Anda di halaman 1dari 2

Linting Keempat

Sudah tiga linting rokok diisapnya tanpa jeda. Sudah tiga kali pula ibu mengetuk pintu
kamarnya. Dia tahu, rokok keempat akan membuatnya semakin gelisah. Sama seperti ketukan di pintu
yang akan berubah jadi gedoran keras bapak, bukan lagi ibu.
Matahari sedang tinggi-tingginya. Setinggi suara bulik-buliknya yang pasti sedang
bergerombol di ruang TV. Persis di depan kamarnya. Berfoto, mengudap, bergosip. Sekaligus. Tanpa
memedulikan ibu yang sibuk di dapur bersama Yuk Mar menyiapkan aneka lauk pauk lebaran. Ia
merasa muak. Bukan mendadak. Muak yang berlangsung terlalu lama. Dan membeludak di hari-hari
seperti ini.
Rokok keempat disulutnya. Diisap panjang. Tiga isapan panjang, sebelum mematikannya
penuh gesa. Tepat saat didengarnya langkah kaki bapak mendekati pintu kamarnya. Pintu dibukanya
cepat. Bapak menyembunyikan kagetnya. Tidak emosinya. Mungkin Bapak juga sama muaknya. Tapi
toh mereka sama diamnya. Memainkan peran masing-masing, bukan dengan sepenuh hati, tapi semata
hati-hati. Jangan sampai menggores hati satu sama lain. Wajah bulik-buliknya begitu sumringah.
Beberapa dari mereka bahkan melompat dari tempat duduknya untuk sekedar memeriksanya. Dari
atas sampai bawah. Kanan dan kirinya.
Dara, ya ampun kamu gendutan ya Idih, sini sungkem sama buliknya. Mana calonmu? Nduuuuk,
itu tindikannya nambah lagi, mas kok sampeyan ijinkan sih? Astagfirullah Dara, itu tato beneran di
dadamu? Bapak mengisap cerutunya dalam-dalam. Melihat ke arah jam dinding terlalu sering. Lalu
pamit ke dapur membantu ibu, katanya tanpa melihat langsung ke arah para bulik. Selalu begitu.
Bapak dan Ibu lebih lama berada di dapur ketimbang di ruang keluarga, bersama keluarga besar. Ada
saja alasannya. Sementara Dara, jadi hidangan pembuka bulan-bulanan bulik-buliknya. Habis
dibongkar dan ditaksir. Lalu dirajam pertanyaan dan tudingan sekepal-kepal.
Ia muak. Pada bapak dan ibu yang sama muak padanya. Ia muak karena tidak punya jawaban
yang tidak terdengar memuakkan. Perlahan, suara-suara tinggi yang awalnya memekakkan telinga
berangsur sirna. bulik-buliknya terlihat komat-kamit tak jelas. Wajah mereka berangsur sama. Persis
sampai ke mimik mukanya. Seragam. Mungkin itu yang buat mereka riang? Karena mereka seragam?
Wajah-wajah mereka mendadak warna-warni, serupa permen. Mata dan hidung mereka menggelambir
ke kanan dan ke kiri. Bola mata mereka membesar dan mengecil bersamaan. Sementara bibir mereka
mengerucut serupa wadah eskrim. Dara mendapati dirinya meledak dalam tawa tanpa jeda, air
matanya mengalir deras sekali. Terpingkal-pingkal di tempatnya duduk. Mengambil posisi fetus,
memeluk lututnya dekat-dekat. Berusaha menyembunyikan pingkalnya.
Aku tahu dia membutuhkannya. Lintingan keempat. Yang membuatnya tak lagi gelisah dalam
muak yang pura-pura

Anda mungkin juga menyukai