Anda di halaman 1dari 49

1

TYPHOID
I. Pendahuluan
Tifus abdominalis atau demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik
akut. Demam ini disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonellae typhi yang
secara morfologi identik dengan Escherichia coli. Sinonim demam tifoid dan
demam paratifoid : Typhoid fever dan paratyphoid fever, Enteric fever, Typhus
dan paratyphus abdominalis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat
piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan
eosinofil.
Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang
sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi umumnya disebarkan melalui
jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu
melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau
pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat
berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau
kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan
sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan
pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.
Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella
yang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada
karier manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinan adalah air (jalur yang
paling sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Carrier
adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi
2
Salmonella typhi dalam feses dan urine selama > 1 tahun. Karier menahun
umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering
menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian
dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke
feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan.

II. Etiologi
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella
berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu
motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih
bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,
subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang
membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O
somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan
antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan
dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi
terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen
terhadap fagositosis. Etiologi lainnya : Salmonella paratyphi A, B, C.

III. Patogenesis
Setelah tertelan inokulum yang sesuai, S. typhi melintasi sawar lambung
mencapai usus halus. Infeksi manusia secara eksperimental dengan strain Quailes
telah menyatakan bahwa 10
3
kuman tidak dapat menyebabkan penyakit
simtomatik tetapi 10
5
bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen relawan.
3
Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama
jika kuman menghasilkan antigen polisakarida kapsuler Vi. Kuman ditelan oleh
fagosit mononuklear, lalu bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel
sehingga menimbulkan penyakit.
Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan keadaan
pertahanan pejamu. Variasi masa inkubasi antara 3 sampai 60 hari telah
dilaporkan. Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk
difagositosis dalam keadaan hidup. Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor
mikroba yang menunjang resistensi terhadap pembinasaan dan pada imunitas yang
diaktifkan oleh sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah kendali genetik.
Ketergantungan dosis pada penyakit klinis tampaknya diatur oleh
keseimbangan antara perbanyakan diri bakteri dan pertahanan ekstraselular dan
intraseluar penjamu yang didapat. Jika jumlah bakteri intraselular melampaui
ambang batas kritis, bakteremia sekunder dapat terjadi dan menimbulkan invasi
pada kelenjar empedu dan Plaque Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang
menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara
reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis
(kolesistitis, perdarahan usus atau perforasi). Dengan invasi kelenjar empedu dan
Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan dapat ditemukan
pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis.
Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam
jumlah yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin
liposakarida pada S. typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia dan gejala
sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap
4
endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan
dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.
1. Bakteriemi I (1-7 hari)
Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (10
6
-10
9
)
masuk ke dalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman masuk ke dalam
lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam usus halus Di usus halus,
kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang sudah
mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan perforasi)
Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan
mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi melalui ductus
thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan
bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk kembali ke
dalam hati.

2. Bakteriemi II (6 hari 6 minggu)
Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati
kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum
terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES kemudian masuk kembali ke
aliran darah menimbulkan bakteriemia II dan menyebar ke seluruh tubuh.
Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid
adalah disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada
patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi membantu terjadinya proses
inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak dan
5
endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh
leukosit pada jaringan yang meradang.

IV. Patofisiologi
Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem
retikuloendotelial yang menunjukkan diri terutama pada jaringan limfoid usus,
limpa, hati, dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid terletak di
antemesenterial pada dindingnya, dan dinamai Plaque Payeri.



Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang
bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I). Pada
permulaaan Plaque Payeri penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan
tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu
6
pertama infeksi terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum daripada
di kolon sesuai dengan ukuran Plaque Payeri yang ada disana. Kebanyakan
tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan.
Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh
biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe
mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa
biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel
polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir
selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam
empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung bakteri dan
Penderita menjadi pembawa kuman.
Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri.
Itu sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila
7
sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya.
Parotitis dan orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada
dan kadang terjadi pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada
tifus abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.


8

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran
miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia
relatif) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v.
femoralis, v. safena dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi
Zenker berupa hilangnya striae transversales disertai pembengkakan otot.
Otot yang sering terserang adalah otot diafragma, m.rektus abdomis dan otot
paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita.
Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan
lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.


Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu
dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah
9
tibia, sternum, iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat
gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di
sumsum tulang ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel
polimorfonuklear dan eosinofil dan bertambahnya sel mononuklear.

V. Anamnesa Umum
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan :
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut 50%
- Nyeri tulang, persendian dan otot 50%
- BAB 50%
- Muntah 50%
Gejala :
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik > 60%
- Letargik > 60%
- Lidah tifus (kotor) 40%

Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang
mengakibatkan gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan
bradikardia. Demam ini khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti
10
naik tangga sampai dengan 40 atau 41
0
C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala,
malaise dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang
persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati).
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial,
misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok
gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan
penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat
sampai lima minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya
berlangsung empat minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise,
anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan demam.
Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi
(Gambar 1-11 dan 1-12) dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya
terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada
rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga
ditemukan.

