LAKI-LAKI 14 TAHUN DENGAN KELUHAN BUANG AIR KECIL TIDAK PUAS
KELOMPOK VIII
Olga Ayu Pratami 030.07.198 Sekar Mayang DP 030.07.236 Wahyu Rintiyani 030.07.269 Melly Utami 030.09.151 Michael Wong 030.09.153 Mochammad Rifki Maulana 030.09.155 Monica Raharjo 030.09.157 Muthi Melatiara 030.09.161 Neneng Maya 030.09.169 Ni Nyoman Nami Arthisari 030.09.171 Noviana Sie 030.09.173 Nurul Vitria 030.09.175
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, 19 April 2011 BAB I PENDAHULUAN
Urin merupakan cairan yang diekskresi oleh ginjal, disimpan dalam kandung kemih, dan dikeluarkan melalui uretra. (1) Proses pembentukan urin penting dalam mengatur homeostasis, dimana ginjal dalam pembentukan urin berfungsi mengatur volume dan komposisi cairan tubuh. Ginjal akan menyaring plasma (filtrasi) dimana zat-zat yang tidak diperlukan akan diekskresi dalam urin, sedangkan zat-zat yang berguna akan direabsorpsi balik kedalam pembuluh darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Zat-zat yang diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin antara lain adalah urea (hasil metabolisme asam amino), kreatinin (dari otot), asam urat (dari asam nukleat), produk pemecahan hemoglobin seperti bilirubin, metabolit dari berbagai hormon, dan berbagai toksin yang terdapat dalam konsumsi makanan seperti pestisida dan food additive. Maka dari itu, ekskresi urin sangat penting karena urin merupakan media pembuangan zat-zat hasil metabolisme atau konsumsi makanan yang tidak diperlukan oleh tubuh. (2) Gangguan ekskresi urin atau gangguan dalam proses buang air kecil dapat menimbulkan efek jangka panjang yang buruk bagi tubuh dan homeostasis tubuh karena zat-zat yang toksik tidak dapat dikeluarkan. Selain itu, gangguan pada buang air kecil juga akan menimbulkan gejala-gejala yang akan menganggu penderita seperti rasa tidak nyaman dan rasa nyeri. Maka gangguan buang air kecil harus ditangani secepatnya. Hal-hal yang dapat menganggu ekskresi dari urin adalah kelemahan otot-otot saluran kemih, gangguan persarafan, batu pada kandung kemih maupun uretra, infeksi saluran kemih, penyimpitan saluran kemih, dan pembesaran prostat. Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis (terutama mengenai buang air kecil), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang rutin seperti urinalisis lengkap. Pemeriksaan radiologis juga dapat membantu menegakan diagnosis namun tetap harus dilakukan sesuai dengan indikasi.
BAB II LAPORAN KASUS
Sesi I: Seorang laki-laki 14 tahun datang ke UGD dengan keluhan buang air kecil tidak puas. Penderita merasa ada sisa kencing sesudah buang air kecil, sehingga sebentar kemudian ingin buang air kecil lagi. Penderita harus mengejan kuat agar dapat buang air kecil. Saudara saat itu sedang bertugas sebagai dokter jaga di UGD tersebut.
Sesi II: Penderita memerlukan waktu antara keinginan buang air kecil dengan keluarnya air seni. Sewaktu buang air kecil kadang terasa nyeri. Pancaran air seninya kecil dan keras, kadang- kadang pancarannya terbelah. Pada akhir kencing masih keluar air seni menetes. Penderita merasa sering ingin buang air kecil. Penderita merasakan keluhan ini sejak 1 bulang yang lalu. Sebelumnya belum pernah mengalami keluhan-keluhan seperti ini. Penderita pernah jatuh terpeleset dari pohon sehingga selangkangannya terbentur benda keras kira-kira 2 bulan yang lalu. Saat itu selangkangannya bengkak dan penderita sudah berobat ke dokter sehingga sembuh.
BAB III PEMBAHASAN KASUS
Untuk menentukan diagnosis yang tepat pada pasien kasus ini, dilakukan hal-hal sebagai berikut: identifikasi pasien; identifikasi keluhan utama; anamnesis lengkap; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan penunjang.
Identifikasi Pasien Identitas pasien adalah sebagai berikut: - Nama: - - Umur: 14 tahun - Jenis kelamin: Laki-laki - Alamat: - - Pendidikan: - - Pekerjaan: - - Agama: - - Status pernikahan: -
Identifikasi Keluhan Utama Keluhan utama pasien yang datang ke UGD ini adalah buang air kecil yang tidak puas. Pasien merasa buang air kecil tidak puas karena: 1. Ada sisa kencing/residu urin sesudah buang air kecil (retentio urin) 2. Harus mengejan kuat agar dapat buang air kecil (straining) Berdasarkan keluhan utama pasien, dapat disimpulkan bahwa terdapat hambatan pada saluran kemih pasien yang menyebabkan buang air kecil tidak lancar. Hambatan pada saluran kemih pasien bisa berupa obstruksi parsial maupun penyempitan lumen urethra akibat proses inflamasi yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih. Obstruksi dapat terjadi di vesika urinaria dan di urethra, dimana urethra pria dibagi menjadi urethra posterior (urethra pars prostatika dan urethra pars membranosa) dan urethra anterior (urethra pars spongiosa). Kemungkinan adanya kerusakan pada ginjal dapat disingkirkan pada kasus ini karena pasien tidak mengalami gangguan pada produksi urin. Frekuensi buang air kecil yang meningkat pada kasus ini bukan karena produksi urin yang meningkat namun karena pengosongan vesika urinaria yang tidak tuntas sehingga terdapat residu urin yang terus merangsang refleks miksi pada pasien ini.
