LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. P
Umur
: 64 tahun
: Pensiun PNS
Alamat
: Klender
ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Kejang 10 kali selama < 5 menit sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang sampai 10 kali selama < 5 menit sejak 4 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang sampai klojotan dengan mata menghadap ke atas,
setelah serangan kejang pasien tidak mengalami penurunan kesadaran atau pingsan, kejang
pada pasien juga bersifat berulang. Pasien juga mengeluh lemah anggota gerak sebelah kiri
yang diawali dengan rasa baal pada anggota tubuh sebelah kiri, keluhan ini dialami secara
mendadak disertai gejala sakit kepala yang ringan, pasien juga semakin mengalami
penurunan kesadaran sampai pingsan. Keluhan mual dan muntah disangkal, demam
disangkal, BAB dan BAK lancar. Pasien pernah mengalami keluhan lemas pada anggota
gerak sebelah kiri 3 tahun yang lalu tetapi tidak seberat sekarang.
Pasien mengaku pernah mengalami serangan stroke ringan tanpa kejang 5 tahun
yang lalu
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan mengaku mengkonsumsi obat
secara teratur
Riwayat DM sejak 1 tahun yang lalu dan mengaku mengkonsumsi obat secara
teratur
Riwayat TB sejak 8 bulan yang lalu (masih dalam pengobatan bulan ke-8)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran
: GCS 10, E4 M4 V2
Tekanan darah
: 180/120 mmHg
Frekuensi Nadi
: 80x/mnt
Frekuensi pernafasan
: 20x/mnt
Suhu
: 36,7C
Status Generalis
Kepala : normocephal
Konjungtiva
: anemis (-)
Sklera
: ikterik (-)
Leher
Thorax
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi
Cor
- Abdomen
Inspeksi
: datar
Palpasi
Perkusi
: tympani
Auskultasi
Rangsang Meningeal
- Kaku Kuduk
: (-)
- Lasegue sign
: 70
- Kernig sign
: 135
- Brudzinski I
: (-)
- Brudzinski II
: (-)
- Brudzinski III
: (-)
SARAF KRANIAL
Nervus kranialis
Kanan
Kiri
-subjektif
-tajam penglihatan
-lapangan pandang
-melihat warna
-funduskopi
Ortho
Ortho
Tidak ada
Tidak ada
Ke segala arah
Ke segala arah
-strabismus
Tidak ada
Tidak ada
-nistagmus
Tidak ada
Tidak ada
-ekso/endotalmus
Tidak ada
Tidak ada
Bulat, isokor, 3 mm
Bulat, isokor, 3 mm
reflex cahaya
reflex akomodasi
reflex konvergensi
N I (Olfaktorius)
N II (Optikus)
N III (Okulomotorius)
-bola mata
-ptosis
-gerakan bulbus
-pupil
bentuk
N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah
-diplopia
Tidak ada
Tidak ada
Baik
Baik
menggerakkan rahang
menggigit
mengunyah
N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut
-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea
*sensibilitas
Divisi Maksila
*reflex Masseter
*sensibilitas
Divisi Mandibula
Bebas
Bebas
*sensibilitas
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral
N VII (Fasialis)
-raut wajah
-fisura palpebra
-menggerakkan dahi
-menutup mata
-mencibir/bersiul
-memperlihatkan gigi
-hiperakusis
-rinne test
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
-weber test
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
-swabach test
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
N VIII (Vestibularis)
*memanjang
4
*memendek
Pemeriksaaan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
keseimbangan
N IX (Glossofaringeus)
N X (Vagus)
-Arkus faring
Tidak simetris
-uvula
Di tengah
-menelan
Tidak bisa
-artikulasi
Tidak jelas
N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan
-menoleh ke kiri
N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam
Tertarik ke arah
-kedudukan lidah
dijulurkan
-tremor
-fasikulasi
-atropi
MOTORIK
Kekuatan Otot
5
SENSORIK :
Nyeri : Ektremitas Atas
FUNGSI VEGETATIF
Miksi
: baik
Defekasi
: baik
Keringat
: baik
FUNGSI LUHUR
Kesadaran
-reaksi bicara : buruk
-reaksi intelek : buruk
-reaksi emosi : buruk
REFLEK FISIOLOGIS
Reflek bisep
: (+/-)
Reflek trisep
: (+/-)
: (+/-)
Reflek achilles
: (+/-)
REFLEK PATOLOGIS
Babinski
: (-/-)
Chaddock
: (-/-)
Oppenheim
: (-/-)
Gordon
: (-/-)
Diagnosis
Diagnosis Klinis
: Stroke Iskemik
Epilepsi
TB paru
Diagnosis Topis
Diagnosis Etiologi
: iskemia serebri
EKG
Rongten thorax
CT scan
EEG
Prognosis:
Quo ad vitam
: ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA STROKE
DEFINISI
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal
maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24
jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO 1983).
