Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini Pemilu menjadi topik pembahasan hangat bagi masyarakat
indonesia karena pesta demokrasi di negeri ini kian dekat. Muncul berbagai topik
hangat yang berkaitan dengan pesta demokrasi 5 tahunan itu seperti tentang
politik uang, kampanye hingga nepotisme dalam pergantian jabatan legislatif
bahkan eksekutif, namun kali ini politik uang menjadi topik pilihan untuk dibahas
dalam makalah ini. Politik uang atau money politic merupakan salah satu praktik
busuk yang dikhawatirkan banyak pihak dapat mengancam pelaksanaan pemilu
2014. Begitu berbahayanya praktik politik uang tersebut tentu saja akan sangat
berpengaruh terhadap kemurnian dari proses pelaksanaan pemilu. Lalu benarkah
praktik politik uang akan mewarnai perjalanan pesta pilkada nanti mengingat isu-
isu tentang praktik politik uang dalam setiap pesta politik di negeri ini selalu saja
hampir terjadi, seperti misalnya pada pesta pemilu. Pertanyaan di atas patut
dicermati, jika tidak akan dapat mengancam proses demokrasi yang sedang
berlangsung.
Wacana tentang politik uang pada setiap pesta politik di Indonesia
memang selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan. Sebab memang
permainan politik uang akan menjurus kepada hasil yang tidak mempunyai
legitimasi bagi suatu pembentukan pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat. Di
samping itu, politik uang jelas akan menghancurkan sistem demokrasi yang
sedang giat-giatnya kita bangun.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut, sehingga begitu
hebat sekali pengaruhnya dalam membunuh kehidupan demokrasi. Sampai saat ini
memang tidak ada definisi yang khusus mengenai apa itu politik uang. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah politik uang juga tidak
ditemukan, sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan untuk kemudian
diselesaikan secara hukum. Buktinya sampai sekarang belum ada seorang pun
yang diajukan ke meja hijau karena terlibat praktik politik uang. Dibutuhkan
bukti-bukti yang sangat konkret untuk membuktikan kejahatan ini.
2

Meskipun demikian, dalam Dalam hal terbukti pelaksana Kampanye
Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan
kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu
c. dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
d. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
e. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
f. kabupaten/kota tertentu; atau
g. memilih calon anggota DPD tertentu,
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012.
Politik uang juga bisa dikategorikan kepada kejahatan korupsi. Karena ia
memberikan suap berupa uang kepada pihak lain untuk mencapai tujuan politik.
Dalam kaitan ini pemberi dan penerima dapat dikategorikan sama-sama
melakukan pelanggaran, sehingga kedua belah pihak dapat dikenakan sanksi
tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan
Korupsi. .(Masduki, 2012)
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal mula praktik politik uang dalam demokrasi?
2. Bagaimana politik uang dalam sudut pandang demokrasi di Indonesia?
3. Apa dampak bagi masyarakat dan pencegahan praktik politik uang?

Teknis penulisan makalah ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (UM, 2010)







3

BAB II PEMBAHASAN

A. Awal Mula Praktik Politik Uang Dalam Demokrasi
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji
menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat
pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.
Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya
dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H
pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian
berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat
dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan
suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Politik dan uang selalu bergandengan tangan. Virus politik uang,
sebenarnya sudah berkembang sejak masa Negara Kota Polis/Politea di Yunani
Kuno. Sejak dipergunakannya uang secara luas sebagai alat tukar dalam
peradaban modern, uang telah menjadi tiket politik yang efektif. Jika digunakan
dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos bagi seseorang untuk memperoleh
kekuasaan atau jabatan tertentu.
Pemilihan Umum tinggal beberapa bulan lagi. Partai politik saat ini sudah
mulai menjalankan strategi mereka untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Berdasarkan pada pengalaman sebelumnya, salah satu jurus yang dianggap jitu
untuk mendulang suara adalah dengan melakukan praktek politik uang. Politik
uang adalah fenomena yang jamak terjadi di Indonesia. Praktek memberi uang
semacam ini sudah terjadi sejak masa Orde Baru. Penguasa saat itu menggunakan
politik uang sebagai salah satu cara mempertahankan kekuasaannya.
Cara-cara partai penguasa pada masa Orde Baru dalam melaksanakan
politik uang : menggunakan uang sebagai alat untuk memobilisasi massa,
membagi pecahan Rp. 10.000,00 dan Rp. 50.000,00 pada peserta kampanye,
memberikan uang kepada kepala desa agar hasil TPS setempat dimenangkan oleh
partai tersebut dan lain-lain. (Widhiyoko, 2012: 8)
4