11


Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan
penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan
pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan
berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita
mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu
ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa
membesar lunak. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan
suhu badan menurun dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis
dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini
dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga
kali.

VI. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
12
Demam yang tinggi.
Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm
terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot
tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang
berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat
hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi
perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien
berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia).
Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
Bradikardia relatif.
Hepatosplenomegali.
Jantung membesar dan lunak.
Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang
menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens
muskuler akibat rangsangan peritoneum.
Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat
mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah
segar.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi
timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan
ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan
kurva suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut (Gambar 1-12).
13
Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah
diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

VII. Laboratorium
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia
normokromik, leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah
sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,
walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam.
Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada
kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi.
Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif
pada minggu ketiga dan keempat.
Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%
penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.
Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman.
Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih
banyak daripada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk
basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang
diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.
fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik
demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena
ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap
meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang
14
lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan.
Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria
yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat
menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini
sediaan awal diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata.
Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit,
dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.
1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena
kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas
normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-
kadang dapat ditemukan leukositosis.
2. SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah
demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ()
tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan
darah tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
c. Vaksinasi di masa lampau.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba.
4. Uji Widal.
15
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen
yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam
serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella akan positif dalam
serum pada :
a. Pasien demam tifoid.
b. Orang yang pernah tertular Salmonella.
c. Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat
antibodi (aglutinin), yaitu :
a. Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O
yang berasal dari tubuh kuman.
b. Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H
yang berasal dari flagela kuman.
c. Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
Vi yang berasal dari simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang
ditentukan titernya untuk menegakkan diagnosis.

16
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu :
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.
- Keadaan umum pasien.
- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
- Pengobatan dini dengan antibiotik.
- Penyakit-penyakit tertentu.
- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.
- Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.
- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.
- Reaksi anamnestik.
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis.
- Aglutinasi silang.
- Konsentrasi suspensi antigen.
- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Interprestasi uji Widal, yaitu :
Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita
demam tifoid.
Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai
nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid.
Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.
Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.
17
Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
kesembuhan pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam
tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.
Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab
demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi
yang sama pula.

5. Kultur Gall (Gall Culture).



VIII. Penyulit
Penyulit pada tifus abdominalis dapat dikelompokkan dalam penyulit yang
langsung akibat gangguan di sistem retikuloendotelial dan penyulit tak langsung
karena adanya bakteremia. Penyulit yang langsung berupa perdarahan dan
perforasi tukak di ileum, kolesistitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis
dan perdarahan pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot
dapat menyebabkan abses terutama di otot paha dan otot perut. Peradangan di
jaringan limfe usus halus sering menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis
biasanya menyerang tibia, sternum, iga dan tulang belakang.
Perdarahan tukak tifus ditemukan pada kira-kira 5 % penderita, sedangkan
perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada
minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan resiko
18
tinggi terjadinya perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang
rendah (< 2,5 gr%) yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak
memadai, banyak gerak, diet padat yang diberikan lebih dini, dan keadaan
penyakit berat, misalnya demam lebih dari tiga minggu. Pada keadaan toksik
kesadaran menurun dan bradikardia relatif yang berubah menjadi takikardia
merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.
Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan/atau perforasi
usus, penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai demam
hilang sama sekali. Penderita pun harus membatasi geraknya. Obat antitifus perlu
diberikan secara tepat dengan dosis yang memadai dan diminum secara teratur.
Gejala yang harus dicurigai sebagai tanda awal perforasi adalah tekanan
sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan
defens muskuler akibat rangsangan peritoneum. Diagnosis perforasi acap sukar
ditegakkan karena penderita sudah letargik dan somnolen. Perut yang kembung
dan tegang menyebabkan adanya rangsangan peritoneum tak jelas. Perdarahan
usus sering tampil sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok
hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar. Indikasi
laparotomi didasarkan atas jumlah perdarahan. Pada perforasi akut, sebaliknya
keadaan pasien tampak baik, tanda klasik dari perforasi muncul bila ditekan, tetapi
keadaan umum pasien akan menurun dengan cepat. Pasien biasanya respon
terhadap pengobatan konservatif dibandingkan dengan operasi. Pengobatan yang
konservatif yaitu dengan kloramfenikol, aspirasi gastrik yang bersamaan dengan
cairan dan elektrolit. Jika perforasi intestin dioperasi, angka kematiannya akan
lebih tinggi.
19
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.
Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.
Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva suhu-denyut nadi
menunjukkan tanda salib maut. Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara
bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik. Penyulit tak
langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada setiap organ. Infeksi fokal
ini antara lain berupa tromboflebitis di v.femoralis, v.safena maupun sinus otak,
juga berupa nefritis, orkitis, parotitis dan bronkitis yang mudah berlanjut menjadi
pneumonia yang mungkin disusul empiem. Meningitis biasanya merupakan
lanjutan tromboflebitis di sinus otak.