ETIOLOGI
Penyebab stroke dibagi menjadi dua, yaitu penyebab stroke iskemik dan penyebab
stroke hemoragik.
Stroke iskemik dapat disebabkan oleh:
-
Emboli serebri : lepasnya emboli yang berasal dari jantung atau pembuluh darah
ekstrakranial dan menyumbat bagian distal intrakranial
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko stroke dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.
Faktor risiko yang tidak dapat diubah:
1. Usia
2. Gender
3. Ras
4. Riwayat keluarga
Faktor risiko yang dapat diubah:
1. Hipertensi
2. Penyakit Jantung
8
3. Diabetes Mellitus
4. Merokok
5. Dislipidemia
6. Latihan fisik
7. Kegemukan
8. Pola diet
9. Konsumsi alkohol
10. Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin) dan obatobatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain, terutama pada wanita perokok
atau dengan hipertensi.
11. Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat, polisitemia, kelainan
koagulopati, dan kelainan darah lainnya.
KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke iskemik maupun
stroke hemorragik.
a. stroke iskemik
Macam macam stroke iskemik :
i.
TIA
didefinisikan sebagai episode singkat disfungsi neurologis yang disebabkan
gangguan setempat pada otak atau iskemi retina yang terjadi dalam waktu
kurang dari 24 jam, tanpa adanya infark, serta meningkatkan resiko terjadinya
stroke di masa depan.
ii.
RIND
Defisit neurologis lebih dari 24 jam namun kurang dari 72 jam
iii.
Progressive stroke
iv.
Complete stroke
v.
Silent stroke
b. stroke hemorragik
Pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan
darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya contoh perdarahan
GEJALA KLINIS
Beberapa gejala stroke berikut:
Kesulitan menelan.
Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk,
atau kadang terjadi secara tiba-tiba.
Kehilangan koordinasi.
Kehilangan keseimbangan.
Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan
salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik.
Kejang.
Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal
atau kesemutan.
DIAGNOSIS
Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang diduga mengalami
stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk evaluasi dan terapi. Pertama-tama,
dokter akan menanyakan riwayat medis pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya
dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu,
akan menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian. Pengetahuan
sebelumnya tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan penilaian.
Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah penggunaan skala stroke.
The American Heart Association telah mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem
saraf untuk membantu penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah
intervensi agresif mungkin diperlukan.
10
Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non hemoragis.
antara keduanya, dapat ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis,
algoritma dan penilaian dengan skor stroke, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Bila sudah ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah berikutnya
adalah menetapkan stroke tersebut termasuk jenis yang mana, stroke hemoragis atau stroke
non hemoragis.Untuk keperluan tersebut, pengambilan anamnesis harus dilakukan seteliti
mungkin.Berdasarkan hasil anamnesis, dapat ditentukan perbedaan antara keduanya, seperti
tertulis pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan anamnesis
Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila dibandingkan antara
keduanya akan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark berdasarkan tanda-tandanya.