Praktik politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek: idealisme
demokrasi dan aturan main perundangan. Dalam konteks demokratisasi, fenomena
politik uang, memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika
demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai
aktor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus merdeka dari
tekanan dan intimidasi termasuk tekanan uang. Selain itu, pilihan rakyat juga
mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas, bukan alasan yang bersifat
pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya, mesti tetap
dalam idealisme demokrasi.
Pada titik ini, yang menguat adalah praktik proseduralisme demokrasi
yang berbiaya tinggi, dan semakin terpinggirkannya substansi nilai-nilai
demokrasi yang mengusung kearifan dan kemanusiaan. Ujung dari politik uang,
tentunya demokratisasi tak bertuan. Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung
tidak melibatkan kekuatan kemerdekaan rakyat sesungguhnya. Sebab yang
menggerakkan pilihan mereka adalah landasan material/uang.
Di sisi lain, pemerintah yang berkuasa pun tidak memiliki ruang
akuntabilitas untuk proses pertanggungjawaban. Karena segalanya telah selesai
saat transaksi uang dalam proses pemilihan terjadi. Sehingga tak mengherankan,
ketika terjadi tirani kekuasaan oleh negara, maka rakyat tidak memiliki daya
resistensi yang cukup kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi. Dari rakyat, tapi
bukan oleh rakyat, dan bukan untuk rakyat.
Kekuatan uang dalam politik kontemporer kita semakin menunjukkan
pengaruh yang luar biasa. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam praktik
bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungannya dengan pemerintah,
institusi negara, dan sektor swasta. Tidak kalah kuatnya, hal yang sama dapat
dirasakan dalam dinamika politik internal partai politik (parpol), khususnya dalam
penentuan calon anggota legislatif (caleg) partai dalam pemilu maupun calon
kepala daerah dalam pilkada.
Kasus-kasus politik uang yang melibatkan hampir semua parpol di
parlemen, baik yang mengarah ke korupsi maupun pelanggaran aturan dana
politik menjadi hal yang kasat mata yang dapat kita saksikan di berbagai media
5

saat ini. Hal ini akan senantiasa mengemuka dan memperburuk wajah perpolitikan
nasional di tengah dinamika persaingan dan suksesi politik, utamanya pada
Pemilu 2014 yang akan datang.
Kebebasan media, dan mulai bekerjanya hukum ke wilayah politik
memberi andil besar dalam menyingkap political buying yang dahulu tertutup
dengan berbagai macam kedok. Maka segala bentuk resistensi yang dilakukan
para politisi guna menyelamatkan buruk rupa mereka, sebenarnya tidak berlebihan
jika dikatakan apa yang mereka lakukan itu sebagai tindakan oligarki elite yang
membajak lembaga demokrasi hasil gerakan reformasi. Berbagai sentimen negatif
dari masyarakat atas parpol dan lembaga parlemen atas tidakan ini dapat dilihat
dari berbagai hasil survei.
Konon katanya, akibat politik uang legitimasi parpol dan parlemen sebagai
instrumen demokrasi modern untuk menyalurkan aspirasi masyarakat kini berada
dalam titik nadir. Menjadi terverifikasi sinyalemen, bahwa kehidupan politik
hanya ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatan produktif.
Akibatnya, masyarakat yang sadar politik disandera oleh dua pilihan yang
sulit, yaitu tuntutan untuk memperkuat lembaga demokrasi dengan berbagai
perjuangannya atau melupakannya sama sekali. Meningkatnya angka golput dari
waktu ke waktu atau menggunakan pemilu sebagai instrumen untuk menghukum
politisi busuk adalah suatu kenyataan yang barangkali mencerminkan keadaan
dilematis itu.
Namun, upaya ini diakui sungguh sangat sulit. Karena bukan hal mudah
melawan kekuatan uang. Demokrasi uang telah menjadi surga bagi mereka yang
berkantong tebal. Hal ini melahirkan kondisi persaingan politik yang tidak imbang
(unequal opportunity). Sehingga bukan suatu kebetulan jika semakin banyak
saudagar atau pejabat kaya entah dari sumber halal atau haram yang meraih kursi
kekuasaan politik dengan uang, yang pada masa lalu mungkin mereka hanya
sebagai donatur politik semata.
Kian intimnya hubungan politik dan uang mungkin akan semakin
melanggengkan praktik korupsi penyelenggara negara. Memang ini bukan
fenomena di negeri kita saja. Namun, celakanya di sini transaksinya adalah antara
6

