Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena pertukaran sering kali kita temui dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari. Hal ini terjadi karena adanya resiprositas yang menyangkut pertukaran timbal balik
antar individu atau antar kelompok yang selalu ada dalam setiap masyarakat. Resiprositas
tidak akan berlangsung tanpa adanya hubungan timbal balik yang simetris antar
kelompok atau antar individu. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan
masing- masing pihak menenampatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama
ketika proses pertukaran berlangsung (Damsar, 2009:80).
Masyarakat melakukan resiprositas karena adanya hubungan diantara mereka.
Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya
menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil tersebut lah terdapat
kontrol sosial yang kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk
berbuat mematuhi adat kebiasaan yang menjadi konsensus bersama. Sebaliknya
hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antar
pelaku kejasama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin mudah
muncul (Hudayana, 1991: 23).
Perilaku orang dalam suatu cara disebabkan apa yang tetangga, teman, anggota
kelompok lakukan. Perilaku dapat disebabkan karena keinginan kuat untuk memelihara
hubungan baik dengan lingkungan masyarakat. Asas resiprositas muncul dalam
masyarakat sebagai akibat adanya persamaan nasib karena hidup dalam lingkungan yang
sama, lingkungan yang memberi batasan dalam gerak penduduknya (Murdiyanto, 2008:
247). Masyarakat yang mendiami suatu tempat tertentu akan membentuk suatu ikatan
kelompok yang kuat, dan untuk mempertahankan ikatannya tersebut mereka melakukan
hubungan yang bersifat timbal balik dalam berbagai bidang kehidupan. Hubungan timbal
balik yang bersifat simetris tersebut berupa kegiatan saling tolong menolong dan
membantu ketika mereka saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
prinsip resiprositas berdasarkan gagasan yang sederhana saja, yaitu bahwa orang
harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidaknya tidak merugikannya.
Lebih khusus lagi, prinsip ini mengandung arti bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima
menciptakan, bagi si penerima, satu kewajiban timbal balik untuk membalas hadiah atau
jasa dengan nilai yang setidak- tidaknya sebanding dikemudian hari (Scoot, 1994:171).
Kebiasaan saling tukar menukar pemberian itu adalah suatu yang dinamik yang
melibatkan keseluruhan anggota masyarakat, sebagai sistem yang menyeluruh. Proses-
proses dinamik tersebut terwujud melalui hakikat saling memberi yang mengharuskan si
penerima untuk mengembalikan pemberian, sehingga saling tukar menukar tersebut tidak
ada habisnya dari waktu ke waktu (mauss, 1992: 109). Hal inilah yang membuat suatu
kegiatan masyarakat yang didalamnya terdapat asas resiprositas cenderung akan terus
berlangsung dan terwujud dalam sebuah Tradisi yang diwariskan secara turun temurun
dari generasi ke generasi.
Prinsip resiprositas tersebut digunakan oleh masyarakat di daerah Jepara, Pati,
Rembang, Jawa Timur dan sekitarnya dalam menjalankan Tradisi Buwuh. Buwuh adalah
menyumbang barang kepada orang yang mempunyi hajat. Kata Buwuh sendiri berasal
dari bahasa jawa yaitu imbuh- imbuh anggenipun badhe ewuh yang berarti tambahan
(imbuh- imbuh) karena akan mempunyai acara (ewuh). Barang yang diberikan biasanya
dalam bentuk beras, gula, tahu, tempe, teh, kopi dan barang- barang lainnya yang
diperlukan dalam menggelar pesta atau hajatan (Hariwijaya, 2005: 77). Pada hakikatnya
Tradisi ini bertujuan untuk meringankan beban pemilik hajat dengan memberikan
bantuan dalam bentuk barang- barang yang digunakan dalam penyelenggaraan hajatan.
Sumbangan ini bisa diartikan sebagai sebuah ekpresi budaya dan kebiasaan sosial
dalam suatu komunitas masyarakat. Orang yang tidak mengikuti kebiasaan sosial ini akan
menjadi bahan gunjingan tetangga- tetangganya dan akan dianggap sebagai orang yang
menyimpang. Pada awalnya tidak ada kesepakatan besarnya bantuan yang diberikan.
Namun sumbangan bisa dijadikan sebuah media untuk menunjukkan dimana posisi
seseorang dalam masyarakat. Sumbangan yang diberikan merupakan suatu simbol
kebudayaan sebagai rasa solidaritas yang erat dalam kelompok (Heru nugraha, 2001:94).
Dewasa ini terutama di daerah perkotaan, Buwuh kadang- kadang dinilai secara
sinis sebagai suatu sumber keuntungan, dan banyak orang dikatakan menyelenggarakan
hajatan terutama sekali karena mengharapkan keuntungan material dari sumbangan para
tamu (Geertz, 1983: 88). Buwuh dalam hajatan dilakukan atas dasar motif tertentu dari
orang yang terlibat dalam Tradisi ini. Motif ekonomi merupakan salah satu motif laten
seseorang untuk melakukan kerjasama resiprositas dalam suatu hajatan, hal ini karena
seseorang merasa bahwa apa yang diberikan kepada pemilik hajat merupakan bentuk
investasi dengan maksud di kemudian hari si pemilik hajat juga melakukan hal yang
sama terhadap pemberi tersebut. Hal ini membuat nilai- nilai luhur dalam Tradisi Buwuh
yang pada awalnya berisikan niat membantu meringankan beban anggota kelompok
dalam menggelar hajatan berganti dengan motif mencari jaminan sosial dengan
mengharap balasan atas bantuan yang diberikan di masa sebelumnya.
Setiap pemberian merupakan bagian dari sistem tukar menukar yang saling
mengimbangi di mana kehormatan dari si penerima dan si penerima terlibat didalamnya.
