Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHLUAN
Saat ini semakin banyak kasus malpraktek yang dilaporkan oleh pihak pasien kepada majelis
kehormatan etik kedokteran. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya kemjuan informasi
yang dijadikan perbandingan oleh pasien.
Dugaan malpraktek kedokteran Indonesia mendapatkan perhatian yang serius. Tingginya
kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter memaksa memerintah untuk turut serta
secara proaktif memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikam.
Dalam hal ini dokter menjalankan kewajibannya dengan berhati-hati karena berkaitan dengan
nyawa. Dan tentu saja para dokter mengalami problematika medis, karena semua yang
dilakukan dokter harus seuai dengan standart operasional medic.














BAB II
URAIAN KASUS
Surabaya - Tak pernah terpikirkan di benak Arizal Fahri (29). Pasca kecelakaan tunggal 2
tahun silam, warga Jemur Handayani ini terpaksa harus operasi cangkok otot di bahu kiri.
Operasi yang memakan biaya Rp 10 juta itu nyatanya menyisakan kain kasa bersarang di
rongga bawah ketiak Arizal.
Pasca operasi cangkok otot bahu kiri di RSU dr Soetomo September 2011, Arizal harus
dirawat selama 7 bulan. Saat dipulangkan, Arizal mulai merasakan nyeri di dada sebelah kiri.
Selama 2-3 hari kemudian, bekas luka operasi justru membengkak dan mengeluarkan nanah
kuning yang menimbulkan bau menyengat.
"Setiap hari nanahnya merembes, keluar dari luka bekas operasi. Adik saya itu kemudian
saya bawa kontrol ke poli di RSU Dr Soetomo, cuma dibersihkan nanahnya," kata Ifa Hadyah
(32), kakak korban saat ditemui di IRD RSU Dr Soetomo, Kamis (20/6/2013).

Setelah dibersihkan, lanjut dia, nanah itu tak berhenti keluar. Meski tidak dalam jumlah
banyak, namun nanah kuning yang merembes itu juga menimbulkan nyeri yang luar biasa.
"Adik saya tidak bisa beraktivitas, tidur pun tidak nyaman," tambah dia.
Dengan sedikit putus asa, Arizal masih menguatkan diri. Arizal selama 1 tahun pasca operasi
masih berupaya kontrol ke poli RSU dr Soetomo. Selama itu pula, nanah yang keluar dari
bekas luka operasi itu hanya dibersihkan.
Terakhir, Arizal kontrol pada 2 Oktober 2012. Kala itu, Ifa kakak Arizal tidak tega melihat
kondisi adiknya. Dengan kondisi tubuh lemah dan kesakitan, Arizal kala itu harus melakukan
kontrol 2-3 kali dalam seminggu.
Selama 1 tahun berikutnya, Ifa memperlakukan Arizal seperti biasanya. Nanah yang terus
merembes dari bekas luka operasi dibersihkan secara manual dengan kapas. Sesekali, darah
juga ikut merembes bersamaan dengan keluarnya nanah. Ifa tercengang, namun tak bisa
berbuat apa-apa.
Baru 2 hari yang lalu, saat Ifa membasuh bekas luka operasi di dada kiri Arizal, Ifa terkejut.
Di bawah ketiak kiri Arizal (masih area bekas lokasi), muncul sehelai benang. Setelah ditarik
sedikit demi sedikit, benang itu nyatanya berbentuk kasa steril.

"Saya juga kaget. Benang itu ditarik sedikit demi sedikit, kok banyak, sudah seukuran tisu
yang keluar, mirip kasa. Langsung saya bawa ke RSU Dr Soetomo lagi kemarin Rabu
(19/6/2013) pukul 11 siang," cerita Ifa.
Ifa tak habis pikir, bagaimana bisa kain kasa bersarang di rongga bawah ketiak kiri adiknya.
Pantas saja selama ini adiknya kesakitan dan tidak bisa beraktivitas pasca operasi cangkok
otot.
Kini, Arizal telah dioperasi pengangkatan kasa steril dari dalam rongga bawah ketiak kiri. Ifa
ingin pihak dokter menunjukkan bukti bahwa kasa steril itu telah diangkat dari dalam tubuh
adiknya.













