Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin/rhino (hidung) dan
itis (radang). Demikian Rinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang
selaput lendir (membran mukosa) hidung.
Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan
oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, Rinitis akut dapat juga timbul
sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini
seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam
Rinitis akut diantaranya adalah Rinitis simpleks, Rinitis influenza, dan Rinitis
bakteri akut supuratif.
Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian Rinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rinitis kronik yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada Rinitis hipertrofi, Rinitis sika (sicca), dan Rinitis spesifik
(difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rinitis kronis yang tidak
disebabkan oleh peradangan dapat dijumpai pada Rinitis alergi, Rinitis
vasomotor, dan Rinitis medikamentosa.
1


B. Tujuan
Tujuan penulisan adalah untuk mempelajari dan menambah
pengetahuan bagi penulis dan pembaca, khususnya bagi dokter-dokter muda
yang sedang menjalani kepaniteraan klinik stase THT. Tujuan lainnya adalah
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik penulis di stase THT RSUD
Cianjur.





2

BAB II
STATUS PASIEN

A. Identitas pasien
Nama :Nn. CL
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Alamat : Cibadak
Tanggal berobat : 12 Mei 2014

B. Anamnesis
1. Keluhan utama :
Hidung tersumbat sejak 1 bulan lalu
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat 1 bulan lalu sebelum
datang ke RSUD Cianjur. Hidung tersumbat disertai pilek sejak 1 bulan
yang lalu, sekret cair, sekret bau disangkal, hidung keluar darah sejak 1
minggu yang lalu, keluar darah saat pilek, hidung terasa gatal. Demam
hilang timbul, nyeri telinga kanan, batuk, sakit diwajah. Penciuman
berkurang dan pendengaran berkurang disangkal. Riwayat trauma
disangkal.
3. Riwayat penyakit dahulu :
- Belum pernah sakit seperti ini
- Hipertensi (-)
4. Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
- Hipertensi (+)



3

5. Riwayat alergi :
- Pasien memiliki alergi terhadap makanan (udang)
- Alergi obat disangkal oleh pasien
- Alergi udara disangkal oleh pasien
6. Riwayat pengobatan :
Pasien belum berobat selama satu bulan ini
7. Riwayat psikososial
Merokok (-)

C. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : Tampak sakit ringan
- Kesadaran :Compos mentis
- Berat badan : 70 kg
- Tanda vital :
- Tekanan darah: 110/80 mmHg
- Pernafasan : 18 x/menit
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,6
o
C
Status generalis
1. Kepala : Normocephal
2. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
3. Telinga : Lihat Status lokalis
4. Hidung : Lihat status lokalis
5. Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak sianosis
6. Tenggorok : Lihat status lokalis
7. Leher : Lihat status lokalis
8. Thorax
a. Inspeksi : Pergerakan dada simetris
b. Palpasi : Vocal fremitus simetris pada kedua lapang dada
c. Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru


4

d. Auskultasi :Suara napas utama vesikuler, tidak ada suara napas
tambahan
9. Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba pada linea midclavicula ICS V sinistra
c. Perkusi : Batas jantung normal
d. Auskultasi : Bunyi jantung I&II regular, murmur (-), gallop (-)
10. Abdomen
a. Inpeksi : Datar
b. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-)
c. Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal
11. Ekstremitas
a. Superior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)
b. Inferior : Hangat (+/+), edema (-/-), RCT < 2 detik, sianosis (-/-)

D. Status lokalis THT
1. Telinga
Tabel 1.PemeriksaanTelinga
AD AS
Normotia, Helix sign (-), Tragus
sign (-)
Aurikula

Normotia, Helix sign (-), Tragus
sign (-)
Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)
Preaurikula

Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)


5

Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)
Retroaurikula

Nyeri tekan (-), benjolan (-),
edema (-)

Mukosa tenang, serumen (+),
sekret (-)
MAE
Mukosa tenang, serumen (+),
sekret (-)
Tidak bisa diperiksa
Membran timpani
Tidak bisa diperiksa
(+) UjiRinne (+)
Tidak ada lateralisasi Uji Weber Tidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa UjiSchwabach Sama dengan pemeriksa
Interpretasi : Serumen Plug ADS
2. Hidung
a. Rinoskopi anterior
Tabel 2.Pemeriksaan Hidung
Dekstra Rinoskopi Anterior Sinistra
Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)
(+) cair Sekret (+) cair
Hipertropi (+) Konka inferior Hipertofi (+)
Tidak deviasi Septum Tidak deviasi
(-) Massa (-)
(+) Passase udara (+)




6


b. Sinus paranasal
- Inspeksi : edema (-), hiperemis (-) pada sinus maksilaris, sinus
ethmoidales dan sinus frontalis

- Palpasi : nyeri tekan pada sinus maksilla (-/-), sinus ethmoidales (-
/-), sinus frontalis (-)

c. Tes penciuman
- Kanan : normosmia dengan alkohol (15cm)

- Kiri : normosmia dengan alkohol (17cm)

- Kesan : normosmia

d. Transiluminasi
- Sinus maksilaris : tampak bayangan terang dibawah orbita berbentuk
bulan sabit

