Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. P

Umur

: 64 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Pekerjaan

: Pensiun PNS

Alamat

: Klender

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Kejang 10 kali selama < 5 menit sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang sampai 10 kali selama < 5 menit sejak 4 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang sampai klojotan dengan mata menghadap ke atas,
setelah serangan kejang pasien tidak mengalami penurunan kesadaran atau pingsan, kejang
pada pasien juga bersifat berulang. Pasien juga mengeluh lemah anggota gerak sebelah kiri
yang diawali dengan rasa baal pada anggota tubuh sebelah kiri, keluhan ini dialami secara
mendadak disertai gejala sakit kepala yang ringan, pasien juga semakin mengalami
penurunan kesadaran sampai pingsan. Keluhan mual dan muntah disangkal, demam
disangkal, BAB dan BAK lancar. Pasien pernah mengalami keluhan lemas pada anggota
gerak sebelah kiri 3 tahun yang lalu tetapi tidak seberat sekarang.

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Pasien mengaku pernah mengalami serangan stroke ringan tanpa kejang 5 tahun
yang lalu

Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan mengaku mengkonsumsi obat
secara teratur

Riwayat DM sejak 1 tahun yang lalu dan mengaku mengkonsumsi obat secara
teratur

Riwayat TB sejak 8 bulan yang lalu (masih dalam pengobatan bulan ke-8)

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Ibu pasien memiliki riwayat hipertensi

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:


-

Pasien seorang pensiunan PNS dan memiliki kebiasaan merokok

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: GCS 10, E4 M4 V2

Tekanan darah

: 180/120 mmHg

Frekuensi Nadi

: 80x/mnt

Frekuensi pernafasan

: 20x/mnt

Suhu

: 36,7C

Status Generalis
Kepala : normocephal
Konjungtiva

: anemis (-)

Sklera

: ikterik (-)

Leher

: pembesaran KGB (-)

Thorax

Pulmo

Inspeksi

: simetris kiri dan kanan

Palpasi

: tidak dapat dinilai

Perkusi

: sonor

Auskultasi

: vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Cor
- Abdomen

: bunyi jantung regular, murmur (-), gallop (-)


:

Inspeksi

: datar

Palpasi

: hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: tympani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal


2

Rangsang Meningeal
- Kaku Kuduk

: (-)

- Lasegue sign

: 70

- Kernig sign

: 135

- Brudzinski I

: (-)

- Brudzinski II

: (-)

- Brudzinski III

: (-)

SARAF KRANIAL
Nervus kranialis

Kanan

Kiri

-subjektif

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-objektif (dg bahan)

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-tajam penglihatan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-lapangan pandang

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-melihat warna

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-funduskopi

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

Ortho

Ortho

Tidak ada

Tidak ada

Ke segala arah

Ke segala arah

-strabismus

Tidak ada

Tidak ada

-nistagmus

Tidak ada

Tidak ada

-ekso/endotalmus

Tidak ada

Tidak ada

Bulat, isokor, 3 mm

Bulat, isokor, 3 mm

reflex cahaya

reflex akomodasi

reflex konvergensi

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

N I (Olfaktorius)

N II (Optikus)

N III (Okulomotorius)
-bola mata
-ptosis
-gerakan bulbus

-pupil
bentuk

N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah

-diplopia

Tidak ada

Tidak ada

Baik

Baik

menggerakkan rahang

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

menggigit

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

mengunyah

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut

-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea
*sensibilitas
Divisi Maksila
*reflex Masseter

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

*sensibilitas
Divisi Mandibula

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

Bebas

Bebas

*sensibilitas
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral
N VII (Fasialis)
-raut wajah

Mulut tertarik ke sebelah kanan

-sekresi air mata

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-fisura palpebra

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-menggerakkan dahi

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-menutup mata

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-mencibir/bersiul

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-memperlihatkan gigi

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-sensasi lidah 2/3 depan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-hiperakusis

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-rinne test

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

-weber test

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

-swabach test

Tidak diperiksa

Tidak diperiksa

N VIII (Vestibularis)

*memanjang
4

*memendek
Pemeriksaaan

Tidak dapat dilakukan

Tidak dapat dilakukan

-sensasi lidah 1/3 blkg

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

-refleks muntah (Geg Rx)

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

keseimbangan
N IX (Glossofaringeus)

N X (Vagus)
-Arkus faring

Tidak simetris

-uvula

Di tengah

-menelan

Tidak bisa

-artikulasi

Tidak jelas

N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan

Tidak dapat dilakukan

-menoleh ke kiri

Tidak dapat dilakukan

-mengangkat bahu kanan

Tidak dapat dilakukan

-mengangkat bahu kiri

Tidak dapat dilakukan

N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam

Tertarik ke arah

-kedudukan lidah

Tidak dapat dilakukan

dijulurkan
-tremor

Tidak dapat dilakukan

-fasikulasi

Tidak dapat dilakukan

-atropi

Tidak dapat dilakukan

MOTORIK
Kekuatan Otot
5

Tonus : normotonus (normal)