BAB III
ANALISIS MASALAH

I. ANALISA MASALAH
DEFINISI
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi
atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum kriminal
dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal
1,2
:
Tanggung jawab kriminal,
Malpraktik secara etik,
Tanggung jawab sipil, dan
Tanggung jawab publik.
Malpraktek secara umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima
elemen :
tugas yang mestinya dikerjakan
tugas yang dilalaikan,
kerugian yang ditimbulkan,
Penyebabnya,
Antisipasi yang dilakukan.
Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon
perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung
tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut
menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti bukti yang cukup dihadirkan di depan
pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara
seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti
yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh
(dokter atau rumah sakit) lalu memberikan bukti bukti yang menyanggah tuduhan yang
dikenakan kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap
kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan sanggahan yang dapat diterima
yang dapat membuatnya lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk
resiko perawatan yang dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk
tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui dengan informed consent / surat tanda
persetujuan tindakan),
Pemohon memiliki andil pada terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak
mematuhi instruksi dokter atau melanggar pantangan pantangan yang ada, atau
Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan merupakan
dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis tanpa bantuan
pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap
sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan
contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan
kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan
terhadap standar praktik kedokteran yang berlaku. Pengadilan akan memberikan
pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji
diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran
yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang
berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih
lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki tagihan tagihan yang diberikan rumah
sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan
seksama diberikan terhadap prosedur prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara
medis, namun dikerjakan secara hati hati baik sehingga dapat membedakan hal
tersebut dari tindakan yang melecehkan tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang
tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan dan persetujuan dokter pasien
yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya peraturan peraturan yang
lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran yang bersifat
defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta dapat
dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.
3

Malpraktek Kriminal.
Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah kasus telah
melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal
dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah
untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran,
kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat obat narkotika, pelanggaran
dalam sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien
yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien
yang tidak sadar karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal
memang tidak memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain.
Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak
bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak
menghargai nyawa dan keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima
hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang dilakukan,
dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal pembunuhan. Tujuannya
memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini menjadi berlebihan.
Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh
mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh
membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan
dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak
bertanggung jawab dan tidak boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia
juga harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan
pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja
melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi,
histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata
untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi
materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas,
malpraktek diatas dapat meluas.
Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat
mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak
melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi
pasien atau keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang
sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien
tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan
pasien luka atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak
benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau
keluarganya dapat menggugat perdata.
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh
dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka
melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Malpraktik secara Etik
Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal yang
sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi perhatian
penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan
profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada
terjadinya inklusi atau eksklusi orang orang yang terlibat dalam profesi tersebut.
Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak
memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini
akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal
tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik
kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang
ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang
ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman
yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus
yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu
duty,
adanya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction),
penyimpangan akan mengakibatkan kerusakan (direct caution),
sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage).
a. Duty (kewajiban)
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa
harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya
hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat
rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan
sampai menderita cedera karenanya. Dalam hubungan perjanjian dokter dengan
pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standar profesi
Sudah ada informed consent.
Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No.
29 tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan
pada bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin
praktek, dan bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43.
Pada bagian ketiga menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1
membahas tentang standar pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar
Pelayanan adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran.

Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi
untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang
dibuat oleh organisasi profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum
dalam KODEKI Pasal 2 dimana Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi
adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan dan situasi
setempat.

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan
persetujuan pasien harus diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter. Di mana penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya :
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya;
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik
kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang
parktek kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai
menerima pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus
bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan
penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti
adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada
rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau
kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka
hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa Loquitur. Tolak ukur yang dipakai secara
umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan
keadaan yang sama.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang
mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan
perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang
menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus
ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian
(damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus
merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup
untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu
sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien
tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu
kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta
pertanggungjawaban hukumannya.
d. Damage (kerugian)
Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak
sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka
ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik,
namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental
anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.
Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena:
Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menyembuhkan
penyakit atau setidak-tidaknya meringankan penderitaan
Dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan
profesi kedokteran
Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-
hati
Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran,
maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian
kerugian kerena kelalaian, maka penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4
unsur berikut:
Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien
Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar
Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat.
Dalam hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi Res Ipsa Loquitur, yang berarti
faktanya telah berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga
perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka
dokter lah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil),
kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu
sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap
kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati,
sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh Negara.

Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi, T.F
dalam tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine and
Philosophy Vol. 1, No. 4, 1976, unsur malapraktik adalah (1) Adanya perjanjian
dokter-pasien; (2) Adanya pengingkaran perjanjian; (3) Adanya hubungan sebab
akibat antara tindakan pengingkaran itu dengan musibah yang terjadi; (4) Tindakan
pengingkaran itu merupakan penyebab utama dari musibah dan; (5) Musibah itu dapat
dibuktikan keberadaannya.(mlpraktek: kapan dokter disebut malpraktek)
II. Ditinjau dari Kitab UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah,
manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perindungan dan keselamatan
pasien.

Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter di RSU Dr.
Soetomo terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal didada kiri arizal. Berdasarkan
criteria 4D jelasa memenuhi criteria tersebut.
Pasal 45
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, "Setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus memperoleh persetujuan".
2. "Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap".
3. "Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas sekurang-kurangnya
mencakup:
diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis yang dilakukan,
alternatif tindakan lain dan resikonya,
resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Yang dimaksud dengan
prognosis adalah kemungkinan akibat yang timbul terhadap pasien dari
tindakan medis yang dilakukan.
4. "Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas dapat dilakukan baik secara
tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
Pasal 51
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
2. Merujuk pasien ke dokter atau ke dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.


III. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a) Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi tanpa
insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui
bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan
yang tidak benar.
b) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan
yang tidak legeartis atau tidak sesuai dengan standarprofesi serta melakukan tindakan
tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian
pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.

IV. DITINJAU DARI KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA
Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Adanya perjanjian antara dokter dengan pasien menimbulkan perikatan diantara kedua belah
pihak.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut'
Pasal 1366 KUHPerdata Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang
disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian
atau kesembronoannya
Pasal 1367 KUHPerdata. Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya
Pasal 1371 KUHPerdata. Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan
sengaja atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut
penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang disebabkan
oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan
dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Ketentuan terakhir ini pada
umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan
terhadap pribadi seseorang.

V. DITINJAU DARI UU NO. 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT
Pasal 2
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai
kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi
sosial

Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan : memberikan perlindungan terhadap
keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah
sakit;


VI.Ditinjau Dari Uu No.8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
Memilih
nformasi yang benar, jelas, dan jujur
Didengar pendapat dan keluhannya
Mendapatkan advokasi, pendidikan & perlindungan konsumen
Dilayani secara benar, jujur, tidak diskriminatif
Memperoleh kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian
















BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. Arizal datang ke RSU dr.Soetomo untuk mendapatkan penanganan atas kecelakaan yang
dialaminya sehingga mengaruskan dilakukan cangkok otot bahu kiri. Tn. Arizal dipulangkan
dan diberi edukasi untuk control ke poli RSU Dr. Soetomo. Namun adanya kelalaiam yang
menyebabkan pasien menderita selama 2 tahun yang ternyata ditemukannya seumpal kasa
yang keluar dari luka operasinya. Dari sisi pidana tergugat diancam dengan pasal kelalaian
yang menyebabkkan seseorang mengalami luka-luka berat sehingga diancam hukuman
penjara 5 tahun dan menyebabkan berhalangan untuk menjalankan pekerjaan diancam pidana
penjara 9 bulan atau denda tiga ratus juta rupiah. Dari sisi perdata, pihak Tn.Arizal emnuntut
RSU Dr. Soetomo ganti rugi material dan immaterial sebesar 1 milyar rupiah Karen kelalaian
tersebut menyebabkan luka berat sebagaimana pasal 1365-1367 serta pasal 1371 yang
mengatur denda keperdataan. Dari sisi UU No.44 tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 46
yaitu rumah sakit bertanggung jawab secara hokum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Dari sisi perlindungan
konsumen, Tn. Arizal merasa ketidaknyamanan dan merasa keselamatan jiwany aterancam
dengan kondisi sakitnya, serta merasa berhak menerima kompensasi ganti rugi. Sedangkan
dari sisi undang-undang praktik kedokteran nomor 29 tahun 2004 mengharuskan tergugat
menerima sanksi disiplin dari majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia berdasarkan
fakta yang diderita Tn. Arizal dari hasil peembuktian tidak langsung terbukti ada usur
kelalian dan dilarang berpraktek sselama 6 bulan.








BAB VI
KESIMPULAN
Pasien datang pasca kecelakan sehingga dilakukan pencangkokan otot bahu kiri dan dirawat
selama 7 bulan, setelah dipulamngkan, Tn.Arizal mulai merasakan nyeri didada sebelah kiri.
Selama 2-3 hari, bekas luka operasi justru membengkak dan mengeluarkan nanah kuning
yang menimbulkan bau menyengat.
Arizal pun kontorl 2-3 kali dalam seminggu ke poli RSU dr. Soetomo untuk membersihkan
luka operasinya. Ia tidak bias melakukan aktivitas seperti biasa dada kiri terus menerus
mengeluarkan nanah, disertai rasa nyeri dan tidurpun terganggu.
Dari kasus diatas didapatkan bahwa kasus in terjadi akibat kelalaian dokter Sp. Bedah yang
melakukan operasi. Karena dokter tersebut memiliki tanggung jawab penuh terhadap pasien.
Tututan terhadap rumah sakit senilai 1 milyar dianggap setara dengan penderitaan Tn.Arizal.

Anda mungkin juga menyukai