Anda di halaman 1dari 2

Bab I

Kontrak konstruksi dibuat karena adanya ketikdakadilan antara penyedia jasa


konstruksi dan pengguna jasa konstruksi. Sebelum adanya acuan pembuatan kontrak
konstruksi, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 1999, Indonesia tidak memiliki dasar hukum
yang kuat. Kontrak konstruksi pada masa sebelum disahkannya UU tersebut tidak mengacu
pada satu sumber saja, salah satu sumber yang banyak digunakan adalah AV41.
Hal yang akan dibahas pada aspek hukum konstruksi diawali dengan perkembangan
industri jasa di Indonesia, gambaran kontrak konstruksi di Indonesia, bentuk-bentuk kontrak
konstruksi, aspek-aspek dalam kontrak konstruksi, sistem kontrak konstruksi internasional,
cara menyusun kontrak konstruksi, pengeloaan kontrak konstruksi, strategi negosiasi kontrak,
dan peranan konsultan hukum dalam kontrak konstruksi.
Kontrak konstruksi dipengaruhi oleh proyek konstruksi, tingkat kecanggihan
teknologi, dukungan dana, pengguna jasa, penyedia jasa dan tingkat persaingannya.
Perkembangan industri jasa konstruksi di indonesia dibagi dalam 5 periode, yaitu periode
1945-1950, 1951-1959, 1960-1966, 1967-1996, dan 1997-2002.

Bab II
Pada periode 1945-1950, industri jasa konstruksi belum bangkit. Hal ini dikarenakan negeri
kita masih disibukkan dengan usaha Belanda yang ingin menjajah kita kembali. Melalui
Konferensi Meja Bundar, 19 Desember 1949, RI mendapatkan pengakuan kedaulatan dari
Belanda. Pada masa ini, usaha konstruksi masih dikuasai oleh perusahaan Belanda.
Pada tahun 1950, hasil KMB mengenai pengakuan kedaulatan terhadap NKRI membuat
pelaksanaan pembangunan dan jasa konstruksi mulai tumbuh. Pada saat ini, perusahaan jasa
konstruksi yang berkembang adalah perusahaan-perusahaan belanda seperti NV de
Hollandsche Beton Maatschappij, Aanneming Maatschappij, NV Vies & Co, dan lain-lain
serta beberapa perusahaan swasta yang masih tergolong kecil, seperti NV KAMID,
Pemborong M. Zain, dll.
Periode 1951-1959, merupakan periode pemerintahan dengan sistem parlementer dimana
terjadi perubahan kabinet hingga 7 kali dan konstituante yang gagal membentuk Undang-
Undang Dasar baru. Hal menyebabkan kondisi jasa konstruksi belum dapat bangkit. Skala
pembangunan masih bersifat kecil dan kontrak yang digunakan adalah AV41 warisan
Belanda.
Periode 1960-1966, Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan
UUD45 berlaku lagi di Indonesia. Periode ini merupakan periode pemerintahan demokrasi
terpimpin dimana proyek-proyek ambisius (Mandataris) dari Presiden Soekarno mulai
dibuat seperti MONAS, Monumen Irian Barat, Hotel-hotel Megah (Indonesia, Banteng,
Samudra Beah, Bali Beach), Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, Gelora Senayan, dan
masih banyak lainnya. Proyek-proyek ini tidak dibangun karena fungsinya, tetapi lebih
kepada nilai prestisius.
Di masa ini juga kontrak konstruksinya belum terlalu rumit. Perusahaan penyedia jasa
konstruksi sebagian besar merupakan perusahaan-perusahaan asal belanda yang
dinasionalisasikan oleh Pemerintah. Bentuk kontrak yang umum digunakan adalah cost plus
fee dimana pekerjaan langsung ditunjuk kepada pihak yang dianggap pantas. Kontrak ini
tidak begitu baik karena mudah terjadi manipulasi dan tidak efisien. Oleh karena itu, sektor
swasta belum berkembang pada masa ini.
Periode 1967-1996, pemerintah menetapkan suatu program pembangunan yang terencana dan
dikenal dengan nama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPI). PJPI ini terdiri dari 5
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Program ini dimulai dari REPELITA I
(1969-1974), REPELITA II (1974-1979), REPELITA III (1979-1984), REPELITA IV (1984-
1989), REPELITA V (1989-1994).
Pada awal tahun 1970, jasa konstruksi di Indonesia mengalami perkembangan, yaitu
perubahan status bagi perusahaan-perusahaan nasionalisasi menjadi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Pekerjaan proyek juga tidak lagi ditunjuk, tapi ditenderkan. Persaingan
juga mulai tumbuh, dan sektor swasta mulai ikut serta. Berdasarkan data statistik, Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) mengalami kenaikan dari waktu ke waktu.
Kekurangan pada periode ini adalah kontrak-kontrak konstruksi sebagian besar masih
menggunakan standar Pemerintah/Departemen kecuali sektor swasta dan proyek yang
menggunakan dana pinjaman luar negeri yang mengacu pada standar kontrak
FIDIC/JCT/AIA/JCT. Klaim konstruksi tidak pernah ada, yang sering muncul adalah klaim
dari perusahaan asing atau perusahaan asing yang bekerja sama dengan perusahaan nasional
baik salam bentuk kerja sama operasi maupun dalam bentuk usaha bersama.
Periode 1997-2002, terjadi krisis moneter. Industri konstruksi mengalami goncangan terhebat
selama kurun waktu 30 tahun. Proyek-proyek konstruksi seketika berhenti dan pengangguran
mulai bertambah. Dampaknya adalah mulai muncul klaim konstruksi, namun kondisi menjadi
sulit karena banyak kontrak yang cacat hukum sehingga perlu diselesaikan melalui Arbitrase
(BANI/Ad Hoc). Maka pemeritah membuat UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi diikuti
dengan tiga Peraturan Pemerintah yaitu P.P. No. 28, 29, 30/2000. Harapannya peraturan ini
akan dapat memenuhi kebutuhan industri konstruksi terutama dalam pembuatan kontrak
konstruksi.

Anda mungkin juga menyukai