- Sinus frontalis : dinidng depan sinus frontalis tampak terang

3. Tenggorok
a. Nasofaring
Tabel 3.Pemeriksaan Nasofaring
Nasofaring (Rinoskopi posterior)
Konka superior Tidak dilakukan
Torus tubarius Tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan
Plika salfingofaringeal Tidak dilakukan


7


b. Orofaring
Tabel 4.Pemeriksaan Orofaring
Dekstra Pemeriksaan Orofaring Sinistra
Mulut
Lembab, sianosis (-) Mukosa mulut Lembab, sianosis (-)
Tremor (-) Lidah Tremor (-)
Tenang, deformitas (-) Palatum molle Tenang, deformitas (-)
Caries (-) Gigi geligi Caries (-)
Tidak deviasi Uvula Tidak deviasi
Tonsil
Tenang Mukosa Tenang
T2

T2
(+) Kripta (+)
(-) Detritus (-)
(-) Perlengketan (-)
Faring
Tenang Mukosa Tenang
(-) Granula (-)
(-) Post nasal drip (-)

Tes pengecapan
Tabel 5. Pemeriksaan pengecapan
Manis +
Asin +
Asam +
Pahit +



8

c. Laringofaring
Tabel 6. Pemeriksaan Laringofaring
Laringofaring (Laringoskopi Indirect)
Epiglotis Tidak dilakukan
Plika ariepiglotika Tidak dilakukan
Plika ventrikularis Tidak dilakukan
Plika vokalis Tidak dilakukan
Rima glotis Tidak dilakukan

4. Pemeriksaan Maksilofasial
Tabel 7. Pemeriksaan Maksilofasial
Dekstra Nervus Sinistra
(+) normosmia I. Olfaktorius
Penciuman
(+) normosmia
Pupil bulat, isokor
(+)
II. Optikus
Daya penglihatan
Refleks pupil
Pupil bulat, isokor
(+)
(+)
III. Okulomotorius
Membuka kelopak mata
Gerakan bola mata ke superior
Gerakan bola mata ke inferior
Gerakan bola mata ke medial
Gerakan bola mata ke
laterosuperior
(+)
(+) IV. Troklearis
Gerakan bola mata ke lateroinferior
(+)
(+)
V. Trigeminal
Tes sensoris
Cabang oftalmikus (V
1
)

(+)


9

Cabang maksila (V
2
)
Cabang mandibula (V
3
)
(+)
VI. Abdusen
Gerakan bola mata ke lateral
(+)
(+)
VII. Fasial
Mengangkat alis
Kerutan dahi
Menunjukkan gigi
Daya kecap lidah 2/3 anterior
(+)
(+)
VIII. Akustikus
Tes garpu tala
(+)
(+)
IX. Glossofaringeal
Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior

(+)

(+)
(-)
(+)
X. Vagus
Refleks muntah dan menelan
Deviasi uvula
Pergerakan palatum
(+)
(-)
(+)
(+)
XI. Assesorius
Memalingkan kepala
Kekuatan bahu
(+)
(-)
XII. Hipoglossus
Tremor lidah
Deviasi lidah
(-)







10


5. Leher
Tabel 8. Pemeriksaan Leher
Dekstra Pemeriksaan
Sinistra
Tidak ada pembesaran Tiroid
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar submental
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar submandibula
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar jugularis superior
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar jugularis medial
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar jugularis inferior
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar suprasternal
Tidak ada pembesaran
Tidak ada pembesaran Kelenjar supraklavikularis
Tidak ada pembesaran


E. Resume
Seorang perempuan 20 tahun datang dengan keluhan hidung terasa
tersumbat sejak 1 bulan yang lalu, pilek sejak 1 bulan yang lalu, sekret
cair, sekret bau disangkal, hidung keluar darah sejak 1 minggu yang lalu,
keluar darah saat pilek, hidung terasa gatal. Demam hilang timbul, nyeri
telinga kanan, batuk, sakit diwajah.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan serumen ADS, mukosa
hidung hiperemis, Konka inferior hipertrofi dan Tonsil T2 T2





11

F. Diagnosis banding
1. Rinitis hipertrofi + Cerumen plug ADS + Tonsilitis kronik
2. Rinitis vasomotor + Cerumen plug ADS + Tonsilitis kronik
3. Rinitis alergi + Cerumen plug ADS + Tonsilitis kronik
4. Rinitis sika + Cerumen plug ADS + Tonsilitis kronik

G. Diagnosa kerja
Rinitis hipertrofi + Cerumen plug ADS + Tonsilitis kronik

H. Terapi
a. Sol sagestam 3 dd 2 gtt ADS
b. Klindamisin 300 mg 2 dd 1 tab
c. Cetirizine 10 mg 1 dd 1 tab
d. Vestein 300 mg 2 dd 1 tab

I. Rencana pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan hematologi (Hb, Ht, leukosit dan trombosit)


J. Prognosis
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanactionam : Dubia ad bonam









12



BAB III
LANDASAN TEORI

A. Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung
luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah
2
:

a. Pangkal hidung (bridge)

b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

f. Lubang hidung ( nares anterior )

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior, tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang
yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai
empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior.



