Diskusi Kasus T.kororis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

DISKUSI KASUS

TINEA KORPORIS
















Oleh:
Anung Rizki Putri Utami
G9911112020




KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tinea Korporis adalah suatu penyakit kulit menular yang disebabkan oleh jamur
golongan dermatofita. Penyakit kulit ini mempunyai banyak nama lain, yaitu tinea sirsinata,
tinea glabrosa, scherende flechte, kurap, herpes sircine trichophytique, atau ringworm of the
body. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis dan menyerang pria
maupun wanita semua umur terutama dewasa. Kebersihan perorangan memegang peranan
penting dalam pencegahan penyakit ini. Oleh karena itu, usaha pencegahan penularannya
merupakan hal terpenting dengan terlebih dahulu mengetahui gejala klinis hingga pengobatan
yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan sebagai syarat dalam kepaniteraan klinik Lab/SMF
Ilmu Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala,wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.
1,2,3

B. Sinonim
1. Tinea sirsinata
2. Tinea glabrosa
3. Scherende flechte
4. Kurap
5. Herpes sircine trichophytique
6. Ringworm of the body.
C. Etiologi
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat
ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.
12
Namun demikian yang
lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T. rubrum, T. mentagrophytes,
dan M.canis.
1

D. Epidemiologi
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah
yang panas. Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh dunia
dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran merupakan
dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea
kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis. Walaupun prevalensi tinea
korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis
merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan tinea korporis.
7
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia atau
hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak-
anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau anjing.
Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi dan beratnya
erupsi.
2

Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka
bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara
pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi
prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang
umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.
7,8
Secara geografi lebih sering pada daerah
tropis daripada subtropics.
8
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai
antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang
antropofilik paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di
identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.
9

E. Patogenesis
Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit ke manusia dapat
melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit
tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum
korneum dari kulit.
3
Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam
perkembangan klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung
spora atau hifa pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di
stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan kondisi lain yang mendukung
seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh.
4,7,10

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat
sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui
kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti
pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau
cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim
keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak
keratinosit.
7,10
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon
jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang
menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan
meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini
akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih.
Eliminasi dermatoft dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.
7,10
Pada
masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang disertai tanda
klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat diketahui
dengan pemeriksaan KOH atau kultur.
10
F. Gejala Klinik
Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering
terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di
daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.
6
Keluhan berupa rasa gatal. Pada
kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda
radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat
membentuk pola gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi
dari eritema sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien.
Pada penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan
imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.
6
Tinea korporis dapat bermanifestasi
sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang
memburuk dan membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang
anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular
1,5,7,10,11
berupa skuama,
krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.Lesi pada umumnya merupakan bercak
terpisah satu dengan yang lainnya.
10
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan
pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.
12
Bentuk khas tinea
korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea
imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi
besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini
setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-
lingkaran skuama yang konsentris.
7

Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon
inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-
positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas.
7
Tinea
korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara obyektif
tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan
berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi
yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan tubuh
yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.
13
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan KOH
Sediaan berasal dari bahan kerokan kulit dengan meletakkan bahan diatas gelas
obyek, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH 20%, ditunggu 15-20 menit untuk
melarutkan jaringan. Pemanasan di atas api kecil mempercepat proses pelarutan. Pada
saat mulai keluar uap, pemanasan cukup. Bila terjadi penguapan, akan terbentuk
kristal KOH sehingga akan mengganggu pembacaan. Teknik lain yaitu dengan
menggunakan dimetil sulfoksida (DMSO) 40% pada KOH akan mempercepat
penjernihan sediaan tanpa pemanasan. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata,
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchrom blue
black
1
. Dengan pemeriksaan mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk
hifa sebagai dua garis yang sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora
yang berderet (artrospora)
1,13


Gambar 2.. pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit bersisik (skuama). Tampak
gambaran hifa bercabang.
2. Pemeriksaan Lampu Wood
Pemeriksaan lampu wood dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis eritrasma.
Pada eritrasma didapatkan flouresensi merah bata (coral red)
1,4

3. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin menunjukkan
adanya proses inflamasi yang hebat dari infeksi jamur. Inflamasi terutama didapatkan
pada daerah perivaskuler. Epidermis mengalami spongiosis atau hiperplasia seperti
pada psoriasis. Pada pemeriksaan yang lebih spesifik ditemukan neutrofil pada
stratum korneum. Terdapat perbedaan struktur elemen jamur diantara 2 bagian pada
stratum korneum. Pada stratum korneum bagian atas didapatkan orthokeratosis tipe
anyaman keranjang (basket-waven), sedangkan pada stratum korneum bagian bawah
didapatkan bentuk orthokeratosis dan parakeratosis yang padat.
4
Spora dan cabang-
cabang hifa dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan periodic acid-Schiff atau
Gomori methenamine-silver. Pemeriksaan histologis tidak dapat digunakan untuk
mengetahui spesies jamur.
4




Gambar 3. Gambaran histopatologi tinea cruris dengan pewarnaan Hematoksilin
Eosin
4

4. Pemeriksaan Mikrobiologi dengan Biakan Jamur
Tujuan pemeriksaaan ini adalah untuk mengetahui spesies jamur penyebab. Bahan
sediaan kerokan ditanam dalam media agar Sabouroud dekstrose, untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan antibiotika (misalnya khloramfenikol) ke
dalam media tersebut. Perbenihan dieramkan pada suhu 24-30C. Pembacaan hasil
dilakukan dalam waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh diperhatikan warna, bentuk,
permukaan dan ada atau tidaknya hifa
4,13
Tabel 1. Gambaran mikroskopis dan biakan jamur-jamur dermatofita yang sering
menyebabkan tinea kruris pada media SDA

Nama spesies jamur

Gambaran biakan jamur
pada SDA
Gambaran mikroskopis

Trycophyton
mentagrophytes





Trichophyton rubrum





Microsporum canis





Trichophyton
tonsurans








Trichophyton
verrucosum





H. Diagnosis
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau pemeriksaan
sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur
dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur penyebab yang
lebih akurat.
10
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi
dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari
hasil positif kerokan oleh kultur jamur.
14

I. Diagnosis Banding
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan
dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak, dermatitis
numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea,
6,12
dan psoriasis.
6,7,12
Untuk alasan ini, tes
laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi kulit yang tidak jelas
penyebabnya.
6
Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea
korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit kepala,
lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan sebagainya.
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor,
misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena pada
penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat pula menolong untuk
menentukan diagnosis.
12
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan
terbatas, tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea
korporis tanpa heral patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis.
Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya.
12

J. Penatalaksanaan
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi
selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.


1. Terapi topical
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup
pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam
berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%).
Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang
digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan
klinik yang tinggi.
7
Berikut obat yang sering digunakan :
a. Menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol
membran sel jamur.
Derivat Imidazol
1) Ketoconazol 2 %
2) Miconazol 2%
3) Clotrimazol 1%
4) Econazol 1 %
b. Menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga
skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel
jamur.
10

Allilamin
1) butenafin 1%
c. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat
masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi
merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat
fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum
luas.
7

d. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada
regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya
diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi.
5,7

2. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan
bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis
terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien
imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ
topikal.
15

a. Griseofulvin
7,15

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku
emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton.Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis
pada stadiummetafase.
b. Ketokonazol
15

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
c. Flukonazol
15

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsitidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
d. Itrakonazol
15

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,
bersifatfungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik
maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum
bersama dengan makanan.
e. Amfosterin B
15

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh
Streptomycesnodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan
menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat
pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak
sembuh dengan preparat azol.
K. Prognosis
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan
menggunakan anti jamur sistemik.
7









BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 30 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Agama
Status
Pekerjaan
: Islam
: Menikah
: Petani
Alamat : Bulak 02/03 Dukuh Mojolaban Skh
Tanggal Pemeriksaan : 26 Juli 2012
No. RM : 90 58 77

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama :
Gatal pada daerah dada