Atrofi : (-)

SENSORIK :
Nyeri : Ektremitas Atas

: tidak dapat dinilai

Ekstremitas Bawah : tidak dapat dinilai


Raba : Ektremitas Atas

: tidak dapat dinilai

Ekstremitas Bawah : tidak dapat dinilai

FUNGSI VEGETATIF
Miksi

: baik

Defekasi

: baik

Keringat

: baik

FUNGSI LUHUR
Kesadaran
-reaksi bicara : buruk
-reaksi intelek : buruk
-reaksi emosi : buruk

REFLEK FISIOLOGIS
Reflek bisep

: (+/-)

Reflek trisep

: (+/-)

Reflek brachioradialis : (+/-)


Reflek patella

: (+/-)

Reflek achilles

: (+/-)

REFLEK PATOLOGIS
Babinski

: (-/-)

Chaddock

: (-/-)

Oppenheim

: (-/-)

Gordon

: (-/-)

Diagnosis
Diagnosis Klinis

: Stroke Iskemik
Epilepsi
TB paru

Diagnosis Topis

: Lesi Hemisfer kanan


Lesi korteks serebri
Parese Nervus fasialis dextra tipe perifer

Diagnosis Etiologi

: iskemia serebri

Rencana Pemeriksaan penunjang


-

Lab darah rutin

Pemeriksaan kimia darah (glukosa dan profil lipid)

EKG

Rongten thorax

CT scan

EEG

Prognosis:
Quo ad vitam

: ad malam

Quo ad sanam : ad malam


Quo ad functionam: ad malam
Penatalaksanaan
Infus Asering 20 tpm
Pasang NGT dan kateter urin
Valsartan 80 mg 1x1
Amplodipin 10 mg 1x1
Clopidogrel 75 mg 1x1
Rifampisin 450 mg 1x1
INH 300 mg 1x1
Folavit 400 mg 2x1
Metformin 500 mg 2x1
Depakote 1x1
Neurolin 500 mg 2x1
Phenitoin 100 mg 3x1
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA STROKE
DEFINISI
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal
maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24
jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO 1983).

ETIOLOGI
Penyebab stroke dibagi menjadi dua, yaitu penyebab stroke iskemik dan penyebab
stroke hemoragik.
Stroke iskemik dapat disebabkan oleh:
-

Trombosis serebri : tersumbatnya pembuluh darah otak karena aterosklerosis fokal

Emboli serebri : lepasnya emboli yang berasal dari jantung atau pembuluh darah
ekstrakranial dan menyumbat bagian distal intrakranial

Stroke hemoragik dapat disebabkan oleh


-

Pecahnya pembuluh darah karena hipertensi

Aneurisma yang pecah

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko stroke dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.
Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
1. Usia
2. Gender
3. Ras
4. Riwayat keluarga
Faktor risiko yang dapat diubah:
1. Hipertensi
2. Penyakit Jantung
8

3. Diabetes Mellitus
4. Merokok
5. Dislipidemia
6. Latihan fisik
7. Kegemukan
8. Pola diet
9. Konsumsi alkohol
10. Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin) dan obatobatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain, terutama pada wanita perokok
atau dengan hipertensi.
11. Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat, polisitemia, kelainan
koagulopati, dan kelainan darah lainnya.

KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun
stroke hemorragik.
a. stroke iskemik
Macam macam stroke iskemik :
i.

TIA
didefinisikan sebagai episode singkat disfungsi neurologis yang disebabkan
gangguan setempat pada otak atau iskemi retina yang terjadi dalam waktu
kurang dari 24 jam, tanpa adanya infark, serta meningkatkan resiko terjadinya
stroke di masa depan.

ii.

RIND
Defisit neurologis lebih dari 24 jam namun kurang dari 72 jam

iii.

Progressive stroke

iv.

Complete stroke

v.

Silent stroke

b. stroke hemorragik
Pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan
darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya contoh perdarahan

intraserebral, perdarahan subarachnoid, perdarahan intrakranial et causa AVM.


Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi

GEJALA KLINIS
Beberapa gejala stroke berikut:

Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).

Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.

Kesulitan menelan.

Kesulitan menulis atau membaca.

Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk,
atau kadang terjadi secara tiba-tiba.

Kehilangan koordinasi.

Kehilangan keseimbangan.

Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan
salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik.

Mual atau muntah.

Kejang.

Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal
atau kesemutan.

Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.

