Anda di halaman 1dari 4

The Lost Boy

Matahari mulai menyembunyikan sinarnya, langit mulai menjadi gelap, tibalah saatnya aku
pulang. Seperti biasanya, aku pulang dengan berjalan kaki menuju rumahku. Di sepanjang jalan aku
terus memikirkan tentang seseorang yang kutemui tadi. Seseorang yang sangat mirip dengan orang
yang kukenal. Akupun terus bertanya siapakah dia? Pernahkah aku bertemu dengannya
sebelumnya? Apakah aku mengenalnya? Namun sayangnya semua pertanyaan itu belum bisa
kujawab. Pertanyaan itu terus muncul sampai tak terasa langkah kakiku telah sampai di depan
kediamanku.
Aku pulang seruku.
Kau darimana saja? Kenapa baru pulang? Tanya ibuku
Banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan, Bu. Aku mandi dulu ya, Bu, pintaku.
Setelah mandi, aku kembali lagi ke kamarku untuk tidur. Tapi pikiran itu terus
membayangiku. Aku coba kembali tertidur tapi tetap tak bisa. Kemudian aku putuskan untuk
mencari tahu siapa dia sebenarnya. Aku ambillah buku kenanganku semasa sekolah. Kubuka satu
persatu halaman buku kenangan yang kupunya, tapi tak ada seorangpun yang mirip dengan orang
itu. Aku menjadi semakin penasaran dengan orang itu. Aku coba terus melihat buku kenanganku
sampai akhirnya aku pun mulai jatuh tidur. Aku melihat orang itu kembali, tapi apakah ini dalam
mimpiku akupun masih bingung membedakan mimpi atau kenyataan. Orang itu begitu tampan, rapi
dan tampak tersenyum padaku. Aku melihat orang itu datang menghampiriku dan kemudian
berkata, Hai, apa kabar?
Hai, aku baik-baik saja. Apakah kita saling mengenal? jawabku.
Bagaimana bisa kau melupakanku, Chloe? tanyanya.
(bagaimana mungkin dia tahu siapa namaku)pikirku
Kau siapa? tanyaku lagi.
Dia hanya diam seribu bahasa.
Ah, aku bisa gila sekarang. Sebenarnya kau siapa? Kenapa hanya diam saja?
Dia hanya tersenyum tanpa menghiraukan pertanyaanku kemudian dia menghilang.
Hei, kau pergi kemana? Siapa kau? teriakku.
Kemudian kudengar seseorang memanggil namaku dengan keras.
Chloe, Chloe cepat bangun sekarang sudah jam 6 pagi. Apa kau tidak bekerja? serunya.
Suara itu kemudian membangunkanku dari mimpiku tentang orang itu. Aku bergegas
bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit untuk bekerja. Setibanya disana aku langsung
menuju ke ruang kerjaku.
Selamat pagi semua, sapaku
Dokter, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda. Kata salah seorang rekanku.
Hai, Chloe, sapa orang itu.
Hai, jawabku sambil berpikir kenapa hal ini begitu sama seperti mimpiku semalam.
Sudah lama tidak bertemu, apa kabar? Akhirnya kau sudah menjadi dokter seperti keinginanmu,
sahutnya.
Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa, karena aku benar-benar tidak tahu siapa dia
sebenarnya.
Kau lupa padaku? Tanyanya.
Sepertinya aku mengenalmu, tapi jujur aku lupa siapa dirimu. Bolehkah aku tahu kau siapa?
jawabku.
Kau ingat, sewaktu SMA kau bilang kau ingin menjadi dokter padaku. Kau bilang kalau salah satu
dari kita bisa menjadi apa yang kita cita-citakan, kau akan mentraktirku. Kau lupa?
Ah, apa kau Reigy? Reigy yang jenius itu? Tanyaku sambil tersenyum.
Aku akhirnya ingat siapa dirinya. Orang yang yang telah memberikanku motivasi menjadi
seperti sekarang. Jika aku ingat masa SMA ku, aku bukanlah orang yang pandai apalagi rajin. Aku
termasuk siswi yang malas. Tapi karena dia, karena Reigy aku bisa menjadi dokter seperti sekarang.
Aku kembali teringat saat itu.
Chloe, kenapa nilaimu itu begitu buruk. Apa kau tidak belajar dirumah? Selalu saja seperti itu, ucap
Pak Tino, guru Biologiku.
Saya sudah belajar, Pak. Tapi tetap saja nilai saya seperti itu. Saya tidak tahu harus bagaimana?
jawabku.
Apa sebenarnya cita-citamu dengan nilai seperti ini? tanyanya keras.
Saya ingin menjadi dokter, Pak. Jawabku tegas.
Pak Tino terkejut mendengar pernyataanku dan berkata Kau lihat dia, dia Reigy. Dia murid terbaik
disini. Bukankah dia teman sekelasmu? tanyanya.
Kalau kau ingin menjadi dokter kau harus menjadi seperti dia dulu. Belajar yang rajin. Mengerti?