13

Gambar 1. Anatomi Hidung

Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah:
1. Lamina perpendikularis os etmoid
2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan adalah:
1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
2. Kolumela



14

Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah
konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya
rudimenter.

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang
jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior.
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus
maksilaris. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

Gambar 4. Konka nasi
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sphenoid.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa


15

olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang
mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna
mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan
obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior,
dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified
columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. Palatina mayor dan a.
Splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n.
Splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. Fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a. Splenopalatina, a.
Etmoidalis anterior, a. Palatina mayor, dan a. Labialis superior yang membentuk
Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi
sumber epistaksis anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari n. Etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.
Nasosiliaris yang berasal dari n. Ophtalmikus.

Rongga hidung lainnya sebagian
lainnya mendapat persarafan sensoris dari n. Maksilaris melalui ganglion
Spenopalatina. Ganglion Spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris
juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. Maksilaris (N V2), serabut
parasimpatis dari n. Petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n.
Petrosus profunda.
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.




16

B. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah
2
:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal
2. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma, dan pelindung panas
5. Refleks nasal
Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang berbau (odorant)
masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika odorant
sampai di atas membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan dengan
olfaktoorius reseptor protein pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius reseptor
protein berikatan dengan odorant, olfaktori reseptor sel berpasangan dengan
protein G dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dan dihasilkan cAMP
yang merangsang pembukaan kanal Na
+
dan K
+
sehingga terjadi perpindahan
ion-ion yang menimbulkan depolarisasi dan terbentuknya potensial aksi.
Kemudian potensial aksi disalurkan sepanjang reseptor olfaktorius, dari
reseptor olfaktorius dihantarkan ke nervus olfaktorius, bulbus olfaktorius, dan
berjalan sepanjang traktus olfaktorius sampai ke daerah-daerah di sistim
limbik, khususnya di sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap
senagai korteks olfaktorius primer).
3





17

C. Rinitis
Rinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin/rhino (hidung) dan
itis (radang). Demikian rinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang
selaput lendir (membran mukosa) hidung.
Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan
oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, Rinitis akut dapat juga timbul
sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini
seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam
rinitis akut diantaranya adalah rinitis simpleks, rinitis influenza, dan rinitis
bakteri akut supuratif.
Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian Rinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rinitis kronik yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada Rinitis hipertrofi, Rinitis sika (sicca), dan Rinitis spesifik
(difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rinitis kronis yang tidak
disebabkan oleh peradangan dapat dijumpai pada Rinitis alergi, Rinitis
vasomotor, dan Rinitis medikamentosa.


D. Rinitis kronik
1. Rinitis hipertrofi

a. Etiologi

Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam
hidung dan sinus atau sebagai lanjutan dari Rinitis alergi dan
vasomotor.
4

b. Manifestasi klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,
mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior
hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang
juga hipertrofi.
4



18

c. Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab
timbulnya Rinitis hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras
argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila
tidak menolong perlu dilakukan konkotomi.
4

2. Rinitis sika
a. Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang
yang bekerja di lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga
pada pasien dengan anemia, peminum alkohol, dan gizi buruk.
1

b. Manifestasi klinis
Pada Rinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit
atau tidak ada. Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung
dan kadang-kadang disertai epitaksis.
1

c. Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci
hidung.
1

3. Rinitis spesifik
Yang termasuk ke dalam Rinitis spesifik adalah:
a. Rinitis difteri

1) Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
5

2) Manifestasi klinis

Gejala Rinitis difteri akut adalah demam, toksemia,
limfadenitis, paralisis, sekret hidung bercampur darah, ditemukan
pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta coklat
di nares dan kavum nasi. Sedangkan Rinitis difteri kronik
gejalanya lebih ringan.
5




19

3) Terapi

Terapi Rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum),
penisilin lokal, dan intramuskular.
5

b. Rinitis atrofi
1) Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab Rinitis
atrofi, yaitu infeksi kuman Klebsiella, defisiensi Fe, defisiensi
vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal, dan penyakit
kolagen.
5

2) Manifestasi klinis
Rinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa
dan tulang hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan
cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada
krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung
tersumbat.
5

3) Terapi
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan
memberikan antibiotika berspektrum luas, obat cuci hidung,
vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada perbaikan, maka
dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk
mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal
kembali.
5

c. Rinitis sifilis
1) Etiologi
Penyebab Rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
5

2) Manifestasi klinis
Gejala Rinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan
Rinitis akut lainnya. Hanya pada Rinitis sifilis terdapat bercak pada
mukosa. Sedangkan pada Rinitis sifilis tertier ditemukan gumma


20

atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret
yang dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang berbau.
5

3) Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
5
d. Rinitis tuberkulosa
1) Etiologi
Penyebab Rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis.
5

2) Manifestasi klinis
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret
yang mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat
berbentuk noduler atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum
dapat mengakibatkan perforasi.
5

3) Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci
hidung.
5

e. Rinitis lepra
1) Etiologi
Rinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
5