DIAGNOSIS
Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang diduga mengalami
stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk evaluasi dan terapi. Pertama-tama,
dokter akan menanyakan riwayat medis pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya
dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu,
akan menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian. Pengetahuan
sebelumnya tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan penilaian.
Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah penggunaan skala stroke.
The American Heart Association telah mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem
saraf untuk membantu penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah
intervensi agresif mungkin diperlukan.

10

Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non hemoragis.
antara keduanya, dapat ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis,
algoritma dan penilaian dengan skor stroke, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Bila sudah ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah berikutnya
adalah menetapkan stroke tersebut termasuk jenis yang mana, stroke hemoragis atau stroke
non hemoragis.Untuk keperluan tersebut, pengambilan anamnesis harus dilakukan seteliti
mungkin.Berdasarkan hasil anamnesis, dapat ditentukan perbedaan antara keduanya, seperti
tertulis pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan anamnesis

2. Pemeriksaan klinis neurologis

Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila dibandingkan antara
keduanya akan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark berdasarkan tanda-tandanya.

3. Algoritma dan penilaian dengan skor stroke.


11

Terdapat beberapa algoritma untuk membedakan stroke antara lain dengan :

3.a.Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke Gadjah Mada

12

3.c. Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score

Tabel 4. Siriraj Stroke Score (SSS)

Catatan

: 1. SSS> 1 = Stroke hemoragik

1. SSS < -1 = Stroke non hemoragik

4. Pemeriksaan Penunjang

Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan penyebab


seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT scan otak sering
dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk mencari perdarahan atau massa di dalam otak,
situasi yang sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan penanganan yang berbeda pula.
CT Scan berguna untuk menentukan:

jenis patologi

lokasi lesi

ukuran lesi

menyingkirkan lesi non vaskuler


MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik

untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika
dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika
13

CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat
dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk
pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti,
pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah
magneti kuat suatu MRI.
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara
spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi),
suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain
disebut dengan diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan.
Teknik ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian
otak yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih
dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi
sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien
stroke.
Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang
disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan
informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran
darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography
menggeser angiogram konvensional.
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang
digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke dalam
arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x
secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh
darah yang paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan
hanya jika benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika
sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang dilakukan
untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka
sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk dilakukan.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan penyempitan
dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke
otak)
Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada
pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang
14

suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun
melalui esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor
Holter sama dengan electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada
dada selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal.
Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan
untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami
peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena
pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke
yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah
screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit
mungkin juga perlu dipertimbangkan.

PENATALAKSANAAN
Terapi dibedakan pada fase akut dan pasca fase akut.
1. Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan ialah menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati,
dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu/mengancam fungsi otak.
Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak
justru berkurang. Sehingga perlu dipelihara fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan
darah darah dipertahankan pada tingkat optimal, kontrol kadar gula darah (kadar gula darah
yang tinggi tidak diturunkan dengan derastis), bila gawat balans cairan, elektrolit, dan asam
basa harus terus dipantau.
Pengobatan yang cepat dan tepat diharapkan dapat menekan mortalitas dan mengurangi
kecacatan. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki aliran darah ke otak secepat
mungkin dan melindungi neuron dengan memotong kaskade iskemik. Pengelolaan pasien
stroke akut pada dasarnya dapat di bagi dalam :
1.

Pengelolaan umum, pedoman 5 B


-

Breathing

Blood

Brain

Bladder

Bowel
15

2.

Pengelolaan berdasarkan penyebabnya

Stroke iskemik

Memperbaiki aliran darah ke otak (reperfusi)

Prevensi terjadinya trombosis (antikoagualsi)

Proteksi neuronal/sitoproteksi

Stroke Hemoragik

Pengelolaan konservatif

Perdarahan intra serebral

Perdarahan Sub Arachnoid

Pengelolaan operatif

1. Pengelolaan umum, pedoman 5 B


Breathing : Jalan nafas harus terbuka lega, hisap lendir dan slem untuk mencegah
kekurang oksigen dengan segala akibat buruknya.

Dijaga agar oksigenasi dan

ventilasi baik, agar tidak terjadi aspirasi (gigi palsu dibuka).Intubasi pada pasien
dengan GCS < 8.Pada kira-kira 10% penderita pneumonia (radang paru) merupakan
merupakan penyebab kematian utama pada minggu ke 2 4 setelah serangan
otak.Penderita sebaiknya berbaring dalam posisi miring kiri-kanan bergantian setiap 2
jam.Dan bila ada radang atau asma cepat diatasi.

