Anda di halaman 1dari 32

5

BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 Preeklampsia
a. Definisi
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria (Angsar MD, 2009).
Preeklampsia ringan adalah sindrom spesifik kehamilan berupa
berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai
proteinuria lebih dari 5 gr/24 jam (Angsar MD, 2009; Cunningham et
al. 2005). Preeklampsia jarang timbul sebelum 20 minggu kehamilan
kecuali jika terdapat penyakit ginjal ataupun penyakit trofoblastik
(Queenan, Hobbins & Spong 2010; Soefoewan 2003).

Hipertensi didiagnosis apabila tekanan darah istirahat mencapai
140/90 mmHg atau lebih dengan menggunakan fase V Korotkoff (titik
di mana suara denyut menghilang) untuk menentukan tekanan
diastolik (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005; Queenan,
Hobbins & Spong 2010). Pengukuran tekanan darah sekurang-
kurangnya dilakukan 2 kali selama 4-6 jam (Angsar MD, 2009;
Queenan, Hobbins & Spong 2010).

Kenaikan tekanan darah sistolik
30 mmHg dan kenaikan tekanan darah 15 mmHg sebagai parameter
hipertensi sudah tidak dipakai lagi (Angsar MD, 2009; Cunningham et
al. 2005).

Kriteria ini tidak lagi dianjurkan karena bukti
memperlihatkan bahwa wanita dalam kelompok ini kecil
kemungkinannya mengalami peningkatan gangguan hasil kehamilan,
namun perlu diawasi dengan ketat (Cunningham et al. 2005).

Proteinuria adalah tanda penting preeklampsia, apabila tidak
terdapat proteinuria, diagnosis dipertanyakan. Proteinuria
didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam
6

urin per 24 jam atau sama dengan pemeriksaan kualitatif
menunjukkan 1+ dipstick secara menetap pada sampel acak urin,
menggunakan urin midstream yang diambil minimal 2 kali dengan
jarak waktu 6 jam (Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005;
Queenan, Hobbins & Spong 2010). Proteinuria menunjukkan bahwa
kerusakan telah mencapai tingkat glomerulus ginjal sehingga
fungsinya mulai menurun atau bersifat patologis (Manuaba 2007).

Dahulu edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda
preeklampsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi,
kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu dipertimbangkan faktor
risiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan edema
generalisata, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu (Angsar
MD, 2009; Cunningham et al. 2005). Jenis edema pada ibu hamil
adalah pitting edema, yaitu jika ditekan akan meninggalkan bekas.
Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-
kejang yang bukan disebabkan oleh hal lain (Angsar MD, 2009;
Cunningham et al. 2005). Kejang bersifat tonik dan klonik
(Cunningham et al. 2005).

b. Faktor risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklampsia,
yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut :
Primigravida.
Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan
multipel, diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
Umur < 20 tahun atau > 35 tahun.
Riwayat keluarga pernah PE/E.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada
sebelum hamil.
Obesitas.
Pernah menderita PE/E pada kehamilan sebelumnya.
Penelitian retrospektif menyimpulkan berbagai faktor risiko
untuk terjadinya preeklampsia adalah : penyakit ginjal kronis (20:1),
7

hipertensi kronis (10:1), antiphospolipid sindrom (10:1), sejarah
pernah preeklampsia pada keluarga (5:1), kehamilan kembar (4:1),
nullipara (3:1), umur di atas 40 tahun (3:1), diabetes melitus (2:1), ras
Afrika-Amerika (1,5:1). (Karkata 2006)

c. Etiologi
Penyebab preeklampsia hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Banyak teori yang menerangkan namun belum dapat
memberikan jawaban yang memuaskan oleh karena itu penyakit ini
disebut disease of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain
(Angsar MD, 2009) :
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan
aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika
yang menembus miometrium dan menjadi arteri arkuata, yang
akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi
cabang arteri spiralis.
Pada hamil normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi arteri spiralis,
yang akan memberikan dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada
utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan
perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin
pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
remodelling arteri spiralis (Angsar MD, 2009).
8


Gambar 1. Invasi Trofoblas pada Hamil Normal (atas) dan pada
Preeklampsia (bawah). (Medicine Blog, 2011)

Pada PE/E terjadi kegagalan remodelling menyebabkan
arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi. Sehingga aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta
(Angsar MD, 2009).

2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a) Iskemia plasenta dan pembentukan radikal bebas
Karena kegagalan remodelling arteri spiralis akan berakibat
plasenta mengalami iskemia, yang akan merangsang
pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH)
yang dianggap sebagai toksin. Radikal hidroksil akan
merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak
9

tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak juga
akan merusak nukleus dan protein sel endotel.

