Anda di halaman 1dari 5

Banyaknya kasus malapraktik di Indonesia menunjukkan kelemahan sistem

pelayanan kesehatan di Indonesia. Kasus di atas merupakan kesalahgunaan obat (drug


missuse) yang disebabkan oleh ketidaktelitian pengawasan obat di rumah sakit. Pihak
yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah dokter, perawat dan seorang farmasis.
Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi 3 (1979), infus intravenus adalah
sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen, dan sedapat mungkin dibuat
isotonus terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam volume relatif
banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravenus tidak diperboehkan mengandung
bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk intravenus harus jernih dan praktis bebas
partikel. Emulsi untuk infus intravena, setelah dikocok, harus homogen dan tidak
menunjukkan pemisahan fase.
Contoh cairan yang diberikan melalui intravena adalah nutrisi (dekstrosa, HCl,
albumin), menjaga keseimbangan elektrolit (larutan ringer), untuk cairan pengganti
(kombinasi dekstrosa dan NaCl), dan untuk tujuan khusus (hiperalimentasi
parenteral). Jenis cairan infus dibagi menjadi tiga, yaitu cairan infus hipotonik, cairan
infus isotonik, dan cairan infus hipertonik. Cairan infus hipotonik adalah cairan infus
yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na
+
lebih
rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolaritas serum. Mka cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke
jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas
tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel
yang mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi
diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba
cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya
adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5% (Anonim, 2010).
Cairan infus isotonic adalah cairan infus yang osmolaritas (tingkat kepekatan)
cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada
di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi
(kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko
terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal
saline atau larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Anonim, 2010).
Cairan infus hipertonik adalah cairan yang osmolaritasnya lebih tinggi
dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke
dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi
urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-
Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin (Anonim,
2010).
Apabila suatu sediaan farmasi sudah mengalami kadaluarsa, maka sediaan
tersebt seharusnya tidak boleh digunkan lagi. Tanggal kadaluarsa obat (expiration
date) adalah tanggal yang menunjukkan efektivitas dan keamanan obat untuk
dipergunakan. Pada sediaan infus yang telah kadaluarsa, kemungkinan telah tumbuh
mikroorganisme sehingga sediaan tersebut tidak steril yang dapat membahayakan
tubuh pemakai. Apabila infus tidak steril, bakteri maupun virus (pirogen) dapat
langsung berada di pembuluh darah dan menyerang organ tubuh tanpa didahului
mekanisme penyaringan terlebih dahulu (BPOM, 2007). Pirogen adalah suatu produk
mikroorganisme tertama dari bakteri gram negatif dan dapat berupa endotoksin dari
bakteri ini. Pyrogen brbahaya bila diinjeksikan dalam jumlah besar secara intravena
dan akan memberikan efek cepat yaitu peningkatan suhu badan yang berakibat fatal
(Anonim, tt).
Pada seorang penderita gagal ginjal, obat akan sulit untuk diekskresikan.
Apabila diberikan infus yang telah kadaluarsa, obat yang mengandung
mikroorganisme akan beredar cepat melalui pembuluh darah dan terjadi akumulasi,
sehingga terjadi reaksi pirogenik yang akan berakibat fatal. Pada kasus tersebut,
korban terlebih dahulu dilakukan otopsi medikolegal untuk mengetahui sebab-sebab
kematian dan mencari peristiwa apa sebenarnya yang telah terjadi. Apabila setelah
dilakukannya otopsi pada korban dan diketahui penyebab kematian korban akibat
infus kadaluarsa, maka perlu dilakukan pemeriksaan pada sistem pengelolaan obat di
rumah sakit dan memeriksa sejumlah tenaga kesehatan yang terlibat untuk