Blood : Tekanan darah pada tahap awal tidak boleh segera diturunkan, karena dapat
memperburuk keadaan, kecuali pada tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan atau
diastolik > 120 mmHg (stroke iskemik), sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik >
100 mmHg (stroke hemoragik). Penurunan tekanan darah maksimal 20 %.
Obat-obat yang dapat dipergunakan Nicardipin (0,5 6 mcg/kg/menit infus
kontinyu), Diltiazem (5 40 g/Kg/menit drip), nitroprusid (0,25 10 g/Kg/menit
infus kontinyu), nitrogliserin (5 10 g/menit infus kontinyu), labetolol 20 80 mg
IV bolus tiap 10 menit, kaptopril 6,25 25 mg oral / sub lingual.
Keseimbangan cairan dan elektrolit perlu diawasi
Kadar gula darah (GD) yang terlalu tinggi terbukti memperburuk outcome pasien
stroke, pemberian insulin reguler dengan skala luncur dengan dosis GD > 150 200
mg/dL 2 unit, tiap kenaikan 50 mg/dL dinaikkan dosis 2 unit insulin sampai dengan
kadar GD > 400 mg/dL dosis insulin 12 unit.

16

Brain : Bila didapatkan kenaikan tekanan intra kranial dengan tanda nyeri kepala,
muntah proyektil dan bradikardi relatif harus di berantas, obat yang biasa dipakai
adalah manitol 20% 1 - 1,5 gr/kgBB dilanjutkan dengan 6 x 100 cc (0,5 gr/Kg BB),
dalam 15 20 menit dengan pemantauan osmolalitas antara 300 320 mOsm,
keuntungan lain penggunaan manitol penghancur radikal bebas.
Peningkatan suhu tubuh harus dihindari karena memperbanyak pelepasan
neurotransmiter eksitatorik, radikal bebas, kerusakan BBB dan merusak pemulihan
metabolisme enersi serta memperbesar inhibisi terhadap protein kinase.Hipotermia
ringan 30C atau 33C mempunyai efek neuroprotektif.
Bila terjadi kejang beri antikonvulsan diazepam i.v karena akan memperburuk
perfusi darah kejaringan otak

Bladder : Hindari infeksi saluran kemih bila terjadi retensio urine sebaiknya dipasang
kateter intermitten. Bila terjadi inkontinensia urine, pada laki laki pasang kondom
kateter, pada wanita pasang kateter.

Bowel : Kebutuhan cairan dan kalori perlu diperhatikan, hindari obstipasi, Jaga
supaya defekasi teratur, pasang NGT bila didapatkan kesulitan menelan makanan.
Kekurangan albumin perlu diperhatikan karena dapat memperberat edema otak

2. Pengelolaan berdasarkan penyebabnya


a. Stroke iskemik
-

Memperbaiki aliran darah ke otak (reperfusi)


Usaha menghilangkan sumbatan penyebab stroke merupakan upaya yang
paling ideal, obat trombolisis yang sudah di setujui oleh FDA adalah rt-PA
(recombinan tissue plasminogen activator) dengan dosis 0,9 mg/kgBB
maksimal 90 mg (10% diberikan bolus & sisanya infus kontinyu dalam 60
menit).

Sayangnya bahwa pengobatan dengan obat ini mempunyai

persyaratan pemberian haruslah kurang dari 3 jam, sehingga hanya pasien


yang masuk rumah sakit dengan onset awal dan dapat penyelesaian
pemeriksaan darah, CT Scan kepala dan inform consent yang cepat saja yang
dapat menerima obat ini.

17

Cara lain memperbaiki aliran darah antara lain dengan memperbaiki


hemorheologi seperti obat pentoxifillin yang yang mengurangi viskositas
darah dengan meningkatkan deformabilitas sel darah merah dengan dosis 15
mg/kgBB/hari.

Obat lain yang juga memperbaiki sirkulasi adalah

naftidrofuril dengan memperbaiki aliran darah melalui unsur seluler darah


dosis 600 mg/hari selama 10 hari iv dilanjutkan oral 300 mg/hari.

Prevensi terjadinya trombosis (antikoagualsi)


Untuk menghindari terjadinya trombus lebih lanjut terdapat dua kelas
pengobatan yang tersedia yaitu anti koagulan dan anti agregasi trombosit.
Anti koagulan diberikan pada pasien stroke yang mempunyai risiko untuk
terjadi emboli otak seperti pasien dengan kelainan jantung fibrilasi atrium non
valvular, thrombus mural dalam ventrikel kiri, infark miokard baru & katup
jantung buatan.

Obat yang dapat diberikan adalah heparin dengan dosis awal

1.000 u/jam cek APTT 6 jam kemudian sampai dicapai 1,5 2,5 kali kontrol
hari ke 3 diganti anti koagulan oral, Heparin berat molekul rendah (LWMH)
dosis 2 x 0,4 cc subkutan monitor trombosit hari ke 1 & 3 (jika jumlah <
100.000 tidak diberikan), Warfarin dengan dosis hari I = 8 mg, hari II = 6 mg,
hari III penyesuaian dosis dengan melihat INR pasien.
Pasien dengan paresis berat yang berbaring lama yang berrisiko terjadi
trombosis vena dalam dan emboli paru untuk prevensi diberikan heparin 2 x
5.000 unit sub cutan atau LMWH 2 x 0,3 cc selama 7 10 hari.
Obat anti agregasi trombosit mempunyai banyak pilihan antara lain aspirin
dosis 80 1.200 mg/hari mekanisme kerja dengan menghambat jalur
siklooksigenase, dipiridamol dikombinasi dengan aspirin aspirin 25 mg +
dipiridamol SR 200 mg dua kali sehari dengan menghambat jalur
siklooksigenase, fosfodiesterase dan ambilan kembali adenosin, cilostazol
dosis 2 x 50 mg mekanisme kerja menghambat aktifitas fosfodiesterase III,
ticlopidin dosis 2 x 250 mg dengan menginhibisi reseptor adenosin difosfat
dan thyenopyridine dan clopidogrel dosis 1 x 75 mg dengan menginhibisi
reseptor adenosin difosfat dan thyenopyridine.

18

Proteksi neuronal/sitoproteksi
Sangat menarik untuk mengamati obat-obatan pada kelompok ini karena
diharapkan dapat dengan memotong kaskade iskemik sehingga dapat
mencegah kerusakan lebih lanjut neuron.

Obat-obatan tersebut antara lain :

o CDP-Choline bekerja dengan memperbaiki membran sel dengan cara


menambah sintesa phospatidylcholine, menghambat terbentuknya
radikal bebas dan juga menaikkan sintesis asetilkolin suatu
neurotransmiter untuk fungsi kognitif. Meta analisis Cohcrane Stroke
Riview Group Study(Saver 2002) 7 penelitian 1963 pasien stroke
iskemik dan perdarahan, dosis 500 2.000 mg sehari selama 14 hari
menunjukkan penurunan angka kematian dan kecacatan yang
bermakna. Therapeutic Windows 2 14 hari.
o Piracetam, cara kerja secara pasti didak diketahui, diperkirakan
memperbaiki integritas sel, memperbaiki fluiditas membran dan
menormalkan fungsi membran. Dosis bolus 12 gr IV dilanjutkan 4 x 3
gr iv sampai hari ke empat, hari ke lima dilanjutkan 3 x 4 gr peroral
sampai minggu ke empat, minggu ke lima sampai minggu ke 12
diberikan 2 x 2,4 gr per oral,. Therapeutic Windows 7 12 jam.
o Statin, diklinik digunakan untuk anti lipid, mempunyai sifat
neuroprotektif untuk iskemia otak dan stroke.
oksidan downstream dan upstream.

Mempunyai efek anti

Efek downstream adalah

stabilisasi atherosklerosis sehingga mengurangi pelepasan plaque


tromboemboli dari arteri ke arteri.

Efek upstream adalah

memperbaiki pengaturan eNOS (endothelial Nitric Oxide Synthese,


mempunyai sifat anti trombus, vasodilatasi dan anti inflamasi),
menghambat iNOS (inducible Nitric Oxide Synthese, sifatnya
berlawanan dengan eNOS), anti inflamasi dan anti oksidan.
o Cerebrolisin, suatu protein otak bebas lemak dengan khasiat anti
calpain, penghambat caspase dan sebagai neurotropik dosis 30 50 cc
selama 21 hari menunjukkan perbaikan fungsi motorik yang bermakna.

b. Stroke Hemoragik
-

Pengelolaan konservatif Perdarahan Intra Serebral

19

Pemberian anti perdarahan : Epsilon aminocaproat 30 - 36 gr/hari,


Asam Traneksamat 6 x 1 gr untuk mencegah lisisnya bekuan darah
yamg sudah terbentuk oleh tissue plasminogen.

Evaluasi status

koagulasi seperti pemberian protamin 1 mg pada pasien yang


mendapatkan heparin 100 mg & 10 mg vitamin K intravena pada
pasien yang mendapat warfarin dengan prothrombine time memanjang.
Untuk mengurangi kerusakan jaringan iskemik disekeliling
hematom

dapat

diberikan

obat-obat

yang

mempunyai

sifat

neuropriteksi.
-

Pengelolaan konservatif Perdarahan Sub Arahnoid


o Bed rest total selama 3 minggu dengan suasana yang tenang, pada
pasien yang sadar, penggunaan obat-obat anelgetik pada umumnya
diperlukan untuk menghilangkan nyeri kepala pada pasien sadar.
o Vasospasme terjadi pada 30% pasien, dapat diberikan Calcium
Channel Blockers dengan dosis 60 90 mg oral tiap 4 jam selama 21
hari atau 15 30 mg/kg/jam selama 7 hari, kemudian dilanjutkan per
oral 360 mg /hari selama 14 hari, efektif untuk mencegah terjadinya
vasospasme yang biasanya terjadi pada hari ke 7 sesudah iktus yang
berlanjut sampai minggu ke dua setelah iktus. Bila terjadi vasospasme
dapat dilakukan balance positif cairan 1 2 Liter diusahakan tekanan
arteri pulmonalis 18 20 mmHg dan Central venous pressure 10
mmHg, bila gagal juga dapat diusahakan peningkatan tekanan sistolik
sampai 180 220 mmHg menggunakan dopamin.

Pengelolaan operatif
Tujuan pengelolaan operatif adalah : Pengeluaran bekuan darah,
Penyaluran cairan serebrospinal & Pembedahan mikro pada pembuluh darah.
Yang penting diperhatikan selain hasil CT Scan dan arteriografi adalah
keadaan/kondisi pasien itu sendiri :
Faktor faktor yang mempengaruhi :
1. Usia

Lebih 70 th

tidak ada tindakan operasi

60 70 th

pertimbangan operasi lebih ketat

Kurang 60 th operasi dapat dilakukan lebih aman


20

2. Tingkat kesadaran

Koma/sopor

tak dioperasi

Sadar/somnolen

tak dioperasi kecuali kesadaran atau keadaan

neurologiknya menurun
Perdarahan serebelum : operasi kadang hasilnya memuaskan walaupun
kesadarannya koma
3. Topis lesi

Hematoma Lobar (kortical dan Subcortical)


Bila TIK tak meninggi tak dioperasi
Bila TIK meninggi disertai tanda tanda herniasi (klinis
menurun) operasi

Perdarahan putamen
Bila hematoma kecil atau sedang

tak dioperasi

Bila hematoma lebih dari 3 cm

tak dioperasi, kecuali

kesadaran atau defisit neurologiknya memburuk

Perdarahan talamus
Pada

umumnya

tak

dioperasi,

hanya

ditujukan

pada

hidrocepalusnya akibat perdarahan dengan VP shunt bila


memungkinkan.

Perdarahan serebelum
Bila perdarahannya lebih dari 3 cm dalam minggu pertama
maka operasi
Bila perjalanan neurologiknya stabil diobati secara medisinal
dengan pengawasan
Bila hematom kecil tapi disertai tanda tanda penekanan batang
otak operasi

4. Penampang volume hematoma

Bila penampang hematoma lebih 3 cm atau volume lebih dari 50 cc


maka dilakukan operasi
Bila penampang kecil, kesadaran makin menurun dan keadaan
neurologiknya menurun ada tanda tanda penekanan batang otak maka
dilakukan operasi
5. Waktu yang tepat untuk pembedahan

21

Dianjurkan untuk operasi secepat mungkin 6 7 jam setelah serangan


sebelum timbulnya edema otak , bila tak memungkinkan sebaiknya
ditunda sampai 5 15 hari kemudian.

Indikasi pembedahan pasien PSA adalah pasien dengan grade Hunt &
Hest Scale 1 sampai 3, waktu pembedahan dapat segera (< 72 jam)
atau lambat (setelah 14 hari). Pembedahan pasien PSA dengan Hunt
&Hest Scale 4 5 menunjukkan angka kematian yang tinggi (75%).
2. Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan rehabilitasi
penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.

Terapi Preventif
Tujuannya, untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke, dengan
jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko stroke:
Untuk stroke infark diberikan :
a

Obat-obat anti platelet aggregasi

b Obat-obat untuk perbaikan fungsi jantung dari ahlinya


c

Faktor resiko dikurangi seminimal mungkin

Menghindari rokok, obesitas, stres

Berolahraga teratur

PROGNOSIS
Ada sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh secara sempurna
asalkan ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari itu. Hal ini penting agar
penderita tidak mengalami kecacatan. Kalaupun ada gejala sisa seperti jalannya pincang atau
berbicaranya pelo, namun gejala sisa ini masih bisa disembuhkan.
Sayangnya, sebagian besar penderita stroke baru datang ke rumah sakit 48-72 jam
setelah terjadinya serangan. Bila demikian, tindakan yang perlu dilakukan adalah pemulihan.
Tindakan pemulihan ini penting untuk mengurangi komplikasi akibat stroke dan berupaya
mengembalikan keadaan penderita kembali normal seperti sebelum serangan stroke.

22

BAB III
KEJANG PADA STROKE

Klasifikasi dan Patogenesis


Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat,
sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian
epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu,
dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada
onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset
lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai dengan
terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya
kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah iskemia.
Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca stroke muncul dalam
24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh stroke hemoragik
juga terjadi pada 24 jam pertama.
Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat
menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya.
Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas glutamat
adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam bentuk stroke eksperimental. Obat
Antiglutamatergic mungkin memiliki peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik,
selain dari perannya untuk pengobatan kejang.
Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinya kejang onset
cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksia, tingginya tingkat neurotransmiter
eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Dalam penelitian setelah terjadi iskemik
otak pada model hewan percobaan, populasi neuron di neokorteks hippocampus telah
mengubah sifat membran dan terjadi peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan
ambang terjadinya kejang. Pada iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan
dengan inti infark dalam stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi
fokus untuk terjadinya aktivitas kejang.
Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya kejang.
Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya status
epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.

23

Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf.
Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah
jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti
siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat
epilepsi pasca trauma.
Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi
dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan
onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari
kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan
stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan
pada 90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke
hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat vs 93%
dengan kejang onset lambat.
Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memiliki kemungkinan menyebabkan kejang
akut masih menimbulkan kontroversi. Di antara 1640 pasien dengan iskemia serebral,
kejadian yang terkait dengan penyakit jantung paling sering dikaitkan dengan kejang onset
cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan dengan hematoma supratentorial (16,2%). Namun,
definisi mekanisme kardiogenik dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria
tertentu.Beberapa penulis masih mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa
kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian tentang
penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada alasan untuk menduga
bahwa lesi kardioembolikakan seperti emboli dari pembuluh darah besar mungkin dapat
menyebabkan kejang, seperti emboli jantung dan pembuluh darah besar sering melibatkan
lesi pada cabang kortikal distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal
belum pasti, tetapi kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi cepat
setelah fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya.
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan
kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan lesi
yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan keterlibatan
lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan
terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang
masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang
menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling

24

sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyebab kejang
tidak dapat diketahui.
Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap
lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Pada 123 pasien terjadi
peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan perdarahan dalam struktur kortikal lobar
(54%), perdarahan retromamilar basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus.
Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan
terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan
dengan kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti
vena lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang.
Mekanisme

kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari

metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang
mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi
oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi
perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus frontal dan
temporal. Pasien dengan perdarahan subarachnoid mungkin juga memiliki komponen
perdarahan intraparenchymal.
Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat
keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar atau kecacatan
pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis
cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah kortikal yang lebih luas.
Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang setelah perdarahan subarachnoid
termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma intraparenchymal, infark serebral,
riwayat hipertensi dan ketebalan tulang belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor
klinis untuk kejang setelah terjadi perdarahan intraparenchymal.
Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekanisme yang lain. Kejang
karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya terjadi ketika pecahnya lesi
tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejang oleh iritasi yang
berdekatan dengan parenkim otak.
Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secara signifikan
terjadi dalam pengaturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi, paling sering
endarterektomi karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial. Sindrom reperfusi, pertama
dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien, fenomena migrain
atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering tidak lengkap. Onset dari
25

sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai 3 minggu setelah revaskularisasi dan
sering ditandai oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa juga
dapat menyebabkan intraoperatif atau hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau
perdarahan. Sebaliknya, malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk
laju aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perdarahan.
Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dalam
pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol bertanggung
jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan menjadi dilatasi yang kronik.
Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan prosedur revaskularisasi, pembuluh darah
tidak dapat vasokonstriksi dan parenkim otak mengalami peningkatan besar dalam aliran
darah. Pelepasan neuropeptida vasoaktif dari saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi
terhadap perkembangan sindrom reperfusi dalam oksidan yang berkembang sebelum
revaskularisasi dan peradangan untuk mengembalikan sirkulasi.

Manisfestasi Klinis
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal,
kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah studi kejang onset
cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis yang paling sering (61%), diikuti
oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih
cenderung bersifat parsial, sedangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi
sekunder. Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan
cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun.
Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status
epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar,
status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik atau
hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola electroencephalographic
(EEG).
Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan timbulnya
onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang biasanya
terjadi di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori pembedahan pada arteri karotis interna.
Kadang-kadang status epileptikus terjadi kemudian.

26

Diagnosis
Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi periodik
lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik lateralizing pada
EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus paku juga
memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal pada
perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masingmasing 20%, 10% dan 5%. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil
studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal.
Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari
iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal. EEG
dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke fokal. Pada
beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan
berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak adanya
kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama dalam struktur
subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.
Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark. Lansberg dkk
telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan resonansi magnetik akut pada
3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-studi menunjukkan peningkatan
intensitasgambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T2 yang berat dan area yang sesuai
dengan koefisien difusi yang rendah. Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi
tanda iskemik nonvascular dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi
resonansi magnetik dan peningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik
dengan kontras. Studi lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran
tahanan difusi di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.

Diferensial Diagnosis
Diagnosis diferensial iskemia akibat kejang termasuk kejang sekunder karena
penyebab lain. Withdrawal obat (Benzodiazepin) dan gangguan metabolisme (misalnya
kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum, kecuali memang sudah ada
lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fenomena fokus dan serangan iskemik
transien dapat memperlambat fokus pada hasil temuan EEG. Diantara semua itu, kelainan
glukosa tidak boleh diabaikan.

27

Penatalaksanaan
Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteristik individu tiap
pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan komorbiditas medis. Sebagai
pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk mengevaluasi kejang pasca stroke yang
telah dilakukan untuk menilai agen khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah
bagaimana cara untuk memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan
bahwa kejang pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang
pasca stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika mereka
baru terserang stroke. Bladin et al berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan
kejang pasca stroke akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak
etis, meskipun insiden kejang pasca strokerelatif masih rendah. Arboix et al menyimpulkan
bahwa efektivitas antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak
yang dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi.
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol dengan
monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan pengobatan yang
termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki
keuntungan dari pemberian parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan
atau status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan
yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin.
Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang
yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk
mengobati kejang onset cepat dan kejang onset lambat.
Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama untuk
pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni
panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk
pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi,
lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan
pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine.
Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah
diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya sering
digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi
untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang
merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.
28

Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terkena


stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewati
metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein. Sebagai contoh,
interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk mempertahankan rentang terapi yang
konsisten dari kedua agen.
Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American Heart
Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode akut setelah
perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas kejang
dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma,
meskipun tidak ada data klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada
cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah
untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa
dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan
penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi selama
pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi munculnya kejang
berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan mungkin memerlukan terapi
jangka panjang untuk profilaksis kejang.
Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan
profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah yang
terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang perdarahan aneurisma
ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka
panjang agen antiepilepsi tidak dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid
yang tidak memiliki kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari
beberapa faktor risiko yang muncul.
Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan yang penting adalah mengontrol
secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi antiepilepsi pada populasi
pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang pada sindrom reperfusi kadang-kadang
merespon obat antiepilepsi, tetapi sulit untuk mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang
cukup kuat. Beberapa ahli bedah memberikan profilaksis secara empiris karena ada
kekhawatiran akan terjadinnya kejang selama 1 sampai 2 minggu setelah endarterektomi pada
pasien dengan stenosis karotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena sering kali
diberikan antikoagulasi sistemik dan, baru-baru ini, pemberian trombolisis intra thrombus
melalui endovascular telah menunjukkan keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut
peraturan pemberian terapi antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang.
29

Prognosis
Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memiliki data yang
bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi prospektif, kejang onset
cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit neurologis yang
memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dalam Skala Stroke Skandinavia
dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa kejang adalah manifestasi penumbra iskemik
yang lebih besar yang memberikan kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya,
dalam studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48
jam dari serangan stroke atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal di
rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak menunjukkan
adanya kejang (14,4%).
Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset
lambat dan pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian dapat diukur
dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering terjadi pada
pasien dengan residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mereka yang tidak
(20%). Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri. Prognosis jangka panjang
tergantung pada perkembangan perdarahan intraserebral.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Konsensus Nasional


Pengelolaan Stroke di Indonesia, Jakarta, 1999.
2. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Guideline Stroke 2000
Seri Pertama, Jakarta, Mei 2000.
3. National Institute of Neurological Disorders and Stroke: Classification of cerebrovascular
disease III. Stroke 1990, 21: 637-76.
4. World Health Organizations: Stroke 1989. Recommendations on stroke prevention,
diagnosis anf therapy. Stroke 1989, 20: 1407-31.
5. Toole J.F.: Cerebrovascular disorder. 4th edition, Raven Press, New York, 1990.
6. Pusinelli W.: Pathophysiology of acute ischemic stroke. Lancet 1992, 339: 533-6.
7. Sandercock P, Huub W, Peter S.: Medical Treatment of acute ischemic stroke. Lancet
1992, 339: 537-9.
8. CP Warlow, MS Dennis, J Van Gijn, GJ Hankey, PAG Ssandercock, JH

Bamford,

Wardlaw. Stroke.A practical guide to management. Specific treatment of acute ischaemic


stroke Excell Typesetters Co Hongkong, 1996; 11; 385 429.,
9. Widjaja D. Highlight of Stroke Management. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan,
Surabaya 2002.
10. Gilroy J. Basic Neurology. Third Edition. Mc Graw Hill. New York, 2000 ; 225 -306
11. Hinton RC. Stroke, in Samuel MA Manual of Neurologic Therapeutics. Fifth Edition.
Litle Brown and Company Ney York 1995 ; 207 24.
12. Feigin V. Stroke Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke
(terjemahan). cetakan kedua. PT Buana Ilmu Populer. Jakarta. 2006
13. Adam HP, Del Zoppo GJ, Kummer RV. Management of stroke. 2nd Ed, Professional
communications inc New York, 2002

31

Anda mungkin juga menyukai