calo politik dan calo bisnis yang keduanya secara teori tidak ada kepentingan
untuk membangun infrastruktur politik, sosial, dan ekonomi yang sehat untuk
kepentingan pembangunan, tetapi sekedar perburuan rente ekonomi kedua belah
pihak secara cash and carry.
Dalam sistem pemilu sekarang, biaya politik untuk pemenangan pemilu
lebih dominan ke kas kandidat (caleg), bukan partai, sehingga praktis mereka
harus memperluas sumber pendanaan. Kandidat anggota legislatif atau kepala
daerah yang sebagian melamar parpol peserta pemilu harus mengeluarkan ongkos
sebanyak dua kali untuk memenangi pemilu internal partai dan kampanye
pemilu di daerah pemilihannya masing-masing. Meski kini calon independen
untuk pilkada sudah dimungkinkan, tidak dengan sendirinya biaya politik akan
berkurang banyak karena mereka akan menghadapi pemilih dan kekuatan politik
di parlemen yang telanjur digerakkan uang.
Meski demikian, hal yang menarik perkembangan terakhir dalam berbagai
kasus Pilkada, misalnya, kekalahan calon-calon incumbent membersitkan sedikit
harapan baru, atas kesadaran politik baru, dimana lahirnya pemilih yang rasional
sekaligus mengingatkan para oligarki elite pemuja politik uang, untuk tidak
mengabaikan perilaku politik yang bermoral dan memihak rakyat banyak. Sebagai
contoh, kasus pemilihan gubernur DKI beberapa waktu lalu, yang kemudian
menggulirkan fenomena dan sindrom Jokowi secara massif, merupakan
representasi dari kesadaran politik baru itu. Bahwa tidak selamanya juga pemilih
gampang ditaklukkan dan diiming-imingi dengan politik uang.
Dalam konteks ini, sudah tepat rakyat menggunakan pemilu untuk
menghukum penguasa yang tidak berprestasi, oligarki elite dengan arogansi
politik uang, pejabat negara yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang rente
ekonomi, untuk dicap sebagai politisi busuk yang harus dikikis dan disingkirkan.
Maknanya, politik uang bukan segala-galanya dalam ruang atmosfer politik yang
senantiasa dinamis.(Agustar, 2013)
B. Politik Uang Dalam Sudut Pandang Demokrasi Di Indonesia
Politik uang tumbuh dan berkembang karena parpol gagal menghasilkan
kader yang percaya diri. Pemilihan umum (pemilu) dan politik uang melekat
7

dalam praktik demokrasi di Indonesia saat ini. Semua partai politik (parpol)
menjalankan politik uang untuk meraih suara dalam pemilu, apakah pemilihan
kepala daerah (Pilkada) maupun pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu presiden-
wakil presiden (Pilpres).
Politik uang dijalankan dengan beragam cara, baik dengan memberi uang
secara langsung, paket, maupun berupa janji atau iming-iming. Eksploitasi
kemiskinan masyarakat dilakukan secara masif oleh politikus. Ketidakmampuan
masyarakat untuk mendapat uang yang cukup dari kerja keras, dimanfaatkan
dengan memberi uang secara instan.
Tentu praktik ini dapat mengancam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Kemurnian demokrasi, yakni pemberian suara ternodai. Masyarakat tidak lagi
memilih berdasarkan hati nuraninya tetapi berdasarkan pada apa yang mereka
terima sesaat sebelum pemilihan dilakukan.
Politik uang merupakan tindak kejahatan, tindak pidana korupsi. Pemberi
uang, yakni calon kepala daerah, calon anggota legislatif, atau calon presiden-
wakil presiden entah langsung ataupun melalui tim sukses masing-masing
berusaha memengaruhi pemilih untuk mencapai tujuannya.
Pemberi dan penerima sama-sama melakukan pelanggaran. Jadi, kedua
belah pihak dapat dikenakan sanksi tindak pidana korupsi sesuai UU No 31/1999
tentang Pemberantasan Korupsi. Sayangnya, dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) kita tidak temukan istilah politik uang
sehingga kejahatan seperti ini masih sulit dijerat secara hukum.
Praktik politik uang yang makin marak membuat warga permisif,
memandang politik uang bukan pelanggaran. Malah ada kesan, politik uang
merupakan sesuatu yang wajar dilakukan semua yang ingin mendapat kekuasaan.
Survei Indikator Politik Indonesia beberapa waktu lalu menunjukkan, sebanyak
41,5 persen responden menilai politik uang sebagai hal wajar.
Hanya sekitar 57,9 persen responden mengaku tidak bisa menerima politik
uang dan 0,5 persen tidak menjawab. Meski masih lebih dari separuh responden
memandang politik uang tidak bisa dibenarkan, tingginya responden yang
permisif terhadap politik uang adalah pratanda bahaya yang cukup serius.
8