Hipotesis Berdasarkan keluhan utama dari pasien yang jelas menandakan adanya obstruksi yang bersifat parsial dan penyempitan lumen uretra, maka hipotesis yang didapatkan pada kasus ini (dari yang kemungkinanya paling besar) ialah: 1. Obstruksi akibat striktur uretra
Striktur uretra terutama ditandai oleh hambatan pada arus kemih. Penyebab terjadinya striktur ialah: - Radang kronik: Striktur yang disebabkan oleh radang uretra biasanya luas dan multipel. Penyebab penting ialah akibat radang karena gonore. Namun, radang lain yang menyebabkan uretritis bila bersifat kronik bisa menimbulkan striktur uretra yang terletak di pars bulbosa. Balanitis juga bisa menyebabkan striktur uretra di meatus uretra. - Trauma uretra: Trauma pada uretra terjadi pada fraktur panggul dan karena cedera langsung seperti bila terjadi cedera pada selangkangan seorang laki-laki. Fraktur panggul biasa menyebabkan striktur uretra di pars membranasea, sedangkan cedera selangkangan menyebabkan striktur uretra di pars bulbosa. - Trauma iatrogenik: Striktur juga sering kali disebabkan oleh kateterisasi yang tidak adekuat. Dimana pemasangan kateter yang salah biasa menyebabkan pembentukan striktur uretra di pars membranasea. (3)
2. Obstruksi akibat batu (urolithiasis) Batu atau kalkulus dapat terbentuk dimanapun sepanjang saluran kemih. Pembentukan batu di saluran kemih sering didapatkan pada orang- orang usia menengah dan dewasa dan menyebabkan sumbatan pada aliran kemih. Secara umum, penderita yang memiliki batu pada saluran urinnya mengalami nyeri saat berkemih, adanya hematuria, serta obstruksi pada aliran kemih. Batu yang kecil bersifat asimptomatis, namun batu yang besar dapat menybabkan nyeri yang hebat pada area di antara tulang iga dan tulang coxae. Pembentukan batu bisa terjadi akibat kurang minum atau konsumsi makanan yang mengandung banyak oksalata (sayuran), asam urat, ataupun kalsium. Tergantung dari tempat pembentukannya, batu dalam saluran kemih bisa dibagi menjadi: - Batu di dalam pelvis renalis atau ureter (ureterolithiasis): Batu yang terdapat di pelvis renalis atau ureter biasa dibentuk di papilla renalis ginjal karena konsentrasi garam yang tinggi di dalam urin. Batu biasa menyebabkan obstruksi di tiga penyempitan fisiologis dari ureter yaitu di uretro- pelvico junction, persilangan ureter dengan a.iliaca, dan uretro-vesico junction (tempat dimana ureter masuk ke vesica urinaria). Gejala yang khas untuk batu di ureter ialah nyeri kolik di punggung bagian bawah. Nyeri kolik adalah nyeri hebat yang bersifat intermiten atau hilang timbul. Nyeri juga bisa mengalami penyebaran dari punggung bawah ke daerah abdomen, genitalia, dan selangkangan. - Batu di dalam vesica urinaria (vesicolithiasis): Batu di dalam kandung kemih ditandai oleh nyeri pada abdomen bagian bawah. Selain itu, penderita juga mengeluhkan aliran air seni yang berhenti secara tiba- tiba saat buang air kecil. - Batu di dalam uretra: Batu yang terdapat di dalam uretra umumnya akan menyebabkan obstruksi lumen uretra sehingga mengganggu buang air kecil. Pancaran urin pada penderita batu di dalam uretra ialah bercabang disertai dengan urin yang menetes. (4-5)
3. Obstruksi akibat tumor di saluran kemih Tumor pada saluran kemih bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan. Selain itu, tumor juga bisa terjadi pada usia apapun. Biasa tumor di saluran kemih bersifat malignant (atau disebut juga kanker). Kanker pada saluran kemih bisa terdapat di pelvis renalis dan ureter, di kandung kemih, dan di uretra. Kanker yang dapat menyebabkan gejala obstruksi ialah kanker pelvis renalis dan ureter, serta kanker uretra. Kanker yang mungkin pada kasus ini ialah kanker pelvis renalis dan ureter serta kanker uretra karena menyebabkan gejala obstruksi. - Kanker pelvis renalis dan ureter: Kanker pada kedua struktur ini insidensinya lebih rendah dibanding kanker lain pada saluran kemih. Gejala pertama dan utama ialah hematuria (darah di dalam urin). Kanker ini dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih sehingga menimbulkan nyeri pada daerah antara tulang iga dan tulang coxae/ daerah abdomen bawah. Biasa obstruksi dari ureter terjadi karena sumbatan bekuan darah. (6)
- Kanker kandung kemih: Keluhan utama pada tumor di dalam kandung kemih ialah hematuria (darah di dalam urin). Gejala lain yang bisa terdapat ialah nyeri saat berkemih dan frekuensi buang air kecil yang meningkat/sering ingin buang air kecil. Kanker kandung kemih juga menyebabkan anemia, ditandai oleh perasaan letih dan pucat. Faktor predisposisi untuk kanker pada kandung kemih ialah merokok, infeksi kronis schistosomiasis, dan vesicolithiasis. Pada kasus ini kemungkinan kanker pada pasien sangat kecil. (7)
- Kanker uretra: Kanker pada uretra jarang terjadi dan biasa terjadi setelah usia 50 tahun, bisa terjadi baik pada pria maupun pada wanita. Gejala pertama dan utama ialah hematuria makroskopis maupun mikroskopis (hanya terdeteksi di bawah mikroskop). Kanker uretra dapat menyebabkan obstruksi dari aliran kemih, sehingga buang air kecil menjadi susah (harus mengejan). Aliran air seni pada kanker uretra bersifat lambat dan sedikit. (8)
Untuk menegakan diagnosis kanker pada saluran kemih harus dilakukan biopsi. Pada kasus ini, kemungkinan adanya kanker di saluran kemih sangat kecil, kecuali bila didapatkan adanya hematuria pada anamnesis selanjutnya. 4. Inflamasi akibat infeksi saluran kemih Infeksi pada uretra akan menyebabkan inflamasi dari uretra sehingga lumen uretra menjadi kecil dan aliran urin menjadi terhambat. Uretritis bisa dibagi menjadi uretritis yang kronik dan uretritis yang akut: - Uretritis kronik: Uretritis yang kronik biasa ditemukan pada wanita dimana biasanya disebabkan oleh kuman anaerob. Gejala yang terdapat pada uretritis kronik ialah sering miksi, disuria (nyeri pada saat berkemih), dan nyeri di uretra. Meatus uretra biasanya merah dan bengkak pada inspeksi. - Uretritis akut: Uretritis akut biasa disebabkan oleh infeksi gonore atau Chlamydia trachomatus. Gejala biasa berupa disuria. Untuk infeksi gonore gejala uretritis berat sampai bernanah. Nanah atau pus yang menumpuk pada uretra dapat menyumbat aliran daripada air seni. Gejala yang khas pada gonore ialah dikeluarkan sekret dari uretra/urethral discharge. (3)