Gambar 2. Kerusakan Pembuluh Darah pada Preeklampsia
(Cunningham et al. 2005).


b) Disfungsi endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh
struktur sel endotel (Kartha, Sudira & Gunung 2000).
Keadaan ini disebut disfungsi endotel, yang akan
menyebabkan terjadinya :
Gangguan metabolisme prostaglandin, yaitu
menurunnya produksi prostasiklin (PGE2), yang
merupakan suatu vasodilator kuat.
Agregrasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang
mengalami kerusakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan (TXA2), yaitu suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar
prostasiklin lebih banyak dari pada tromboksan.
Sedangkan pada preeklampsia kadar tromboksan lebih
banyak dari prostasiklin, sehingga menyebabkan
vasokonstriksi yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus
(glomerular endotheliosis).
Peningkatan permeabilitas kapiler
10

Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu
endotelin. Kadar NO menurun, sedangkan endotelin
meningkat (Farid et al. 2001).
Peningkatan faktor koagulasi.
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan normal, respon imun tidak menolak
adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan
adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang dapat
melindungi trofoblas janin dari lisi oleh sel natural killer (NK)
ibu. HLA-G juga akan mempermudah invasi sel trofoblas ke
dalam jaringan desidua ibu (Angsar MD, 2009).

Pada plasenta ibu yang mengalami PE, terjadi penurunan
ekspresi HLA-G, yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi
trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi Immune-
Maladaptation pada preeklampsia (Angsar MD, 2009).

4) Teori adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal, pembuluh darah refrakter terhadap
bahan vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka
terhadap ransangan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor
yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi.
Refkrakter ini terjadi akibat adanya sintesis prostaglandin oleh sel
endotel.

Pada PE terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap
bahan vasopresor, sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan
mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam
kehamilan. (Angsar MD, 2009; DeCherney & Pernoll 2006)
5) Teori genetik
Wanita yang mengalami PE pada kehamilan pertama akan
meningkat mendapatkan PE pada kehamilan berikutnya. Odegard
dkk di Norwegia menemukan risiko 13,1% pada kehamilan kedua
bila dengan partner yang sama dan sebesar 11,8% jika berganti
11

pasangan. Mostello mengatakan kejadian PE akan meningkat
pada kehamilan kedua bila ada kehamilan dengan jarak anak yang
terlalu jauh. Cincotta menemukan bahwa bila dalam keluarga ada
riwayat pernah PE maka kemungkinan mendapat PE pada
primigravida tersebut akan meningkat empat kali. (Karkata 2006)
6) Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Hal ini
dibuktikan oleh penelitian pemberian berbagai elemen seperti
zinc, kalsium, dan magnesium untuk mencegah preeklampsia.
Pada populasi umum yang melakukan diet tinggi buah-buahan
dan sayuran yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti tomat,
wortel, brokoli, apel, jeruk, alpukat, mengalami penurunan
tekanan darah. (Cunningham et al. 2005)
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak
ikan, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat
menghambat produksi tromboksan, menghambat aktifasi
trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah (Angsar
MD, 2009).
7) Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya
proses inflamasi. Pada kehamilan normal, pelepasan debris
trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga
masih dalam batas wajar. Berbeda dengan proses apoptosis pada
PE, dimana pada PE terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga
produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat.
Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga.
Respon inflamasi akan mengaktivasi sel endotel dan sel
makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
12

inflamasi sistemik yang menimbulkan gejala-gejala PE pada ibu
(Angsar MD, 2009).

d. Patofisiologi
Dalam perjalanannya faktor-faktor di atas tidak berdiri sendiri,
tetapi kadang saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi
trofoblas dan terjadinya iskemia plasenta. (Roeshadi 2007)
Pada PE ada dua tahap perubahan yang mendasari
patogenesanya. Tahap pertama adalah: hipoksia plasenta yang terjadi
karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi
karena kegagalan invasi sel trofoblas pada dinding arteri spiralis pada
awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan sehingga arteri
spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat
penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga
terjadilah hipoksia plasenta. (Roeshadi 2007)

Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan
zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid
peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan
terjadinya stres oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas
jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. (Roeshadi 2007;
Farid et al. 2001)

Stres oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis
yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel
pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel yang dapat terjadi
pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah pada organ-organ
penderita preeklampsia.

(Roeshadi 2007; Farid et al. 2001)
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-
zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat
oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endotelium I,
tromboksan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi
yang luas dan terjadilah hipertensi.

(Roeshadi 2007)

13


Gambar 3. Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan.
(Manuaba 2007)


Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan
sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan
pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi
endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya
berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti:
14

Pada ginjal: hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan
hipertensi.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan
edema paru dan edema menyeluruh.
Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopati.
Pada hepar dapat terjadi pendarahan dan gangguan fungsi hati.
Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang,
kebutaan, pelepasan retina, dan pendarahan.
Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan
janin, hipoksia janin, dan solusio plasenta.

e. Insidensi
Menurut Manurung dan Wiknjosastro (2007) antara tahun 2003
2005 tercatat 9437 persalinan di RSCM. Kasus preeklampsia berat
dan eklampsia secara keseluruhan tercatat 1453 kasus (15,3 %),
sebanyak 221 (2,3 %) diantaranya merupakan kasus eklampsia.
Sehingga rata-rata tiap bulan terdapat 34 pasien preeklampsia berat
dan 6 pasien eklampsia.