Suara rakyat adalah suara tuhan, vox populi vox dei istilah dalam bahasa
latin menyebutkan betapa pentingnya rakyat dalam suatu sistem politik. Kalimat
kalimat tersebut menunjukan bahwa demokrasi dan politik menjadi tidak berarti
tanpa menjadikan rakyat sebagai substansinya. Rakyat adalah pangkal dan muara
dari demokrasi dan politik, suatu konsep ideal yang telah dituliskan.
Demokrasi politik yang saat ini terjadi di Indonesia kian jauh dari nilai-
nilai Pancasila, terutama pada nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan dan nilai
keadilan, nilai persatuan, serta nilai kerakyatan.
Menjelang pilpres 2014 saat ini, suhu perpolitikan kian panas. Mesin-
mesin politik mulai bergerak dan bermanuver untuk menjatuhkan lawan politik.
Demokrasi politik kian hangat. Partai politik memperebutkan kursi kekuasaan
dalam pemilu legislatif 2014. Artis pun ikut diajak berpolitik demi mendulang
suara untuk partai politik.
Sistem demokrasi langsung dan berbiaya tinggi semakin menyuburkan
perilaku pragmatis di kalangan partai politik yang mengutamakan jalan pintas
untuk kepentingan kekuasaan semata. Paradigma itu telah menggembosi nilai-
nilai luhur Pancasila yang mengusung prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
dan keadilan.
Demokrasi politik yang saat ini terjadi di Indonesia kian jauh dari nilai-
nilai Pancasila, terutama pada nilai kemanusiaan, nilai ketuhanan dan nilai
keadilan, nilai persatuan, serta nilai kerakyatan. Perilaku elite politik banyak yang
menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan tugas sebagai wakil
rakyat. Faktanya, banyak terjadi kekuasaan koruptif oleh elite politik. Partai
politik digunakan untuk membuka akses mencari uang dari anggaran negara.
Padahal, partai politik dibentuk untuk sebuah organisasi kekuasaan demi
kesejahteraan bangsa Indonesia. Parpol yang pertama ada di Indonesia adalah De
Indische Partij yang pada 25 Desember 1912 dibentuk Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara ketika Indonesia masih dalam penja-
jahan Belanda. Tujuan parpol itu adalah mencapai kemerdekaan dan kebebasan
serta perbaikan nasib bagi bangsa Indonesia.
9

