiri
mereka.
"Sampai kapan mau terus menangis, Aurel? Semua sudah menunggumu." Kata Ernest.
Aurel mengusap air matanya dan menatap Ernest bingung, sama halnya dengan Erwin.
"Apa maksudmu? Bukankah yang lain sudah tidak mau latihan?" Tanya Aurel dengan
sedikit ketus.
"yaaaa, itu beberapa menit yang lalu," jawab Ernest sambil berbalik dengan kedua
tangan yang dimasukkan kedalam kantong celana seragamnya. "Cepatlah, sebelum
mereka kembali berubah pikiran," tambah Ernest sebelum benar-benar pergi dari
tempat itu. Erwin dan Aurel sesaat saling berpandangan, namun setelah itu akhirnya
mereka berdua segera pergi meninggalkan atap dan kembali menuju ruang musik.
Saat Aurel dan Erwin mendekati ruang musik, terdengar suara dentingan piano dan
nyanyian dari dalam sana. Mata Aurel melebar, lalu ia mempercepat langkahnya,
mengikuti Ernest yang hendak masuk.
Aurel terdiam didepan pintu. Aurel kelihatan tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Baru beberapa menit yang lalu teman-teman sekelasnya mengomel dan tidak mau
latihan, tapi sekarang... mereka semua bernyanyi dengan serentak, tidak ada yang
bercanda dan barisan mereka begitu rapi.
"Auerel?" Mimiko menghentikan permainan pianonya yang kemudian diikuti oleh yang
lainnya.
"Kalian..." Auel mulai memandang teman-temannya satu persatu.
"Sebelumnya kami minta maaf, Aurel..." Tiba-tiba Miska meminta maaf, yang kemudian
disusul oleh teman-temannya yang lain.
"Apa?" Aurel semakin kaget dan menatap mereka semua tak percaya.
"Seperti kata Mimiko, ayo kita berusaha sama-sama! kata Miska lagi yang kemudian
diikuti anggukan teman-temannya.
Aurel menatap Jessy kemudian pada Mimiko yang sedang tersenyum manis.
"Mimiko..." Aurel tersenyum diantara air mata yang kini mulai menggenang di matanya
lagi, namun dengan cepat Aurel mengusapnya dan memasang wajah serius. "Teman-
teman, ayo kita mulai latihannya!" serunya dengan lantang dan bersemangat. Erwin
tersenyum lebar melihat Aurel yang sudah kembali bersemangat.
Hari Perpisahan
Lagu pun berakhir seiring dengan alunan piano yang mulai berhenti. Jessy
berbalik kearah penonton lalu membungkukkan badan, yang kemudian disambut tepuk
tangan meriah oleh ratusan murid kelas 3 juga para orangtua murid yang menyaksikan
penampilan kelas asuhan Pak Willy itu.
Terlihat senyum-senyum cerah menghias wajah para paduan suara itu sebelum mereka
meninggalkan panggung dengan perasaan bangga. Penampilan yang memukau telah
mereka suguhkan untuk kakak kelas mereka mereka yang kini akan meninggalkan
sekolah mereka itu. Bahkan ada diantara kakak kelas mereka yang menangis terharu
mendengar nyanyian yang baru saja selesai.
Setelah penampilannya, Mimiko melangkah menuju taman belakang dengan perasaan
yang sangat senang. Mimiko tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
Seperti biasa, Mimiko berjongkok didepan bunga lavender favoritnya setelah selesai
menyiramnya. Senyum belum menghilang dari wajah Mimiko. Perlahan dihirupnya
aroma bunga itu dalam-dalam.
"Hmm... wangi sekali, perasaanku jadi nyaman." Kata Mimiko pelan.
"Kau ini seperti bunga lavender, ya, Mimiko?"
"Ha?" Mimiko mendongak dan terkejut saat mendapati Ernest sudah berdiri
dibelakangnya. "Ernest? Apa maksudnya?"
"Emm. Kau itu menenangkan, seperti lavender." Lanjut Ernest.