20

IX. Diagnosis banding
1. TBC milier.
2. TBC paru.
3. Meningitis TBC.
4. Efusi pleura.
5. Ricketsiosis (tifus).

IX. Diagnosis
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gejala
klinik serta pemeriksaan laboratorium serologi. Bila didapati titer O yang tinggi
tanpa imunisasi sebelumnya, maka diagnosis demam tifoid dapat dianggap positif.
Diagnosis dapat dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin, sumsum tulang,
sputum atau eksudat purulen positif.

a. Titer uji Widal meningkat 4 kali lipat selama 2 3 minggu.
- Titer antibodi (aglutinin) O = 1 : 320 4 x (1 : 80)
- Titer antibodi (aglutinin) H = 1 : 640 4 x (1 : 160)

Demam tinggi dengan atau tanpa bronkitis, disertai keluhan sakit kepala dan
nyeri samar-samar di perut dapat disebabkan banyak penyakit seperti salmonelosis
pada umumnya, tuberkulosis diseminatus, malaria, demam dengue, bronkitits
akut, influenza dan pneumonia.

X. Komplikasi
21
1. Komplikasi Intestinal
- Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan
- Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)
- Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
1. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC, Sindroma uremia
hemolitik
2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis
3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis
4. Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kholesistitis
5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
encephalopaty, Sindrome Guillian Barre, psikosis,
impairment of coordination, sindroma katatonia.

XI. Terapi Obat
Kloramfenikol yang merupakan standar emas
Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan
dalam dosis yang sesuai (3 sampai 4 g/hari pada orang dewasa atau 50 sampai
75 mg/kgBB per hari pada anak yang lebih muda). Obat diberikan per os
selama 2 minggu, dan dosis dapat dikurangi sampai 2 g/hari atau 30 mg/hari
22
jika pasien menjadi tidak demam, yang biasanya terjadi setelah hari kelima
pengobatan.
Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa
atau 100 mg/kg per hari pada anak).
Trimetoprim-sulfametoksazol (640 dan 3200 mg, berurutan, dalam dua dosis
harian terbagi pada orang dewasa atau 185 mg/m2 luas permukaan tubuh per
hari dari komponen trimetoprim pada anak-anak).
4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu yang
berusia lebih dari 17 tahun.
Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun
trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang
tidak mampu menelan obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah
ampisilin dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun
demikian, tidak ada satupun yang aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya
dibandingkan dengan seftriakson, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada
kloramfenikol dalam hal kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal
pemberian 7 hari tidak diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang
dewasa atau 80 mg/kgBB sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa kehilangan
daya gunanya (efikasi). Lagi pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang
berhubungan dengan obat lainnya, angka kekambuhan tampak lebih rendah pada
orang dewasa atau anak-anak yang sedikit diberi seftriakson; namun, jumlah
pasien yang dilaporkan masih sedikit.
Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama
telah meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok,
23
karena kemahiran plasmid menjadikan -laktamase yang tidak aktif dan enzim
kloramfenikol asetil transferase.
Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, seftiakson
atau 4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa
yang berusia lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk
anak-anak, sekurang-kurangnya sampai kuinolon baru dibuktikan aman untuk
anak-anak yang lebih muda.
Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid
toksik, dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang
menurun secara bertahap (tapering - off) selama 5 hari : Deksametason 3
mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1 mg/KgBB/ 8 jam (maintenance). Efek
samping : dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

XII. Stress Metabolik
Keadaan stress metabolik pada demam tifoid adalah pada keadaan
hiperkatabolik. Hiperkatabolik dikarakteristik oleh hipermetabolisme dan akan
mengganggu keseimbangan metabolisme yang normal. Selama fase ini terjadi
peningkatan energi ekspenditure. Peningkatan energi ekspenditure terjadi lebih
besar lagi pada pasien dengan demam tifoid karena pasien demam tifoid
memerlukan istirahat yang lama di tempat tidur sehingga akan meningkatkan
basal metabolic rate (BMR).
Kebutuhan energi yang besar mengakibatkan terjadi peningkatan oksidasi
dari sumber energi (karbohidrat, amino acid dan lemak). Simpana karbohidrat
dalam tubuh, terutama glikogen, sangat cepat berkurang dalam 24 jam setelah
24
injury. Oleh karena itu, lemak dan protein digunakan sebagai sumber energi.
Akibatnya pada keadaan hipermetabolik, glukoneogenesis meningkat untuk
memenuhi kebutuhan energi sehingga pemecahan protein di otot juga meningkat
serta mempercepat proses lipolisis karena peningkatan energi expenditure.
Pada keadaan ini juga terjadi peningkatan hormon yaitu kortikoid,
katekolamin dan glukagon. Perubahan metabolik dan respon hormon pada
keadaan ini untuk menjaga kebutuhan organ vital. Keadaan perforasi usus akan
semakin meningkatkan katabolisme sehingga energi expenditurenya akan semakin
meningkat. Karena meningkatnya proses katabolisme dalam tubuh serta adanya
penurunan nafsu makan dan gangguan saluran pencernaan maka biasanya pasien
tifoid akan mengalami penurunan berat badan. Penurunan berat badan tersebut
dibarengi dengan penurunan massa otot (protein) dalam tubuh.