f. Gejala klinis
Tabel 1. Gambaran klinis hipertensi dalam kehamilan (Manuaba 2007)
Preeklampsia Impending
eklampsia
Eklampsia
Ringan Berat
Tensi > 140/90
mmHg
BB naik melebihi
batas normal
kg/minggu
Proteinuria +1
Edema ringan
Tensi > 160/110
mmHg
Edema
Oliguria < 500
cc/24 jam
Terdapat dipsnea
sianosis
Janin mungkin :
IUGR, Asfiksia
Objektifnya :
Hiperaktif refleks
Sesak-sianosis
Gejala subjektinya :
Gangguan visus
Nyeri epigastrium
Nyeri kepala.
Gejala preeklampsia
berat ditambah
dengan :
Konvulsi
Kesadaran turun
sampai koma.

Gejala-gejala PE baru menjadi nyata pada usia kehamilan yang
lanjut yaitu biasanya pada trimester ketiga, walaupun sebenarnya
kelainan yang mendasarinya melalui mekanisme patofisiologi sudah
15

terjadi jauh lebih dini yaitu pada usia kehamilan antara 8 sampai 18
minggu. (Kartha, Sudira & Gunung 2000)
Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan:
pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi,
dan akhirnya proteinuria. Pada PE ringan tidak ditemukan gejala-
gejala subyektif. Pada PE berat gejala-gejalanya adalah (Angsar MD,
2009) :
1) Tanda dan gejala
Tekanan darah sistolik 160 mmHg
Tekanan darah diastolik 110 mmHg
Proteinuria > 5 gr/24 jam
Oligouria < 400 ml/24 jam
Nyeri epigastrium
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri
kepala, skotoma, dan pandangan kabur.
Perdarahan retina
Edema pulmonal
Koma
2) Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit
Anemia karena hemolisis
Peningkatan kadar enzim hati/ ikterus
Trombosit < 100.000/mm
Asam urat > 6 mg/dl
Peningkatan serum kreatinin
g. Klasifikasi dan Diagnosis
Dalam pengelolaan klinis, PE dibagi sebagai berikut :
1) Diagnosis PE ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan
20 minggu (Angsar MD, 2009).
Hipertensi : tekanan darah 140/90 mmHg, tetapi kurang dari
160/110 mmHg.
16

Proteinuria : 300 mg/24 jam dengan menggunakan cara
Esbach, atau 1 + dipstik.
Edema : edema lokal tidka dimasukkan dalam kriteria PE,
kecuali edema generalisata.
2) Ditegakkan diagnosa PE berat jika ditemukan satu atau lebih
tanda dan gejala sebagai berikut (Angsar MD, 2009) :
Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil
sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah
baring.
Proteinuria 5 gr/24 jam atau 4 + dipstik.
Oligouri, yaitu produksi urin < 500 ml/24 jam.
Serum kreatinin meningkat.
Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri
kepala, dan pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson).
Edema paru atau sianosis
Hemolisis mikroangiopatik.
Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm
3
atau penurunan
trombosit dengan cepat.
Peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat.
Sindrom HELLP.
3) Dan disebut impending eclampsia apabila pada penderita PE berat
ditemukan gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat,
gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan
progresif tekanan darah.
4) Dan disebut eklampsia jika pada penderita PE berat dijumpai
kejang menyeluruh dan koma. Pada penderita PE yang akan
kejang, umumnya memberi gejala-gejala atau tanda-tanda khas,
yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan terjadinya
17

kejang. PE yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut
sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia (Angsar
MD, 2009).

h. Diagnosis banding
Kejang pada eklampsia harus dibedakan dengan kejang yang
disebabkan oleh penyakit lain, misalnya perdarahan otak, lesi otak,
kelainan metabolik, meningitis, epilepsi iatrogenik (Angsar MD,
2009).

Eklampsia selalu didahului oleh PE. Kejang-kejang dimulai
dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik ialah dengan
dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka
khusunya sekitar mulut, yang beberapa detik kemudian disusul
kontraksi otot-otot tubuh yang menegang, sehingga seluruh tubuh
menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita mengalami distorsi,
bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan menggenggam,
kedua tungkai dalam posisi inverse. Semua otot tubuh pada saat ini
dalam keadaan kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15 30 detik
(Angsar MD, 2009).

Kejang tonik ini segera disusul dengan kejang klonik. Kejang
klonik dimulai dengan terbukanya rahang secara tiba-tiba dan tertutup
kembali dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan tertutupnya
kelopak mata. Kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada
otot-otot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Dari mulut keluar liur
berbusa yang kadang-kadang disertai bercak-bercak darah. Wajah
tampak membengkak karena kongesti dan pada konjungtiva mata
dijumpai bintik-bintik perdarahan. Kejang klonik berlangsung kurang
lebih 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang melemah, dan
akhirnya berhenti serta penderita jatuh ke dalam koma (Angsar MD,
2009; Cunningham et al. 2005).

i. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada
liver dalam bentuk kemungkinan (Manuaba 2007) :
18

Perdarahan subkapsular
Perdarahan periportal sistem dan infark liver
Edema parenkim liver
Peningkatan pengeluaran enzim liver
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan
kegagalan dari kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf
pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis
sebagai berikut (Manuaba 2007) :
Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
Iskemia yang menimbulkan infark serebral
Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital
medula oblongata.
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama
ialah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita PE/E.
Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada PE berat dan
eklampsia (Artikasari 2009) :
1) Solusio plasenta
Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada PE.
2) Hipofibrinogenemia
Biasanya terjadi pada PE berat. Oleh karena itu dianjurkan untuk
pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala.
3) Hemolisis
Penderita dengan PE berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus. Belum diketahui
dengan pasti apakah ini merupakan kerusakkan sel hati atau
destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering
ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan
ikterus tersebut.

19

4) Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung
sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang
terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan terjadi
apopleksia serebri.
6) Edema paru-paru
Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema dan perubahan
karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi. Kadang-kadang
ditemukan abses paru-paru.
7) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada PE/E merupakan akibat vasospasme
arteriole umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-
sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama
penentuan enzim-enzimnya.
8) Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan
low platelet
Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa gangguan
fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati [SGPT,SGOT],
gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri epigastrium]),
hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh radikal bebas
asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia (<150.000/cc),
agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler), kerusakan
tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.
9) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur
yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai
gagal ginjal.
20

10) Komplikasi lain
Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-
kejang pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated intravascular
cogulation).
11) Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

j. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah
terjadinya PE pada perempuan hamil yang mempunyai risiko
terjadinya PE. PE adalah suatu sindroma dari proses implantasi
sehingga tidak secara keseluruhan dapat dicegah. Pencegahan dapat
dilakukan dengan nonmedikal dan medikal. (Angsar MD, 2009)
1) Pencegahan dengan non medikal
Pencegahan nonmedikal ialah pencegahan dengan tidak
memberikan obat. Cara yang paling sederhana ialah melakukan
tirah baring. Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah
terjadinya PE. Diet suplemen yang mengandung (a) minyak ikan
yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3
PUFA, (b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, -karoten, N-
Asetilsistein, asam lipoik, dan (c) elemen logam berat: zinc,
magnesium, kalsium.
2) Pencegahan medikal
Pemberian kalsium: 1.500 - 2.000 mg/hari dapat dipakai sebagai
suplemen pada risiko tinggi terjadinya PE. Selain itu dapat pula
diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium 365 mg/hari. Obat
antitrombotik yang dianggap dapat mencegah PE ialah aspirin
dosis rendah rata-rata di bawah 100 mg/hari, atau dipiridamole.
Dapat juga diberika antioksidan: vitamin C, vitamin E, -karoten,
N-Asetilsistein, asam lipoik
3) Antenatal care (ANC)
a) Definisi
ANC adalah pemeriksaan/pengawasan antenatal adalah
pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalisasi kesehatan
21

mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu menghadapi
persalinan, nifas, persiapan memberikan ASI, dan
kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar.
b) Tujuan ANC
Memantau kemajuan kehamilan dan untuk memastikan
kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi.
Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik dan
mental dan sosial ibu.
Mengenal secara dini adanya ketidaknormalan,
komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil termasuk
riwayat penyakit secara umum, kebidanan, dan
pembedahan.
Mempersiapkan kehamilan cukup bulan, melahirkan
dengans elamat ibu dan bayinya dengan trauma
seminimal mungkin.
Mempersiapkan Ibu agar masa nifas berjalan normal dan
pemberian ASI ekslusif.
Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima
kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara
optimal.
c) Kebijaksaan Program
Kunjungan ANC sebaiknya dilakukan paling sedikit 4
kali selama kehamilan yaitu :
o 1 kali pada trimester I
o 1 kali pada trimester II
o 2 kali pada trimester III
Pemeriksaan pertama dilakukan segera setelah diketahui
terlambat haid.
Kunjungan ANC yang saint adalah :
o Setiap bulan sampai umur kehamilan 28 minggu
o Setiap 2 minggu sampai umur kehamilan 32
minggu
22

o Setiap 1 minggu sejak kehamilan 32 minggu
sampai terjadi kelahiran.
Pemeriksaan khusus jika ada keluhan tertentu.
d) Pelayanan Asuhan Standar Minimal 7T
Timbang berat badan
Tekanan Darah
Tinggi Fundus Uteri (TFU)
TT lengkap (imunisasi)
Tablet Fe minimal 90 paper selama kehamilan
Tengok / periksa ibu hamil dari ujung rambut sampai
ujung kaki
Tanya (temu wicara) dalam rangka persiapan rujukan
e) Konsep Pemeriksaan Kehamilan
Anamnesa
Pemeriksaan
o Pemeriksaan Umum
o Pemeriksaan khusus obstetri
o Pemeriksaan penunjang
Diagnosis / kesimpulan
Diagnosis banding
Prognosis
k. Penatalaksanaan
Pada dasarnya penanganan penderita PE/E yang definitif adalah
segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam
penatalaksanaannya kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan
janinnya, antara lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan
seberapa jauh keterlibatan organ. Tujuan penatalaksanaan PE/E adalah
(Roeshadi 2007):
Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di
samping itu mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.
Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan
memperburuk keadaan ibu hamil.
23

Mencegah perdarahan intrakranial dan mencegah gangguan
fungsi organ vital.

PREEKLAMPSIA RINGAN
1) Kehamilan kurang dari 37 minggu. (Saifuddin et al. 2002)
Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan :
Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), refleks, dan
kondisi janin.
Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya
preeklampsia dan eklampsia.
Lebih banyak istirahat, tidur miring agar menghilangkan
tekanan pada vena cava inferior, sehingga meningkatkan
aliran darah balik dan menambah curah jnatung.
Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam).
Tidak perlu diberi obat-obatan.
Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :
- Diet biasa
- Pantau tekanan darah 2 kali sehari dan urin (untuk
proteinuria) sekali sehari.
- Tidak perlu diberi obat-obatan.
- Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru,
dekompensasi kordis, atau gagal ginjal akut.
- Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat
dipulangkan :
o Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda
preeklampsia berat.
o Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan
darah, urin, keadaan janin, serta gejala dan tanda-tanda
preeklampsia berat;
o Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.
- Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat.
Lanjutkan penanganan dan observasi kesehatan janin.
24

- Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat,
pertimbangkan terminasi kehamilan. Jika tidak rawat
sampai aterm.
- Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai PE berat.
2) Kehamilan lebih dari 37 minggu
Jika serviks matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan
dengan oksitosin atau prostaglandin.
Jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks
dengan prostaglandin atau kateter Foley atau lakukan seksio
sesarea.

PREEKLAMPSIA BERAT
Tujuannya : mencegah kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan
cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan
saat yang tepat untuk persalinan. (Angsar MD, 2009; Saifuddin et al.
2002)

1) Sikap tehadap penyakit: pengobatan medikamentosa
Tirah baring miring ke satu sisi (kiri).
Pengelolaan cairan, monitoring input dan output cairan.
Pemberian obat antikejang.
- Obat anti kejang yang digunakan MgSO
4
, diazepam,
fenitoin. Pemberian MgSO
4
sebagai antikejang lebih
efektif dibanding fenitoin. Obat antikejang yang banyak
dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat.
- Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk
mencegah dan mengurangi terjadinya kejang (Suparman
& Sembiring 2004). Di samping itu juga untuk
mengurangi komplikasi yang terjadi pada ibu dan janin.
Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini tidak
seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-methyl
D Aspartate (NDMA) reseptor inhibitor, untuk
menghambat masuknya kalsium ke dalam neuron pada
25

sambungan neuro muskuler (neuro musculer junction)
ataupun pada susunan syaraf pusat. Dengan menurunnya
kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan
menurun dan kontraksi otot yang berupa kejang dapat
dicegah (Roeshadi 2007).
- Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk
mencegah dan mengatasi kejang pada PE berat dan
eklampsia. Cara pemberian magnesium sulfat dapat dilihat
pada lampiran 3.
- Jika MgSO
4
tidak tersedia dapat diberikan diazepam,
dengan risiko tterjadinya depresi pernapasan neonatal.
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada
edema paru-paru, payah jantung. Diuretikum yang dipakai
adalah furosemid.
Pemberian antihipertensi
Masih banyak perdebatan tentang penetuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya
Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110
mmHg dan MAP 126 mmHg. Di RSU Soetomo Surabaya
batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila
tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik 110
mmHg.

- Antihipertensi lini pertama
Nifedipin; 10 20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit;
maksimum 120 mg dalam 24 jam.
- Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside; 0,25 g i.v./kg/menit, infus;
ditingkatkan 0,25 g i.v./kg/5 menit.
Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak
merugikan ibu. Diberikan pada kehamilan 32 34 minggu, 2
x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
26

2) Sikap terhadap kehamilannya
a) Perawatan aktif (agresif) : sambil memberi pengobatan,
kehamilan diakhiri.
- Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih
keadaan dibawah ini :
Ibu
Umur kehamilan 37 minggu.
Adanya tanda-tanda impending eclampsia.
Kegagalan terapi pada perawatan konserfatif,
yaitu : keadaan klinik dan laboratorik memburuk.
Diduga terjadi solusio plasenta.
Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau
perdarahan.
Janin
Adanya tanda-tanda fetal distress
Adanya tanda-tanda intra uterine growth
restriction (IUGR)
NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khusunya
menurunnya trombosit dengan cepat.
Cara mengakhiri kehamilan dilakukan berdasar
keadaan obstetrik pada waktu itu, apakah sudah
inpartu atau belum.
b) Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm
37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia
dengan keadaan janin baik.



27

PENGELOLAAN EKLAMPSIA

1) Perawatan eklampsia
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk
stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway,
Breathing, circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang,
mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada
pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah,
khusunya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada
wkatu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
2) Pengobatan medikamentosa
a) Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan utama magnesium
sulfat. Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama
seperti pemberian pada PE berat. Pengobatan suportif
terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ yang
penting, misalnya tindakan-tindakan untuk memperbaiki
asidosis, mempertahankan ventilasi paru, mengatur tekanan
darah, mencegah dekompensasi kordis.
b) Perawatan pada waktu kejang
Tujuan utama pertolongan ialah mencegah penderita
mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut. Bila
penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigen.
Dirawat di kamar isolasi cukup terang
Masukkan sudip lidah ke dalam mulut penderita
Kepala direndahkan : daerah orofaring dihisap
Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor
untuk menghindari fraktur.
c) Perawatan koma
Menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, mencegah aspirasi
bahan lambung, monitor kesadaran dan dalamnya koma
memakai GCS, pencegahan dekubitus, dan diperhatikan
makanan penderita.
28

d) Perawatan edema paru
Penderita dirawat di ICU karena membutuhkan perawatan
animasi dengan respirator.
3) Penatalaksanaan obstetrik
a) Sikap dasar
Sikap terhadap kehamilan iadalah semua kehamilan dengan
eklampsia harus diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan
dan keadaan janin.
b) Saat terminasi
Bila sudah terjadi (pemulihan) hemodinamika dan
metabolisme ibu, yaitu 4 8 jam setelah salah satu atau
lebih keadaan dibawah ini :
Setelah pemberian obat antikejang terakhir
Setelah kejang berakhir
Setelah pemberian oabt-obat antihipertensi terakhir
Penderita mulai sadar.

SINDROMA HELLP

1) Definisi
Sindroma HELLP adalah PE/E disertai timbulnya hemolisis,
peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia.
2) Diagnosis
Didahului tanda dan gejala tidak khas malaise, lemah, nyeri
kepala, mual, muntah.
Adanya tanda dan gejala PE berat.
Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khusunya kenaikan
LDH, AST, dan bilirubin ndirek.
Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar : kenaikan
ALT, AST, LDH
Trombositopenia, trombosit 150.000/ml
29

Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas
abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala PE,
harus dipertimbangkan sindroma HELLP.
3) Klasifikasi
Klas 1 : trombosit 50.000/ml, LDH 600 IU/l, AST
dan/atau ALT 40 IU/l.
Klas 2 : trombosit > 50.000 100.000/ml, LDH 600 IU/l,
AST dan/atau ALT 40 IU/l.
Klas 3 : trombosit > 100.000 - 150.0000/ml, LDH 600
IU/l, AST dan/atau ALT 40 IU/l.
4) Terapi medikamentosa
Mengikuti terapi medikamentosa PE/E dengan monitoring
kadar trombosit tiap 12 jam. Bila trombosit < 50.000/ml atau
adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa
waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan
fibrinogen.
Jika didapatkan kadar trombosit < 100.000/ml atau trombosit
100.000 -150.000/ml dengan disertai tanda-tanda eklampsia,
hipertensi berat, nyeri epigastrium, maka diberikan
deksametason 10 mg i.v. tiap 12 jam.
Pada postpartum deksametason diberikan 10 mg i.v. tiap 12
jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v. tiap 12 jam 2 kali.
Terapi deksametason dihentikan, bila terjadi perbaikan
laborotorium, yaitu trombosit > 100.000/ml dan penurunan
LDH serta perbaikan tanda dan gejala-gejala klinik PE-
eklampsia.
Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit, bila
kadar trombosit < 50.000/ml dan antioksidan.
5) Sikap terhadap kehamilan
Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif,
yaitu kehamilan diakhiri tanpa memandang umur kehamilan.
Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.
30

l. Prognosis
Kematian ibu akibat eklampsia biasanya disebabkan oleh
perdarahan serebral, pneumonia aspirasi, enselofati hipoksia,
tromboembolisme, ruptur hepar, gagal ginjal, atau kecelakaan
anestesi. (DeCherney & Pernoll 2006)
Komplikasi pada ibu dengan eklampsia dapat terjadi hingga
70% kasus, meliputi DIC, gagal ginjal akut, kerusakan hepatoselular,
ruptura hati, perdarahan intraserebral, henti jantung paru, pneumonitis
aspirasi, edema paru akut, dan perdarahan pasca persalinan.
Kerusakan hepatoselular, disfungsi ginjal, koagulopati, hipertensi dan
abnormalitas neurologi akan sembuh setelah melahirkan. Akan tetapi
kerusakan serebrovaskular akibat perdarahan atau iskemia akan
mengakibatkan kerusakan neurologi yang permanen. (Pangemanan
2002)
Tingkat kematian ibu dilaporkan berkisar antara 0-13,9%. Satu
penelitian retrospektif terhadap 990 kasus eklampsia menemukan
angka kematian ibu secara keseluruhan adalah 13,9% (138/990).
Risiko paling tinggi (12/54 [22%]) dijumpai pada subkelompok
wanita dengan eklampsia pada kehamilan kurang dari 28 minggu.
Tingkat kematian ibu dan komplikasi yang berat paling rendah
dijumpai pada wanita yang melakukan asuhan prenatal yang teratur
pada dokter yang berpengalaman pada fasilitas kesehatan tersier. Satu
penelitian otopsi yang dilakukan segera setelah kematian pada wanita
eklampsia menunjukkan bahwa lebih dari 50% dari wanita yang
meninggal dalam waktu 2 hari akibat kejang pada otaknya
menunjukkan perdarahan dan perlunakan serebral. Perdarahan kortikal
petekie merupakan yang paling sering dijumpai, khususnya meliputi
lobus occipitalis. Edema serebral yang difus dan perdarahan masif
lebih jarang dijumpai. Trombosis vena serebral sering dijumpai pada
wanita dengan eklampsia paska persalinan. (Pangemanan 2002)

31

II.1.2 Primigravida
Menurut Manuaba tahun 2007 (dikutip dalam Artikasari 2009)
primigravida adalah seorang wanita yang hamil untuk pertama kali.
Wanita yang pertama kali hamil sedangkan umurnya dibawah 20
tahun disebut pimigravida muda. Usia terbaik untuk seorang wanita
hamil antara usia 20 tahun hingga 35 tahun. Sedangkan wanita yang
pertama hamil pada usia di atas 35 tahun disebut primigravida tua.
Primigravida muda termasuk didalam kehamilan risiko tinggi (KRT)
dimana jiwa dan kesehatan ibu dan atau bayi dapat terancam. Risiko
kematian maternal pada primigravida muda jarang dijumpai dari pada
primigravida tua. Dikarenakan pada primigravida muda dianggap
kekuatannya masih baik. Sedangkan pada primigravida tua risiko
kehamilan meningkat bagi sang ibu yang dapat terkena PE/E.
Diperkirakan 5% dari seluruh kehamilan mempunyai komplikasi
hipertensi dan sekitar 11% terjadi pada primigravida. Dari jumlah itu
sekitar 50% berhubungan dengan PE/E. Sejak dulu dikatakan PE
adalah khas untuk primigravida terutama primigravida muda,
meskipun belakangan ini teori ini tidak sepenuhnya tepat. Ezkanazi
dkk mendapatkan bahwa nulipara mempunyai kecenderungan 5
sampai 10 kali lebih tinggi untuk mendapatkan PE dibanding
multipara. Sekarang risiko ini meskipun masih diperhitungkan akan
tetapi sudah banyak bukti bahwa PE bisa berkembang juga pada
multipara yang mungkin terjadi karena adanya faktor risiko yang lain.
(Karkata 2006)
Insiden gangguan hipertensi akibat kehamilan pada wanita
nullipara sehat baru-baru ini diteliti secara cermat dalam sebuah uji
klinis acak mengenai suplementasi kalsium harian kepada ibu hamil.
Dari 4302 wanita nullipara yang melahirkan pada usia gestasi 20
minggu atau lebih, seperempatnya mengalami hipertensi yang terkait
kehamilan. Dari semua nullipara, preeklampsia didiagnosis pada 7,6%
dan penyakit yang berat terjadi pada 3,3%. (Cunningham et al. 2005)
32

Pengawasan pada ibu hamil dengan usia di bawah 18 tahun
perlu diperhatikan karena sering terjadi anemia, hipertensi menuju
PE/E, persalinan dengan berat badan lahir rendah, kehamilan disertai
infeksi, penyulit proses persalinan yang diakhiri dengan tindakan
operasi. Aspek sosial yang sering menyertai ibu hamil dengan usia
muda adalah kehamilan yang belum diinginkan, kecanduan obat dan
atau perokok, arti dan manfaat antenatal care yang kurang
diperhatikan. Aspek sosial dapat menimbulkan kesulitan tumbuh
kembang janin dan penyulit saat proses persalinan berlangsung. Kini
wanita karier dan terdidik banyak yang ingin hidup mandiri mengejar
karier sehingga akan terlambat menikah dan hamil di atas usia 35
tahun. Pengawasan terhadap mereka perlu juga diperhatikan karena
dapat terjadi hipertensi karena stres pekerjaan, hipertensi dapat
menjadi pemicu PE/E, diabetes melitus, perdarahan antepartum,
abortus, persalinan premature, kelainan kongenital, ganggguan
tumbuh kembang janin dalam rahim.
Sebenarnya sudah diketahui dengan jelas bahwa cara
pencegahan dan terapi terbaik untuk sindroma ini adalah dengan
menghindari kehamilan atau dengan melakukan terminasi kehamilan.
Oleh karena itu pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara
pengenalan dini terhadap sindrom ini dengan cara mengetahui
kelompok ibu-ibu yang mempunyai risiko terhadap kemungkinan
hipertensi dalam kehamilan. (Karkata 2006)
II.1.3 Hubungan primigravida dengan preeklampsia/eklampsia
Dari kejadian delapan puluh persen semua kasus hipertensi pada
kehamilan, 3 8 persen pasien terutama pada primigravida, pada
kehamilan trimester kedua. Catatan statistik menunjukkan dari seluruh
insiden dunia, dari 5% - 8% PE dari semua kehamilan, terdapat 12%
lebih dikarenakan oleh primigravida. Faktor yang mempengaruhi PE
frekuensi primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda. (Rozikhan 2007)
33

Telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah
persalinan yang paling aman. Pada The New England Journal of
Medicine tercatat bahwa pada kehamilan pertama risiko terjadi PE
3,9%, kehamilan kedua 1,7%, dan kehamilan ketiga 1,8%. (Rozikhan
2007)
Menurut Corwin tahun 2001 ( dikutip dalam Artikasari 2009),
pada primigravida atau ibu yang pertama kali hamil sering mengalami
stres dalam menghadapi persalinan. Stres emosi yang terjadi pada
primigravida menyebabkan peningkatan pelepasan corticotropic-
releasing hormone (CRH) oleh hipothalamus, yang kemudian
menyebabkan peningkatan kotisol. Efek kortisol adalah
mempersiapkan tubuh untuk berespons terhadap semua stresor dengan
meningkatkan respons simpatis, termasuk respons yang ditujukan
untuk meningkatkan curah jantung dan mempertahankan tekanan
darah.
Hipertensi pada kehamilan terjadi akibat kombinasi peningkatan
curah jantung dan resistensi perifer total. Selama kehamilan normal,
volume darah meningkat secara dratis. Pada wanita sehat, peningkatan
volume darah diakomodasikan oleh penurunan responsivitas vaskular
terhadap hormon-hormon vasoaktif, misalnya angiotensin II. Hal ini
menyebabkan resistensi perifer total berkurang pada kehamilan
normal dan tekanan darah rendah. Pada wanita dengan PE/E, tidak
terjadi penurunan sensitivitas terhadap vasopeptida-vasopeptida
tersebut, sehingga peningkatan besar volume darah langsung
meningkatkan curah jantung dan tekanan darah.

(Corwin 2009)
Primigravida adalah salah satu faktor risiko penyebab terjadinya
PE/E. Peningkatan yang gradual dari tekanan darah, proteinuria dan
edema selama kehamilan merupakan tanda-tanda PE, terutama pada
primigravida. Gejala tersebut akan menjadi nyata pada kehamilan
trimester III sampai saat melahirkan. Gejala tersebut timbul setelah
umur kehamilan 20 minggu, jika timbulnya sebelumnya, mungkin
terjadi kehamilan mola hidatidosa atau hamil anggur. Pada
34

primigravida frekuensi PE/E lebih tinggi bila dibandingkan dengan
multigravida, terutama primigravida muda. (Angsar MD, 2009)
PE biasanya terjadi pada usia ibu yang ekstrim (<18 tahun dan >
35 tahun). Kasus PE/E terbanyak pada usia 20-24 tahun yang terjadi
pada kehamilan pertama. PE/E lebih sering terjadi pada usia muda dan
nulipara diduga karena adanya suatu mekanisme imunologi disamping
endokrin dan genetik dan pada kehamilan pertama pembentukan
blocking antibodies terhadap antigen plasenta belum sempurna, yang
makin sempurna pada kehamilan berikutnya.
II.2 KERANGKA TEORI

Gambar 4. Kerangka Teori Penelitian
(Angsar MD, 2009; Cunningham et al. 2005)

II.3 KERANGKA KONSEP
Dalam penelitian ini sampel yang diteliti yaitu wanita hamil yang
mengalami PE. Variabel dependen yang diteliti adalah PE dan variabel
35

independen adalah primigravida. Berdasarkan variabel-variabel tersebut,
kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian

II.4 PENELITIAN TERKAIT YANG PERNAH DILAKUKAN
No.
Judul
Penelitian
Nama
Peneliti
Tempat
& Tahun
Penelitian
Rancangan
Penelitian
Variabel
Penelitian
Hasil
Penelitian
1 Hubungan
antara
primigravida
dengan angka
kejadian
preeklampsia/ek
lampsia di
RSUD DR.
Moewardi
Surakarta
Periode 1
Januari 31
Desember 2008
Kurniawati
Artikasari
RSUD
DR.
Moewardi
Surakarta
Tahun
2009
Menggunak
an metode
survey
analitik
dengan
pendekatan
cross
sectional.
Primigravida,
preeklampsia/
eklampsia
Ada hubungan
yang bermakna
antara
primigravida
dengan angka
kejadian
preeklamsia/ek
lamsia di
RSUD Dr.
Moewardi
Surakarta
dengan nilai
X2 =
4,034 dan nilai
signifikansi p
= 0,045.

36

II.5 HIPOTESIS PENELITIAN
Terdapat hubungan antara primigravida dengan
preeklampsia/eklampsia di RSU Bhakti Yudha Depok Periode Januari
2006 Desember 2010.

Anda mungkin juga menyukai