12
Catatan
4. Pemeriksaan Penunjang
jenis patologi
lokasi lesi
ukuran lesi
untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika
dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika
13
CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat
dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk
pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti,
pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah
magneti kuat suatu MRI.
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara
spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi),
suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain
disebut dengan diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan.
Teknik ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian
otak yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih
dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi
sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien
stroke.
Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang
disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan
informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran
darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography
menggeser angiogram konvensional.
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang
digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke dalam
arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x
secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh
darah yang paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan
hanya jika benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika
sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang dilakukan
untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka
sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk dilakukan.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan penyempitan
dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke
otak)
Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada
pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang
14
suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun
melalui esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor
Holter sama dengan electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada
dada selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal.
Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan
untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami
peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena
pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke
yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah
screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit
mungkin juga perlu dipertimbangkan.
PENATALAKSANAAN
Terapi dibedakan pada fase akut dan pasca fase akut.
1. Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan ialah menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati,
dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu/mengancam fungsi otak.
Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak
justru berkurang. Sehingga perlu dipelihara fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan
darah darah dipertahankan pada tingkat optimal, kontrol kadar gula darah (kadar gula darah
yang tinggi tidak diturunkan dengan derastis), bila gawat balans cairan, elektrolit, dan asam
basa harus terus dipantau.
Pengobatan yang cepat dan tepat diharapkan dapat menekan mortalitas dan mengurangi
kecacatan. Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki aliran darah ke otak secepat
mungkin dan melindungi neuron dengan memotong kaskade iskemik. Pengelolaan pasien
stroke akut pada dasarnya dapat di bagi dalam :
1.
Breathing
Blood
Brain
Bladder
Bowel
15
2.
Stroke iskemik
Proteksi neuronal/sitoproteksi
Stroke Hemoragik
Pengelolaan konservatif
Pengelolaan operatif
ventilasi baik, agar tidak terjadi aspirasi (gigi palsu dibuka).Intubasi pada pasien
dengan GCS < 8.Pada kira-kira 10% penderita pneumonia (radang paru) merupakan
merupakan penyebab kematian utama pada minggu ke 2 4 setelah serangan
otak.Penderita sebaiknya berbaring dalam posisi miring kiri-kanan bergantian setiap 2
jam.Dan bila ada radang atau asma cepat diatasi.
Blood : Tekanan darah pada tahap awal tidak boleh segera diturunkan, karena dapat
memperburuk keadaan, kecuali pada tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan atau
diastolik > 120 mmHg (stroke iskemik), sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik >
100 mmHg (stroke hemoragik). Penurunan tekanan darah maksimal 20 %.
Obat-obat yang dapat dipergunakan Nicardipin (0,5 6 mcg/kg/menit infus
kontinyu), Diltiazem (5 40 g/Kg/menit drip), nitroprusid (0,25 10 g/Kg/menit
infus kontinyu), nitrogliserin (5 10 g/menit infus kontinyu), labetolol 20 80 mg
IV bolus tiap 10 menit, kaptopril 6,25 25 mg oral / sub lingual.
Keseimbangan cairan dan elektrolit perlu diawasi
Kadar gula darah (GD) yang terlalu tinggi terbukti memperburuk outcome pasien
stroke, pemberian insulin reguler dengan skala luncur dengan dosis GD > 150 200
mg/dL 2 unit, tiap kenaikan 50 mg/dL dinaikkan dosis 2 unit insulin sampai dengan
kadar GD > 400 mg/dL dosis insulin 12 unit.
16
Brain : Bila didapatkan kenaikan tekanan intra kranial dengan tanda nyeri kepala,
muntah proyektil dan bradikardi relatif harus di berantas, obat yang biasa dipakai
adalah manitol 20% 1 - 1,5 gr/kgBB dilanjutkan dengan 6 x 100 cc (0,5 gr/Kg BB),
dalam 15 20 menit dengan pemantauan osmolalitas antara 300 320 mOsm,
keuntungan lain penggunaan manitol penghancur radikal bebas.