XIII. Gangguan Metabolik
Gangguan Metabolik yang terjadi pada demam tifoid dengan perforasi
adalah :
Peningkatan energi expenditure akan meningkatkan proses glikolisis,
proteolisis dan lipolisis untuk memenuhi kebutuhan energi yang tinggi.
Dengan meningkatnya proses glikolisis maka simpanan glikogen dalam tubuh
menurun cepat.
Proses pembentukan energi dari glikolisis tidak dapat mencukupi kebutuhan
energi dalam tubuh sehingga diperlukan proses glukoneogenesis sehingga
terjadi kehilangan protein dalam jaringan sebanyak 250 500 gram setiap
harinya.
25
Adanya demam juga akan mengakibatkan kehilangan cairan sehingga akan
mengganggu keseimbangan air dan elektrolit.
Pada tifoid dengan perforasi, traktus intestinal mengalami inflamasi dan iritasi
yang berat sehingga akan mempengaruhi absorbsi makanan.
Pada pasien tifoid juga akan terjadi penurunan nafsu makan sehingga terjadi
kekurangan gizi dan penurunan berat badan.
Perubahan yang luas pada hati akan mempengaruhi proses metabolisme.

XIV. Pemeriksaan Nutrisi (Nutritional Assessment)
Pasien demam tifoid biasanya mengalami malnutrisi akibat peningkatan
energi dalam tubuh yang tidak diikuti oleh masukan energi yang cukup. Untuk itu
diperlukan pemeriksaan kebutuhan energi serta pemeriksaan antropometri.
Pemeriksaan energi diperlukan untuk mengetahui besarnya peningkatan energi
yang terjadi dan juga kebutuhan energi yang diperlukan pasien tifoid.
Peningkatan energi dipengaruhi oleh Basal Metabolic Rate (BMR) dan tingkat
stress akibat penyakit. Kebutuhan energi dapat dihitung dengan cara :
TEE = BEE x faktor stress
Faktor strees untuk strict bedrest adalah 1,2; 1,0 + 0,13/
0
C untuk demam dan
1,2-1,5 untuk peritonitis.
Untuk menghitung Basal Energy Expenditure (BEE) dipergunakan rumus
Harris-Benedict :
BEE (laki-laki) = 66,47 + 13,75 (W) + 5,0 (H) 6,76 (A) kkal/hari
BEE (perempuan) = 65,51 + 9,56 (W) + 1,85 (H) 4,68 (A) kkal/hari
Keterangan : W = berat badan (kg)
26
H = tinggi badan (cm)
A = umur (tahun)
Pemeriksaan antropometri pada pasien demam tifoid meliputi pengukuran
tinggi badan dan berat badan serta perhitungan Midarm Muscle Circumference
(MAMC) karena biasanya pada pasien tifoid terjadi pengurangan massa
protein otot yang besar.
Perhitungan MAMC dilakukan untuk mengetahui cadangan protein tubuh,
khususnya protein otot. Dua komponen yang berpengaruh dalam perhitungan
ini adalah lingkar lengan atas (Midarm Circumference/MAC), yang diukur
pada pertengahan olecranon dan acromion dan Triceps Skinfold /TSF pada
titik yang sama. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut :
MAMC = MAC (TSF
(CM)
x 3,14)
Nilai MAMC kurang dari standar berdasarkan umur dan jenis kelamin
menandakan terjadinya penurunan massa otot. Berikut ini tabel MAMC
menurut umur dan jenis kelamin :

Midarm Muscle Circumference/MAMC untuk dewasa (dalam cm)
Jenis Kelamin Standard 90% 80% 70% 60%
Pria 25,3 22,8 20,2 17,7 15,2
Wanita 23,2 20,9 18,6 16,2 13,9

Selain pemeriksaan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dalam darah
karena hilangnya cairan dan elektrolit yang banyak akibat demam.
27
Peningkatan pemecahan protein dapat dilihat juga pada pemeriksaan urea di
urin serta adanya albuminuria.

