Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PANDANGAN KEDOKTERAN TENTANG PENGARUH PEMBERIAN HEPARIN


UNTUK MENGIKAT TNF- DALAM PENANGANAN PASIEN SEPSIS

2.1 Heparin
Heparin adalah antikoagulan yang terjadi secara alamiah diproduksi oleh basofil dan sel
mast. Heparin bertindak sebagai sebuah antikoagulan, mencegah pembentukan bekuan dan
perpanjangan pembekuan yang ada dalam darah. Meskipun heparin tidak memecah gumpalan
yang telah terbentuk (seperti aktivator plasminogen jaringan), hal itu memungkinkan mekanisme
lisis bekuan alami tubuh untuk bekerja secara normal untuk memecah gumpalan yang telah
terbentuk.











Gambar 1. Struktrur Kimia Heparin

2.1.1. Farmakokinetik

Heparin tidak diabsorpsi secara oral, karena itu diberikan secara Sub kutan atau
Intravena. Pemberian secara Sub kutan bioavaibilitasnya bervariasi, mula kerjanya lambat 1-2
jam tetapi masa kerjanya lebih lama, sedangkan secara intravena awitan kerjanya cepat,
puncaknya tercapai dalam beberapa menit, dan lama kerjanya singkat. Heparin tidak melalui
plasenta dan tidak terdapat dalam air susu ibu. Di tubuh manusia, heparin cepat dimetabolisme,
terutama di hati. Heparin sendiri diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin
2.1.2. Mekanisme Kerja

Meningkatkan efek antitrombin III dan menginaktivasi trombin (demikian juga dengan
faktor koagulan IX, X, XI, XII dan plasmin) dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin,
heparin juga menstimulasi pembebasan lipase lipoprotein (lipase lipoprotein menghidrolisis
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas).









Gambar 2. Mekanisme kerja heparin



2.1.3. Kontraindikasi

Hipersensitifitas terhadap heparin atau komponen lain dalam sediaan. Semua gangguan
perdarahan atau risiko perdarahan : gangguan koagulasi ,hemofilia, trombositopenia, penyakit
hati berat, ulkus peptikum, perdarahan intrakranial, aneurisma serebral, karsinoma visceral,
abortus, retinopati perdarahan hemoroid, tuberculosis aktif, endokarditis.

2.1.4. Efek Samping

Efek samping serius dari heparin adalah Heparin Induced Trombositopenia (HIT). HIT
disebabkan oleh reaksi imunologis yang membuat platelet target respon imunologi,
mengakibatkan penurunan trombosit. Inilah yang menyebabkan trombositopenia. Kondisi ini
biasanya diatasi dengan penghentian, dan secara umum dapat dihindari dengan penggunaan
heparin sintetis.
Ada dua efek samping nonhemoragik dari pengobatan heparin. Yang pertama adalah
peningkatan kadar aminotransferase serum, yang telah dilaporkan dalam sebanyak 80% dari
pasien yang menerima heparin. Kelainan ini tidak terkait dengan disfungsi hati, dan menghilang
setelah obat dihentikan. Komplikasi lainnya adalah hiperkalemia, yang terjadi pada 5 hingga
10% dari pasien yang menerima

2.1.5 Interaksi

Risiko pendarahan berhubungan dengan heparin dapat ditingkatkan dengan antikoagulan
oral (warfarin), trombolitik, dekstran dan obat yang mempengaruhi fungsi platelet (misalnya
aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid, dipiridamo, tiklopidin, klopidogrel, antagonis IIb/IIIa.
Namun heparin masih digunakan bersamaan dengan terapi trombolitik atau pada awal terapi
dengan warfarin untuk memastikan efek antikoagulan dan melindungi kemungkinan
hiperkoagulasi transien. Nitrogliserin iv mungkin menurunkan efek antikoagulan heparin

2.2 Sepsis

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis adalah sindroma klinik yang ditandai dengan:
Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)
Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
Tachycardia (pulse >100/menit)
>10% cell immature
Suspected infection

2.2.1 Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan gejala sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi
sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan
(Guntur, 2008).

Tabel 1. Perbedaan Sindroma Sepsis (Guntur, 2008).


Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis
Sindroma sepsis Syok Sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m
Takikardi 90x/m
Hipertermi 38 C
Hipotermi 35,6 C
Hipoksemia
Peningkatan laktat plasma
Oliguria

Sindroma sepsis ditambah dengan gejala:
Hipotensi 90 mmHg
Tensi menurun sampai 40 mmHg dari
baseline dalam waktu 1 jam


2.2.2 Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain karena
pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan
imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter
intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta
meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik

2.2.3 Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri gram
negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma, dikenal
dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui
berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat
oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan
CD14.
1,2
Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear
factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi
yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan
menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA) dan
peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan sepsis
melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang
menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan V-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra, 2003).