Peningkatan suhu tubuh harus dihindari karena memperbanyak pelepasan
neurotransmiter eksitatorik, radikal bebas, kerusakan BBB dan merusak pemulihan
metabolisme enersi serta memperbesar inhibisi terhadap protein kinase.Hipotermia
ringan 30C atau 33C mempunyai efek neuroprotektif.
Bila terjadi kejang beri antikonvulsan diazepam i.v karena akan memperburuk
perfusi darah kejaringan otak
Bladder : Hindari infeksi saluran kemih bila terjadi retensio urine sebaiknya dipasang
kateter intermitten. Bila terjadi inkontinensia urine, pada laki laki pasang kondom
kateter, pada wanita pasang kateter.
Bowel : Kebutuhan cairan dan kalori perlu diperhatikan, hindari obstipasi, Jaga
supaya defekasi teratur, pasang NGT bila didapatkan kesulitan menelan makanan.
Kekurangan albumin perlu diperhatikan karena dapat memperberat edema otak
17
1.000 u/jam cek APTT 6 jam kemudian sampai dicapai 1,5 2,5 kali kontrol
hari ke 3 diganti anti koagulan oral, Heparin berat molekul rendah (LWMH)
dosis 2 x 0,4 cc subkutan monitor trombosit hari ke 1 & 3 (jika jumlah <
100.000 tidak diberikan), Warfarin dengan dosis hari I = 8 mg, hari II = 6 mg,
hari III penyesuaian dosis dengan melihat INR pasien.
Pasien dengan paresis berat yang berbaring lama yang berrisiko terjadi
trombosis vena dalam dan emboli paru untuk prevensi diberikan heparin 2 x
5.000 unit sub cutan atau LMWH 2 x 0,3 cc selama 7 10 hari.
Obat anti agregasi trombosit mempunyai banyak pilihan antara lain aspirin
dosis 80 1.200 mg/hari mekanisme kerja dengan menghambat jalur
siklooksigenase, dipiridamol dikombinasi dengan aspirin aspirin 25 mg +
dipiridamol SR 200 mg dua kali sehari dengan menghambat jalur
siklooksigenase, fosfodiesterase dan ambilan kembali adenosin, cilostazol
dosis 2 x 50 mg mekanisme kerja menghambat aktifitas fosfodiesterase III,
ticlopidin dosis 2 x 250 mg dengan menginhibisi reseptor adenosin difosfat
dan thyenopyridine dan clopidogrel dosis 1 x 75 mg dengan menginhibisi
reseptor adenosin difosfat dan thyenopyridine.
18
Proteksi neuronal/sitoproteksi
Sangat menarik untuk mengamati obat-obatan pada kelompok ini karena
diharapkan dapat dengan memotong kaskade iskemik sehingga dapat
mencegah kerusakan lebih lanjut neuron.
b. Stroke Hemoragik
-
19
Evaluasi status
dapat
diberikan
obat-obat
yang
mempunyai
sifat
neuropriteksi.
-
Pengelolaan operatif
Tujuan pengelolaan operatif adalah : Pengeluaran bekuan darah,
Penyaluran cairan serebrospinal & Pembedahan mikro pada pembuluh darah.