Pada kasus ini, kemungkinan uretritis sangat kecil karena uretritis secara epidemiologis lebih banyak didapatkan pada perempuan karena uretranya lebih pendek. Selain itu, pada kasus ini pasien masi berumur 14 tahun sehingga kemungkinan terkenan infeksi gonore kecil karena infeksi gonore termasuk dalam penyakit menular seksual. 5. Obstruksi akibat pembesaran prostat Pembesaran prostat bisa bersifat jinak pada BPH (benign prostate hyperplasia) dan bersifat ganas pada tumor prostat. Pembesaran prostat juga bisa terjadi akibat infeksi yaitu pada prostatitis. Pembesaran dari prostat dapat menyebabkan penyempitan dari lumen uretra pars prostatika sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi. Namun, masalah pada prostat biasanya terjadi pada orang dewasa dan lanjut usia sehingga pada kasus ini kemungkinan adanya pembesaran prostat sangat kecil. - Hipertrofi prostat: Penurunan tekanan dan kaliberasi dari aliran urin merupakan gejala utama dari hipertrofi prostat. Selain itu, hesitansi serta kesulitan dalam menginisiasi air seni mempengaruhi peningkatkan periode laten dari vesica urinaria sehingga terjadi peningkatan tekanan intravesikal. Kelemahan otot vesica urinaria akan menyebabkan vesica urinaria gagal dalam mengosongkan seluruh isinya. (3) 6. Gangguan persarafan Adanya gangguan pada persarafan juga dapat menganggu pengosongan dari vesica urinaria. Pada orang dengan cedera medulla spinalis, sistem saraf otonom parasimpatis yang mengatur refleks miksi akan terganggu sehingga pengosongan vesica urinaria akan terganggu. 7. Efek obat Banyak obat-obatan yang dapat menyebabkan retensi urin. Obat-obat tersebut biasa digunakan untuk menangani kerja sinyal saraf yang overaktif agar dapat mengobati alergi, keram perut, spasme otot, kecemasan, juga depresi. Selain itu, obat yang digunakan untuk mengobati inkontinensia urin juga dapat menyebabkan retensi urin. Obat-obat yang telah disebutkan antara lain adalah: (9) - Antihistamin untuk alergi: fexofenadine, diphenhydramine, chlorpheniramine, cetirizine - Antikolinergik atau antispasmodic (untuk mengobati keram perut, spasme otot, dan inkontinensia urin): hyoscyamine, oxybutynin, tolterodine, prophanteline - Trisiklik antidepresan (untuk mengobati kecemasan dan depresi): imipramine, amitriptyline, notriptyline, doxepin - Obat yang menyebabkan penyempitan salurang kemih: ephedrine, pseudoephedrine, phenylpropanolamine
Anamnesis Anamnesis dilakukan berdasarkan hipotesis yang mungkin pada kasus ini: I. Riwayat penyakit sekarang Bagaimana keadaan pasien sebelum menderita gangguan buang air kecil? Bagaimana timbulnya keluhan? Apakah ada kejadian yang mungkin berkaitan dengan timbulnya keluhan seperti trauma? Berapa lama keluhan sudah dirasakan? Apakah ada yang meringankan atau menambah beratnya keluhan? Apakah ada keluhan yang menyertai seperti demam, nyeri saat buang air kecil atau nyeri yang hilang timbul? Bagaimana pancaran air seni? Lemah, keras, menetes? Bagaimana frekuensi buang air kecil? Apakah frekuensi buang air kecil meningkat pada malam hari (nocturia)? Bagaimana sifat dari air seni? Apakah ada darah (hematuria)? Apakah ada yang telah dilakukan untuk menangani keluhan? II. Riwayat penyakit dahulu Apakah pernah mengalami keluhan yang serupa? Apakah sebelumnya pernah menderita infeksi saluran kemih? Apakah sebelumnya pernah menderita striktura uretra? Apakah pasien pernah dikaterisasi sebelumnya? Apakah pasien pernah mengalami trauma sebelumnya? III. Riwayat kebiasaan-kebiasaan Bagaimana konsumsi makanan pasien? Apakah sering mengkonsumsi makanan yang kaya akan asam urat, sayuran, atau kalsium? Bagaimana kebersihan/sanitasi pribadi pasien? Apakah peralatan mandi dibersihkan secara teratur? Apakah pasien mengkonsumsi obat-obatan seperti antihistamin, antidepresan, atau antispasmodik?
Pemeriksaan Fisik I . Keadaan umum II. Tanda vital III. Inspeksi Pada pemeriksaan ini yang dilakukan adalah pasien di usahakan untuk bisa miksi, dari miksi tersebut, bisa di lihat pancaran miksinya. Pancaran miksi ini sangat penting untuk membantu menentukan hipotesis, misal apabila gangguan miksi disebabkan karena adanya suatu obstruksi baik berupa batu, tumor, ataupun striktur uretra akan didapatkan pancaran miksi dengan diameter kecil, selain itu dengan pemeriksaan pancaran miksi juga dapat mengetahui letak obstruksi, apabila pancaran miksi lemah kemungkinan obstruksi terletak lebih ke arah proksimal sedangkan pancaran miksi yang keras dan bercabang, letak obstruksi kemungkinan lebih distal. Pada inspeksi yang perlu diperhatikan juga, penampilan alat kelamin dari tampak luar, misal adakah pembesaran baik berupa oedem, adakah jaringan parut, ulkus, atau bahkan fistula, adakah perubahan warna pada kulit kelamin. IV. Palpasi Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah perabaan di seluruh panjang uretra. Diperiksa jika terdapat batu yang menyebabkan obstruksi aliran kemih pada uretra, maka akan teraba batu di uretra. Selain itu dari pemeriksaan palpasi dapat dilakukan perabaan vesika urinaria, dimana secara normal tidak teraba, namun apabila terdapat obstruksi yang menyebabkan penyempitan sehingga terjadi gangguan aliran urin, apabila berlanjut terus menerus dapat terjadi retensi urin sehingga vesika urinaria dapat teraba dengan palpasi. Vesika urinaria yang dapat teraba apabila volume urin mencapai lebih dari 150 cc. Selain diatas yang perlu diperhatikan juga adalah konsistensi suatu massa apabila pada pemeriksaan inspeksi terdapat suatu massa dan adakah rasa nyeri pada palpasi ringan. V. Colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter ani, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan didalam rektum dan prostat. Untuk mengetahui hal yang abnormal yang harus diketahui lebih dahulu adalah keadaan normal. Dalam keadaan normal ukuran prostat kurang lebih 1 inci. Pada colok dubur, normalnya batas atas dapat diraba dengan panjang jari pemeriksa. Dalam keadaan normal konsistensi kenyal, mukosa bebas, permukaan rata, ada lengkungan pada bagian tengah. Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat apabila didapatkan pembesaran prostat dan kenyal ada kemungkinan terjadi hipertrofi prostat jinak, sedangkan pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba penonjolan dengan konsistensi yang lebih keras dari sekitarnya. Dengan colok dubur dapat pula diketahui batu prostat bila teraba krepitasi. (3)
Pemeriksaan Laboratorium 1.Urinalisa Pemeriksaan ini dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan pemeriksaan untuk menilai volume urin, warna urin, kekeruhan urin, bau urin, pH, dan berat jenis. Secara makroskpis dapat diketahui apabila terjadi hematuri, tetapi tidak selalu hematuri didapatkan pada pemeriksaan makroskopis namun dapat ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis. (10) Pemeriksaan mikroskopis dibagi menjadi pemeriksaan sedimen dan bakteriologis. Pada pemeriksaan sedimen yang perlu diperhatikan adalah lekosit, eritrosit, silinder, epitel. Sedangkan bakteriologis dapat ditemukan kuman penyebab apabila terjadi infeksi. Pemeriksaan mikroskopis urin dilakukan pada spesimen urine yang baru saja dikumpulkan, kemudian spesimen ini disentrifugasi, endapannya disuspensikan dalam 0,5 ml urin. (10)
2.Pemeriksaan bakteriologik urine Pada dasarnya urin steril, sehingga jumlah bakteri yang banyak dapat menunjukan adanya infeksi traktus urinarius (ginjal, vesika urinaria, atau uretra) atau prostitis. Menghitung bakteri harus dilakukan melalui inokulasi permukaan lempeng agar. Lempeng agar kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37C. Koloni 10 5 atau lebih organisme/ml spesimen urin yang diambil dari urin pancaran tengah menunjukan bakteriuria bermakna. Jumlah kuman antara 10.000 - < 100.000 kuman/ml urin dianggap meragukan dan perlu diulang. Bila jumlah kuman < 10.000/ml urin hasil dianggap sebagai kontaminasi dan tidak memerlukan terapi. Hasil tes ini juga merupakan petunjuk yang berguna untuk memilih antibiotik sebagai terapi yang paling efisien.