B. Riwayat Penyakit Sekarang :
2 minggu SMRS pasien mengeluh gatal pada daerah dada. Gatal dirasakan
terus menerus setiap saat dan makin gatal bila berkeringat. Pasien sering menggaruk
dan timbul bekas garukan berwarna merah kehitaman. Gatal dirasakan semakin
meluas hingga hampir seluruh badan timbul bentol-bentol merah. Sudah diperiksakan
ke dokter umum sebanyak 1x diberi obat minum dan salep, gatal sedikit berkurang
tapi jika obat habis gatal kambuh lagi.
Selama di rumah pasien mandi, berganti pakaian normal seperti biasanya
2x/hari, dan menggunakan handuk sendiri tidak beraganti-ganti. Namun pasien
mengaku jarang mencuci handuknya. Anggota keluarga yang lain tidak ada yang
menderita sakit gatal seperti pasien.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma
Riwayat DM
Riwayat Jantung
Riwayat Hipertensi
Riwayat Operasi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

D. Riwayat penyakit Keluarga :
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat atopik : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien seorang laki-laki 30 tahun, tinggal bersama istri dan seorang anak
perempuannya. Pasien memeriksakan diri dengan menggunakan biaya sendiri.

F. Riwayat Kebiasaan :
Pasien biasa mandi 2x sehari dengan sumber air PDAM. Ganti pakaian 2x
sehari. Pasien menggunakan handuk pribadi, dan pasien mengaku jarang mencuci
handuknya.

III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status generalis
1. Keadaan umum
Vital sign :
: baik, compos mentis, gizi kesan cukup
T : 110/70mmHg RR: 20x/menit
N: 82x/menit t : 36,7 C
2. Kepala : mesocephal
3. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
4. Hidung : sekret (-), darah (-)
5. Mulut : bibir pucat (-)
6. Leher : pembesaran KGB (-)
7. Thorax : retraksi (-), lihat status dermatologis
8. Abdomen : supel, nyeri tekan (-)
9. Ekstremitas atas
10.Ekstremitas bawah
: dalam batas normal
: dalam batas normal

B. Status Dermatologis
Regio thorax :
Tampak Patch hiperpigmentasi, batas tegas, multiple dengan skuama halus tidak
tampak adanya erosi.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan pengambilan kerokan kulit pada daerah lesi kemudian diberi larutan KOH
30% kemudian di periksa di bawah mikroskop
Hasil : (+) ditemukan hifa panjang












Pemeriksaan lampu wood : (-)

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea korporis
2. Eritrasma
3. Kandidiasis

VI. DIAGNOSIS KERJA
Tinea korporis

VII. TUJUAN PENGOBATAN
Menghilangkan infeksi jamur
Fungistatis
1. Antibiotika
- Griseofulvin
Bentuk : Oral
Dosis : oral 4 dd 125 mg serbuk microfine (1-5 mikron) atau sekaligus
500 mg pc.
- Nistatin
Bentuk : Oral, tab vaginal, salep atau bedak tabur
Dosis : oral 3 dd 0.5-1 MU, tab vaginal selama 14 hari 1 tablet dari
100.000 U, salep atau bedak tabur dengan 100.000 U/g 2-3 kali
sehari. I mg nistatin = 3000 U
2. Derivat imidazol
- Mikonazol
Bentuk : Krim, salep
Dosis : salep 1-2 % dd salep 2% selama 3-5 minggu
- ketokonazol
Bentuk : Krim, salep, oral
Dosis : Krim dan salep dosisnya 1-2%, oral 1 dd 200 mg dc sampai 7
hari setelah gejala hilang.
- Klotrimazol
Bentuk : Krim, Spray
Dosis : Krim atau spray 1% 2 kali sehari minimal 3-4 minggu
3. Derivat triazol
- Itrakonazol
Bentuk : Oral
Dosis : oral 1 kali 200 mg selama 3 hari
- Flukonazol
Bentuk : Oral
Dosis : 1 dd 200-400 mg
Fungisid
1. Asam organis
- Asal salisilat
Bentuk : Salep
Dosis : Salep 3-6%