Dalam setiap pemilihan pemimpin atau presiden dan calon legislatif, sudah
dapat dipastikan bahwa pertarungan untuk mencitrakan partai dan pemimpinya
dalam upaya meraih simpatisan dari rakyat pasti dilakukan. Kampanye dan
pencitraan melalui berbagai slogan, simbol, dan program kegiatan yang nista dan
penuh kebohongan perlu diwaspadai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.
Pertama, politik uang mesti terjadi dalam pertarungan pilpres 2014. Kita
tidak dapat melepaskan diri dari adanya money politics dalam setiap pemilu.
Sudah menjadi rahasia umum bila permainan politik uang pasti digunakan dalam
sistem demokrasi dan perpolitikan di Indonesia. Karena itu, politik uang sejatinya
telah melanggar nilai-nilai Pancasila. Pancasila dalam sila Ketuhanan Yang Maha
Esa telah mengajarkan manusia dalam berpolitik untuk selalu jujur dan amanah,
tidak melanggar nilai-nilai agama dalam berpolitik.
Kedua, dana kampanye. Dalam pertarungan pilpres 2014, sejatinya partai
politik harus transparan dan akuntabel dalam dana kampanye. Sebab dana
kampanye itu biasanya diambilkan dari anggaran negara. Para elite politik parpol
yang duduk dalam kekuasaan negara dapat mengakses uang negara untuk
kepentingan parpol. Kita lihat saja fakta di lapangan, banyak elite politik yang
melakukan praktik korupsi dari uang negara. Hal itu tak lain untuk memenuhi
kebutuhan parpol. Fenomena itu menegaskan bahwa berdirinya partai politik telah
jauh dari nilai-nilai Pancasila dan telah melukai nilai kemanusiaan dan kerakyatan
bangsa Indonesia.
Dalam sila pertama, telah dijelaskan Ketuhanan Yang Maha Esa telah
memberikan landasan kuat bagi kehidupan umat beragama di Indonesia.
Keimanan harus dijadikan petunjuk dalam berpolitik sehingga sebagai bentuk
praksis adalah tegaknya keadilan yang merata untuk semua rakyat.
Dalam sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tidak dapat
ditafsirkan lain selain bahwa partai politik da elite politik ini wajib menegakkan
keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik secara individual maupun dalam
kehidupan kolektif di ranah politik. Penyimpangan dari sikap adil dan beradab
adalah bentuk pengkhianatan terbuka pada sila kedua.
10

Sila ketiga, Persatuan Indonesia, sikap perbedaan dalam kesatuan,
kesatuan dalam perbedaan. Perubahan itu juga berdampak pada parpol di
Indonesia. Parpol berperilaku sebagai individu yang bebas dan kuasa penuh tanpa
konsiderasi terhadap kesatuan, yaitu kepentingan masyarakat dan bangsa. Parpol
secara terus terang mengejar pencapaian kekuasaan untuk mewujudkan kepen-
tingan yang tidak peduli pada kepentingan umum.
Anggota parpol yang duduk dalam pemerintahan dan legislatif bukan
berfungsi sebagai wakil rakyat, melainkan sebagai wakil parpol. Sikap dan
perilaku parpol yang sudah amat menyeleweng dari kaidah yang berlaku dalam
Pancasila diperparah lagi dengan sikap dan perilaku banyak anggotanya, yakni
terkait dengan perilaku yang koruptif. Anggota parpol menunjukkan sikap dan pe-
rilaku sesuai dasar kebebasan penuh-mutlak seperti dalam pandangan Barat dan
tidak menghiraukan harmoni dan keselarasan sebagaimana ditetapkan Pancasila.
Sila keempat berupa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, tegas sekali memerintahkan bahwa
demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui sistem musyawarah yang
bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Di luar cara-cara ini, sila kerakyatan
yang mengandung prinsip demokrasi itu hanyalah akan membuahkan malapetaka
berkepanjangan yang telah menjadikan bangsa ini kelinci percobaan politik yang
tunamoral.
Dalam perpolitikan di Indonesia, demokrasi bukan lagi dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat, tetapi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk parpol. Hal
itulah yang menimbulkan kekacauan dalam berpolitik. Suara-suara rakyat
hanyalah untuk kepentingan parpol. Setelah partai politik menang, rakyat yang
memilihnya nasibnya tidak diperhatikan. Hal itu jelas melanggar nilai-nilai luhur
Pancasila.
Sila kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan
yang ditegakkan oleh elite politik dan partai politik hanyalah isapan jempol. Aspi-
rasi rakyat Indonesia dalam menuntut keadilan pada wakil rakyatnya di DPR
hanya lips service belaka. Elite politik dan parpol yang dipilih rakyat telah lupa
akan nasib keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi konstituennya.
11

Angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang semakin tinggi
adalah bukti bahwa elite politik dan partai politik tidak memahami sila keadilan
ini dan tidak pernah perduli secara sungguh-sungguh melalui program pemerintah
yang berpihak pada masyarakat Indonesia yang termarjinalkan dalam sosial-
ekonomi. Hal ini menunjukkan partai politik belum memenuhi rasa keadilan bagi
seluuh rakyat Indonesia yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila.
Dengan demikian, kita berharap pada pendiri partai politik dan tokoh
partai politik, elite politik harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila
sebagai sumber utama dalam etika politik dan sistem demokrasi di Indonesia.
Dengan selalu menegakkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika dalam perpolitikan di Indonesia, kita berharap kesejahteraan dan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai dan diimplementasikan oleh
elite politik dan parpol

