Anda di halaman 1dari 34

Tatalaksana Terkini

Chairuddin P. Lubis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUSU, MEDAN
Demam Tifoid pada anak
Epidemiologi
Angka kejadian
Di negara berkembang, angka kejadian 10 540
/ 100.000
Di negara maju (AS, Eropa Barat, Jepang) 0.2
0.7 /100.000
Di Indonesia 350 810 / 100.000 = 600.000 1.5
juta kasus / tahun
Di IKA FKUI/RSCM 550 kasus antara 1992
1996
Urutan ke 2 setelah diare pada kasus
penyakit saluran cerna
Simanjuntak CH. Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 83:52-4.
Patogenesis
Salmonella typhi : batang gram
negatif, flagella, kapsul, hidup
subur pada media empedu
Kuman mati pada pemanasan
suhu 54
o
C selama 1 jam, atau
60
o
C selama 15 menit
Jalan masuk kuman melalui
fekal-oral
Perjalanan alamiah demam tifoid
Struktur dinding sel S. typhi
Diagnosis:
Gambaran klinis
Secara klinis : ringan bahkan asimptomatis
Umumnya:
Demam
Gangguan saluran cerna
Gangguan kesadaran
Diikuti gejala konstitusional: nyeri kepala,
malaise, nyeri perut, hepato/splenomegali
dan gangguan status mental
Demam tinggi dan bradikardi sering pada
anak
Eksantema makulopapular di dada & perut,
ditemui pada 40-80% kasus selama 2-3
hari


Diagnosis:
gambaran klinis
Diare (39%) lebih sering dari
sembelit (15%) pada anak
Muntah (26%) dan mual (42%)
Sakit kepala (76%), nyeri perut
(60%), gangguan kesadaran (34%),
dan apatis didapatkan juga (31%)
selain delirium (3%)




Rivai AT, Mulyadi T, Kustedi P, Pulungsih SP, Janas.
Typhoid fever : profil diagnosis and treatment in 1990s.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1992; 85-93.
Diagnosis:
Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi:
Lekopenia, limfositosis relatif,
aneosinofilia
Isolasi kuman penyebab
melalui biakan
Darah, sumsum tulang, urin,
tinja, cairan duodenal
Uji serologi
Pelacak DNA
PCR
Pemeriksaan darah tepi

lekopenia
limfositosis relatif
Aneosinofilia pada permulaan
penyakit dan muncul kembali
pada stadium penyembuhan
Anemia normositik normokrom
Trombositopenia dapat
ditemukan
Diagnosis laboratorik demam tifoid
Nilai positif biakan darah bervariasi:
Dari 36 - 62% pada kel tanpa AB
Dari 29 40% pada kel dengan AB
Biakan darah bisa negatif palsu oleh
pengaruh faktor-faktor:
Jumlah specimen darah, perbandingan
darah dan empedu, serta waktu
pengambilan darah
Biakan sumsum tulang sangat
sensitif : 90%, namun secara teknis
bersifat invasif dan lebih rumit
pengambilan spesimennya
Biakan darah dan sumsum tulang (1)
Biakan darah dan sumsum tulang (2)
Biakan kuman S Typhi
Darah positif pada awal sakit, urin
dan tinja setelah bakteremi
sekunder
Sumsum tulang dan kgb bisa
positif walaupun darah negatif
Biakan darah bisa negatif palsu
oleh pengaruh faktor-faktor:
Jumlah specimen darah
Perbandingan darah dan empedu
Waktu pengambilan darah

