Kesultanan Demak ini adalah kesultanan/kerajaan Islam pertama terbesar di pesisir utara Jawa. Ini adalah pelopor utama penyebaran islam pada umumnya. Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama adalah Raden Patah, seorang putra dari raja Majapahit yang terakhir ( Brawijaya). Yang kemudian diteruskan oleh Pangeran Sabrang Lor, yang diambil dari tempat tinggalnya seberang lor atau yang disebut Pate Rodim sr, atau menurut Hikayat Hasanuddin disebut Aria Sumangsang yang meninggal sekitar tahun 1504. Penguasa ketiga Demak dalam buku-buku cerita Serat Kandha dan cerita babad adalah Trenggana. Ia adalah saudara Pangeran Saberang Lor atau anak dari Raden Patah. Yang konon pada tahun 1504 sudah memegang kekuasaan sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 dan berakhir 1546 karena dia gugur dalam ekspedisi ke Panarukan, untuk menggabungkan kota pelabuhan kafir kewilayahnya dengan cara kekerasan yang ternyata gagal. Dalam kurun waktu ini wilayah kerajaan telah diperluas ke barat dan ke timur, dan Masjid Demak telah dibangun sebagai lambang kekuatan islam. Di antara kedua masa itu, 1519-1521 yang bertahta adalah Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara, setelah menikahi putri Pangeran Sabrang Lor. Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Pada tahun 1512-1513 melancarkan perang laut melawan orang-orang Portugis di Malaka, masa pemerintahannya kira-kira sampai meninggalnya 1521. Menurut Mendez Pinto, setelah meninggalnya Trenggana, kesultanan dipimpin oleh Susuhunan Prawata. Yaitu seorang alim yang tinggal di daerah Prawata. Masjid Agung Demak jelaslah mendapat nama harum karena merupakan masjid agung pertama dari kerajaan islam pertama di Jawa, oleh sebab itu, dibangunlah Jemaah beserta masjid yang merupakan permulaan pengislaman pulau Jawa. Dan para imam biasanya di panggil penghulu berarti kepala. Dalam Hikayat Hasanuddin terdapat sebagian yang berisi tentang kelima imam Masjid Demak. Menurut cerita tradisional sejarah Jawa, bangunan masjid Demak didirikan oleh para wali bersama-sama dalam satu malam. Atap tengahnya ditopang seperti lazimnya bangunan masjid dalam arsitektur kayu di jawa, yaitu dengan 4 tiang kayu raksasa. Namun, salah satunya bukanlah satu batang kayu yang utuh, melainkan tersusun dari beberapa balok yang diikat menjadi satu, yang konon itu adalah sumbangan dari Sunan Kalijogo. Berdirinya kerajaan Demak yang mendapatkan dukungan dari guru-guru pesantren, yang dikenal dengan para wali dari pulau Jawa. Keadaan yang demikian itu menjadikan tempat pertemuan para cendekiawan Jawa dan para guru pesantren. Dari uraian Poerbatjaraka menunjukan bahwa pertumbuhan islam kejawen / kitab-kitab Jawa yang memuat tentang keislaman, merupakan hasil karya penulis-penulis Jawa. Keruntuhan yang cepat pada Kesultanan Demak ini karena banyak pembunuhan pada masa raja keempat Susuhunan Prawata. Menurut cerita-cerita babad dan buku-buku cerita (serat kadha), Pangeran Seda Lepen telah dibunuh atas suruhan Susuhunan Prawata, lalu abdi dalem pangeran membunuh orang yang telah menghabisi nyawa majikannya itu. selanjutnya cerita-cerita babad dan tambo Jawa Tengah memuat cerita romantic tentang pembunuhan Susuhunan Prawata dan istrinya yang konon dibunuh oleh suruhan kemenakannya sendiri Aria Penangsang sebagai balas dendam atas kematian ayahnya. Aria Penangsang juga mengusahakan kematian Pangeran Kalinyamat karena masih mempunyai hubungan keluarga dengan raja Demak. Dan Ia juga berencana membunuh Jaka Tingkir yang kelak akan menjadi Sultan Pajang. Inilah yang membuat Jaka Tingkir memerangi Aria Penangsang. Aria Penangsangpun gugur, demikianlah berakhirnya keluarga raja Demak.
B. Kerajaan Mataram Islam Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya) (1584- 1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613). Pada tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat sebagai penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur, namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya. Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun. Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan 1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam. Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu: Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I dan Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono.
C. Perkembangan Kesultanan Surakarta Kasunanan Surakarta adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Yaitu pembagian wilayah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta di bawah pimpinan Hamengku Buwana I dan Kesultanan Surakarta dibawah pimpinan Paku Buwana III. Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Arya Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan. Raja berikutnya adalah Paku Buwana IV (1788-1820), Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yang isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang. Diteruskan oleh Pakubuwana V dan VI, dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, Pakubuwana VII. Pakubuwana VII, masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Pemerintahannya berakhir saat wafatannya dan karena tidak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Pakubuwana VIII. Kabangkitan kepustakaan Jawa berlangsung selama 125 tahun, dari 1757-1873 (dengan wafatnya pujangga Ranggawarsita). Kekuasaan dipimpin oleh Pakubuwana VIII dan IX, Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Pakubuwana X, meninggal pada tahun i 1939. Dilanjutkan Pakubuwana XI sampai tahun 1942. Kemudian Pakubuwana XII smapai tahun 1945.