Peran Sitokin pada Sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan invasi
mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang berlebih,
yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit,
makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti
komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain
mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi,
reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai hormon (Widodo,
2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting adalah
TNF-, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai antiinflamasi.
Pengaruh TNF- dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi
TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi
molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA, PAI-1,
PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.
1
TNF-, IL-1, IL-6, IL-8 yang merupakan
mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E
2
(PGE
2
),
tromboxan A
2
(TXA
2
), Platelet Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan
angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain
yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis
berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin, 2003).

Peran Komplemen pada Sepsis
Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi respons
imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari sirkulasi. Pada
sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan
fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada
reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi
pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan
ekspresi faktor jaringan

(Widodo, 2004).

Peran NO pada Sepsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular. Pada
sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik berupa
hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan
produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit.
Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif
dengan vasopresor (Widodo, 2004).

Peran Netrofil pada Sepsis
Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh
mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya meningkat,
walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. (Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang
bermata dua pada sepsis. Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun
pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab terhadap
kerusakan organ. (Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang menyatakan bahwa menghambat
fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan
jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps
kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan
terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena
vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihat
sebagai edema.
Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan
melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman
(anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan fungsi
berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF
merupakan kerusakan (injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan
perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus.
Berbagai faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen, 2006).

2.2.4 Gejala Klinik
1. Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
2. Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras
dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas
hangat.
3. Disertai tanda-tanda sepsis.
4. Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan
status mental.

2.2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi
bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk
mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
g/kg/menit).


2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi
yang adekuat.


3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber
sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa
terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.
Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.

c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8g/kg.menit,norepinefrin
0.03-1.5g/kg.menit, phenylepherine 0.5-8g/kg/menit atau epinefrin 0.1-
0.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 g/kg/menit,
dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase
inhibitor (amrinone dan milrinone).

d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.

f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan
penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih
perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.

h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan
supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi
mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,
antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis
50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.

2.2.6 Komplikasi
Tabel 2. Komplikasi Sepsis (Guntur, 2008).

2.3 Penggunaan Heparin dalam Pengobatan Sepsis
Pembahasan mengenai koagulasi dan inflamsasi serta kemungkinan terjadinya penyakit
mikroemboli selama sepsis menimbulkan panggilan akan perlunya antikoagulan untuk mencegah
hipooksigenasi jaringan dan menghambat kerusakan organ serta disfungsi. Hingga saat ini,
hanya terdapat satu antikoagulan yang terbuat dari rekombinan protein C manusia
(aPC,drotrecogin-) yang terbukti efektif sebagai terapi tambahan untuk keadaan sepsis,
sebagian besar dikarenakan efek antiinflamasinya. Namun, zat seperti heparin kemungkinan
dapat menimbulkan efek antiinflamasi yang sama seperti aPC.

Multiple Organ Failure
DIC







Respirotary Distr.Syndrome

Acute Renal Failure



Hepatobilier disfunction



Central Nervous System Disf.
FDP 1:40 atau D-dimers 2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Hipoksemia

Kreatinin > 2,0 ug/dl
Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan

Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)
Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali
harga normal

GCS < 15

Aktivasi respons peradangan selama infeksi dan sepsis dapat menyebabkan keadaan pro-
koagulan . Lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin mengurangi antikoagulan sulfat heparin dan
glicosaminoglikans lain (GAGs) dalam endotelium dan meningkatkan produksi tissue factor
(TF) dan pelepasan oleh makrofag. Hasil dari aktivasi koagulasi, diikuti oleh penghambatan
fibrinolisis, dapat menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (DIC), obstruksi
mikrovaskuler, dan dengan demikian disfungsi organ dan kerusakan, yang merupakan
karakteristik untuk sepsis. (Cornet et al, 2007)
Hal tersebut diikuti oleh konsumsi dan pengosongan antikoagulan alami seperti
antitrombin (AT), protein C (PC), inhibitor tissue-factor (TFPI) dan pelepasan penghambat
aktivator plasminogen (PAI-1) yang menghambat fibrinolisis. Maka dapat disimpulkan,
pengisian kembali antikoagulan dapat membalik ketidakseimbangan koagulasi dan fibrinolisis
yang terjadi saat sepsis. (Cornet et al, 2007)