Biakan darah dan sumsum tulang (3)
Jumlah rata-rata kuman 7,6 per ml
darah (1 per ml darah dan 10 per ml
sstl), diperlukan 2 -10 ml utk biakan
berhasil tumbuh
Waktu terbaik saat demam tinggi dan
sebelum pemakaian antibiotik
Biakan darah positif pada 40-80%
pada minggu I , akhir minggu ketiga
hanya 10%
Pada relaps, maka biakan darah (+)
kembali
Biakan darah dan sumsum tulang (4)
RS Karantina pada tahun 1986 di Jakarta
sumsum tulang (92%) lebih sensitif secara
bermakna dibandingkan dengan biakan darah
(62%) , biakan clot streptokinase (51%) dan
biakan usap dubur (56%).
Di Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
selama kurun waktu 5 tahun (1990 s/d
1994)
dari 232 kasus yang dapat dilakukan biakan
hanya 36% positif.
Gilman dkk, pada pasien DT dgn terapi:
biakan sumsum tulang 90%
biakan darah, tinja dan urin masing-masing
(+) pada 40%, 37,5% dan 7%.
Kuman S. typhi berhasil diisolasi pada 63%
biakan rose spots.
Hoffman S, David C, Punjabi NH, et al.
AmJ Trop Med Hyg 1986; 35:836-9.
Uji serologi Widal (1)
Uji Widal, dilakukan sejak 1896
Prinsip: aglutinasi pada pengenceran
tertentu, menentukan titer dx ..
antibodi O terbentuk lebih awal dan cepat
hilang (4 - 6 bulan),
antibodi H lebih lambat dan menetap lama (9
bulan 2 tahun),
antibodi Vi timbul lambat dan hilang setelah
sembuh (menetap pada pengidap)
Interpretasi uji Widal harus dinilai
dengan hati-hati ( stadium sakit, teknik
lab, endemisitas, riwayat imunisasi dll ..)
Nsutebu EF, Ndumbe PM, Koulla S. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2002 Jan-Feb;96(1):64-7.
Klasifikasi Salmonella
menurut Kauffmann - White
GRUP
SEROTIPE ANTIGEN O ANTIGEN H
FASE I FASE II
A S. paratyphi A 1, 2, 12 a -
B S. paratyphi B 1, 4, 5, 12 b 1,2
S. typhimurium 1, 4, 5, 12 i 1,2
C S. paratyphi C 6, 7 c 1,5
S. Cholerasuis 6, 7 c 1,5
D S. typhi 9, 12, Vi d -
S. enteritidis 1, 9, 12 g, m
Uji Widal (2)
Pada fase awal sensitifitas 52% dan spesifisitas
88%, sedang serum konvalesen diperoleh
sensitifitas 90% dan spesifitas 90% serta nilai
duga (+) 88% dan nilai duga (-) sebesar 93%.
Pemeriksaan ini perlu dikaji dengan hati-hati
karena sensitifitasnya yang rendah pada fase awal.
Willke A, Ergonul O, Bayar B. Clinical and diagnosis Lab Immunology
2002;9(4):938-41.

Sensitifitas uji Widal hanya 74% dibanding
Typhidot sebesar 92% sedang spesifisitas hanya
sebesar 83% dibanding Typhidot 87,5%.

Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A dan Kumar M.
Journal Indian Academy of Clinical Medicine 2004;5(3):244-6
Uji serologi Widal (3)
belum ada kesepakatan akan nilai
standar aglutinasi (cut off point)
uji Widal dengan antigen dari strain
kuman endemis sensitivitas dan
spesifisitas > antigen non endemis
Untuk derah endemis seperti Indonesia
khususnya Jakarta,
titer antibodi O > 1/160 pada uji tunggal atau
kenaikan titer antibodi O sebesar 4 kali
dengan interval 7-10 hari atau
titer H > 1/640, disertai gejala klinis yang
khas maka dianggap sebagai demam tifoid
Uji diagnostik berganda
Dilakukan penilaian dan perbandingan dari
Ig A, G, dan M terhadap lipopolisakarida, Ig G terhadap
flagela, titer Widal terhadap antigen O dan H serta dipstick
terhadap lipopolisakarida.
ELISA atau dipstick untuk uji IgM LPS adalah lebih baik
dibanding uji Widal.
Deteksi anti IgM LPS atau anti serotype Typhi IgM
mempunyai nilai lebih dibanding Widal titer O pada daerah
dimana fasilitas kultur tidak tersedia

House D, Wain J, Ho VA, Diep TS, Chinh NT, Bay PV, et al.
Journal of Clinical Microbiology 2001;39(3):1002-7

Penelitian lain menilai kit komersial untuk diagnosis demam
tifoid, uji Widal, Multi test DipSTicks, Typhidot dan TUBEX.
Sensitifitas dan spesifitasnya adalah sebagai berikut,
89% dan 53% untuk Multitest,
79% dan 89% untuk Typhidot,
78% dan 89% untuk TUBEX dan
64% dan 76% untuk uji Widal di RS serta 61% dan 100%
untuk uji Widal di Institut Pasteur.

Olsen SJ, Pruckler J, Bibb W, My Thanh NT, My Trinh T, Minh NT, et al.
Journal of Clinical Microbiology 2004;42(5)1885-9.

Elisa pada urine
Uji Elisa antibodi monoklonal dikembangkan untuk
mengenal antigen O9, Hd dan Vi pada urin pasien
demam tifoid.
Pengujian pada 44 kasus kultur darah positif
terhadap Salmonella typhi. Pada penderita dengan
demam kurang dari 7 hari, ternyata sensitifitas
sangat tinggi ditemukan pada antigen Vi (100%),
sedang 09 (44%) dan Hd juga 44%.
Deteksi yang baik terhadap antigen Vi ini
menjanjikan upaya yang lebih baik untuk diagnosis
dini demam tifoid, khususnya bila digunakan pada
minggu pertama demam