C. Dampak Bagi Masyarakat Dan Pencegahan Praktik Politik Uang
Pemilihan umum (pemilu) merupakan wujud dari pesta demokrasi, di
mana saat itu rakyat terlibat langsung dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Dalam kitab Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 22 E ayat
(2) dikatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari penjelasan di atas kita
bisa tafsirkan bahwa dalam Pemilhan Umum kita pada saat itu akan memilih
wakil wakil rakyat yang akan menyelenggarakan pemerintahan.
Namun penerapan demokrasi itu sendiri seringkali dinodai dengan
penyimpangan-penyimpangan seperti praktik money politics. Satu usaha yang
dilakukan oleh para kandidat maupun partai politik agar memenangkan perolehan
suara yakni dengan transaksi jual beli suara atau dikenal dengan istilah money
politics. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.
Padahal secara umum dalam sistem pemerintahan yang demokratis
senantiasa mengandung unsur-unsur yang paling penting yaitu :
1. Ketelibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
12

2. Tingkat persamaan tertentu diantara warga negara.
3. Tingkat kebebasan atau kemerdakaan tertentu yang diakui dan dipakai
warga negara.
4. Suatu sistem perwakilan.
5. Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas
Money politics merupakan satu model politik yang buruk dan pelanggaran
kampanye. Suara rakyat sebagai Suara Tuhan sebagaimana sering diucapkan
para politikus, pada kenyataannya hanya ungkapan manipulatif. Khususnya ketika
dihadapkan dengan realitas bahwa uang dan kepentingan dijadikan alat utama
dalam meraih suatu jabatan/kekuasaan. Meskipun praktik money politics
merupakan suatu pelanggaran namun kenyataannya sebagian besar masyarakat
menengah ke bawah masih menggandrunginya karena faktor kebutuhan ekonomi.
Oknum yang melakukan money politics haruslah memunyai persiapan
dana yang besar, mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. Pada pemilihan
anggota dewan atau legislatif beberapa tahun yang lalu, sudah menjadi rahasia
umum jika sebagian besar caleg harus mengeluarkan uang dengan jumlah yang
banyak untuk mendapatkan kursi di DPRD.
Dana money politics tersebut biasanya diperoleh dari dua sumber.
Pertama, berasal dari pendukung yang memiliki kepentingan. Di Indonesia,
hampir 60 persen diperoleh dari pengusaha. Kondisi ini berimplikasi serius yakni
kebijakan pemerintahan yang terpilih akan mengutamakan kepentingan pengusaha
yang mendukung.
Kedua, dana berasal dari pribadi sehingga menciptakan politik balik
modal. Dari perhitungan sederhana, praktik money politics membuka ruang yang
sangat lebar untuk korupsi. Pasalnya ketika ia menduduki suatu jabatan, maka ia
akan berusaha untuk mengembalikan dana yang telah ia habiskan melalui
berbagai cara. Tak jarang, banyak pula wakil rakyat yang diberitakan telah
melakukan berbagai penyimpangan dan pelanggaran hukum. Serta berdampak
langsung atau tidak langsung seperti :
1. Korupsi
13