Dalam sistem tukar menukar ini setiap pemberian harus dikembalikan dengan suatu cara
khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis- habisnya dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima
harus dapat di imbangi nilai barang yang diterima karena bersamaan dengan pemberian
tersebut terdapat nilai kehormatan dari pihak yang bersangkutan (Mauss, 1992: 120).
Tidak jarang kebiasaan Buwuh ini juga kerap menimbulkan konflik antara individu yang
mengadakan kerjasama resiprositas. Umumnya masalah itu muncul karena adanya
penolakan kerjasama atau ketidak seimbangan dalam kerjasama resiprositas yang
dilakukan. Penolakan dan pengembalian yang tidak setimpal dalam Tradisi Buwuh
dianggap sangat menyakitkan sehingga kerap menjadi bahan gunjingan, sindiran, ataupun
pemutusan hubungan pergaulan dalam masyarakat.
Desa Kaliaman merupakan salah satu Desa di Kecamatan Kembang, Kabupaten
Jepara yang masih menerapkan Tradisi Buwuh dalam penyelenggaraan hajatan. Tradisi
Buwuh di Desa Kaliaman ini dilakukan dengan memberikan gula pasir dan rokok kepada
penyelenggara hajatan sebagai bentuk bantuan untuk meringankan beban
penyelenggaraan hajatan. Desa Kaliaman merupakan salah satu Desa yang masih
menggunakan sumbangan dalam bentuk barang ditengah munculnya uang yang dinilai
sebagai alat tukar yang praktis. Dengan berkembangnya pertukaran dengan memakai
uang, maka barang dan jasa akan kehilangan nilai simboliknya yang luas dan ragam
maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektif terhadap
terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan tersebut (Hudayana, 1991: 30). Oleh karena
itulah Tradisi Buwuh yang sekarang ini dilakukan di beberapa tempat dengan
menggunakan uang sesungguhnya telah berbeda dengan konsep dasar Tradisi Buwuh itu
sendiri yaitu memberikan bantuan berupa barang yang digunakan dalam penyelenggaraan
hajatan.
Hajatan baik pernikahan maupun khitanan merupakan suatu acara dimana
resiprositas dalam Tradisi Buwuh tersebut dapat terus berlangsung. Melalui hajatan inilah
sikap saling membalas pemberian terjadi, dimana pihak penyelenggara hajatan akan
menerima bantuan sumbangan dari orang- orang yang pernah ia sumbang di masa
terdahulu. Pada perkembangannya saat ini acara hajatan ditengah masyarakat Desa
Kaliaman semakin banyak dijumpai, padahal Biaya untuk menggelar hajatan tidaklah
sedikit, karena untuk sekali menyelenggarakan hajatan saja dapat menghabiskan hingga
jutaan rupiah. Fenomena semacam ini terjadi di masyarakat Desa Kaliaman, mereka rela
berhutang demi untuk menggelar hajatan.
Penyelenggaraan hajatan pernikahan maupun khitanan tersebut mempunyai arti
lebih jauh yang sangat menarik. Orang rela mengeluarkan biaya yang besar untuk pesta
perkawinan anaknya, hal ini karena orang tersebut menganggap semua biaya yang
mereka keluarkan demi kepentingan anaknya. Di masa mendatang anaknyalah yang akan
membayar kembali sumbangan atau bantuan yang diberikan pada saat pesta hajatan
tersebut. Karena hal itulah orang yang tidak mempunyai anak dikatakan rugi, sebab
mereka tidak dapat meneruskan hutang moral tersebut (Geertz, 1983: 97). Dalam Tradisi
Buwuh ini, semakin banyaknya anak memang semakin memberikan harapan bagi orang
tuanya. Karena melalui pesta perkawinan atau khitanan anaknya inilah, seseorang
mempunyai kesempatan untuk menarik kembali Buwuhan yang pernah ia berikan di masa
terdahulu. Jika seseorang semakin rajin memberikan Buwuh pada hajatan seseorang,
semakin besar kemungkinan orang tersebut menerima sumbangan Buwuh saat ia
menyelenggarakan hajatan. Perbedaan intensitas seseorang dalam menggelar hajatan ini
menimbulkan sesuatu yang menarik untuk diteliti yaitu terkait dengan bagaimana proses
resiprositas yang terjadi dalam Tradisi Buwuh yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Kaliaman, Kecamatan Kembang, Jepara.
Sebenarnya jika ditinjau dari fisolosfi dasarnya, Buwuh memiliki tujuan baik yaitu
mempererat solidaritas kelompok dengan memberikan bantuan serta doa restu atas suatu
peristiwa penting seperti pernikahan atau khitanan. Namun dalam perkembangannya
Tradisi Buwuh ini terselip motif- motif lain yang melatarbelakangi seseorang dalam
menjalankan Tradisi ini yang membuat adanya pergeseran nilai- nilai dalam Tradisi
Buwuh ini. Prinsip resiprositas yang terdapat dalam Tradisi Buwuh ini juga tentunya
memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat yang masih menjalankannya.
Tradisi Buwuh yang telah dijalankan dari generasi ke generasi telah mengakar kuat di
Desa Kaliaman yang menimbulkan suatu pertanyaan terkait dengan sikap warga
pendatang dalam mengikuti Tradisi Buwuh ini. Terdapat banyak hal menarik dari
resiprositas dalam Tradisi Buwuh yang menarik minat peneliti untuk melakukan
penelitian. Berdasarkan pemikiran tersebut peneliti mengangkat judul Resiprositas dalam
Tradisi Buwuh di Desa Kaliaman, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara.

Anda mungkin juga menyukai