Wajah Mimiko tiba-tiba memerah mendengar penjelasan Ernest. Ernest,, kamu ini
bicara apa?"
Tiba-tiba saja Ernest menarik tangan Mimiko dan membantunya berdiri. Tanpa basa-
basi, Ernest langsung memeluk Mimiko. Jantung Mimiko seakan-akan ingin meloncat
keluar. Wajah Mimiko semakin merah padam. Mimiko berusaha agar tidak pingsan saat
itu juga.
"Ernest...?" Mimiko bingung harus berkata apa lagi.
"Saat pertama kali kamu memberiku bunga lavender dihari kematian kakakku, sejak
saat itu aku mulai memerhatikanmu. Kamu yang selalu terlihat berusaha agar bisa
berteman dengan yang lainnya benar-benar menarik perhatianku. Kamu... selalu tulus.
Sepertinya aku suka padamu, bagaimana menurutmu?" Ernest mengatakan hal yang
mengejutkan itu dengan nada biasa, seakan hal itu adalah hal yang mudah baginya.
"Suka...?" Mimiko makin gugup dan salah tingkah.
"Aku tidak bercanda. Jadi?" Ernest menunggu jawaban dari Mimiko.
Kepala Mimiko seperti berputar-putar. Bagi Mimiko, semua ini terjadi begitu cepat
dan seperti mimpi. Tapi, pelukan Ernest adalah bukti kalau dia sedang tidak bermimpi.
"Mana mungkin aku menolakmu, bukan?" jawab Mimiko akhirnya dengan suara yang
begitu pelan. "Kamu selalu mempesona bagiku."
Mata Ernest membulat dan sebuah senyum tipis tampak terhias. "Makasih," ucap
Ernest kemudian mencium kening Hinata.
"Cieee... ada yang baru jadiaaan!" Tiba-tiba muncul Aurel dengan suara lantangnya,
membuat Ernest dan Mimiko tersadar dari momen romantis mereka.
"Suit... suit!" Erwin yang ikut mengintip bersama Aurel dibalik tembok gedung sekolah
ikut bersiul.
"Kalian?" Ernest terlihat sangat syok karena telah tertangkap basah. Ia berusaha
menutupi wajahnya yang sudah merah.
"Jadi... sekarang kamu punya pacar, nih ceritanya? Hahaha...," goda Erwin mulai jahil.
"Yaaa!" Aurel ikut mengangguk-ngangguk sambil nyengir. "Dan sepertinya akan ada
traktiran nih." Aurel terkikik.
"Hei, diamlah!" rutuk Ernest.
"Selamat, ya, Mimiko!" ucap Aurel ikut senang.
Mimiko menunduk malu. "Makasih, Aurel."
Erwin merangkul Ernest sambil tak hentinya menggoda Ernest. Ernest yang masih
sangat malu hanya mengomeli Erwin dan menyuruhnya untuk diam. Mimiko tidak
menyangka kalau Aurel dan Erwin mengintip mereka dari tadi. Mimiko menyentuh
kedua pipinya yang dari tadi sudah memerah. Rasanya ia benar-benar malu!
"Eh, disini ada bunga lavender? Aku baru tahu!" seru Aurel. "Cantiknya~"
"Hah?" Erwin yang sibuk menggoda Ernest mulai menghampiri Aurel. "Hmm... benar
juga, ya? Aku juga baru tahu."
"Sudah hampir dua semester kalian baru tahu? Payah!" tambah Ernest.
Mimiko tertawa melihat ketiganya, kemudian menatap bunga lavender yang kini mulai
menumbuhkan kuncup-kuncup baru. Bunga yang selalu tersembunyi itu kini mulai
menampakkan eksistensinya dan membuat orang yang melihatnya tersenyum kagum,
sama seperti Mimiko yang kini telah mendapatkan sahabat-sahabat baru sekaligus sang
pujaan hati.
Mereka tak akan kesepian lagi.
Bunga lavender, menjadi awal dari kebahagiaan Mimiko.

Anda mungkin juga menyukai