Pemeriksaan Radiologis 1.Uretrografi retrograde Metode pada pemeriksaan uretrografi bervariasi, biasanya digunakan kateter ukuran kecil (14F) dan ditempakan 1-2 cm dalam fossa navicularis dan balon kateter dikembangkan sekitar 1-2 cc. Digunakan zat kontras (meglumin diatrizoat 30%) yang tidak diencerkan sebanyak 10-30 ml dan langsung diambil foto dalam posisi oblique. 2. Uretrosistografi bipolar Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui panjang dan sifat dari striktur uretra (parsial atau total). Kontras bisa dimasukkan dari atas lewat vesika urinaria, ataupun dari bawah melalui uretra. Keuntungan yang bisa didapat melalui uretrosistografi bipolar ini ialah dapat diketahui panjang dan ketebalan striktur serta obstruksinya bersifat total ataupun parsial, serta mengetahui persis lokasi dari striktur. 3. Uroflowmetri Derajat beratnya obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. (3) 4. Intravenous pielography (IVP) Prosedur pada IVP adalah foto polos radiografi abdomen yang kemudian dilanjutkan dengan penyuntikan media kontras intravena. Media kontras bersirkulasi melalui aliran darah dan jantung menuju ginjal tempat media kontras diekskresikan. Sesudah disuntikan, maka setiap menit selama 5 menit pertama dilakukan pengambilan foto untuk memperoleh gambaran korteks ginjal. Foto lain yang diambil pada menit ke-15 dapat memperlihatkan kaliks, pelvis, dan ureter. Struktur ini akan mengalami distrorsi bentuk apabila terdapat kista, lesi, dan obstruksi. Foto terakhir dilakukan pada menit ke-45 yang memperlihatkan kandung kemih. Bila pasien menderita azotemia berat (BUN>70) biasanya tidak dilakukan IVP karena menunjukan GFR yang sangat rendah. Dengan demikian, zat warna tidak dapat diekskresikan dan pielogram sulit dilihat. Kadang dilakukan pielogram retrograd dengan memasukan kateter melalui ureter dan menyuntikan media kontras langsung ke ginjal. Indikasi utama tindakan ini adalah urologik, misalnya pada pemeriksaan lanjutan ginjal yang tidak berfungsi atau bila hasil IVP tidak jelas. Tindakan ini sedapat mungkin tidak dilakukan karena memerlukan anastesi dan sangat memungkinkan terjadinya infeksi. (10)
Masalah tambahan Dari hasil anamnesis lanjutan, didapatkan bahwa: - Pasien memerlukan waktu antara keinginan buang air kecil dengan keluarnya air seni Menunjukan bahwa ada obstruksi yang terletak distal dari sfingter uretra eksternum sehingga air seni tidak langsung mengalir keluar dari saluran kemih setelah relaksasi sfingter. Dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini gangguan buang air kecil disebabkan oleh kelainan pada uretra pars spongiosa. Jadi kemungkinan ureterolithiasis, vesicolithiasis, tumor pelvis renalis dan ureter, tumor vesica urinaria, dan pembesaran prostat dapat disingkirkan dari hipotesis karena kelainanya terletak proksimal dari sfingter uretra eksternum. - Pasien mengalami disuria (nyeri saat buang air kecil) Nyeri bisa timbul akibat tekanan intra-vesika yang meningkat akibat pengosongan vesika urinaria yang tidak tuntas karena obstruksi, karena lewatnya batu dalam saluran kemih, dan karena peradangan yang terdapat pada infeksi traktus urinarius. Gangguan persarafan dapat dicoret dari hipotesis karena biasa tidak disertai disuria. - Pancaran air seni kecil, keras, dan kadang terbelah Menunjukan bahwa kelainan pada saluran kemih terletak distal dari sfingter uretra eksternum. Kelainan proksimal dari sfingter uretra eksternum akan memberikan pancaran urin yang kecil, lemah, tidak terbelah sampai menetes. - Pada akhir kencing masih keluar air seni yang menetes Air seni yang menetes setelah akhir buang air kecil menandakan adanya residu urin di vesica urinaria atau pengosongan vesica urinaria tidak tuntas. - Pasien merasa sering ingin buang air kecil Seperti yang telah dijelaskan, frekuensi buang air kecil meningkat karena terdapat residu urin yang terus merangsang reseptor di vesica urinaria sehingga timbul refleks miksi berulang-ulang. - Pasien pernah mengalami cedera pada selangkangannya akibat terbentur benda keras saat jatuh terpleset dari pohon Riwayat trauma pada pasien ini mengarahkan diagnosis kelompok kami kepada striktur uretra. Seperti yang telah dijelaskan, striktur uretra bisa disebabkan oleh cedera pada selangkangan (straddle injury), biasa di uretra pars bulbosa yang terletak distal dari sfingter uretra eksternum.
Diagnosis Pasien ini didiagnosis menderita kelainan striktur uretra. Hal-hal yang mendukung diagnosis tersebut pada kasus adalah: - Adanya riwayat trauma selangkangan yang terbentur benda keras akibat terjatuh dari pohon sekitar 2 bulan lalu yang dialami pasien. Trauma pada daerah ini umumnya akan mengakibatkan striktur uretra pars spongiosa, tepatnya pars bulbosa. - Pasien merasa ada sisa kencing setelah miksi, sehingga sering buang air kecil dan perlu mengejan kuat saat miksi. Selain itu juga pasien perlu waktu antara keinginan buang air kecil dengan keluarnya urin, menandakan bahwa terdapat obstruksi yang terletak distal dari sfingter uretra eksternum. Pancaran air seninya kecil dan keras lalu setelah buang air kecil air seninya menetes (dribbling). Hasil anamnesis tersebut menunjukkan terdapatnya gejala striktur uretra pada pasien.