XV. Terapi Nutrisi
Pada pasien demam tifoid akan terjadi hiperkatabolisme sehingga akan
terjadi proses pemecahan nutrien dalam jaringan untuk memenuhi kebutuhan
energi. Proses peningkatan kebutuhan energi tidak diikuti dengan pemasukan
enegi yang cukup karena adanya penurunan nafsu makan pada pasien dan
gangguan saluran pencernaan, sehingga pada pemeriksaan nutrisi akan didapatkan
penurunan berat badan dan kekurangan gizi (malnutrisi).
Keadaan kekurangan gizi tersebut akan menyebabkan resiko terjadinya
perforasi dan perdarahan usus. Selain gizi yang buruk, perforasi dan perdarahan
dapat terjadi bila pasien tifoid diberikan makanan padat lebih dini. Oleh karena
itu, pasien tifoid dianjurkan untuk diet makanan yang lunak dan cair (lampiran).
Makanan yang dianjurkan untuk pasien tifoid biasanya makanan yang tinggi
kalori, tinggi protein, tinggi karbohidrat, rendah lemak, cairan yang banyak,
rendah serat dan makanan lunak. Pada saat awal makanan yang diberikan harus
mengandung banyak cairan, tinggi energi dan tinggi protein. Makanan yang
diberikan biasanya dalam porsi yang kecil dan sering setiap 2-3 jam. Intake yang
cukup dari cairan dan garam harus diperhatikan. Setelah demam menurun,
makanan lunak, rendah serat dan makanan yang mudah dicerna dan diabsorbsi
harus diberikan pada pasien, yaitu seperti puding dan bubur. Makanan yang
diberikan boleh dalam porsi yang lebih besar dan diberikannya setiap 4 jam atau 4
kali dalam sehari.
28
Pemberian modifikasi nutrisi penderita tifoid sebenarnya bertujuan untuk :
- mempertahankan nutrisi yang cukup dan seimbang
- membantu menghilangkan gejala
- mengkoreksi dan mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit
- memberikan cukup protein
- untuk mencegah terjadinya perforasi dan perdarahan usus
Modifikasi makanan :
Energi
Pada demam, basal metabolic rate (BMR) meningkat sehingga akan
meningkatkan kebutuhan energi (kalori) yang sebesar 50%. Kebutuhan kalori
pada saat puncak demam sulit untuk dipenuhi, walaupun demikian pemberian
tinggi kalori yang sering harus tetap diberikan. Istirahat juga akan
meningkatkan energi expenditure. Oleh karena itu, dianjurkan untuk
meningkatkan intake energi. Setiap kenaikan 1
0
C suhu akan meningkatkan
kebutuhan energi sebesar 13%. Tetapi pada awalnya, pasien hanya boleh
mengkonsumsi 1000-1200 kkal/hari. Setelah itu akan meningkat secara
bertahap pada masa sembuh dan adanya peningkatan kondisi.
Untuk mengetahui kebutuhan energi yang diperlukan dapat dihitung
dengan menggunakan rumus :
TEE = BEE x faktor stress
Protein
Intake protein juga meningkat sampai 50% lebihnya dari kebutuhan sehari-
hari. Hal tersebut dikarenakan terjadinya peningkatan kehilangan protein
jaringan selama demam. Protein yang seharusnya diberikan adalah protein
29
yang nilai gizinya tinggi dan mudah dicerna seperti susu dan telur. Makanan
tinggi protein lebih disukai dibandingkan makanan yang biasa.
Untuk memperkirakan kebutuhan protein yang diperlukan, maka perlu
diketahui jumlah ekskresi nitrogen dalam urin selama 24 jam (Urine Urea
Nitrogen/UUN). Setelah nilai UUN didapatkan, maka kebutuhan protein
minimal (dalam gram) dapat dihitung dengan rumus :
(UUN + 4) x 6,25
keterangan :
- kurang lebih 4 gram nitrogen dikeluarkan melalui feses dan keringat setiap
harinya.
- 1 gram N = 6,25 gram protein.
Pada orang sakit yang mengalami katabolisme protein, asupan protein
biasanya 1,5 2 gram/kgBB.
Karbohidrat
Intake karbohidrat yang bebas disarankan untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi. Karbohidrat yang dapat dikonsumsi adalah karbohidrat
yang mudah dicerna dan diabsorbsi seperti starched, glukosa, madu dan sugar
cane. Glukosa yang kurang manis dan lebih mudah diabsorbsi lebih
diperlukan. Untuk starch, sereal dan sejenis sereal dimasak sangat halus atau
dijadikan puding.
Lemak
Lemak diperlukan untuk meningkatkan energi. Pada kasus diare, lemak harus
dihindari. Kualitas lemak lebih penting daripada kuantitasnya. Lemak dalam
30
bentuk mentega, minyak sayur, dan makanan yang digoreng harus dihindari
selama demam.
Mineral
Terdapat kehilangan elektrolit yang banyak seperti sodium, potassium dan
klorida karena peningkatan keringat. Sup yang asin, jus buah dan susu akan
membantu untuk mengganti kehilangan tersebut.
Vitamin
Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan vitamin A, B dan C. Lebih lanjut
lagi, penggunaan antibiotik dan obat-obatan akan mempengaruhi sintesis
vitamin B di usus. Jadi, supplemen vitamin harus diberikan bersamaan dengan
obat lain.
Cairan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dikarakteristik oleh demam
akut. Pada demam seharusnya diberikan cairan yang banyak yaitu 3-4
liter/hari untuk mengganti kehilangan cairan pada saat demam yang berupa
keringat dan pengeluaran urin. Susu, air gula, sup, jus buah, teh dan air putih
dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Serat
Karena pada tifoid terjadi injuri pada traktus digestive maka segala bentuk
makanan yang membahayakan dan irritan bagi traktus digestive harus
dihindari. Makanan yang dianjurkan untuk pasien tifoid adalah makanan yang
rendah serat karena tidak merangsang saluran cerna. Macam diet rendah serat
dapat terlihat dalam lampiran.
31
Karena demam tifoid berhubungan dengan inflamasi pada intestinal, diet
seharusnya bebas dari rasa pedas dan serat. Refine sereal, telur, kentang rebus,
puding serta bubur seharusnya diberikan pada pasien tifoid dengan inflamasi
intestinal (perforasi).
Makanan yang harus diberikan :
- Jus buah, sup dan air putih dalam jumlah yang banyak (2,5 sampai 5 liter )
- Susu dan minuman yang mengandung susu.
- Air gandum
- Air gula, madu dan selai
- Air kelapa
- Puding
- Makanan yang mengandung protein yang nilai biologisnya tinggi seperti telur,
daging yang lembut, ikan, daging unggas.
- Makanan yang rendah serat seperti sereal, buah dan sayuran yang lembut dan
lunak dan kentang rebus
Makanan yang harus dihindari :
- Mentega
- Minyak sayur
- Makanan yang digoreng
- Puding yang keras
- Makanan yang rasanya kuat
- Makanan yang mengandung serat yang dapat mengiritasi intestin
- Pastrie
- Makanan yang pedas
32
- Cream sup
- Daging yang seratnya kasar