2) Manifestasi klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat,
gangguan bau, dan produksi sekret yang sangat infeksius.
Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi tulang dan
kartilago hidung.
5

3) Terapi
Pengobatan Rinitis lepra adalah dengan pemberian dapson,
rifampisin, dan clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula
seumur hidup.
5





21

f. Rinitis jamur
1) Etiologi
Penyebab Rinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang
menyebabkan aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan
mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan kandidiasis.
5
2) Manifestasi klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang
berwarna hijau kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien
datang dengan keluhan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna
dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan sekret hidung yang pekat,
gelap, dan berdarah.
5

3) Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B
dan obat cuci hidung.
5
4. Rinitis alergi
a. Definisi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung
yang disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap paparan
alergen.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001 Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
yang terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
6,7

b. Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua
penyakit atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Dimana dalam
dekade terakhir ini peningkatan prevalensi Rinitis alergi di seluruh dunia
sekitar 6%-8%. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi,
dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa
berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada


22

survei resmi. Disebutkan bahwa di Indonesia pravalensi Rinitis alergi
pada anak berkisar antar 9%-27% dan dewasa 22%.
6,7

c. Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari
pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan.
Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30% semua
populasi dan pada 10 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50%. Beberapa penelitian menunjukan hubungan gambaran polimorfik
pada kromosom 5q pada penderita atopi. Peran lingkungan dalam dalam
Rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah
memiliki kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang
masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran
serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing
dan kucing), rerumputan (bermuda grass), serta jamur (Aspergillus,
Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting,
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, misalnya bahan perhiasan dan kosmetik.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ
sasaran sehingga memberi gejala campuran misalnya tungau debu rumah
yang menimbulkan gejala asma bronkial dan Rinitis alergi.
5,6




23

d. Klasifikasi
Rinitis alergi menurut guideline ARIA (2001) Rinitis alergi menurut
guideline ARIA (2001). Berdasarkan lamanya terjadi gejala:
1. Intermiten. Seorang pasien dengan Rinitis alergi intermiten
menunjukkan gejala kurang dari empat hari per minggu atau kurang
dari empat minggu.
2. Persisten. Pasien dengan Rinitis alergi persisten menunjukkan gejala
yang lebih dari empat hari per minggu atau selama lebih dari empat
minggu.
Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup:
1. Ringan. Seorang pasien dengan diagnosis gejala ringan yaitu jika
gejala-gejalanya tidak mempengaruhi tidur, kegiatan sehari-hari,
pekerjaan, sekolah, olahraga atau bersantai.
2. Sedang sampai berat. Seorang pasien dengan diagnosis gejala Rinitis
alergi sedang sampai berat adalah jika penyakitnya berdampak
terhadap gejala tidur, kegiatan sehari-hari, kerja, sekolah, olahraga atau
bersantai, serta jika ada gejala merepotkan. pasien dengan Rinitis alergi
yang berlangsung selama enam minggu dengan gejala mengganggu
aktivitas normal akan dapat didiagnosis dengan moderat sampai parah
dan persisten.
6,7

e. Gejala klinis
Produksi mukus berlebihan, kongesti, Rhinorrhea (hidung meler),
hidung tersumbat, mata berair, gatal serta bersin, bersifat reversibel secara
spontan atau sebagai akibat pengobatan. Rinitis mempunyai jenis yang
bervariasi, hampir semua jenis Rinitis yang non infeksi disebut alergi.
7,7

f. Patofisiologi
Secara klasik, Rinitis alergi dianggap sebagai inflamasi nasal yang
terjadi dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan
infiltrat inflamasi yang terdiri dari berbagai macam sel. Pada Rinitis alergi
selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan
ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung.


24

Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan
selektif, dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin
antara lain IL-8 dan IL-13 yang berpengaruh pada penarikan sel-sel radang
yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk:
eosinofil, sel T CD4+, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel
Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di
dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan
sel mast. Selanjutnya sel mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase
pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1.
Khemoattractant IL-5 menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2,
dan sel mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL5.
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin
dan cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam Rinitis
alergi menyebabkan gejala rinorea dan gatal. Penyusupan eosinofil
menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya
iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama
mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin
menyebabkan gejala bersin.
Terdapat hubungan antara sistem imun dan sumsum tulang. Fakta ini
membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor
(SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel mast dalam
inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan
akibat dari respons imun di atas adalah tanda penting Rinitis alergi.
Pada sensitisasi awal, alergen spesifik IgE terikat pada reseptor sel
mast dan basofil diikuti oleh respon inflamasi dan alergi pada alergen
yang terpapar. Pada mukosa nasal proses ini menyebabkan cross-linking
pada IgE di permukaan mukosa sel, sel mast, dan basofil, diikuti dengan
granulasi dari sel-sel inflamasi menyebabkan lepasnya mediator inflamasi
seperti histamin lima menit, setelah terpapar alergen (respon fase awal).
Respon yang berikutnya biasanya 15 menit. Sintetis dari mediator (misal