Diagnosis Banding 1. Batu di dalam uretra: Gejala obstruksi akibat batu ini hampir menyerupai striktur uretra dimana pada saat miksi pasiennya perlu mengejan kuat karena urin sulit keluar. Namun, pada obstruksi akibat batu terdapat gejala khas yaitu adanya hematuria dan nyeri saat berkemih. Kekuatan pancaran urinnya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi batunya. Diperlukan pemeriksaan urinalisis dan radiologi untuk membedakan striktur dan obstruksi pada uretra. 2. Infeksi traktus urinarius: Infeksi pada sistem urinarius dapat disebabkan oleh bermacam-macam mikroorganisme yang mengakibatkan adanya reaksi inflamasi atau peradangan (berupa kalor, dolor, rubor, tumor, dan gangguan fungsi pada organ-organ yang terinfeksi) sehingga apabila terdapat gejala tersebut akan menimbulkan gangguan miksi karena rasa nyeri dan adanya penyumbatan oleh pembengkakan daerah yang meradang. Pada infeksi biasanya juga disertai oleh peningkatan suhu tubuh pasien dan peningkatan frekuensi buang air kecil. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis infeksi traktus urinarius adalah tes urinalisis dan kultur urin untuk mengetahui secara spesifik jenis spesies mikroorganisme yang mengakibatkan infeksi tersebut. Infeksi juga dapat terjadi pada pasien ini sebagai komplikasi dari striktur uretra.
Prinsip Penatalaksanaan I. Simptomatis: dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri saat miksi II. Operatif: tindakan operatif yang ditentukan dilakukan berdasarkan panjang dari striktur uretra: - Untuk striktur uretra yang kurang atau sama dengan 1,5 cm, tindakan yang dilakukan ialah: Uretrostomi interna: Uretrostomi interna merupakan prosedur endoskopi yang biasa dilakukan anastesi umum. Sebuah endoskopi (tabung tipis dengan kamera) dimasukan ke dalam uretra untuk melihat penyempitan. Kemudian pisau kecil dilewatkan melalui endoskopi untuk melakukan insisi mamanjang pada striktur. Pemotongan jaringan sikatriks uretra bisa dilakukan dengan pisau Otis, pisau Sachse, laser, atau elektrokauter. Pemasangan kateter Foley dilakukan selama beberapa hari pasca operasi, sementara sayatan uretra mengalami penyembuhan. (11)
Uretrostomi eksterna: Uretrostomi eksterna adalah tindakan operatif terbuka dimana dilakukan eksisi dari jaringan fibrotik striktur kemudian anastomosis end- to-end jaringan uretra yang masih sehat. (11)
- Untuk striktur uretra yang lebih dari 1,5 cm, tindakan yang dilakukan ialah: Uretrostomi eksterna cara Johansson: Tindakan ini dilakukan bila striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. Daerah striktur disayat longitudinal dengan sedikit jaringan sehat disertakan di bagian proksimal dan distal, kemudian dilakukan eksisi jaringan fibrotik. Mukosa uretra dijahitkan ke penis pendulans dan pemasangan kateter dilakukan selama 5-7 hari. Beberapa bulan kemudian dilakukan pembuatan uretra baru bila daerah striktur telah melunak. (11)
Ureteroplasty: Tindakan ini dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm, striktur uretra dengna fistula uretro-kutan, dan pada penderita residif striktur pasca uretrotomi interna (dengan pisau Sachse). Uretra di insisi di bagian midline sepanjang striktur uretra ditambah 1,5 cm di bagian proksimal dan distal dari kedua ujung striktur. Kulit yang akan dicangkok diperoleh dari kulit penis, jaringan subkutan, atau kulit preputium. Bila kulit penis tidak tersedia maka dapat digunakan kulit dari lengan bagian atas medial, perut, atau leher bagian yang tidak berambut. Dengan free graft atau pedikel graft dibuat tabung uretra baru dari kulit penis atau preputium dengan menyertakan pembuluh darahnya. (12)
- Setelah tindakan operatif dan pasien telah dipulangkan, pasien harus melakukan kontrol secara periodik yaitu setiap minggu selama 1 bulan, kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan, dan kemudian tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dimana bila pancaran urin kurang dari 10ml/detik makan dapat dilakukan bouginasi/ dilatasi uretra. Bouginasi tidak dianjurkan sebagai terapi operatif primer karena tingkat kekambuhanya lebih tinggi, dan terdapat risiko trauma ulang pada uretra. Bouginasi/ dilatasi: Dilatasi uretra adalah teknik umum untuk mengobati penyempitan uretra yang dilakukan di bawah anestesi lokal atau umum. Bougie tipis yang lembut dimasukkan ke urethra dari ujung penis (meatus) untuk membuka penyempitan uretra tanpa menyebabkan cedera lebih lanjut pada uretra. Dilatasi dengan bougie logam harus dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya dapat menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. (11)
III. Edukasi: Mengingat umur pasien yang masi 14 tahun maka pasien perlu diedukasi untuk mencegah kekambuhan dari striktur uretra. Striktur uretra dapat dicegah dengan mencegah infeksi penyakit uretra kelamin dan dengan menghindari pemakaian kateter atau instrumentasi uretra. Selain itu, juga dengan mencegah terjadinya trauma seperti straddle injuy yaitu dengan bertindak lebih hati-hati.