Hal penting yang harus diperhatikan/diingat :
1. Pasien akan kehilangan nafsu makan dan makanan yang diberikan harus
menimbulkan selera tergantung dari apa yang disuka dan tidak disukai pasien.
2. Hari pertama sampai ketiga, makanan yang harus diberikan makanan cair dan
diberikan sesering mungkin dalam jumlah yang sedikit. Kemudian bila terjadi
peningkatan kondisi, makanan dengan porsi yang besar dapat diberikan.
3. Kalori yang tinggi, protein yang tinggi, cairan, vitamin dan mineral yang tidak
terbatas harus diberikan.
4. Intake cairan harus bebas diberikan untuk menganti kehilangan dari keringat
dan urin. Susu, air gula, jus buah, sup dan air dapat memenuhi kebutuhan
tersebut.
5. Protein yang diberikan harus mempunyai nilai gizi yang tinggi dan mudah
dicerna seperti susu dan telur.
6. Makanan yang berlemak, makanan yang berserat tinggi dan makanan yang
pedas adalah makanan yang sulit dicerna, oleh karena itu harus dihindari.
7. Demam meningkatkan kebutuhan vitamin A, asam askorbat, kalsium, fosfor,
sodium dan vitamin B kompleks.
Contoh meal planning satu hari untuk pasien tifoid :
Personal data
Umur 10 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
33
Aktivitas fisik Bed rest
Kebiasaan makan Tidak vegetarian
Kondisi fisik Masa penyembuhan dari demam tifoid

Makanan yang dianjurkan
Energi 2420 kkal
Protein 81 gram
Vitamin A 600 g retinol
Vitamin C 40 mg

Food plan
Meal Menu
Early morning Biskuit susu
Breakfast Bubur
Telur rebus
Mid morning Sandwich
Lunch Sup tomat
Daging yang lembut dan bayam yang
direbus
Kentang
Tea time Ice cream
Dinner Campuran sayuran dan daging
Mie ayam
34
Puding apel

XVI. Prognosis
Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah / virulensi kuman, saat dimulainya pengobatan (cepat dan tepatnya
pengobatan), keadaan sosio-ekonomi dan gizi penderita. Angka kematian di
rumah sakit tipe A berkisar antara llima sampai sepuluh persen. Pada operasi atas
alasan perforasi, angka kematian berkisar antara 15 dan 25%. Kematian pada
demam tifoid disebabkan oleh keadaan toksik, perforasi, perdarahan atau
pneumonia.




DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita Dr. M.Sc. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Behrman, RE; Vaughan, VC: Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders
Philadelphia 2002, 540
Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004. Harrisons Principles of Internal Medicine
16
th
Edition. New York : McGraw Hill Medical Publishing Division.Shils,
Maurice. M. D. Sc.d. 1994. Modern Nutritional in Health and Disease 9
th

Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.
35
Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Shils, Maurice. M. D. Sc.d. 2006. Modern Nutritional in Health and Disease 10
th
Edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.
Sjamsuhidayat, R. de Jong, Wim. 1997. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.