VIII. TERAPI
Non medikamentosa
Edukasi kepada pasien :
a. Menjaga kebersihan kulit dan lingkungan pribadi
b. Menganjurkan pasien agar daerah lesi selalu kering
c. Memakai pakaiannya sendiri yang longgar dan menyerap keringat
d. Memakai peralatan mandi tersendiri
e. Jangan menggaruk lesi
Medikamentosa
a. Anti jamur topikal
R/ Miconazole cream 2% tube No. I
ue
Pro : Tn. Y (30 tahun)

IX. PEMBAHASAN OBAT
Pasien mengalami infeksi jamur yang cukup luas. Miconazole merupakan derivat
imidazol yang bersifat fungistatis, memiliki spektrum antifungi yang luas dan pada dosis
tinggi bisa bekerja sebagai fungisid terhadap fungi tertentu. Mekanisme kerjanya
berdasarkan pengikatan pada enzim sitokrom P450, sehingga sintesis ergosterol, yang
berfungsi untuk pembinaan membran sel jamur, dihambat dan dirusak. Obat ini juga
berfungsi sebagai bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman gram positif,
kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Efek samping dari obat ini
dapat berupa iritasi, reaksi alergi, dan rasa terbakar pada kulit. Pemberian dalam bentuk
krim berkaitan dengan aktifitas pasien sebagai petani yang rentan dengan pekerjaan berat
dan mudah menimbulkan keringat, sehingga pemberian dalam bentuk krim bisa
dilakukan berulang ulang. Krim bisa diberikan tiap 2-3 jam sekali selama 3-5 minggu.

X. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikam : bonam































BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan:
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala,wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Transmisi dermatofit
ke manusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena
dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar
stratum korneum dari kulit. Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam
perkembangan klinis dermatofitosis. Penatalaksanaan tinea korporis ini dengan enghilangkan
faktor predisposisi, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang
menyerap keringat.

Saran:
Tinea korporis merupakan suatu penyakit kulit menular yang disebabkan oleh jamur
golongan dermatofita. Kebersihan perorangan memegang peranan penting dalam pencegahan
penyakit ini. Oleh karena itu, usaha pencegahan penularannya merupakan hal terpenting.


















DAFTAR PUSTAKA

1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial Mycoses And
Dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology.
China: Elsenvier inc. p.185-92.2.
2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. 2004. Fungal Disease With Cutaneus
Involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA,Katz
SI. Fitzpatricks: Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mcgraw hill.
p:1908-2001.
3. Sobera JO, Elewski BE. 2003. Fungal Disease.. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini
RP,editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science. p.1174-83.4.
4. Rook, Willkinson, Ebling. 1992. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling
FJG,editors. Text book of dermatology. 5thed. London : Blackwell
scientific publication. p.1148-9.5.
5. Habif TP. 2004. Clinacal Dermatology. 4thed. Edinburgh: Mosby.
6. Goedadi MH, Suwito PS. 2004. Tinea Korporis Dan Tinea Kruris. In : Budimulja
U,Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.31-47.
7. Rushing ME. 2006. Tinea corporis. Online journal. 29 June 2006; available from:
http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm8.
8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. 1999. Colour Atlas And Synopsis
Of Clinical Dermatology. Athed New York: Mc graw hill.
9. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. 1998. Diagnosis and management of common
tineainfections. 1 July 1998; available from:<http://www.afp.org/journal/asp/.htm>
10. Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Percetakan LKiS.
11. Allen Hb, Rippon JW. 1992. Superficial And Deep Mycoses. In : Moschella SL,
HurleyHJ. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company. p.739-7512.
12. Budimulja U. 2002. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.92-3.13.
13. Arndt KA, Bowers KE. 2002. Manual Of Dermatology Therapeutics With Essential
Of Diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.
14. Nugroho SA. 2004. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Dermatomikosis Superfisialis.
In :Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S,
editors.Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.99-106.15.
15. Kuswadji, Widaty KS. 2004. Obat Anti Jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono
K,Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.108-16.

Anda mungkin juga menyukai