Komplikasi 1. Residu urin Pada fase kompensasi yang terjadi pada awal terjadinya striktur, dimana tubuh berusaha lebih untuk mengeluarkan urin karena terdapat penyempitan di uretra dimana m.detrusor berkontraksi makin kuat, tidak akan timbul residu. Sebaliknya pada fase dekompensasi dimana sistem tubuh tersebut mulai mengalami kelelahan, akan timbul residu urin. Penumpukan urin dalam vesica urinaria ini beresiko tinggi untuk terjadinya infeksi yang selain menyerang vesica urinaria, juga dapat ke prostat, dan ginjal. Abses di atas lokasi striktur juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan kerusakan uretra dan jaringan di bawahnya. 2. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal Dalam keadaan normal, vesica urinaria dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh mempertahankan vesica urinaria dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat mengosongkan vesica urinaria saat miksi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam keadaan dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya vesica urinaria gampang terinfeksi dimana adanya kuman yang berkembang biak pada residu tersebut, dan apabila terjadi refluks maka akan timbul pielonefritis akut maupun kronik yang akhirnya dapat menimbulkan gagal ginjal dengan segala akibatnya. Selain itu keadaan uretra yang menyempit, dalam kasus ini karena straddle injury, biasanya terjadi di uretra pars bulbosa, akan menyebabkan uretra proksimal dan kelenjar prostat (dilatasi) sehingga dapat menyebabkan prostatitis. (13)
3. Refluks vesico urethral Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil, urin dikeluarkan dari vesica urinaria melalui uretra. Pada striktura uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urin dari vesica urinaria akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ke ginjal. 4. Infiltrat urin, abses, dan fistulasi Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa timbul inhibisi urin keluar dari buli-buli atau uretra proksimal. Urin yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urin, kalau tidak diobati infiltrat urin akan menimbulkan abses, abses pecah sehingga timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur. (14) 5. Trabekulasi, sakulasi, dan divertikel Pada striktura uretra, vesica urinaria harus berkontraksi lebih kuat, sesuai dengan Hukum Starling, yang menyatakan bahwa kuat kontraksi otot berbanding lurus dengan panjang awal (initial length) otot tersebut. Ini berarti jika otot diberi beban, karena sifat dapat memanjang yang dimiliki otot, maka otot akan sedikit memanjang sehingga kalau otot berkontraksi, kuat kontraksinya akan lebih besar. Namun otot kalau diberi beban terus menerus pada suatu saaat kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot vesica urinaria mula-mula akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar vesica urinaria, jadi divertikel vesica urinaria adalah tonjolan mukosa keluar vesica urinaria tanpa dinding otot.
Prognosis - Ad vitam: Ad bonam. Striktur uretra apabila ditangani dengan cepat sebelum timbul komplikasi lebih lanjut tidak akan menyebabkan kematian. - Ad sanationam: Dubia Ad Malam. Pada kasus striktur uretra, biasanya sering kambuh sehingga harus sering menjalani pemeriksaan yang teratur. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penrtumbuhan jaringan baru setelah mengalami trauma tidak sama elastis dan strukturnya dengan jaringan semula. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah dilakukan observasi selama satu tahun tidak menyebabkan kekambuhan. - Ad functionam: Dubia Ad Bonam. Dengan adanya penanganan seperti pelebaran lumen uretra akan memperbaiki fungsi organ ini. Namun adanya faktor penyembuhan luka yang tidak sesempurna jaringan sebelum trauma dialami dan faktor kekambuhan tidak menutupi bahwa suatu saat fungsi organ ini akan terganggu.
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI SALURAN KEMIH Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (buli- buli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh. (15,16) Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri. (15,16) Syntopi ginjal
Ginjal kiri Ginjal kanan Anterior Dinding dorsal gaster Pankreas Limpa Vasa lienalis Usus halus Fleksura lienalis Lobus kanan hati Duodenum pars descendens Fleksura hepatica Usus halus Posterior Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum, m. transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis, n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian: - Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdiri dari korpus renalis / Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. - Medula, yang terdiri dari 9-14 piramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (collecting duct). - Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara piramid ginjal - Processus renalis, yaitu bagian pyramid / medula yang menonjol ke arah korteks - Hilus renalis, yaitu suatu bagian / area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal. - Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor. - Calyx minor, yaitu percabangan dari calyx major. - Calyx major, yaitu percabangan dari pelvis renalis. - Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan calyx major dan ureter. - Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria. Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis / Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul (collecting duct). Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler, yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letaknya nefron dapat dibagi menjadi: (15-16) 1. Nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medulla 2. Nefron juxtamedularis, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta. Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan vena renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, arteri renalis akan bercabang menjadi arteri segmentalis kemudian menjadi arteri lobaris lalu arteri arcuata lalu arteri interlobularis, masuk ke aferen arteriole lalu ke glomerulus keluar melalui eferen arteriole ke peritubular kapiler dan vasa recta lalu ke vena interlobularis menjadi vena arcuata kemudian menjadi vena interlobaris kemudian vena renalis dan bermuara di vena cava inferior. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T11-L1 atau L2, melalui nervus splanchnicus major, nervus splanchnicus minor dan nervus lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan parasimpatis melalui nervus vagus. Ureter Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil penyaringan ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal. (15-16) Syntopi ureter
Ureter kiri Ureter kanan Anterior Kolon sigmoid a/v. colica sinistra a/v. testicularis/ovarica Duodenum pars descendens Ileum terminal a/v. colica dextra a/v.ileocolica mesostenium Posterior M.psoas major, percabangan a.iliaca communis
Laki-laki: melintas di bawah lig. umbilikal lateral dan ductus deferens Perempuan: melintas di sepanjang sisi cervix uteri dan bagian atas vagina Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas major, lalu menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik urin setelah memasuki vesika urinaria. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis- ureter, fleksura marginalis serta muara ureter ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu. Ureter diperdarahi oleh cabang dari arteri renalis, aorta abdominalis, arteri iliaca communis, arteri testicularis/ovarica serta arteri vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior. (15-16) Vesica Urinaria Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sfingter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan saraf. Syntopi vesica urinaria Vertex Lig. umbilical medial Infero-lateral Os. Pubis, M.obturator internus, M.levator ani Superior Kolon sigmoid, ileum (laki-laki), fundus-korpus uteri, excav. vesicouterina (perempuan) Infero-posterior Laki-laki: gl.vesiculosa, ampula vas deferens, rektum Perempuan: korpus-cervis uteri, vagina Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis, dan collum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot musculus detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu bagian berbentuk mirip segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam keadaan kosong. Vesica urinaria dibentuk oleh lapisan mucosa, submucosa, musculus detrusor, dan adventisia. Lapisan mucosa terdapat epitel transisional yang dapat berubah mengikuti bentuk vesica urinaria, seperti ketika vesica urinaria terisi penuh oleh urin dan lamina propria. (15-16)
Vesica urinaria diperdarahi oleh arteri vesicalis superior dan inferior. Namun pada perempuan, arteri vesicalis inferior digantikan oleh arteri vaginalis. Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui nervus splanchnicus minor, nervus splanchnicus minor, dan nervus splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui nervus splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik. Uretra Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. Selain itu, Pria memiliki dua otot sfingter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter). (15- 16) Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars membranosa dan pars spongiosa. - Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan aspek superior kelenjar prostat. Pars pre- prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh persarafan simpatis. - Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya. - Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan tersempit. Bagian ini berlanjut menjadi bulbus penis dan melintasi diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal yang berada di bawah kendali volunter (somatis). - Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang, membentang dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar penis/ orifisium uretra eksterna. Bagian ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.