25

leukotrin, prostaglandin, aktivasi faktor platelet), dan beberapa sitokin)
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan sekresi glandula, dan stimulasi
nervus sensoris menyebabkan symptom immediate berupa bersin,
rhinorrhea, gatal, dan kongesti nasal. Respons fase lambat terjadi setelah 4
sampai 24 jam setelah terpapar alergen dicirikan recruitment sel inflamasi
dari darah misal basofil, monosit, limfosit, dan monosit, melepaskan
mediator inflamasi tambahan dan kerusakan jaringan. Mengakibatkan
peningkatan gejala berupa nasal kongesti.
6,7
g. Diagnosis
Diagnosis Rinitis alergi didasarkan pada anamnesa (riwayat individu
dan riwayat keluarga yang didapatkan secara terperinci, riwayat klinis dari
gejala tipikal), pemeriksaan fisik (nasal examination/anterior rhinoscopy),
dan pemeriksaan penunjang (Skin prick test atau pengukuran antibody
spesifik alergen IgE, fibreoptic rhinoscopy, cytology of nasal secretions,
nasal challenge with allergen andrhinomanometry, conventional
radiography (RX); dan CT scan).


1) Anamnesis
6,7

Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga.
Perlu ditanya gejala spesifik; pola gejala (hilang timbul, menetap)
beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon
terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.
Gejala Rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu.
Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan
gejala pada RAFC (Reaksi Alergi Fase Cepat) dan kadang-kadang
pada RAFL (Reaksi Alergi Fase Lambat) sebagai akibat dilepaskannya
histamin. Gejala lain ialah keluar ingus yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan


26

banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh
gejala Konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.
2) Pemeriksaan fisik
6,7

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-
gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan
akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering
terbuka, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3) Pemeriksaan penunjang
6,7

a) Pemeriksaan sitologi hidung
Apabila pada pemeriksaan sitologi sekret hidung didapatkan lebih
dari 10% eosinofil maka dapat diindikasikan Rinitis alergi. Namun
kadangkala adanya eosinofil dalam sekret hidung dapat dijumpai
pada non-Rinitis alergi. Eosinofil tidak dapat ditemukan pada
penderita yang mengalami perbaikan, infeksi, dan mendapat terapi
kortikosteroid fokal atau sistemik.




27

b) IgE total
IgE total dianggap meningkat bila lebih dari 100-159 kU/I, ini
dapat terjadi pada penderita alergi atau pada penderita dengan
infeksi parasit dan 50% penderita Rinitis alergi musiman kadar
IgEnya normal, jadi pemeriksaan igE total terbatas manfaatnya.
c) Tes kulit
Tes kulit terhadap suatu alergen diindikasikan untuk memberikan
bukti adanya dasar alergi pada gejala penderita, untuk
mengkonfirmasi penyebab keluhan yang dicurigai atau untuk
melihat derajat sensitifitas untuk alergi terrtentu. Tes kulit ini lebih
disukai karena sederhana, cepat, mudah, relatif murah, dan
sensitifitas tinggi. Pada saat pemeriksaan kulit, harus dikerjakan
dengan teknik yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Intepretasi hasil tes kulit yang tepat perlu pengetahuan,
aeroallergen apa yang penting secara lokal dan klinis penting
memungkinkan adanya reaksi silang.
Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat
kontrol ke dalam kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling
umum yang di uji pada kulit dan lebih disukai dalam primer care
karena nyaman, aman, dan luas, dapat diterima. Kadang-kadang
test intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti dan
subspesialis alergi), adalah lebih sensitif tetapi kurang spesifik
daripada tes percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih unggul,
namun terdapat peningkatan kekhawatiran keamanan
menggunakan tes kulit intradermal.
Rinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes
kulit (Skin test) dapat ditimbulkan dari kedua respon tersebut.
Namun tujuan utama skin test adalah untuk mendeteksi langsung
respon alergi yang ditimbulkan oleh pelepasan sel mast atau basofil
mediator spesifik Ig E. yang mana menyebabkan reaksi setelah 15
menit. Pada respon delayed terjadi empat sampai delapan jam


28

setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang berguna dalam
diagnos klinis.
Tes kulit (skin-test) alergi dilakukan dengan uji tusukan yaitu
dengan menempatkan setetes larutan uji pada kulit dan menusuk
melalui drop dengan alat yang tajam, atau melalui uji
intracutaneous (intradermal) dimana sejumlah kecil larutan uji
disuntikkan ke dalam kulit. Menurut literatur, uji tusukan lebih
disukai untuk pengujian awal, karena lebih murah, lebih cepat,
kurang nyaman, dan kepekaan klinisnya lebih baik daripada uji
intrakutaneus.
d) Tes provokasi
Tes provokasi hidung dengan alergen sangat bermanfaat pada
penelitian, namun potensi terjadinya serangan alergi, sehingga
tidak dilakukan untuk pemeriksaan rutin. Dalam tes provokasi
hidung mukosa hidung dipaparkan dengan alergen atau bahan
iritan dan kemudian reaksi dipantau. Provokasi adalah alat yang
berguna dalam pekerjaan penelitian dan dalam kasus untuk
verifikasi diagnosis alergi dibutuhkan. Dalam pekerjaan klinis,
mayoritas pengujian provokasi dilakukan dengan alergen. Selain
itu digunakan untuk menilai reaktivitas non-spesifik pada hidung
dan reaksi yang telah diinduksi dengan beberapa zat kimia dan juga
dengan rangsangan fisik.
Ada beberapa teknik provokasi hidung yaitu dengan agen larut
yang ditetes kedalam hidung, dengan disemprot atau dinebul ke
dalam hidung (diuapkan) atau rongga hidung dicuci dengan larutan
uji untuk aplikasi topikal dapat dilakukan dengan kertas disk.
Hasil dari provokasi dapat dinilai dengan pengamatan berupa
bersin, discharge hidung dan pembengkakkan mukosa dengan
rhinoscopy. Sensasi sekresi hidung subjek, gatal-gatal dan kongesti
pada semiquantitative score atau skala analog visual. Menghitung
bersin merupakan cara yang sederhana untuk menilai respon iritasi.