LAMPIRAN

Makanan Cair
Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi cair hingga kental.
Makanan ini diberikan pada pasien yang mengalami gangguan mengunyah,
menelan dan mencernakan makanan yang disebabkan oleh menurunnya
kesadaran, suhu tinggi, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran cerna serta
pra dan pasca bedah. Makanan ini dapat diberikan secara oral atau parenteral.
Menurut konsistensinya makanan cair terdiri dari tiga jenis, yaitu :
36
1. Makanan cair jernih
Makanan cair jernih adalah makanan yang disajikan dalam bentuk cairan
jernih pada suhu ruang dengan kandungan sisa (residu) minimal. Jenis cairan
yang diberikan tergantung pada keadaan penyakit atau jenis operasi yang
dijalani. Makanan ini rendah nilai gizinya karena hanya mengandung
karbohidrat. Bahan makanan yang boleh diberikan antara lain teh, sari buah,
sirop, air gula, kaldu jernih serta cairan yang mudah dicerna, seperti cairan
yang mengadung maltodekstrin.
2. Makanan cair penuh
Makanan cair penuh adalah makanan yang berbentuk cair atau semicair pada
suhu ruang dengan kandungan serat minimal. Makanan ini dapat diberikan
langsung atau sebagai peralihan dari makanan cair jernih ke makanan cair
kental.
Macam makanan cair penuh :
Makanan cair penuh penuh dapat diberikan melalui oral, pipa atau enteral
(NGT = Naso Gastric Tube), secara bolus atau drip (tetes).
Ada 2 golongan makanan cair penuh, yaitu :
Formula Rumah Sakit (FRS)
Ada 4 jenis Formula Rumah Sakit dengan indikasi pemberiannya :
1) Dengan susu
Indikasi pemberiannya : lambung, usus halus dan kolon bekerja
normal.
2) Makanan blender
Indikasi pemberiannya : memerlukan tambahan makanan berserat.
37
3) Rendah laktosa
Indikasi pemberiannya : tidak tahan terhadap laktosa (lactose
intolerance).
4) Tanpa susu
Indikasi pemberiannya : tidak tahan protein susu.
Formula Komersial (FK)
Ada 10 jenis Formula Komersial dengan indikasi pemberiannya :
1) Rendah/bebas laktosa
Indikasi pemberiannya : tidak tahan terhadap laktosa.
2) Dengan MCT (Medium Chain Triglyseride)
Indikasi pemberiannya : malabsorbsi lemak.
3) Dengan BCAA (Branched Chain Amino Acid)
Indikasi pemberiannya : sirosis hati.
4) Protein tinggi
Indikasi pemberiannya : katabolisme meningkat.
5) Protein rendah
Indikasi pemberiannya : gagal ginjal.
6) Protein terhidrolisa
Indikasi pemberiannya : alergi protein.
7) Tanpa susu
Indikasi pemberiannya : tidak tahan protein susu.
8) Dengan serat
Indikasi pemberiannya : perlu suplemen serat.
9) Rendah sisa
38
Indikasi pemberiannya : reseksi usus.
10) Indeks glikemik rendah
Indikasi pemberiannya : diabetes mellitus.
3. Makanan cair kental
Makanan cair kental adalah makanan yang mempunyai konsistensi kental atau
semipadat pada suhu kamar, yang tidak membutuhkan proses mengunyah dan
mudah ditelan. Makanan ini diberikan kepada pasien yang tidak mampu
mengunyah dan menelan serta untuk mencegah aspirasi seperti pada penyakit
yang disertai peradangan, ulkus peptikum atau gangguan struktural atau
motorik pada rongga mulut.

Makanan Lunak
Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah,
ditelan, dan dicerna dibandingkan makanan biasa. Indikasi pemberian makanan
lunak yaitu pada pasien sesudah operasi tertentu, pasien dengan penyakit infeksi
dengan kenaikan suhu tubuh tidak terlalu tinggi, pasien dengan kesulitan
mengunyah dan menelan.
Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat Beras ditim, dibubur;
kentang direbus, dipure;
makaroni, soun, mi,
misoa direbus; roti;
biskuit; tepung sagu,
Nasi digoreng; beras
ketan, ubi; singkong;
tales; cantel
39
tapioka, maizena,
hunkwe dibubur atau
dibuat puding; gula;
madu.
Sumber protein hewani Daging, ikan, ayam,
unggas tidak berlemak
direbus, dikukus, ditim,
dipanggang; telur
direbus, diceplok air,
diorak-arik; bakso ikan,
sapi, ayam direbus; susu,
milkshake, yogurt, keju.
Daging dan ayam
berlemak dan berurat
banyak; daging, ayam,
ikan, telur digoreng; ikan
banyak duri seperti
bandeng, mujair, mas dan
selat.
Sumber protein nabati Tempe, tahu direbus,
dikukus, ditumis,
dipanggang; kacang hijau
direbus; susu kedelai.
Tempe, tahu dan kacang-
kacangan digoreng;
kacang merah.
Sayuran Sayuran tidak berserat
banyak dan dimasak
seperti daun bayam, daun
kangkung, kacang
panjang muda, buncis
muda, oyong muda
dikupas, labu siam, labu
kuning, labu air, tomat
Sayuran banyak serat
seperti daun singkong,
daun katuk, daun melinjo,
nangka muda, keluwih,
genjer, pare, krokot,
rebung; sayuran yang
menimbulkan gas seperti
kol, sawi, lobak; sayuran
40
dan wortel. mentah.
Buah-buahan Buah segar dihaluskan
atau dipure tanpa kulit
seperti pisang matang,
pepaya, jeruk manis dan
jus buah (pada pasien
yang mempunyai
toleransi rendah terhadap
asam, jus buah tidak
diberikan).
Buah banyak serat dan
menimbulkan gas seperti
nanas, nangka masak dan
durian; buah lain dalam
keadaan utuh kecuali
pisang; buah kering.
Bumbu-bumbu Dalam jumlah terbatas :
garam, gula, pala, kayu
manis, asam, saos tomat,
cuka, kecap.
Cabe dan merica.
Minuman Sirop, teh dan kopi encer,
jus sayuran dan jus buah,
air putih masak.
Minuman yang
mengandung alkohol dan
soda seperti bir, wiski,
limun, air soda, coca
cola, orange crush; teh
dan kopi.
Selingan Es krim, puding. Kue kacang, kue kenari,
buah kering, kue terlalu
manis dan berlemak.
Lain-lain Selai, marmalade, coklat Keripik dan snack yang
41
bubuk, gelatin, hagelslag terlalu gurih.