FAAL: REFLEKS MIKSI Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang kompleks dan terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas neuronal mulai dari korteks serebri, batang otak, medula spinalis dan saraf-saraf tepi baik otonom maupun somatik. Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi buli-buli yang diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini menghasilkan koordinasi antara kontraksi otot polos dan lurik yang berakhir dengan terjadinya miksi.
Refleks miksi merupakan refleks autonom korda/medulla spinalis yang dapat dihambat atau dibantu oleh batang otak dan korteks otak. Signal sensoris, yang dikirim oleh reseptor regang ke medulla spinalis sebelumnya, dikirimkan balik ke vesika urinaria melalui nervus pelvic yang merangsang saraf parasimpatis sehingga terjadi kontraksi otot detrusor. Kontraksi otot detrusor pada vesika urinaria menyebabkan relaksasi dari otot sphincter urethrae interna. Selain itu, refleks miksi juga menyebabkan refleks lain melalui nervus pudendal. Refleks ini menghambat neuron motorik yang mempersarafi otot sphincter urethrae externa sehingga otot tersebut relaksasi. Jika tidak ada hambatan volunter kontraksi otot sphincter urethrae externa (seperti saat menahan buang air kecil), urin akan dikeluarkan dari tubuh. (2)
REFLEKS MIKSI (2) 1. Vesica urinaria menggelembung terisi oleh urin 2. Reseptor renggang sensorik di dalam kandung kemih terangsang, dan mengirimkan sinyal ke segmen sakralis (pusat persarafan parasimpatis) 3. Serabut saraf parasimpatis berjalan ke otot detrusor yang berespon melalui kontraksi secara ritmis 4. Terjadi relaksasi dari otot sfingter uretra interna 5. Kebutuhan berkemih menjadi sesuatu yang mendesak 6. Kontraksi secara sadar oleh sfingter uretra eksterna dan inhibisi refleks miksi dari batang otak dan korteks otak untuk mencegah proses miksi 7. Apabila diputuskan untuk miksi, sfingter uretra eksterna akan relaksasi dan rangsangan dari hipotalamus akan memfasilitasi refleks miksi 8. Otot detrusor berkontraksi, dan urin keluar melalui uretra 9. Saraf dari refleks miksi pusat kelelahan, otot detrusor relaksasi, dan vesica urinaria kembali terisi urin
STRIKTURA URETHRA Definisi Striktur uretra adalah penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra akibat adanya obstruksi, pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) pada uretra atau daerah uretra. Biasanya sekunder terhadap trauma atau peradangan. Sebagian besar terjadi karena penyakit gonokokus dan trauma seperti fraktur pelvis, instrumentasi atau drainase kateter urinaria jangka panjang. (17, 18) Etiologi Striktur uretra dapat terjadi pada (17, 18) 1. Kelainan Kongenital Misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior 2. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia 3. Trauma Contohnya fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea; trauma tumpul pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria; trauma langsung pada penis; instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah. (3) 4. Post operasi Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra, seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi. 5. Infeksi Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi clamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.
Derajat Penyempitan Uretra Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu derajat: 1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra 2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan diameter lumen uretra Letak striktur uretra Penyebab Pars membranasea (1) Trauma panggul; Kateterisasi Pars bulbosa (2) Trauma atau cedera selangkangan; Uretritis Meatus (3) Balanitis; Instrumentasi kasar 3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari diameter lumen uretra Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis. (17, 18) Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter, dan ginjal. Mukosanya terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular. Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan secara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra, sehingga terjadi striktur uretra. Obstruksi akibat striktur uretra akan menyebabkan gangguan aliran urin. Sehingga timbul gejala obstruksi seperti pancaran air miksi berdiameter kecil, setiap miksi diakhiri dengan air miksi yang menetes, pasien merasakan adanya sisa urin setelah miksi, dan karena adanya obstruksi pasien harus mengejan agar dapat miksi sehingga memerlukan waktu antara keinginan miksi dan keluar urin, serta terjadi peningkatan frekuensi miksi. Sebagai kompensasi atas terjadinya obstruksi terjadi perangsangan pada vesika urinaria, khusunya otot detrusor untuk berkontraksi. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya hipersensitivitas pada otot detrusor adalah terdapatnya urin residu akibat obstruksi yang pada keadaan normal tidak terdapat urin residu. Hal tersebutlah yang mendasari terjadinya peningkatan frekuensi miksi pada kasus akibat obstruksi. Pada saat otot detrusor berkontraksi terjadi penebalan otot detrusor yang disebut fase kompensasi dinding otot, apabila keadaan ini terus berlanjut maka otot detrusor akan mengalami kelelahan sampai akhirnya bisa terjadi fase dekompensasi, dimana otot detrusor tidak dapat berkontraksi lagi sehingga dapat terjadi retensi urin. Apabila retensi urin terus terjadi sedangkan produksi urin terus terjadi secara normal akan terjadi retensi urin kronik, yang menyebabkan peningkatan tekanan intra vesika terhadap tekanan sfingter uretra internum dan tekanan obstruksi sehingga dapat terjadi komplikasi refluks-vesiko ureter. (3) Gejala Striktur Uretra 1. Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang 2. Pancaran air kencing bercabang - Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya. Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen. 3. Lemah 4. Sering disertai mengejan 5. Retensio urin serta timbul gejala-gejala sistitis perlahan-lahan selama beberapa bulan atau bertahun-tahun. Apabila satu hari pancaran normal kemudian hari berikutnya pancaran kecil dan lemah jangan dipikirkan striktur uretra tetapi ke arah batu buli-buli yang turun ke uretra. 6. Gejala infeksi 7. Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis dan pielonefritis 8. Frekuensi kencing lebih sering dari normal 9. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal), terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus-menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra. 10. Disuria dan hematuria 11. Pengosongan vesica urinaria yang tidak puas Diagnosis Striktur Uretra Dengan anamnesis yang baik, diagnosa striktura uretra dapat ditegakkan. Apalagi bila ada riwayat infeksi veneral atau straddle injury. Diagnosis dapat ditegakkan dengan uretrosistografi. Ke dalam lumen uretra dimasukkan zat kontras, kemudian difoto sehingga dapat dilihat seluruh saluran uretra dan buli-buli. (17, 18) Dari foto tersebut dapat ditentukan: 1. Lokasi striktur: proksimal atau distal dari sfingter (penting untuk tindakan operasi) 2. Besar kecilnya striktur 3. Panjang striktur 4. Jenis strikturya
