Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada
proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan
pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap
persoalan yang ada sehingga meeka mau mencoba memecahkan persoalannya.
Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab
sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada
benda-benda konkret. Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum
pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasilkan
menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar
selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa,
melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana
mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa
dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa
mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga
dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena
dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh
dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya yang akan dibahas adalah:
1. Asumsi asumsi dasar Piaget
2. Tahap perkembangan Kognitif
3. Implikasi teori Piaget dalam Pendidikan
4. Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
C. Tujuan Penulisan
1. Asumsi asumsi dasar Piaget
2. Tahap perkembangan Kognitif
3. Implikasi teori Piaget dalam Pendidikan
4. Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

BAB II
ISI

A. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran
Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku
pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada
pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori
pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama
pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental
dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima,
difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu
juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan
pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan
pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan
bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran
konstruktivisme.
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat
kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple
perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk
menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Peranan
kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual
dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman
tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan
dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya
memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.
Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik
antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi
dengan lingkungannya.
Menurut para penganut konstruktif, pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang
yang berfikir. Seseorang tidak akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun
suatu pengetahuan baru, peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman
yang disampaikan guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui
berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya. Konsep teori belajar
konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam. Belajar merupakan
proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan.
Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses
belajar, bukan sekedar untuk menyampaikan pengetahuan
Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam
belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh
siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model
bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan
anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak
mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi
semangat dan arahan saja.
B. Konsep Teori Belajar Konstruktivisme menurut Para Ahli
Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran
adalah konstruktivisme. Di antara berbagai variasinya, terdapat dua jenis konstruktivisme
yang paling menonjol yaitu konstruktivisme sosial (social constructivism) yang sering
dikatakan sebagai kelanjutan dari hasil kerja Vygotsky serta konstruktivisme kognitif
(cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget.
1. Teori Belajar Konstruktivisme Kognitif menurut Jean Piaget
Teori belajar konstruktivisme kognitif disumbangkan oleh Jean Piaget, yang
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor konstruktivisme. Yang
mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pandangan-pandangan Jean
Piaget seorang psikolog kelahiran Swiss (1896-1980), percaya bahwa belajar akan lebih
berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik
diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya
banyak memberikan rangsangan kepada siswa agar mau berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Belajar menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi
proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah
hasil pemberian dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi
yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberian tidak akan bermakna.
Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh
setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama
tersimpan/diingat dalam setiap individu. Karena menurut pendekatan konstruktivistik,
pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari,
melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun
lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara
orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-
pemahaman baru.
Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang
yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki
pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan
pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan
dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung
pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang
keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang
tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual
anak.
Pembentukan pengetahuan menurut Jean Piaget memandang subyek aktif menciptakan
struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur
kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi
sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu
sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus
menerus melalui proses rekonstruksi. Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean
Piaget adalah sebagai berikut:
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema
(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan
kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap
perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada
akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang
binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin
sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses
asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah pemaduan data baru dengan struktur kognitif yang ada. Atau proses
kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke
dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu
proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru
dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skema melainkan perkembangan skema. Asimilasi
adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan baru.
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru. Dalam
perjumpaan individu dengan lingkungan, akomodasi menyertai asimilasi. Terkadang, ketika
dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru, seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan
antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat
mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur
kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan
keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).
Sebagai Contoh, seorang anak yang merasa sakit karena terpercik api. Berdasarkan
pengalamannya terbentuk skema kognitif pada diri anak tentang api, bahwa api adalah
sesuatu yang membahayakan oleh karena itu harus dihindari. Dengan demikian ketika ia
melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin dewasa, pengalaman anak tentang
api bertambah pula. Ketika anak melihat ibunya memasak dengan menggunakan api, atau
ketika ayahnya merokok; maka skema kognitif tersebut akan disempurnakan, bahwa api tidak
harus dihindari akan tetapi dimanfaatkan. Ketika anak melihat banyak pabrik atau industri
memerlukan api, kendaraan memerlukan api, maka skema kognitif anak semakin
berkembang/sempurna menjadi api sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia.
Skema ini membentuk pandangan (persepsi) peserta didik terhadap sesuatu. Ketika
peserta didik menerima informasi, maka akan disesuaikan dengan persepsi yang yang dimiliki
peserta didik. Proses penyesuaian ini melibatkan proses asimilasi dan akomodasi. Melalui
proses pengulangan dan pemantapan, skema membentuk konsep.
Dari Penjelasan di atas, menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang
dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi
pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan.
Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan
berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya. Dengan ini,
piaget menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat kematangan
berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam
proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis
seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya.
Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak
harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa
belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan
ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini
tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang
terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan
manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban,
membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan
memahami sesuatu.