mengetahui bagaimana proses terjadinya pemberian infus yang telah kadaluarsa
kepada korban.
Tanggung jawab dari dokter ataupun perawat adalah dalam hal pemberian dan
pemasangan infus yang telah kadaluarsa. Sebelum memasang infus, seharusnya
dokter ataupun perawat mengecek keadaan infus yang diberikan. Tanggung jawab
seorang farmasis rumah sakit adalah dalam hal pengawasan obat di Rumah Sakit.
Kelalaian dalam penyelenggaraan pemantauan atau pemantauan yang tidak
mengikuti standar (kurang tepat) oleh farmasis klinik dapat dikatagorikan dalam
kegiatan malpraktek kefarmasian.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992, pekerjaan kefarmasian tidak hanya
pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, tetapi juga pengamanan
pengadaan, penyimpanan, pengelolaan dan distribusi obat. Kelalaian seorang
farmasis dalam memantau tanggal kadaluarsa dari suatu sediaan obat mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia. Hal ini sebenarnya dapat dihindarkan apabila seorang
Farmasis berpatisipasi aktif dalam program monitoring keamanan obat dan beruhasa
menciptakan sistem untuk mendeteksi secara dini suatu penyimpangan distribusi atau
pengalihan obat.
Bagaimanapun, sesuai dengan SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, seorang farmasi rumah sakit bertanggung
jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut dengan
salah satu tugas pokok menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang
berlaku (Menkes, 2009).
Farmasis forensik adalah seorang farmasis yang profesinya berhubungan
dengan proses peradilan, proses regulasi, atau pada lembaga penegakan hukum
(criminal justice system). Salah satu peran farmasi forensik pada kasus ini adalah
menganalisa reaksi berbahaya yang ditimbulkan oleh infus yang telah kadaluarsa, dan
menganalisa sistem distribusi sediaan farmasi di rumah sakit tersebut. Hasil analisa
kemudian dibuat sebagai suatu penjelasan terhadap kesalahan pengobatan dan farmasi
forensik sebagai saksi ahli pembuktian peristiwa kasus yang terjadi sampai
membuktikan pelaku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut.
Sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan saksi ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
(Wirasuta,tt).
Keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
jaksa penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan ataupun pada saat persidangan untuk
dicatat dalam berita acara pemeriksaan (Pasal 186 KUHAP) (Wirasuta, tt). Apabila
dari penyidikan polisi dan keterangan saksi ahli diketahui terdapat kelalaian dalam
penyelenggaraan pemantauan atau pemantauan yang tidak mengikuti standar (kurang
tepat) oleh farmasis klinik dapat dikategorikan dalam kegiatan malpraktek
kefarmasian.
Namun, apabila hasil pemeriksaan medis diketahui bahwa penyebab kematian
korban bukan disebabkan oleh infus kadaluarsa, akan tetapi karena penyakit gagal
ginjal kronis, maka seorang farmasis rumah sakit tidak dapat dipersalahkan dalam
kasus tersebut. Maka dari itu, diperlukan otopsi terlebih dahulu untuk memperjelas
penyebab kematian korban. Hal yang paling terpenting untuk menekan angka
terjadinya malapraktik, harus ada saling kontrol antara dokter, farmasis, dan perawat,
karena ketiganya memiliki tanggung jawab pada kesehatan dan perawatan pasien.













DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Cairan Infus Intrvena, Available at : http://milissehat.web.id/?p=93
Anonim, tt. Pyrogen, Available at : http://ffarmasi.unand.ac.id/fulltext/pyrogen.pdf
Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2007. Penjaminan Mutu Sediaan Infus,
Available at :
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0207.pdf
Meteri Kesehatan RI. 1992. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/ Menkes/
SK/ XII/ 1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit. Available at :
http://keputusan-menteri-kesehatan-nomor-1333-menkes-sk-xii-1999-tentang-standar-
pelayanan-rumah-sakit.pdf Wibowo, M.S.,
Uji Endotoksin, Available at : http://UJI%20ENDOTOKSIN.pdf Wirasuta, I M. A.
G., tt. Pengantar Menuju Ilmu Forensik.

Anda mungkin juga menyukai