Anda di halaman 1dari 22

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pneumonia
Menurut World Health Organization (2009), Pneumonia adalah
proses infeksi akut yang meliputi alveolus dan jaringan interstitial.
Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta
perjalanan penyakitnya. World Health Organization mendefinisikan
pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada
pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernafasan. Berbagai mikroorganisme
dapat menyebebkan pneumonia, antara lain virus, jamur, dan bakter.













2.2. Epidemologi
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak
diderita anak-anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda
dengan pneumonia pada dewasa. Di Amerika dan Eropa yang merupakan
2

negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi, diperkirakan setiap
tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 16-20
kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada
umur 9 tahun dan remaja (Styaningrum, 2006).
Pneumonia tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang yang merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan 20% dari
seluruh kematian pada anak di bawah lima tahun disebabkan oleh infeksi
saluran pernafasan akut (pneumonia, bronkiolitis dan bronkitis) dengan 90%
di antaranya disebabkan oleh pneumonia.
Kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan 10%-20%
per tahun dengan angka kematian 6 per 1000. Pemerintah telah
merencanakan untuk menurunkan insiden pneumonia menjadi 3 per 1000
balita pada tahun 2010. Namun, keberhasilan tersebut bergantung pada
banyak faktor risiko, salah satunya adalah malnutrisi (Wahani, 2012).
Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering
didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada
anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan
bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh
karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di
negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya peroleh
perawatan. Dan pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan
sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim
dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan
(Styaningrum, 2006).

2.3. Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebaban oleh hal lain misalnya bahan
kimia (hidrokarbon, lipoid sistances)/ benda asing yang teraspirasi.
3

Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan
distribusi umur pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh
virus, sebagai penyebab tersering adalah respiratory synctial virus (RSV),
parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri
yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophillus influenze, Staphyloccocus aureus, Streptococcus group B,
serta kuman atipik lamidia dan mikroplasma (Retno, 2007).
Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae
monocytogenes merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus
adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang
dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumonia merupakan
penyebab paling utama pada pneumonia bacterial. Mycoplasma pneumoniae
dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan
pada anak diatas 5 tahun (Retno, 2007).

Table 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptoccus group B Streptoccous group D
Listeria monocytogenes Haemophilllus influenzae

Streptococcus pneumoniae

Ureaplasma urealyticum

Virus

Virus sitomegalo

Virus Herpes simpleks
3 minggu 3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus
pneumoniae
Haemophilus influenzae tipe
B
Virus Moraxella catharalis
4

Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial
Virus
Virus sitomegalo
4 bulan 5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus
pneumoniae
Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial
virus

5 tahun remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus
pneumoniae
Staphylococcus aureus

Virus

Virus Adeno

Virus Epstein-Barr

Virus Influenza

Virus Parainfluenza








5


2.4. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis (IDAI, 2010)

a. Pneumonia Komuniti (community-acquired pneumonia)
Jenis yang paling umum dari pneumonia , disebabkan oleh
bakteri, virus, dan organisme lain yang didapat dari luar rumah
sakit atau layanan kesehatan lainnya.
b. Pneumonia Nosokomial (hospital-acquired pneumonia/
Nosocomial pneumonia).
Pneumonia Nasokomial ( HAP ) terjadi setidaknya 48 jam setelah
seseorang telah dirawat di rumah sakit . Hal ini dapat disebabkan
oleh bakteri dan organisme lain yang biasanya berbeda dari
Pneumonia Komuniti. HAP biasanya lebih serius daripada CAP
karena bakteri dan organisme bisa lebih sulit untuk mengobati ,
dan karena orang-orang yang mendapatkan HAP sudah sakit
c. Pneumonia Aspirasi.
Pneumonia aspirasi terjadi ketika cairan atau iritasi lainnya yang
terhirup ke paru-paru. Jenis yang paling umum dari pneumonia
aspirasi disebabkan oleh menghirup isi perut setelah muntah .
Orang-orang dengan masalah medis (misalnya stroke, ALS) yang
mempengaruhi menelan berada pada peningkatan risiko dari jenis
pneumonia.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
Pneumonia oportunistik terjadi pada orang dengan sistem
kekebalan yang lemah (misalnya orang dengan AIDS, kanker ,
transplantasi organ). Organisme yang biasanya tidak berbahaya
bagi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat
menyebabkan suatu infeksi.
2. Berdasarkan agen penyebab
a. Pneumonia Bakterial / tipikal adalah pneumnia yang dapat terjadi
pada semua usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi
6

menyerang seorang yang peka misalnya klebisela pada penderita
alkoholik dan staphylococcus pada penderita pasca infeksi
influenza.
b. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh
Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur adalah sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita daya tahan tubuh lemah
(immunocompromised)
3. Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu lobus
atau segmen dan kemungkinan disebabkan oleh adanya obstruksi
bronkus, misalnya pada aspirasi benda asring atau adanya proses
keganasan. Jenis pneumonia ini jarang terjadi pada bayi dan orang
tua dan sering pada pneumonia bakterial.
b. Bronkopneumonia adalah pneumonia yang ditandai dengan adanya
bercak-bercak infiltrat pada lapang paru. Pneumonia jenis ini
sering terjadi pada bayi dan orang tua, disebabkan oleh bakteri
maupun virus dan jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial

2.5. Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran napas. Mula mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalamai konsolidasi, yaitu terjadi
serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman
di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,
deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di
7

alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong
perjalanan penyakit, sehingga stadium khas yang telah diuraikan
sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan
gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptococcus pneumonia biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak
konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada
anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (
pneumonia lobaris ). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering disebabkan
oleh Staphylococcusaureus pada neonatus atau bayi kecil, karena
Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase., yang dapat
menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Pneumotokel dapat
menetap hingga berbulan bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi
lebih lanjut (IDAI, 2010).


2.6. Faktor Risiko
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia
pada balita, diantaranya :
1. Faktor Intrinsik
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan
berat ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan
tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
a) Status gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya
pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan
imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi
dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
8

kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti
pneumonia.


b) Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat
dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan
ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan
hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap
mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu
strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian
akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Melalui
imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
c) Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai
bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari
penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh
bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi
salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian
pneumonia pada balita.
d) Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar
pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua,
hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun
belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit.
2. Faktor Ekstrinsik
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada
peningkatan resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan
sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih menyebabkan
9

balita sering berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular
dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang
kotor tersebut, yang berpengaruh diantaranya :

a) Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan
pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk
ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan persyaratan
minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama
bakteri patogen
b) Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya
disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar
kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada
balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh
karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga
akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor.

2.7. Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja.hanya sebagian
kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi
sehingga memerlukan perawatan di RS.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia
anak adalah imaturitas anatomic dan imunologik, mikroorganisme penyebab
yang luas, gejala klinis yang kadang kadang tidak khas, terutama pada
bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive, etiologi
noninfeksi yang relative lebih sering, dan faktor pathogenesis. Disamping
10

itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan
karakteristik penyakit berbeda beda, sehingga perlu dipertimbangkan,
dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal, seperti mual,
muntah, atau diare, kadang kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak
perkusi, suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan
bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas
terlihat. Pada perkusi dan auskultasi pada umumnya tidak ditemukan
kelainan (IDAI, 2010).
2.8 Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan atau
serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang
memadai.

Pneumonia biasanya di diagnosis berdasarkan kombinasi gejala dan
tanda serta foto rontgen dada.

Mengetahui penyebab sangat sulit, tidak ada tes
definitive yang membedakan etiologi antara bakteri dan bukan bakteri. WHO
telah mendefinisikan gejala klinis pneumonia pada anak yang didasarkan pada
batuk, kesulitan bernapas dengan respirasi rate yang cepat, retraksi dada, atau
penurunan tingkat kesadaran.
Klasifikasi Pneumonia
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang.
11

Namun demikian kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO :
- Bayi kurang dari 2 bulan
1. Bukan Pneumonia
Tidak ada napas cepat atau sesak napas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan
simptomatis
2. Pneumonia berat
napas cepat atau retraksi yang berat
3. Pneumonia sangat berat
tidak mau menetek / minum, kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler.
- Anak umur 2 bulan 5 tahun
a. Bukan Pneumonia
Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
b. Pneumonia ringan
Tidak ada sesak napas
napas cepat ( > 50x/menit usia 2 bulan 1 tahun)
( > 40x/menit usia > 1 5 tahun)
Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
c. Pneumonia berat
12

Retraksi
Sesak napas
Harus dirawat serta diberikan antibiotik.
d. Pneumonia sangat berat
Tidak dapat minum / makan, kejang, letargis, malnutrisi.
7


2.9 Pemeriksaan Penunjang
Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000
40.000/mm
3
dengan predominan PMN. Leucopenia (< 5000/mm
3
)
menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia pneumoniae
kadang kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 100.000/mm
3
, protein > 2,5
g/dl dan glukosa relative lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang
kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang
meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED
tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara
pasti.
C-Reactive Protein ( CRP )
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin ( IL )-6, IL-1, dan tumor
necrosis faktor ( TNF ). Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP
sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang
rusak.
13

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostic untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi
bakteri profunda. CRP kadang kadang digunakan untuk evaluasi respon
antibiotik. Meskipun demikian, secara umum CRP belum terbukti secara
konklusif dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri.
Uji serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibody pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas rendah. Akan tetapi,
diagnosis infeksi Streptococcus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibody seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen.
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri
atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV,
Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan adeno,
peningkatan antibody IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi.
Pemeriksaan mikrobiologis
Tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di
RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologis, specimen dapat berasal dari usap
tenggorok, secret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitive bila kuman ditemukan dari
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus,
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang
positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya 10 30% ditemukan bakteri
pada kultur darah, sedangkan pada anak lebih besar specimen pemeriksaan
mikrobiologik dapat berasal dari sputum. Specimen yang memenuhi syarat
14

adalah sputum yang mengandung lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40
sel epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran
kecil.