Dampak terbesar dari adanya praktek politik uang, karena ini merupakan
salah satu cara para pejabat yang terpilih untuk mengembalikan biaya-biaya
pada saat pemilu adalah dengan cara korupsi. Bisa juga dikatakan korupsi
dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah di investasikan ketika
melakukan kampanye.
2. Merusak tatanan demokrasi
Dalam konsep demokrasi kita kenal istilah dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat ini berarti rakyat berhak menentukan pilihannya kepada calon yang
di kehendakinya tanpa ada intervensi dari pihak lain.
Namun dengan adanya praktek politik uang maka semua itu seolah dalam
teori belaka, karena masyarakat terikat oleh sebuah parpol yang memberinya
uang dan semisalnya. Karena sudah diberi uang masyarakat merasa berhutang
budi kepada parpol yang memberinya uang tersebut, dan satu-satunya cara untuk
membalas jasa tersebut adalah dengan memilih/mencoblos parpol tersebut.
Sehingga motto pemilu yang bebas, jujur, dan adil hanya sebuah kata-kata yang
terpampang di tepi-tepi jalan tanpa pernah di realisasikan.
3. Akan semakin tingginya biaya politik
Dengan adanya praktik politik uang, maka sebuah parpol di tuntuk untuk
lebih memeras kantong, mengingat sudah terbiasanya masyarakat dengan
pemberian uang dan barang lainnya atau bisa kita katakan parpol yang lebih
banyak mengeluarkan biaya akan keluar menjadi pemenang. Oleh karena itu
parpol-parpol tersebut akan berusaha memberikan uang dan semisalnya kapada
masyarakat melebihi parpol pesaingnya, agar masyarakat memilihnya.
Agar praktik-praktik politik uang dalam pemilu nanti tidak tumbuh dan
berkembang, pihak-pihak terkait dalam hal ini KPUD, partai politik, LSM,
mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang berkeinginan
akan lahirnya pemerintahan daerah yang bersih, berwibawa, jujur, dan adil
hendaknya perlu mewaspadai praktik-praktik politik uang tersebut. Jangan sampai
praktik politik uang berlangsung pada saat menjelang atau saat pelaksanaan
pemilu nanti. Cara mengantisipasi praktik politik uang ini bisa saja dilakukan
dengan mengawasi secara ketat pelaksanaan pilkada, mulai dari tahap awal
14

pendaftaran atau penyaringan nama-nama bakal calon kepala daerah sampai saat
pemilihan berlangsung. Jika ada yang terbukti melakukan praktik politik uang,
pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas memberikan sanksi.
Misalnya sanksi hukum dan calon tidak diperbolehkan untuk ikut dalam proses
pilkada.
Serta beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memberantas praktik
politik uang, diantaranya adalah:
1. Menanamkan niali-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejak dini.
Dengan semakin kuatnya keimanan kita bahwa Tuhan akan membalas
setiap amal perbuatan yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan yang
berbuat jahat akan dibalas dengan azab atau siksa, maka akan semakin besar pula
rasa takut kita untuk berbuat tidak baik seperti menyuap, tidak jujur, dan
sebagainya.
2. Hukuman yang tegas bagi oknum-oknum yang menyuap dan koruptor.
Hukum di Indonesia dinilai sangat lemah bagi mereka yang mempunyai
dan sangat tegas bagi masyarakat lemah, berapa banyak sudah koruptor yang
hukumannya lebih ringan daripada pencuri ayam. Oleh karena itu jika kita hendak
memberantas korupsi di negeri ini maka cara yang sangat efektif di antaranya
adalah dengan memberikan hukuman yang berat dan tegas tanpa pandang bulu
kepada para koruptor. agar mereka yang sudah melakukan korupsi bisa jera dan
bagi mereka yang belum tidak berani melakukan korupsi.
3. Transparansi
Merupakan salah satu penopang terwujudnya pemerintahan yang bersih,
menurut para ahli akibat dari tidak adanya transparansi Indonesia telah terjatuh
kedalam kubangan korupsi yang berkepanjangan. Maka untuk keluar dari
kubangan korupsi transparansi mutlak harus dilakukan baik pemerintah pusat
maupun di bawahnya.
4. Dukungan dari semua pihak
Karena praktek politik uang dan korupsi merupakan masalah yang sangat
besar dan akar-akarnya telah menjalar keseluruh lapisan masyarakat, maka untuk
memberantasnya diperlukan kerjasama, usaha, dan dukungan dari semua pihak
15

baik pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. Jika salah satu dari komponen
tersebut tidak mendukung, maka pemerintahan yang bersih dari politik uang dan
korupsi akan sulit terwujud

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat harus cerdas dalam memilih para calon pemimpin negeri ini,
maka kita harus bersikap tegas dan menolak upaya-upaya money politics.
Sebenarnya rakyat telah belajar dari pengalaman dan dituntut menjadi cerdas
dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat berdasarkan pengalaman-pengalaman
pemilu terdahulu.