Fadeel MA, Crump JA, Mahoney FJ, Nakhla IA, Mansour AM, Reyad B et al.
Am J Trop Med 2004;70(3):323-8.
Pengalaman uji diagnosis demam
tifoid di RSCM, Dept. IKA 1999
Di Bagian IKA RSCM (1999)
pada 36 kasus tersangka
demam tifoid secara klinis,
ternyata didapatkan
biakan darah positif hanya
pada 10/36 (27,8%)

Hanya 4 diantara 36 kasus
ini yang menunjukkan
titer antibodi O diatas
1/160

Typhidot memberikan hasil
positif yang lebih tinggi
(26/36), kit Typhidot-M
ternyata hasilnya lebih
baik lagi yaitu 29/36 kasus
positif.
Hubungan antara pemberian
antibiotik sebelum
pemeriksaan laboratorium

Pada 10/36 kasus biakan
darah positif 3 diantaranya
telah mendapat AB
sebelumnya, sedang dari
26/36 biakan negatif hanya
2 kasus
RR=5.14 [0,71-37,2]
Pada 4 kasus Widal (+) 1
telah mendapat AB
sebelumnya, kasus widal (-)
hanya 4/32 kasus saja
RR=2,33 [0,19-28,3]
Pada 26 kasus Typhidot(+) 3
telah mendapat AB
sebelumnya, sedang dari 10
yang (-) hanya 2 kasus
RR=1,92 [0,27-13,6]
Sylvia Retnosari, Tumbelaka AR, A P Akib, Sri Rezeki S H
Paediatr Indones 2001; 41:149-154
Terapi
Kausal: dengan antibiotik yang sesuai
Perawatan penunjang
Pemantauan
Manajemen cairan
Pengenalan dan tatalaksana komplikasi
Dietetik
Pemberian antibiotika pada anak
dengan demam tifoid
Antibiotika Dosis dan cara pemberian
Kloramfenikol 75 100 mg/kg/24 jam, tiap 6 jam sampai
demam turun dan dilanjutkan 50 mg/kg/24
jam sampai 3 mg iv
Seftriakson 80 - 100 mg/kg/24 jam dalam 1 atau 2 dosis iv
Ampisilin 200 mg/kg/24 jam setiap 6 jam iv
Amoksisilin 100 mg/kg/24 jam dalam 4 dosis oral
Kotrimoksasol 5 mg (Trim) /kg/24 jam dalam 2 dosis oral
Siprofloksasin 20-30 mg/kg/24 jam iv setiap 12 jam atau
peroral
Furazolidin 7.5 mg/kg/24 jam peroral setiap 6 jam

Berman S. Pediatric decision making, 4
th
ed. Mosby, Philadelphia, 2003
Terapi Antibiotik
Terapi empiris:
Spektrum AB sempit, penetrasi jaringan baik,
cara pemberian mudah, tidak mudah
resisten, efek samping minimal dan ada bukti
efikasi klinis
Saat redanya demam (time of fever
defervescence) parameter
keberhasilan pengobatan AB
Di Bagian IKA RSCM, didapatkan saat
reda demam tercepat pada hari ke 4.2
dengan kloramfenikol, dan terlama hari
ke 6.5 dengan kotrimoksasol.
Hadinegoro SR. Naskah lengkap PKB Ilmu Kesehatan Anak XLIV.
Jakarta: FKUI 2001 :105-16.
Seftriakson :
Pada pengobatan dengan
seftriakson iv (65 mg/kg/hari)
selama 7 hari dibanding 14 hari,
ternyata 14% anak yang diobati
selama 7 hari secara bakteriologis
jelas menunjukkan relaps dalam 4
minggu sesudah pengobatan
dihentikan.

Bhutta ZA, Khan IA, Shadmani M.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, Feb 2000; 44:2:450-2
.
Fluoroquinolon (1)
Demam tifoid kurang dari 6 thn di Dhaka, diukur panjang, berat
dan tinggi. Semuanya diikuti sampai hari ke 30, 90, 180 . Tidak
ada perbedaan bermakna dalam usia, WHZ atau HAZ Z-score,
namun ada perbedaan bermakna dalam knemometry awal
Doherty CP, Saha SK, Cutting WAM. Annals of Tropical Paediatrics
2000;20:297-303

Dari 21 kasus demam tifoid dengan kultur darah positif untuk S
Typhi dan paratyphi, selama 1991-1995 dan sensitif terhadap
siprofloksasin, diberikan terapi siprofloksasin dosis oral 24
mg/kg/hari atau 15 mg/kg/hari iv. Siprofloksasin cukup aman
dan tidak menimbulkan efek samping jangka pendek.
Thomsen LL, Paerregaard A. Scand J Infect Dis 1998;30:355-7.