Yang penting diperhatikan selain hasil CT Scan dan arteriografi adalah
keadaan/kondisi pasien itu sendiri :
Faktor faktor yang mempengaruhi :
1. Usia
Lebih 70 th
60 70 th
2. Tingkat kesadaran
Koma/sopor
tak dioperasi
Sadar/somnolen
neurologiknya menurun
Perdarahan serebelum : operasi kadang hasilnya memuaskan walaupun
kesadarannya koma
3. Topis lesi
Perdarahan putamen
Bila hematoma kecil atau sedang
tak dioperasi
Perdarahan talamus
Pada
umumnya
tak
dioperasi,
hanya
ditujukan
pada
Perdarahan serebelum
Bila perdarahannya lebih dari 3 cm dalam minggu pertama
maka operasi
Bila perjalanan neurologiknya stabil diobati secara medisinal
dengan pengawasan
Bila hematom kecil tapi disertai tanda tanda penekanan batang
otak operasi
21
Indikasi pembedahan pasien PSA adalah pasien dengan grade Hunt &
Hest Scale 1 sampai 3, waktu pembedahan dapat segera (< 72 jam)
atau lambat (setelah 14 hari). Pembedahan pasien PSA dengan Hunt
&Hest Scale 4 5 menunjukkan angka kematian yang tinggi (75%).
2. Fase Pasca Akut
Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan rehabilitasi
penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.
Terapi Preventif
Tujuannya, untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru stroke, dengan
jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko stroke:
Untuk stroke infark diberikan :
a
Berolahraga teratur
PROGNOSIS
Ada sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh secara sempurna
asalkan ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari itu. Hal ini penting agar
penderita tidak mengalami kecacatan. Kalaupun ada gejala sisa seperti jalannya pincang atau
berbicaranya pelo, namun gejala sisa ini masih bisa disembuhkan.
Sayangnya, sebagian besar penderita stroke baru datang ke rumah sakit 48-72 jam
setelah terjadinya serangan. Bila demikian, tindakan yang perlu dilakukan adalah pemulihan.
Tindakan pemulihan ini penting untuk mengurangi komplikasi akibat stroke dan berupaya
mengembalikan keadaan penderita kembali normal seperti sebelum serangan stroke.
22
BAB III
KEJANG PADA STROKE
23
Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf.
Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah
jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti
siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat
epilepsi pasca trauma.
Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien epilepsi
dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan
onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari
kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan
stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan
pada 90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke
hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat vs 93%
dengan kejang onset lambat.
Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memiliki kemungkinan menyebabkan kejang
akut masih menimbulkan kontroversi. Di antara 1640 pasien dengan iskemia serebral,
kejadian yang terkait dengan penyakit jantung paling sering dikaitkan dengan kejang onset
cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan dengan hematoma supratentorial (16,2%). Namun,
definisi mekanisme kardiogenik dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria
tertentu.Beberapa penulis masih mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa
kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian tentang
penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada alasan untuk menduga
bahwa lesi kardioembolikakan seperti emboli dari pembuluh darah besar mungkin dapat
menyebabkan kejang, seperti emboli jantung dan pembuluh darah besar sering melibatkan
lesi pada cabang kortikal distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal
belum pasti, tetapi kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi cepat
setelah fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya.
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan
kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan lesi
yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan keterlibatan
lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan
terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang
masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang
menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling
24
sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyebab kejang
tidak dapat diketahui.
Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap
lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Pada 123 pasien terjadi
peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan perdarahan dalam struktur kortikal lobar
(54%), perdarahan retromamilar basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus.
Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan
terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan
dengan kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti
vena lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang.
Mekanisme
metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang
mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi
oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi
perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus frontal dan
temporal. Pasien dengan perdarahan subarachnoid mungkin juga memiliki komponen
perdarahan intraparenchymal.
Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat
keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar atau kecacatan
pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis
cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah kortikal yang lebih luas.
Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang setelah perdarahan subarachnoid
termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma intraparenchymal, infark serebral,
riwayat hipertensi dan ketebalan tulang belakang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor
klinis untuk kejang setelah terjadi perdarahan intraparenchymal.
Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekanisme yang lain. Kejang
karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya terjadi ketika pecahnya lesi
tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terjadinya kejang oleh iritasi yang
berdekatan dengan parenkim otak.
Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secara signifikan
terjadi dalam pengaturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi, paling sering
endarterektomi karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial. Sindrom reperfusi, pertama
dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien, fenomena migrain
atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering tidak lengkap. Onset dari
25
sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai 3 minggu setelah revaskularisasi dan
sering ditandai oleh sakit kepala ipsilateral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa juga
dapat menyebabkan intraoperatif atau hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau
perdarahan. Sebaliknya, malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk
laju aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perdarahan.
Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dalam
pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol bertanggung
jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan menjadi dilatasi yang kronik.
Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan prosedur revaskularisasi, pembuluh darah
tidak dapat vasokonstriksi dan parenkim otak mengalami peningkatan besar dalam aliran
darah. Pelepasan neuropeptida vasoaktif dari saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi
terhadap perkembangan sindrom reperfusi dalam oksidan yang berkembang sebelum
revaskularisasi dan peradangan untuk mengembalikan sirkulasi.
Manisfestasi Klinis
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal,
kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah studi kejang onset
cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis yang paling sering (61%), diikuti
oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih
cenderung bersifat parsial, sedangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi
sekunder. Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan
cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun.
Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status
epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar,
status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik atau
hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola electroencephalographic
(EEG).
Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan timbulnya
onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang biasanya
terjadi di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori pembedahan pada arteri karotis interna.
Kadang-kadang status epileptikus terjadi kemudian.
26
Diagnosis
Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi periodik
lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik lateralizing pada
EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus paku juga
memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal pada
perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masingmasing 20%, 10% dan 5%. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil
studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal.
Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari
iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal. EEG
dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke fokal. Pada
beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan
berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak adanya
kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama dalam struktur
subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.
Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark. Lansberg dkk
telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan resonansi magnetik akut pada
3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-studi menunjukkan peningkatan
intensitasgambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T2 yang berat dan area yang sesuai
dengan koefisien difusi yang rendah. Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi
tanda iskemik nonvascular dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi
resonansi magnetik dan peningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik
dengan kontras. Studi lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran
tahanan difusi di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.
Diferensial Diagnosis
Diagnosis diferensial iskemia akibat kejang termasuk kejang sekunder karena
penyebab lain. Withdrawal obat (Benzodiazepin) dan gangguan metabolisme (misalnya
kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum, kecuali memang sudah ada
lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fenomena fokus dan serangan iskemik
transien dapat memperlambat fokus pada hasil temuan EEG. Diantara semua itu, kelainan
glukosa tidak boleh diabaikan.
27
Penatalaksanaan
Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteristik individu tiap
pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan komorbiditas medis. Sebagai
pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk mengevaluasi kejang pasca stroke yang
telah dilakukan untuk menilai agen khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah
bagaimana cara untuk memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan
bahwa kejang pasca stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang
pasca stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika mereka
baru terserang stroke. Bladin et al berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan
kejang pasca stroke akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tidak
etis, meskipun insiden kejang pasca strokerelatif masih rendah. Arboix et al menyimpulkan
bahwa efektivitas antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak
yang dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi.
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol dengan
monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan pengobatan yang
termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki
keuntungan dari pemberian parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan
atau status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan
yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin.
Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang
yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk
mengobati kejang onset cepat dan kejang onset lambat.
Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama untuk
pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10% dari penghuni
panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering digunakan untuk
pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi,
lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan
pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine.
Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah
diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya sering
digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi
untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang
merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.
28
Prognosis
Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memiliki data yang
bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi prospektif, kejang onset
cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit neurologis yang
memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dalam Skala Stroke Skandinavia
dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa kejang adalah manifestasi penumbra iskemik
yang lebih besar yang memberikan kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya,
dalam studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48
jam dari serangan stroke atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal di
rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak menunjukkan
adanya kejang (14,4%).
Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset
lambat dan pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian dapat diukur
dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering terjadi pada
pasien dengan residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mereka yang tidak
(20%). Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri. Prognosis jangka panjang
tergantung pada perkembangan perdarahan intraserebral.
30
DAFTAR PUSTAKA
Bamford,
31