2.3.1 Peran heparin sebagai antikoagulan dan immunomodulator
Heparin merupakan glikosaminoglikan alami yang diproduksi oleh sel Mast, sel
Basophils di darah dan sel endotel. Sediaan heparin yang dijual diekstrak dari mukosa sapi,
terdiri dari unfractioned heparin yang memiliki berat 13.000-15.000 Dalton dan fractioned atau
heparin molekul berat rendah 3.000-5.000 Dalton. Heparin mempunyai sifat anti-koagulan
dengan mengikat anti trombin dan heparin kofaktor II. Ikatan ke antitrombin menghasilkan
perubahan konformasi, menginisiasi kemampuan AT untuk menonaktifkan faktor koagulasi IXa,
Xa, XI dan XII . Setelah inaktivasi faktor Xa, protrombin tidak dapat dikonversi ke trombin,
sehingga menghambat konversi fibrinogen menjadi fibrin dan menghambat pembekuan darah
Terlebih lagi, heparin dapat menghambat langsung kerja dari thrombin, yang mana efek
ini hanya dapat ditimbulkan heparin unfractioned. Sedangkan heparin fractioned memiliki lebih
banyak efek anti anti faktor X. (Cornet et al, 2007)











Gambar 3. Mekanisme kerja heparin didarah dan interaksi nya dengan neutrofil dan endotelium
(Cornet et al, 2007)

2.3.2 Peran Heparin sebagai Anti-Inflamasi
Heparin juga memainkan peran dalam menghambat produksi dan pelepasan faktor pro-
inflamasi. Tindakan anti-inflamasi heparin mungkin berhubungan dengan penghambatan
pembentukan trombin. Thrombin memiliki efek proinflamasi dan meningkatkan permeabilitas
endotel. AT (antitrombin) dan sel aPC menghambat nuclear factor (NF)kB, factor transkripsi
yang bertanggung jawab untuk ekspesi gen factor proinflamasi pada monosit dan endothelium.
Heparin berpotensi untuk memicu efek anti inflamasi pada AT atau aPC. (Cornet et al, 2007)
Efek antiinflamasi dari heparin kemungkinan berkaitan oleh inhibisi pembentukan
thrombin. Heparin dapat menghambat pembentukan NFkB (yang merupakan efek proinflamasi
akibat iskemia jaringan) dan mencegah disfungsi endotel dengan cara melibatkan Nitric Oxide
(NO) dan Prostacyclin. (Cornet et al, 2007)
Didalam pembuluh darah, heparin dapat menghambat kemotaksis dari neutrophils. Efek
ini kemungkinan timbul akibat penghambatan komplemen C5a, yang mana merupakan salah satu
efek kerja heparin. (Cornet et al, 2007)













Gambar 4. Skema Pembentukan Trombus Saat Terjadinya Sepsis



2.3.3 Penggunaan Heparin dalam Penanganan Sepsis
Setelah penelitian, disimpulkan bahwa sepsis tidak hanya terjadi karena inflamasi
sistemik, tapi juga memicu keadaan pro-koagulan yang menyebabkan berkurangnya zat-zat
antikoagulan didalam tubuh, seperti antithrombin, protein C, activated protein C dan inhibitor
tissue factor. Dikarenakan sifat antikoagulan dan antiinflamasi, peneliti mulai menyelidiki
apakah zat glikoprotein seperti heparin dapat digunakan dalam sepsis. Sekarang, hanya
rekombinan protein C (drotrecogin alfa) yang terbukti efektif dalam pengobatan sepsis.
(Zarychanski et al,2008)
Unfractioned heparin (UFH) adalah makromolekule glikosaminoglikan yang merupakan
antikoagulan yang memiliki sifat antiinflamasi juga. UFH bekerja dengan cara membatalkan
aktivasi factor Xa dan thrombin, sekaligus factor IXa, XIa dan XIIa. Dengan demikian hal
tersebut membatasi pembentukan thrombin. (Zarychanski et al,2008)
Berdasarkan hal diatas, Zarychanski dkk pada tahun 2008 membuat percobaan yang
membandingkan efektifitas pemberian heparin pada pasien sepsis dengan yang tidak memakai
heparin. Mereka membagi 2 kelompok pasien, yang sama-sama sudah didiagnosis dalam kondisi
sepsis, salah satu kelompok tersebut diberikan UFH dengan cara intravena.Mereka
membandingkan efektivitas heparin yang ditinjau dari segi penurunan tingkat mortalitas dalam
28 hari serta mengamati efek samping perdarahan yang dapat timbul

























Tabel 3. Karakteristik pasien percobaan (Zarychanski et al,2008)






Gambar 5. Perbandingan tingkat mortalitas dalam 28 hari (Zarychanski et al,2008)








Tabel 4. Tingkat Mortalitas Antara Dua Kelompok (Zarychanski et al,2008)









Tabel 5. Perbandingan Efek Samping Perdarahan dan Jumlah Transfusi (Zarychanski et al, 2008)

Berdasarkan data diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa heparin terbukti dapat
berpengaruh dan efektif dalam pengobatan pasien sepsis. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah
mortalitas yang lebih sedikit pada pasien yang diberikan heparin dibandingkan kelompok
pasien control yang tidak mendapat heparin. Efek samping perdarahan yang timbul pada pasien
yang diberi heparin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan

Anda mungkin juga menyukai