29

Metode lain yang sederhana adalah dengan mengukur volume
sekresi yang timbul, dikumpulkan dengan membiarkan menetes ke
dalam saluran dengan mengisap. Ditimbang disaputangan, sekresi
ke disk kertas preweighed dan reweighed. Perbedaan bobot
mencerminkan jumlah sekresi dikumpulkan dalam jangka waktu
yang tetap. Rinomanometri diterima secara luas sebagai metode
objektif yang akurat sebagai respon dalam mengukur perubahan
dalam saluran napas hidung resistensi.
e) Immunoassay
Pemeriksaan rasioallergo test (RAST) dan enzyme link immune
sorbent test (ELISA), untuk memeriksa pelepasan mediator selama
reaksi alergi dengan mengukur mediator/enzim yang dilepaskan
dalam darah.
Test alergen antibody spesifik IgE radioallergosorbent testing
(RAST) adalah bermanfaat pada primary care, jika tes perkutaneus
tidak praktis misalnya, masalah dengan penyimpanan reagen,
keahlian, frekuensi penggunaan, staf pelatihan atau jika pasien
menjalani pengobatan yang terganggu dengan adanya test pada
kulit (skin test) misalnya, antidepresan trisiklik, antihistamin.
RAST sangat spesifik namun umumnya tidak sensitif seperti skin
test.
RAST berguna untuk mengidentifikasi alergen umum (misalnya,
bulu hewan peliharaan, tungau debu, serbuk sari), tetapi kurang
berguna dalam mengidentifikasi makanan, racun, atau alergi obat.
Tes alergi pada anak-anak memiliki tantangan tersendiri. Banyak
literatur memberikan rekomendasi berdasarkan bukti untuk test
alergi pada anak dengan berbagai penyakit alergi (misalnya,
Rinitis, Asma dan Alergi makanan). Tes perkutaneus sesuai untuk
anak-anak tiga tahun atau lebih tua dan RAST biasanya tepat pada
usia berapa pun. Beberapa literatur merekomendasikan bahwa
dasar keputusan melakukan test oleh sang dokter adalah


30

berdasarkan riwayat klinis, rekomendasi usia dewasa. Tes hanya
bila diperlukan untuk mengubah terapi atau untuk memperjelas
diagnosis.
h. Penatalaksanaan
1) Non farmakoterapi
6,7

Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali
perlu dilakukan. Menghindari alergen kausal merupakan dasar
pendekatan untuk mencegah munculnya gejala alergi.
2) Farmakoterapi
6,7

Saat memilih terapi yang cocok bagi Rinitis alergi, beberapa hal
yang menjadi pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu,
gejala yang paling dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang
ada di penderita serta riwayat pengobatan yang sebelumnya.
a) Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak
dari tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini
memblokir reseptor H1 menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti
mencegah peningkatan permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi
otot polos, meningkatkan produksi mukus dan mencegah pruritus.
Oleh karena obat ini menghilangkan gejala reaksi histamin di kulit,
penderita tidak dianjurkan untuk mengkonsumsinya beberapa hari
sebelum dilakukan tes cukit kulit karena hasilnya dapat menjadi
negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin tidak akan
berpengaruh pada hasil tes. Antihistamin sangat efektif pada reaksi
alergi fase cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin,
rinore, dan pruritus namun kurang berpengaruh pada reaksi alergi fase
lambat (RAFL) contohnya sumbatan hidung (nasal
congestion/blockers). Antihistamin generasi pertama yang banyak bisa
dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi sehingga berpengaruh
terhadap penurunan prestasi dan tumpuan penderita efek samping


31

yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan mulut
kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan
bromfeniramin.
Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor
H1 sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek
antikolinergik. Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan
menghilangkan gejala dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup
sekali sehari dan tidak menimbulkan efek penggunaan jangka panjang
contohnya loratadin dan levosetirisin.
b) Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif
bagi tiap tingkat gejala Rinitis alergi. Keberhasilan maksimal timbul
pada minggu pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan.
Efektifitasnya tergantung pemakaian yang sering dan keadaan hidung
yang adekuat untuk inhalasi obat. Obat ini turut bekerja pada reaksi
alergi fase lambat (RAFL) sehingga mencegah terjadinya peningkatan
sel inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti triamsinolon,
budesonid dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang
minimal dengan hampir tidak ada efek samping sistemik sehingga
aman pada tiap golongan umur termasuk anak-anak. Efek samping
lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat diregulasi dengan
instruksi pemakaian yang benar.
c) Kortikosteroid sistemik
Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap.
Pemberiannya adalah melalui intramuskular atau per oral. Jika lewat
oral, penurunan dosis secara tapering off diberikan dalam tiga sampai
tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap inflamasi justru menurunkan
gejala Rinitis alergi secara signifikan. Namun pada penggunaan jangka
panjang dapat timbul efek samping kortikosteroid sistemik yang lazim
ditemukan.