Makanan Rendah Serat
Makanan rendah serat adalah makanan yang hanya sedikit meninggalkan sisa
yaitu bagian-bagian makanan yang tidak diserap seperti yang terdapat di dalam
susu dan produk susu serta serat daging yang berserat kasar (liat). Makanan
rendah serat tidak merangsang saluran pencernaan.
Macam diet rendah serat :
1. Diet sisa rendah I
Diet sisa rendah I adalah makanan yang diberikan dalam bentuk disaring atau
diblender. Makanan ini menghindari makanan berserat tinggi dan sedang,
bumbu yang tajam, susu, daging berserat kasar (liat) dan membatasi
penggunaan gula dan lemak. Kandungan serat maksimal 4 gram. Diet ini
rendah energi dan sebagian besar zat gizi.
Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak dianjurkan
Sumber karbohidrat Bubur disaring; roti
dibakar; kentang
dipere; makaroni, mi,
bihun direbus; biskuit,
krakers; tepung-
tepungan dipuding atau
dibubur.
Beras tumbuk, beras
ketan, roti whole wheat,
jagung, ubi, singkong,
talas, cake, tarcis, dodol,
tepung-tepungan yang
dibuat kue manis.
Sumber protein hewani Daging empuk, hati, Daging berserat kasar,
42
ayam, ikan digiling
halus; telur direbus,
ditim, diceplok air atau
sebagai campuran
dalam makanan dan
minuman.
ayam dan ikan yang
diawet, digoreng kering;
telur diceplok; udang
dan kerang, susu dan
produk susu.
Sumber protein nabati Tahu ditim dan direbus,
susu kedelai
Kacang-kacangan seperti
kacang tanah, kacang
merah, kacang tolo,
kacang hijau, kacang
kedelai, tempe dan
oncom
Sayuran Sari sayuran Sayuran dalam keadaan
utuh
Buah-buahan Sari buah Buah dalam keadaan
utuh
Minuman Teh, sirup, kopi encer Teh dan kopi kental,
minuman beralkohol dan
mengandung soda
Mineral Garam, vetsin, gula Bawang, cabe, jahe,
merica, ketumbar, cuka
dan bumbu yang tajam.

2. Diet sisa rendah II
43
Diet sisa rendah II merupakan makanan peralihan dari diet sisa rendah I ke
makanan biasa. Makanan yang diberikan dalam bentuk cincang atau lunak.
Susu diberikan maksimal 2 gelas sehari. Lemak dan gula diberikan dalam
bentuk mudah dicerna. Bumbu kecuali cabe, merica dan cuka, boleh diberikan
dalam jumlah terbatas.
Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat Beras dibubur/ditim,
roti bakar, kentang
rebus, krakers, tepung-
tepungan dibubur atau
dibuat puding.
Beras ketan, beras
tumbuk/merah, roti
whole wheat, jagung,
ubi, singkong, talas,
tarcis, dodol dan kue-kue
lain yang manis dan
gurih.
Sumber protein hewani Daging empuk, hati,
ayam, ikan direbus,
ditumis, dikukus,
diungkep, dipanggang;
telur direbus, ditim,
diceplok air, didadar,
dicampur dalam
makanan dan
minuman; susu
maksimal 2 gls perhari.
Daging berserat kasar
(liat) serta daging, ikan,
ayam diawet; daging
babi, telur mata sapi,
telur dadar.
44
Sumber protein nabati Tahu, tempe ditim,
direbus, ditumis;
pindakas; susu kedelai.
Kacang merah serta
kacang-kacang kering
seperti kacang tanah,
kacang hijau, kacang
kedelai dan kacang tolo.
Sayuran Sayuran yang berserat
rendah dan sedang
seperti : kacang
panjang, buncis muda,
bayam, labu siam,
tomat masak, wortel
direbus, dikukus,
ditumis
Sayuran berserat tinggi
seperti daun singkong,
daun katuk, daun
pepaya, daun dan buah
melinjo, oyong, pare
serta semua sayuran
yang dimakan mentah.
Buah-buahan Semua sari buah; buah
segar yang matang
(tanpa kulit dan biji)
dan tidak banyak
menimbulkan gas,
seperti : pepaya,
pisang, jeruk, alpukat,
nanas.
Buah-buahan yang
dimakan dengan kulit,
seperti apel, jambu biji
dan pir serta jeruk yang
dimakan dengan kulit
ari; buah yang
menimbulkan gas seperti
durian dan nangka.
Lemak Margarin, mentega dan
minyak dalam jumlah
terbatas untuk
Minyak untuk
menggoreng, lemak
hewani, kelapa dan
45
menumis, mengoles
dan setup
santan.
Minuman Kopi, teh encer dan
sirup
Kopi dan teh kental;
minuman yang
mengandung soda dan
alkohol


Bumbu Garam, vetsin, gula,
cuka, salam, laos,
kunyit, kunci dalam
jumlah terbatas.
Cabe dan merica.





Lampiran / Gambar : Salmonella spp (1)


46












Lampiran / Gambar : Salmonella spp (2)



47



























Lampiran / Gambar : Proses Entry Salmonella spp



48







Lampiran / Gambar : Komplikasi Demam Tifoid


49



Lampiran / Gambar : Klasifikasi Salmonella spp

Anda mungkin juga menyukai