Dibandingkan 2 atau 3 hari ofloksasin oral (10mg/kg/hari)
untuk demam tifoid tanpa komplikasi pada 235 anak Vietnam. S
typhi MDR diisolasi pada 182/202 (90%). Ditemukan 12
(13.5%) kasus 2 hari dan 8 (7.5%) dari 3 hari yang gagal baik
secara klinis, bakteriologis dan relaps. Hasil ini meyokong
efikasi pengobatan jangka pendek ofloksasin untuk anak
dengan demam tifoid.
Ha Vinh, Duong NM, Phuong LT, Truong NT, Be Bay PV, Wain J, et all. Annals
of Tropical Paediatrics 2005;25:17-22.
Fluoroquinolon (2)
Meta analisis pada Cochrane Infectious Diseases Group Special
Register (August 2004), Medline, Embase, LILACS, prosiding
kongres, referensi lain dan nara sumber lainnya.

Dinilai RCT demam tifoid yang dipastikan dengan kultur positif
baik darah maupun sumsum tulang. Ditemukan 33 RCTs, 22
dengan alokasi random tak jelas dan 29 tanpa ketersamaran.

Pada kasus anak, tidak ada perbedaan bermakna antara
fluoroquinolon dengan seftriakson ataupun sefiksim. Norfloksasin
lebih banyak gagal dari pada fluoroquinolon.

Disimpulkan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan masih
kurang banyak dan bermutu. Walaupun demam tifoid banyak
ditemukan pada anak, ternyata penelitian dikalangan ini masih
kurang.

Tidak ditemukan cukup bukti untuk menggunakan fluoroquinolone
pada demam tifoid/paratifoid dibanding antibiotik standar
lainnya.
Thaver D, Zaidi AK, Critchley J, Bhutta ZA.
The Cochrane Database of Systematic Reviews 2005, Issue 2.
Art. No: CD004530. DOI: 10.1002/14651858.CD004530.pub2.
Azitromisin
Pada 149 kasus anak dan remaja, yang menderita
demam tifoid klinis diberikan azitromisin oral (20
mg/kg/hari) atau seftriakson iv (75 mg/kg/hari)
selama 5 hari.
Ternyata 30 (94%) kelompok azitromisin serta 35
(97%) dari kelompok seftriakson sembuh dan tidak
berbeda bermakna.
Enam kasus dengan seftriakson mengalami relaps
dan tidak ada relaps pada kelompok asitromisin.
Pengobatan 5 hari dengan asitromisin dinyatakan
cukup efektif untuk mengobati demam tifoid tanpa
komplikasi pada anak dan remaja.

Frenck RW, Mansour A, Nakhla I, Sultan Y, Putnam S, Wiezerba T et al.
Clin Infect Dis. 2004;38(7):951-7.

Sensitifitas obat demam tifoid
Sejumlah 464 kasus dengan kultur positif Salmonella typhi
selama tahun 1991 2003 sensitifitasnya terhadap
ampisilin, kotrimoksasol, siprofloksasin, asam nalidiksat,
seftriakson serta sefotaksim dan kloramenikol.
Sensitifitas terhadap beberapa obat:
1991 semua kasus sudah resisten terhadap
kloramfenikol, berkurang pada tahun berikutnya, 1992
(50%), 1993 (32%), 1994 (27%) dan pada 1995
menjadi 5%. Isolat tahun 1996 1999 serta 2001
sensitifitasnya menjadi 100%, sedang pada tahun
2000 sebesar 79%.
Isolat tahun 2002 dan 2003 menunjukkan penurunan
sensitifitas terhadap siprofloksasin, resisten terhadap
asam nalidiksat, tetapi sensitif terhadap generasi ke 3
sefalosporin.
Hasil-hasil ini menunjukkan perlunya re-evaluasi
penggunaan kloramfenikol pada pengobatan demam
tifoid.

Mandal S, Mandal MD, Pal NK. Indian J Med Sci 2004;58(1):16-23.
Pengidap S typhi
Pengidap S Typhi pada anak dapat
diobati untuk eradikasi kuman
dalam fesesnya dengan pemberian
dosis tinggi ampisilin iv atau
amoksisilin oral dikombinasi dengan
probenesid atau
chole cystectomy.
Pada dewasa, siprofloksasin
merupakan obat pilihan utama
pengidap S typhi
American Academy of Pediatrics. Red Book; 2003:501-506
Kesimpulan
Penyakit Demam Tifoid, sudah dikenal sejak
lama, namun tetap memiliki kontroversi tata
laksananya
Strategi pendekatan diagnosis perlu dilakukan
dengan cermat dan hati-hati, dengan
memperhatikan gejala klinis yang ada dan
fasilitas yang tersedia
Pengobatan perlu dilakukan secara rasional
untuk keberhasilan eradikasi kuman dan
mencegah relaps serta terjadinya pengidap.
Tata laksana terkini yang ideal masih
merupakan impian, mengingat penyakit ini
sudah dikenal ratusan tahun, namun belum
dapat dikontrol dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai