Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Struma
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid
noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma
(De Jong & Syamsuhidayat, 2005).
Struma merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan yodium
sebagai unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga untuk
mengimbangi kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan
menimbulkan pembesaran yang mudah terlihat di kelenjar tiroid.
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis yaitu termasuk di
dalamnya eutirodisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Berdasarkan
morfologi dibedakan atas struma hyperplastica diffusa, struma colloides diffusa
dan struma nodular serta berdasarkan klinis dibedakan atas struma toksik dan
struma non toksik
1.2 Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan
(De Jong & Syamsuhidayat, 2005). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada
janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar
tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari
bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah
bawah mengalami desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum
lepas, berbentuk sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di
basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang
letaknya abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid
lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal.
Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel
2

parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid
janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan
intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 2005).
1.3 Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong
& Syamsuhidayat, 2005).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup
cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia
pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk
menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid
atau tidak (Djokomoeljanto, 2006).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari
a. Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2006).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan
ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl.
Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini
penting untuk menduga penyebaran keganasan (Djokomoeljanto, 2006).

3


Gambar 1. Vaskularisasi Kelenjar Thyroid
1.4 Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500
m. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak
menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran
basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk
lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin
(BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2006).
1.5 Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan
baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik
dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin
sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid
kelenjar tyroid.
4

Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya
menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin,
globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin
pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De Jong &
Syamsuhidayat, 2005).
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh
dan reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah
produksi panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan
somatis dan berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak
adanya hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan
neurologik timbul pada saat lahir dan bayi.
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian
T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi
T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan
hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3
(reversed T3, 3,3,5 triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur
metabolisme pada tingkat seluler.
Regulasi Hormon Tyroid
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid:
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-
TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
5

Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga
pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2006)
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik,
tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih
cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
1.6 Patofisiologi Struma
Goiter terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat
pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula
penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH
kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah
yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin
6

bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan
pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid
dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Selain itu goiter dapat disebabkan
kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid,
penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses
peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves.
Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan
penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya goiter kolid dan goiter non
toksik (goiter endemik).
1.7 Klasifikasi Struma
Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya goiter dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma
semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher
yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga
sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah
penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit
berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi
berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.


7

c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan sebagai
respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang
berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam
darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala
hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat
berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga
terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata
melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis goiter toksik dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :
a. Goiter Toksik
Goiter toksik dapat dibedakan atas dua yaitu goiter diffusa toksik dan
goiter nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan
bentuk anatomi dimana goiter diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain.
Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan
benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (goiter multinoduler
toksik). Goiter diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic
goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien
meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor
TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentuknya. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat
8

dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik
adanya rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara
dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Goiter Non Toksik
Goiter non toksik sama halnya dengan goiter toksik yang dibagi menjadi
goiter diffusa non toksik dan goiter nodusa non toksik. Goiter non toksik
disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Goiter ini disebut sebagai
simple goiter, goiter endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah
yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang
menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut goiter nodusa. Goiter nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut goiter nodusa non toksik. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Goiter non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI
adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang
20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.
1.8 Manifestasi klinis
Struma nodosa non toksik dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal
(Mansjoer, 2001):
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
9

2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin,
nodul hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa non toksik datang berobat
karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil
pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala
mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan
terjadinya suara parau . Kadang-kadang penderita datang dengan karena
adanya benjolan pada leher sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase
karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening, sedangkan tumor primernya
sendiri ukurannya masih kecil.
1.9 Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau
macam kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan
apakah penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti
penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami
sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis
kronis).
pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher
bagian depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan
ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk,
ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada
tengkuk penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.

10

Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan
atau keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam
sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin
ada bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple,
namun pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan
konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas
kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada
yang lainnya. Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah
bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Untuk mendiagnosis struma nodusa non toksik, pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik perlu disingkirkan tanda-tanda hipertiroid, seperti:
1. Gelisah, mudah marah, ketakutan :
Hipermetabolisme sistem saraf membuat nilai ambang saraf menurun,
sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus, depresi.
2. Berat badan turun :
Makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus (Paradoxa Muller).
3. Hiperhidrosis :
Telapak tangan terasa hangat/panas/lembab dan kulit telapak tangan terasa
halus akibat hipermetabolisme dan hiperhidrosis pada kelenjar keringat.
Penderita tidak tahan terhadap hawa panas lebih tahan terhadap hawa
dingin.
4. Takikardia :
Bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi.
5. Tremor :
11

Gejala ini hampir selalu ada. Suruh penderita meluruskan lengannya ke
depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan mata,
diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada atau
tidak tremor.
6. Eksoftalmus :
Hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral. Patofisiologi belum
jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi limfosit retrobulbar
1. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior
(Steilwags sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke
bawah dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan
gerak.
2. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala
kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan
tampak sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroys sign).
3. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk, ditambah
edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif itraorbital.
Optamoplegia, kelemahan otot mata akibat protusi bola mata,
sehingga bisa strabismus atau diplopia. Pada fase lanjut geraka
konvergensi bola mata terganggu (Moebiuss sign)
7. Diare :
Hiperperistaltik pada sistem pencernaan, mengakibatkan absorbsi tidak
sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan
mineral.
8. Thyroid thrill :
Hipervaskular pada tiroid.
9. Kelainan kulit
Karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan halus (fine texture)
dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas (dermografi).
10. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi

12


1.10 Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk
lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan
ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan
konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik
tiroid dibedakan 3 bentuk :
o nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya.Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa
bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau
jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o Kista
o Adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap
cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil
negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar,
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
interpretasi oleh ahli sitologi.
13

4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu
tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini
dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9
o
C.
Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya
panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan
pemeriksaan lain.
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)
serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak
rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
1.11 Penatalaksanaan
a. Operasi/Pembedahan
Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang
sering dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para
pasien hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif
dan tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang
merugikan yang dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah
atau kekambuhan. Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal (suntik atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak
meningkat. Hal ini disebabkan makin banyak tiroid yang terikat oleh protein
maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan
fungsi tiroid.
Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid,
sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan
dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid
yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang
adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-
4 minggu setelah tindakan pembedahan.

14

b. Yodium Radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada
kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau
dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok
sekitar 50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid
sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini
tidak meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik
Yodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang
harus diminum di rumah sakit, obat ini ini biasanya diberikan empat minggu
setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin.
c. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini
diyakini bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh
karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin
(T
4
) ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah
operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang
digunakan saat ini adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.










15

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Idensitas Pasien
Nama : Tn. Z
Umur : 41 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Pedagang
Status : menikah
Alamat : Jln. Manggar RT 3 RW 2 No.14 Jember
Suku Bangsa : Jawa
No Rekam Medis : 15625
Tanggal MRS : 30 April 2014
Tanggal KRS : 03 Mei 2014
2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama
Benjolan di leher kiri
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh mendapati benjolan di leher kirinya kurang lebih sudah
10 tahun. Pasien mengatakan awalnya bejolan pada leher nya itu sangat
kecil namun lambat laun membesar perlahan-lahan, benjolan tidak nyeri,
pada saat menelan ikut bergerak tetapi tidak mengganggu proses menelan
dan tidak terjadi perubahan suara. 1 bulan yang lalu, pasien merasa
benjolan semakin membesar terutama saat pasien kelelahan. Pasien hanya
megeluh berat dileher, keluhan kosmetik, dan ketakutan akan berkembang
menjadi keganasan. Berat badan pasien konstan dan tidak mengalami
penurunan, nafsu makan baik, tidak mengeluh sering berdebar-debar dan
berkeringat malam, tidak ada gangguan dalam pola tidur.
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Disangkal.

16

4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami hal serupa.
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mendapat pengobatan apa-apa.
6. Riwayat Sosial
Tidak ada tetangga atau masyarakat sekitar yang memiliki keluhan seperti
yang dikeluhkan pasien.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Cukup Kesadaran : Compos mentis
Vital sign :
TD :130/90 mmHg RR : 20x/menit
N : 88 x/menit Tax : 36,4 C
Kulit : turgor kulit normal
Kepala :
o Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
Eksoftalmus : (-/-)
Tanda stellwag : (-/-)
Tanda Morbius : (-/-)
Tanda joffroy : (-/-)
o Telinga : lubang telinga normal, sekret (-), pendengaran normal
o Hidung : tidak ada bau, sekret maupun perdarahan
o Mulut : mukosa bibir tidak pucat, tidak hiperemis, tidak ada
sianosis.
o Leher : simetris, tidak ada kaku kuduk. Tampak benjolan pada
leher bagian depan berbatas jelas yang ikut bergerak saat
menelan,
Thorax:
Cor: I : Iktus cordis tidak tampak
P: Iktus cordis teraba di MCL ICS 4 sinistra
P: Redup
A: S1 S2 tunggal,
17

Pulmo: I : Simetris, tidak ada retraksi, tidak ada ketinggalan gerak
P: Fremitus raba +/+
P: Sonor +/+
A: Vesikuler +/+ , rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : I: cembung
A:BU(+)N
P: Timpani
P: Sopel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: - Akral hangat pada keempat ekstremitas, tremor (-) pada
ekstremitas superior
- Tidak ditemukan oedema pada keempat ekstremitas
Status Lokalis:
R. Colli Anterior:


18


Inspeksi: benjolan pada regio colli anterior sinistra berdiameter 6 cm,
warna sama dengan sekitar, bergerak saat menelan ludah .
Palpasi: terdapat lebih dari 1 nodul (batas antar nodul tidak tegas)
konsistensi padat kenyal, mobile, tidak melekat pada dasar atau kulit,
berbatas tegas tidak nyeri, pulsasi (-), tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening regional. Suhu raba normal.
Auskultasi : bruit (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan FNA

Makroskopis: Nodul R.Colli anterior sinistra, diameter 6 cm,
kenyal, mobile, ikut bergerak saat menelan, tidak nyeri. Dilakukan
2x ouncture dengan jarum G 25, didapat koloid coklat dibuat 2
sediaan dan dicat DQ.
Mikroskopis: Apusan terdiri dari bahan koloid, sebaran sel cyst
makrofag sedikit sel epitel folikel jinak dan atrofi. Tidak terdapat
sel ganas.
Diagnosa Patologi: Tiroid lobus (S), FNA: Struma Adenomatosa
19

Hasil Laboratorium
(29 April 2014)

(01 Mei 2014)





20

Hasil Foto Rontgen
(Foto Cervical)

(Foto Thorax)

21

2.5 Diagnosa
Struma Multinodusa Non Toksik Sinistra
2.6 Planning
Pro operasi Subtotal Lobektomi
2.7 Laporan Operasi

22

Diagnosis pra-operasi : Struma Multinodusa Non Toksik
Diagnosis post-operasi : Struma Multinodusa Non Toksis
Jenis operasi : Subtotal Lobektomi
Macam operasi : khusus
Sifat operasi : elektif
Uraian pembedahan :
- Desinfeksi
- Insisi collar
- Buat flap, buka otot
- Setelah lobus kiri tampak, dilakukan subtotal lobektomi
- Perdarahan di atasi
- Pasang drain
- Laporan operasi di tutup lapis demi lapis
2.8 Follow up
Hari,Tanggal Jumat, 02 Mei 2014 (H
3
MRS / H
2
post-OP)
S Keluhan
Leher terasa berat, suara serak/sulit saat bicara dan makan, gatal
dibawah plester
Vital
Sign
TD 120/70 mmHg
O
HR 86 x/menit
RR 20 x/menit
T
ax
36,5
o
C
Kepala&Leher a/i/c/d = -/-/-/- , kassa (+) di leher kiri
Thorax Cor S
1
S
2
tunggal
Pulmo Ves
+
/
+
Rh
-
/
-
Wh
-
/
-

Abdomen I Cembung
A Bisingusus (+) normal
P Tympani
23

P Soepel
Extremitas Akral hangat di keempat ekstremitas dan tidak oedem
Status Lokalis
(regio coli
anterior)

AAd Assesment Struma multinodusa non toksik post subtotal lobektomi H
2
P Planning
Infus RL 500 cc/24 jam
Infuse D5 1000 cc/24 jam
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 g
Injeksi Antrain 3 x 1 ampul
Injeksi Transamin 3 x 1 ampul
Injeksi Vit. K 3 x 1 ampul
Diet susu
Ganti plester coklat


Gambar post op. Subtotal lobektomi
A
[
T
y
p
e

a

q
u
o
t
e

f
r
o
m

t
h
e

d
o
c
u
m
e
n
t

o
r
kassa (+)
darah (-)
pus (-)
drain (+) = 10 cc
(darah)

drain (+) darah 120
cc
24

Hari,Tanggal Sabtu, 03 Mei 2014 (H
4
MRS / H
3
post-OP)
S Keluhan Serak sudah mulai berkurang
Vital
Sign
TD 130/70 mmHg
O
HR 84 x/menit
RR 20 x/menit
T
ax
36,5
o
C
Kepala&Leher a/i/c/d = -/-/-/- , kassa (+) di leher kiri
Thorax Cor S
1
S
2
tunggal
Pulmo Ves
+
/
+
Rh
-
/
-
Wh
-
/
-

Abdomen I Cembung
A Bisingusus (+) normal
P Tympani
P Soepel
Extremitas Akral hangat di keempat ekstremitas dan tidak oedem
Status Lokalis
(regio coli
anterior)

AAd Assesment Struma multinodusa non toksik post subtotal lobektomi H
3
P Planning
Infus RL 500 cc/24 jam
Infuse D5 1000 cc/24 jam
Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 g
A
[
T
y
p
e

a

q
u
o
t
e
kassa (+)
darah (-)
pus (-)
drain (+) = 5 cc
(darah+serous)

drain (+) darah 120
cc
25

Injeksi Antrain 3 x 1 ampul
Diet susu
KRS

Anda mungkin juga menyukai