B. Saran
Dalam rangka menyukseskan proses demokrasi, memilih wakil rakyat dan
pemimpin yang amanah, serta menolak segala bentuk praktik money politics maka
diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Masyarakat harus mengambil sikap
sebagai pemilih murni dan cerdas, siap melaporkan setiap praktik money politics,
dan mengikuti pendidikan moral dan politik.
Sementara pemerintah juga harus berperan dalam merumuskan dan
menegakkan perundang-undangan untuk menutup sekecil mungkin celah
pelanggaran money politics, peningkatan sistim pemantauan dan pengawasan
yang efektif dengan meningkatkan peran Panwaslu. Selain itu, juga harus
menjatuhkan sanksi yang tegas dan jelas baik bagi para pelaku money politics.
Para calon pemimpin dan wakil rakyat juga sebaiknya mengambil langkah
sebagai berikut. Mulai dari menghindari praktik money politics dan
meminimalkan biaya penyelenggaraan kampanye, meningkatkan kapasitas dan
kualitas, memprioritaskan ide-ide dan pemecahan masalah kerakyatan,
berkompetisi dengan baik dan jujur, serta melakukan pendidikan politik kepada
masyarakat.
16

Sedangkan partai politik juga harus berkampanye dengan santun sesuai
dengan aturan yang berlaku. Selain itu, dalam perekrutan kader hendaknya lebih
banyak memberikan ruang kepada kader yang memiliki kualitas, pengalaman,
serta kompetensi yang baik untuk menjadi anggota legislatif. Tak lupa, parpol
juga berperan dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat
Sudah saatnya semua lapisan masyarakat mengambil sikap untuk menolak
praktik money politics. Praktik ini harus dihindari karena selain menghancurkan
sendi-sendi moral dan demokrasi, juga menimbulkan kerugiaan baik moril
maupun materil bagi bangsa dan negara.
Pasalnya dengan adanya money politics akan melatih masyarakat untuk
bertindak curang. Pelakunya pun bila terpilih, mungkin sekali melakukan
penyalahgunaan jabatan dan terlibat kasus korupsi. Sementara mereka yang gagal
menjabat, bisa-bisa terganggu secara psikologis atau depresi. Di sisi lain, kerugian
berjalannya money politics bagi pemerintah adalah terciptanya produk
perundangan atau kebijakan yang kolutif dan tidak tepat sasaran. Pasalnya mereka
yang menjabat tidak sesuai dengan kapasitas atau bukan ahli di bidangnya.
Tak hanya berimbas buruk bagi masyarakat, pelaku, dan pemerintah,
praktik money politics ini berakibat pada pencitraan yang buruk serta terpuruknya
partai politik. Melalui pendidikan politik, lama-kelamaan masyarakat akan sadar
mana parpol yang bersih dan santun.
Kini, kita berharap semoga proses demokrasi di Indonesia dapat berjalan
dengan lancar. Semoga kita dapat memilih dengan cerdas para wakil rakyat dan
pemimpin yang benar-benar pro rakyat, akuntabel, memiliki integritas tinggi, serta
iman yang teguh. Kini saatnya kita bersatu dan melakukan suatu gerakan untuk
menolak aksi money politics.






17





















DAFTAR RUJUKAN

Hadinoto, P.R. 2014. Kejahatan Terbessar Demokrasi Indonesia, (Online),
(http://www.pkpi.co.cc), diakses 17 Maret 2014.
Kaelan (Ed), 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma.
Kirom, S. 2013. Parpol Dan Pancasila, (Online), (http://www.harianhaluan.com),
diakses 17 Maret 2014.
Masduki, T. 2012. Mewaspadai Politik Uang Di Pilkada, (Online),
(www.antikorupsi.org), diakses 17 Maret 2013.
Muchji, A. dkk. 2007. Pendidikan Kewargangaraan. Jakarta: Universitas
Gunadarma.
18

Undang Undang Dasar 1945. Dewan Perwakilan Rakyat. (Online),
(http://www.dpr.go.id), diakses 2 April 2014
Undang Undang RI No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. (Online), ( http://datahukum.pnri.go.id), diakses 4 April
2014
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi,
Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi
Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.
Widhiyoga, G. 2012. Politik Uang Dan Gaya Baru Kampanye Di DIY, (Online),
(http://academia.edu.documents), diakses 17 Maret 2014.
Wuryaningsih, S. 2014. Dampak Buruk Money Politic, (Online),
(http://satelitnews.co), diakses 19 Maret 2014.

Anda mungkin juga menyukai