STRADDLE INJURY Straddle injury atau cedera selangkang merupakan cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior (bagian uretra distal dari diafragma urogenital). Cedera uretra pars bulbosa dapat terjadi karena uretra terjepit antara obyek yang keras (seperti batu, kayu, atau palang sepeda) dan tulang simfisis. Selain oleh cedera selangkang, cedera uretra anterior juga dapat disebabkan oleh instrumentasi seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi. (3) Jenis kerusakan yang terjadi berupa: 1. kontusio (atau memar) dinding uretra tanpa robekan 2. kontusio dinding uretra dengan robekan parsial (ruptur parsial) 3. kontusio dinding uretra dengan robekan total (ruptur total)
Gejala Cedera Uretra Anterior Pada kontusio dinding uretra terdapat gejala berupa perdarahan melalui meatus uretra, hematuria, dan kesulitan buang air kecil. Tanda klasik dari cedera uretra ialah ditemukan beberapa tetes darah segar di meatus uretra. Dengan pemeriksaan sistograd uretrografi tidak akan terdapat ekstravasasi kontras. (3, 19) Pada ruptur uretra baik parsial maupun total terjadi robekan pada korpus spongiosum sehingga akan terbentuk hematoma penis atau hematoma kupu-kupu. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan adanya nyeri di perut bagian bawah serta daerah suprapubik. Pemeriksaan sistograd uretrografi menunjukan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa (bagian uretra yang mengalami cedera pada straddle injury). (19) Patofisiologi Uretra bagian anterior dilapisi oleh korpus spongiosum penis, dimana korpus spongiosum dan korpus kavernosa penis dibungkus oleh fascia dartos dan fascia buck. Bila terjadi ruptur uretra dan korpus spongiosum maka darah dan urin akan keluar dari uretra, namun masi dibatasi oleh fascia buck sehingga secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. (19) Namun, bila fascia buck ikut robek akibat cedera, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fascia dartos sehingga urin dan darah dapat menjalar sampai ke skrotum dan abdomen. Gambaran yang terlihat berbentuk seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematome atau hematoma kupu-kupu. (19) Penatalaksanaan Cedera Uretra Anterior - Ruptur parsial: sistostomi dan pemasangan kateter Foley di uretra selama 7-10 hari sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera (kateter sistostomi dilepas bila pasien sudah bisa buang air kecil) - Ruptur total: pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal, kemudian dipasang kateter silikon selama tiga minggu (3)
Komplikasi dini ialah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis. Sedangkan komplikasi lanjut yang paling sering ialah striktur uretra. Maka diperlukan kontrol agar dapat mengatasi komplikasi bila timbul. Bila dicurigai timbul striktur uretra maka dapat dilakukan pemeriksaan retrograd uretrografi. (3)
BAB V KESIMPULAN
Dari hasil anamnesis, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan buang air kecil akibat striktura uretra karena trauma pada selangkangan (straddle injury) sebelumnya. Namun tidak ditutup kemungkinan terjadi infeksi akibat komplikasi dari striktura uretra. Urinalisis tetap dianjurkan bagi pasien ini untuk mengtahui adanya infeksi atau tidak, selain itu juga untuk menyingkirkan diagnosis bandingnya. Penatalaksanaan pada pasien ini yang terpenting adalah mengembalikan proses miksi yang normal, dimana urin akan keluar melalui uretra seluruhnya dari vesika urinaria setelah terdapat rangsangan pada saraf parasimpatis yang menyebabkan kontraksi dari otot vesika urinaria dan relaksasi dari sfinter uretra. Untuk mengebalikan proses miksi yang normal perlu dilakukan operasi pada urethra yaitu uretrotomi. Pemilihan teknik uretrotomi dilakukan berdasarkan panjang dari striktura: bila striktura lebih kecil atau sama dengan 1,5 cm maka dilakukan eksisi dari striktura dan anastomosis, sedangkan untuk striktura yang lebih panjang dilakukan uretroplasti. Sistostomi dilakukan untuk mengalirkan urin keluar dari kandung kemih. Bila hasil urinalisis menunjukan bahwa sudah terjadi infeksi maka dapat diberikan antibiotik. Pasien juga perlu melakukan kontrol secara periodik karena striktura uretra dapat terjadi berulang kali.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
1. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman RJ, Rienita Y. Kamus Saku Kedokteran Dorland. In: Nuswantari D, editor. 25 th ed. Jakarta: EGC; 1998. p.1140. 2. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11 th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2006. p.307, 313-4. 3. Sjamsuhidajat R, Wim DJ. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2 nd ed. Jakarta: EGC; 2004. p.752-2, 770-2, 782-4. 4. Spirnak JP, Resnick MI. Urinary stones. In: Tanagho EA, McAninch JW, editors. General Urology. 12 th ed. San Francisco: Lange Medical Book; 1988. p.295-6. 5. Preminger GM. Stones in the Urinary Tract. Available from: http://www.merckmanuals.com/home/sec11/ch148/ch148c.html. Accessed at 15 April, 2011. 6. Swanson DA. Renal Pelvis and Ureter Cancer. Available from: http://www.merckmanuals.com/home/sec11/ch151/ch151c.html. Accessed at 15 April, 2011. 7. Swanson DA. Bladder Cancer. Available from: http://www.merckmanuals.com/home/sec11/ch151/ch151d.html. Accessed at 15 April, 2011. 8. Swanson DA. Urethral Cancer. Available from: http://www.merckmanuals.com/home/sec11/ch151/ch151e.html. Accessed at 15 April, 2011. 9. Nickel JC. Urinary Retention. Available from: http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/UrinaryRetention/. Accessed at 15 April, 2011. 10. Price SA, Wilson LM. Prosedur diagnose pada penyakit ginjal. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 2 nd volume. Jakarta: EGC; 2005. p.904-6. 11. Anonymous. Urethral Stricture. Available from: http://www.medicinenet.com/urethral_stricture/page4.htm. Accessed at 16 April, 2011. 12. McAninch JW. Disorders of the penis and male urethra. In: Tanagho EA, McAninch JW, editors. General Urology. 12 th ed. San Francisco: Lange Medical Book; 1988. p.577. 13. Tanagho EA. Disorders of the bladder, prostate, and seminal vesicles. In: Tanagho EA, McAninch JW, editors. General Urology. 12 th ed. San Francisco: Lange Medical Book; 1988. p.576. 14. Rochani. Striktur uretra. In: Reksoprodjo S, Pusponegoro AD, Kartono D, Hutagalung EU, Sumardi R, Ramli M, et al; editors. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: FKUI; 1999. p.153-4. 15. Van de Graaf KM. Human Anatomy. 6 th ed. United States: The McGraw-Hill Companies; 2001. 16. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed. United States: FA Davis Company; 2007. 17. Anonymous. Striktur urethrae. Available from: http://ilmubedahurologi.wordpress.com/tag/striktur-uretra/. Accessed 16 April, 2011. 18. Susanne, Smelzer C. Keperawatan Medis Bedah. 8 th ed. Jakarta: EGC; 2002. p.1468. 19. Anonymous. Straddle Injury. Available from: http://ilmubedah.info/straddle-injury- 20110212.html. Accessed 15 April, 2011.