32

d) Dekongestan
Dekongestan bekerja pada reseptor -adrenergik di hidung,
menimbulkan efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi.
Kongesti rongga hidung berkurang namun obat ini tidak mengatasi
gejala lainnya seperti rinore, bersin, dan pruritus. Obat ini banyak
ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa resep namun
pemakaian pada penderita dengan kelainan jantung dan hipertensi
harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal seperti
oksimetazolin dapat menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta
menimbulkan ketergantungan pada pemakaian lebih dari tiga hari
(Rinitis medikamentosa).
e) Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak
gejala lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat
digunakan dengan obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan
Rinitis alergi tipe sepanjang tahun (perennial).
f) Kromolin intranasal
Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi
efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen
dengan dosis sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi
penderita.
g) Inhibitor leukotrin
Obat ini dapat membantu dalam menangani Rinitis alergi namun masih
jauh ketinggalan efeknya dengan antihistamin dan kortikosteroid
intranasal.
i. Imunoterapi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas
(threshold) sebelum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada
alergen. Mekanisme kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti.
Indikasi imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang,


33

terapi farmakologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh
penderita serta sensitifitas signifikan terhadap alergen. Sebelum memulai
imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada penderita. Di
Amerika Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen secara
subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau
reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual
yang terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah
dilakukan sendiri oleh penderita di rumah.
j. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
cara kauterisasi memakai AgNO
3
25% atau triklor asetat.
6,7

k. Komplikasi
Komplikasi Rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari
Rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat
drainase.
6,7

l. Prognosis
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang
mendapat imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari
penyakitnya dan banyak juga pasien yang melakukan pengobatan
simtomatik saja secara intermiten dengan baik. Rinitis alergi mungkin
dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah pemberhentian imunoterapi.
Gejala Rinitis alergi akan menurun pada pasien bila mencapai umur 4
dekade.
6,7


34

5. Rinitis vasomotor
a. Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung
dekongestan).
8,9

b. Etiologi
Penyebab pasti Rinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti,
diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal, antara lain:
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
misal ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat
vasokonstriktor lokal.
2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang tinggi, dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.
9,9

c. Manifestasi klinis
Gejala penderita Rinitis alergi atau Rinitis vasomotor kadang-
kadang sulit dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi
hidung, rinorea dan bersin. Biasanya penderita Rinitis alergik lebih
merasakan gatal dan bersin berulang seperti staccato. Biasanya ia
tidak ditemukan atau tidak jelas pada Rinitis vasomotor. Reaksi bisa
disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom, tetapi disamping itu,
obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh faktor iritasi,
fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap
pengaruh hormon, oleh karena itu reaksi Rinitis vasomotor mungkin
berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi Rinitis
vasomotor pada kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan
mungkin berhubungan dengan keseimbangan hormon.




35

Biasanya penderita Rinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat
alergi pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya
dimulai di usia dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal.
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada
posisi pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak
banyak. Jarang disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
8,9

d. Patogenesis
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang
menyebabkan terjadinya Rinitis vasomotor pada berbagai kondisi
lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam
mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh
saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula
dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari
pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau
hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah
tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial
dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung
tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi
mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang
dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin,
leukotrien, prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini
tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan
kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin
pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan
terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh
IgE seperti pada Rinitis alergik. Pada beberapa kasus Rinitis vasomotor,
eosinofil atau sel mast kemungkinan didapatkan peningkatan pada
mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan


36

pada terjadinya Rinitis vasomotor. Banyak kasus Rinitis vasomotor
berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa
agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah perubahan
temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu
kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan stres (fisik dan psikis).
Mekanisme terjadinya Rinitis vasomotor oleh karena aroma dan
emosi secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang
kuat akan merangsang sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa
olfaktori. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir
secara primer maupun sesudah menyampaikan neuron pada dua daerah
utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah
olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian
anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta
emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer
sehingga terjadi dominasi fungsi saraf parasimpatis di perifer, termasuk
di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa Rinitis
vasomotor.
Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung
dipersarafi sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf
otonom ini yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid
vena pada khususnya, memungkinan kita memahami mekanisme
bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi
sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi obstruksi
saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan
vasokonstriksi hidung.
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan
kontrolnya atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang
mirip Rinitis alergi. Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan
sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi
vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi
simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas


37

vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi kelenjar.