imbuhnya tegas.
Tapi, Pak..., ucapku kecewa.
Aku memikirkan apa yang dikatakan oleh Pak Tino. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi
seperti Reigy, murid jenius yang tampan itu. Benar-benar tidak mungkin. Di sepanjang jalan menuju
kelas aku terus bergumam akan hal itu. Sesampainya di kelas aku melihatnya duduk sambil
membaca buku.
Dia benar-benar terlihat sangat jenius, mungkinkah aku bisa seperti dia? pikirku.
Aku terus memperhatikan dia hingga tanpa disangka dia melihatku. Dia kemudian
tersenyum padaku. Aku yang menganggapnya sebagai seseorang yang dingin akhirnya menjadi
berubah pandangan. Selanjutnya saat istirahat, aku beranikan diriku untuk bertanya padanya.
Reigy, bolehkah aku bertanya sesuatu? tanyaku padanya ragu-ragu.
Ya, tentu saja, jawabnya ramah.
Bisakah aku menjadi sepertimu? Impianku begitu tinggi tapi dengan kemampuanku seperti ini
rasanya tidak mungkin bagiku untuk meraihnya. Maukah kau membantuku? tanyaku lagi
Apa yang bisa kubantu? tanyanya.
Aku kemudian menceritakan segala sesuatunya pada Reigy. Dia mendengarkannya dengan
baik dan bersedia untuk membantuku. Dia mengajariku segala sesuatu yang dia lakukan untuk
mendapatkan nilai yang baik. Setiap hari dia mengajakku pergi ke perpustakaan untuk membaca dan
belajar bersama. Saat itulah aku merasa bahwa Reigy benar-benar anak yang tak hanya jenius tetapi
juga sangat baik. Dengan mengikuti rutinitas Reigy selama beberapa minggu, akhirnya nilaiku
mengalami peningkatan dan dia merasa senang untukku.
Selamat nilaimu sangat memuaskan akhir-akhir ini, ucapnya.
Itu semua berkat dirimu. Aku tidak tahu berapa yang akan ku dapatkan tanpa bantuanmu. Terima
kasih, jawabku sambil tersenyum.
Oh ya, sebenarnya apa cita-citamu itu? Aku penasaran, sahutnya.
Aku malu mengatakannya, karena mungkin menurutmu itu tidak mungkin bisa aku dapatkan,
jawabku lemah. Kemudian dia letakkan kedua tangannya di bahuku sambil berkata, Kau tahu tidak
ada impian yang tidak bisa didapatkan dengan usaha. Asal kau bekerja keras dan percaya kau pasti
bisa meraihnya. Jadi apa impianmu?.
Aku ingin menjadi dokter, jawabku sambil menatap matanya.
Wah benarkah? Ternyata impian kita sama. Bagaimana kalau kita bertaruh siapapun yang berhasil
meraih impiannya dia harus mentraktir yang lainnya? tanyanya sambil tersenyum.
Baiklah, siapa takut. Tapi aku yakin pasti kau yang akan mentraktirku dulu, jawabku sambil
menjabat tangan Reigy.
Sejak saat itu kami bekerja keras untuk meraih mimpi kami masing-masing. Tapi beberapa
hari kemudian, Reigy tak datang ke sekolah hingga hari kelulusan tiba. Aku tidak tahu penyebab dia
pergi meninggalkan sekolah tanpa alasan. Hingga akhirnya kami bertemu kembali setelah 8 tahun.
Ternyata kau masih ingat namaku, apa janjimu itu masih berlaku? jawabnya.
Tunggu dulu, selama ini kau kemana saja? Apa pekerjaanmu saat ini? tanyaku sambil berkaca-
kaca.
Selama ini aku belajar di Amerika, sekarang aku bekerja sebagai dokter bedah disana, jawabnya
santai.
Kau jahat sekali, kenapa tak pernah memberitahuku? Apa aku bukan temanmu? sahutku penuh
amarah.
Maaf saat itu, aku dan keluargaku harus pergi secara mendadak jadi tidak sempat memberitahumu
dan teman-teman yang lain. Apa kau masih marah? Lalu bagaimana janjimu untuk mentraktirku?
ucapnya.
Bukankah kau juga berhasil meraih mimpimu, apa kau tidak mau mentraktirku juga? jawabku.
Kau mau kutraktir dimana? ucapnya sambil tersenyum.
Aku tak menjawab apapun, aku hanya memandang wajahnya dan membalas senyumannya.
Dalam hatiku berkata, orang yang hilang itu telah kembali. Orang yang tak hanya kuanggap sebagai
sahabat tetapi juga mentor dan motivator terbaik yang pernah aku miliki. Aku berharap dia akan
selalu berada di sampingku untuk membimbingku. Aku juga akan tetap percaya akan perkataannya
bahwa tak ada mimpi yang tidak bisa diraih dengan usaha dan keyakinan yang kuat untuk
meraihnya.

Anda mungkin juga menyukai