1. Teori Belajar Konstruktivisme Sosial menurut Lev Vygotsky
Secara umum, pendekatan konstruktivisme sosial menekankan pada konteks sosial
dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontruksi secara bersama
(mutual). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk
mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran
orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama. Dengan cara
ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan
pemikiran murid.
Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individu ke kolaborasi,
interaksi sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivisme Piaget, murid
mengkonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan, mengorganisasikan, dan
mengoraginsasi pengetahuan sebelumnya. Konstruktivisme Vygotsky menekankan bahwa
murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari
pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup bahasa,
keyakinan, dan keahlian/ketrampilan. Maka bagi Vygotsky, ada dua prinsip penting
berkenaan dengan teori konstruktivisme sosialnya, yaitu:
a. Mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai
proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan
pengetahuan,
b. Zona of proximal development. Pendidik sebagai mediator memiliki peran
mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian
dan kompetensi.
Konstruktivisme Vygoskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu.
Proses dalam kognisi diarahkan memulai adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya.
Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.

Salah satu prinsip kunci yang diturunkan teori Konstruktivisme sosial adalah penekanan pada
hakikat sosial dari pembelajaran. Vygotsky mengemukakan bahwa siswa belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Berdasarkan teori ini
dikembangkanlah pembelajaran kooperatif, yaitu siswa lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut
dengan temannya.
Selain itu, Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya
memecahkan permasalahan, yaitu:
(1) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
(2) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,
(3) Siswa gagal meraih keberhasilan.
Jika siswa tidak mampu memecahkan masalahnya, maka guru/pendidik harus
menggunakan scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah
besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan
pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam
bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Teori Konstruktivisme Vygotsky yang lain mengatakan bahwa siswa belajar konsep
paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of
proximal development siswa. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan
sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Tingkat perkembangan seseorang saat
ini adalah tingkat pengetahuan awal atau pengetahuan prasyarat itu telah dikuasai, maka
kemungkinan sekali akan terjadi pembelajaran bermakna.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut
teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu
dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development
mereka.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik
tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Karena menurut
teori ini bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial
budaya seseorang. Dalam penjelasan lain, mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky
adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.
C. Hakikat Pembelajaran menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai
botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak
guru. Akan tetapi siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik
atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan
membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal ini, hakikat pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu
proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun
konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong
siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam
konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun constructive habits of mind.
Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori
belajar yang mencerminkan siswa memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan
teknik belajar apa pun asal tujuan belajar dapat tercapai.
Selain itu, Nickson mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivime
adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep dalam belajar dengan
kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kemabli
melalui transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu
paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran guru bukan
pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk
membentuk pengetahuan.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan
antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat
diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki
anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan
dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki,
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3. Strategi siswa lebih bernilai,
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman
dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan
bahasa sendiri,
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective,
bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
Mengajar berarti menata lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta
menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai
dalam menginterpretasikannya. Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik dalam interaksi
pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang meliputi:
1. Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil
keputusan dan bertindak;
2. Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3. Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa
mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran model konstruktivisme, yaitu:
Mencari tahu dan menghargai titik pandang/pendapat siswa
Pembelajaran dilakukan atas dasar pengetahuan awal siswa
Memunculkan masalah yang relevan dengan siswa
Menyusun pembelajaran yang menantang dugaan siswa
Menilai hasil pembelajaran dalam konteks pembelajaran sehari-hari
Siswa lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses
pengintegrasian pengetahuan baru yang diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan
lama yang mereka miliki
Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan. Siswa didorong untuk menemukan
berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi
Proses belajar harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses
belajar melalui kerjasama memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama
Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran ada pada siswa
Pendekatan konstruktivis memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan
apa yang dialami langsung oleh siswa
Selanjutnya ada empat komponen dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1. Pengetahuan Awal (Prerequisite),
2. Fakta Dan Masalah,
3. Sistematika Berfikir,
4. Kemauan Dan Keberanian.

D. Aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Dalam belajar sesuatu peserta didik telah mempunyai prakonsep berdasarkan
pengalaman yang telah di perolehnya. Untuk itu, guru perlu mencermati prakonsep ini dalam
menanamkan konsep-konsep baru. Apabila prakonsep ini tidak diperhatikan, kemungkinan
akan terjadi miskonsepsi atau konsep yang salah. Apabila peserta didik mempunyai
miskonsepsi yang tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka akan menyulitkan peserta didik untuk
belajar sesuatu secara benar.
Dalam menerapkan teori kontruktivisme dalam belajar dapat digunakan model
pembelajaran yang melibatkan beberapa tahap, yaitu:
1. Pengenalan
2. Pembelajaran kompetensi
3. Pemulihan
4. Pendalaman
5. Pengayaan
Tahap pengenalan merupakan pemberian hal-hal yang konkrit dan mudah dengan
contoh-contoh sederhana yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini, guru
perlu mencermati melalui penilaian prakonsep atau kompetensi awal yang dimiliki peserta
didik untuk maju ke tahap berikutnya. Tahap pembelajaran kompetensi merupakan tahap di
mana peserta didik mulai beranjak dari mengenali kompetensi baru ke menguasai kompetensi
dasar. Hasil penilaian akan menunjukkan apakah peserta didik perlu diberi tahapan pemulihan,
yaitu tahap di mana peserta didik memulihkan prakonsep menjadi suatu konsep/kompetensi
secara benar.
Bila peserta didik telah menguasai kompetensi secara benar, guru dapat menilai sejauh
mana minat, potensi, dan kebutuhan dalam penguasaan kompetensi dasar. Apabila peserta
didik cukup berminat dan kompetensi dasar telah dikuasai secara tuntas, tahap pemulihan
dapat dilewati dan maju ke tahap berikutnya yaitu tahap pendalaman. Apabila tahap
pendalaman telah dilaksanakan, tedapat otomatisasi berpikir dan bertindak sebagai
perwujudan kompetensi. Selanjutnya, dapat diberikan tahap pengayaan agar peserta didik
memperoleh variasi pengalaman belajar. Berbagai latihan dapat digunakan untuk mendalami
atau memperkaya kompetensi.




BABIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi ini memiliki implikasi teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar
konstruktivisme. Secara teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya dipandang
sebagai individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang, bukan sebagai tong
kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa (guru). Secara praktis, studi ini
berimplikasi bahwa model belajar konstruktivisme dibutuhkan untuk mengembangkan
kecakapan pribadi-sosial siswa dalam mengembangkan potensi kreatifnya melalui
pembelajaran di sekolah. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksi
pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman,
dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang
telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan
mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan
membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut
akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
Maka dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting
dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan
oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau
model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan
keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan
anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi
semangat dan arahan saja.







DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih c. asri, DR, 2005, belajar dan pembelajaran,rineka cipta, Jakarta.
Hambali, Muh., Tahun Ajaran Baru, Menyoal Iklim Pembelajaran, dalam harian
Kompas 19 Juni 200
Muhaimin, dkk, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: CV Mitra Media, Juni 1996
Nurhadi, dr, M.pd,burhan yasin, Dip.Bis.Ad., M.ed, Drs. Agus gerrad senduk, M.Pd,
2004, Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam Kbk, UM PRESS, Malang
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran; Untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar,Bandung: Alfabeta, September 2006

Anda mungkin juga menyukai