Bila
dibandingkan mekanisme kerja pada Rinitis alergi dengan Rinitis
vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen
antibodi dengan pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi arteri
dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala
obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal.
Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan
meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada
reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf otonom
yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja
simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan
kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi
cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran
pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas
parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan
peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada
reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama
melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, disebabkan
interaksi antigen-antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor disebabkan
oleh disfungsi sistem saraf autonom.
8,9

e. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya Rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan
akibat obat. Dalam anamnesa dicari faktor yang mempengaruhi
timbunya gejala. Rinitis vasomotor dibuat dengan menyingkirkan
kemungkinan lainnya dengan anamnesa, pemeriksaan fisik pada hidung
dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah
gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan
permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi
pada golongan rinore sekret yang ditemukan serosa yang banyak


38

jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menyingkirkan Rinitis alerg karena dapat ditemukan eosinofil di dalam
sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit
biasanya negatif, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto
rontgen, penebalan membran mukosa sinus tidak spesifik dan tidak
bernilai untuk diagnosis. Rinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama
dengan Rinitis alergik.
8,9

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang digunakan pada Rinitis vasomotor bervariasi,
tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis
besar penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu
8,9
:
1) Non farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik
adalah dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui,
pembersihan mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu.
Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan larutan saline atau
alat irigator seperti Grossan irigator.
2) Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada
pasien dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian
antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea.
Obat ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti
Ipratropium bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent,
yang mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini
harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan glaukoma sudut
sempit.
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti,
rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang
disebabkan oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat
Phospolipase A2, mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin,
menurunkan basofil, sel mast dan eosinofil. Efek dari kortikostreroid


39

tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan jangka panjang, minimal
sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai. Steroid topikal
yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan Fluticasone.
Efek samping penggunaan steroid yaitu edema mukosa dan eritema
ringan.
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala
utama hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan
dekongestan yang diformulasikan dengan antihistamin dapat
digunakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin,
Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta Oxymetazoline
(semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor dan baik
untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang
terlalu lama (> 5 hari) dapat terjadi Rinitis medikamentosa yaitu
rebound kongesti yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5
hari. Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita
dengan hipertensi yang berat serta tekanan darah yang labil.
Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk
dapat juga digunakan. Pada Rinitis vasomotor terjadi peningkatan
asetilkolin sebagai akibat dari dominasi parasimpatis untuk
menurunkan kadar asetilkolin maka diperlukan adanya enzim
asetilkolin esterase. Dengan pemberian prerat Kalk dapat
meningkatkan kerja enzim asetilkolin esterase sehingga dapat
memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut.
3) Bedah
Jika Rinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas,
prosedur pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan
Cryosurgery atau Bedah Cryo yang berpengaruh pada mukosa dan
submukosa. Operasi ini merupakan tindakan yang cukup sukses
untuk mengatasi kongesti, tetapi ada kemungkinan untuk terjadinya
hidung tersumbat post operasi yang berlangsung lama dan kerusakan
dari septum nasi. Neurectomi n.Vidianus merusak baik hantaran


40

simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat menghilangkan
gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO
3
atau electric cauter dapat
dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan
submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil
baik.
g. Komplikasi

Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari Rinitis vasomotor ini
adalah Polip hidung dan terjadinya Sinusitis.
8,9


6. Rinitis medikamentosa
a. Etiologi
Rinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor
topikal dalam waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan
sumbatan hidung yang menetap.
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasal terganggu dan akan berfungsi kembali bila
pemakaian dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang
dan waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang
(rebound dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi.
Bila pemakaian obat diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti
jaringan, pettambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid
sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebihan.
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat
menyebabkan edema mukosa diantaranya adalah asam salisilat,
kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen, fenotiazin, dan guanetidin.
Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan pada mukosa
hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat
katekolamin.
10,11



41

b. Manifestasi klinis
Pada Rinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus
menerus, berair. Pada pemeriksaan edema atau hipertrofi konka dengan
sekret hidung berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka
tidak berkurang.
10,11

c. Terapi
Pengobatan Rinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan
obat tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap
untuk mengatasi sumbatan berulang, dekongestan oral.
10,12

























42

BAB IV
KESIMPULAN

Rinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di
hidung. Rinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri. Selain itu, Rinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi
sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam Rinitis akut diantaranya adalah
Rinitis simpleks, Rinitis influenza dan Rinitis bakteri akut supuratif.
Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian Rinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan
pada Rinitis hipertrofi, Rinitis sika (sicca), dan Rinitis spesifik (difteri, atrofi,
sifilis, tuberkulosa & jamur). Rinitis kronik yang tidak disebabkan oleh
peradangan dapat kita jumpai pada Rinitis alergi, Rinitis vasomotor, dan Rinitis
medikamentosa.
















43

DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-122
3. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Edisi ke-2, EGC,
Jakarta, Hal: 190-192
4. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221
5. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.
6. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134
7. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217
8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136
9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218
10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138
11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-22

Anda mungkin juga menyukai