Pemeriksaan Rontgen Toraks
Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang kadang bercak sudah
ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :
Infiltrate interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronkial cuffing, dan hiperaerasi.
Infiltrate alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus (pneumonia
lobaris ), atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup
besar, berbentuk sferis, berbatas tidak tegas, dan menyerupai lesi
tumor paru ( round pneumonia ).
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa becak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrate
interstitial merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus.
Infiltrate alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni,
dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat
bervariasi. Ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus
15

bawah, infiltrate interstitial retikonoduler bilateral, dan yang jarang adalah
konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya lesi foto rontgen toraks lebih
berat daripada gambaran klinisnya.
Meskipun terdapat beberapa pila yang memberikan kecendrungan,
secara umum gamabran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara
pasti antara pneumonia virus, bakteri, Mikoplasma, atau campuran
mikroorganisme tersebut (IDAI, 2010).

2.10. Tatalaksana
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan
kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena yang sesuai, terapi oksigen,
koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit , dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik / antipiretik.
Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus di
tanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang mungkin terjadi harus
dipantau dan diatasi.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada
anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Pneumonia Rawat Jalan
Dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan,
dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai
90%. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada
pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali
sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan
adalah 25 mg / kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP
20mg/kgBB
16

Pneumonia Rawat Inap
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik
golongan beta laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak
responsive terhadap beta laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan
antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin sesuai
dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan
selama 7 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasim
meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang
optimal.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena
harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil
sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik spectrum luas seperti kombinasi beta laktam / klavulanat
dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan
sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik beta laktam dengan atau tanpa
klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan
sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dengan berobat jalan.
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia
memberikan antibiotik beta laktam, ampisilin, atau amoksisilin,
dikombinasikan dengan kloramfenikol. Feyzullah dkk. melaporkan hasil
perbandingan pemberian antibiotik pada anak dengan pneumonia berat
berusia 2 24 bulan. Antibiotik yang dibandingkan adalah gabungan
penisilin G intravena (25.000 U/kgBB setiap 4 jam) dan kloramfenikol (15
mg/kgBB setiap 6 jam), dan seftriakson intravena (50mg/kgBB setiap 12
jam). Keduanya diberikan selama 10 hari, dan ternyata memiliki efektifitas
yang sama.
17

Kriteria Rawat Inap
Bayi :
- Saturasi oksigen 92%, sianosis
- Frekuensi napas > 60 x/ menit
- Distress napas, apnea intermiten, atau grunting
- Tidak mau minum / menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak:
- Saturasi oksigen <92%, sianosis
- Frekuensi napas > 50 x/ menit
- Distress napas
- Grunting
- Terdapat tanda dehidrasi
- Keluarga tidak dapat merawat di rumah.
7

Nutrisi
- Pada anak dengan distress napas berat, pemberian makanan per oral
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat NGT atau intravena.
Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan
pernapasan, khususnya pada bayi atau anak dengan ukuran lubang
hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya digunakan ukuran
yang terkecil.
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan hormon antidiuretik.
7

Kriteria Pulang
- Gejala dan tanda pneumonia hilang
18

- Asupa per oral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah ( per oral )
- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.
7


2.11 Komplikasi
Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah dua hari, atau kondisi
anak semakin memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis
lain. Jika mungkin, lakukan foto dada ulang untuk mencari komplikasi.
Beberapa komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
a) Pneumonia Stafilokokus. Curiga ke arah ini jika terdapat
perburukan klinis secara cepat walaupun sudah diterapi, yang
ditandai dengan adanya pneumatokel atau pneumotoraks dengan
efusi pleura pada foto dada, ditemukannya kokus Gram positif
yang banyak pada sediaan apusan sputum. Adanya infeksi kulit
yang disertai pus/pustula mendukung diagnosis.
Terapi dengan kloksasilin (50 mg/kg/BB IM atau IV setiap 6
jam) dan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM atau IV 1x sehari).
Bila keadaan anak mengalami perbaikan, lanjutkan
kloksasilin oral 50mg/kgBB/hari 4 kali sehari selama 3
minggu.
Catatan: Kloksasilin dapat diganti dengan antibiotik anti-
stafilokokal lain seperti oksasilin, flukloksasilin, atau dikloksasilin.
b) Empiema. Curiga ke arah ini apabila terdapat demam persisten,
ditemukantanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung.
Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal.
Pekak pada perkusi.
19

Gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu
atau kedua sisi dada.
Jika terdapat empiema, demam menetap meskipun sedang
diberi antibiotik dan cairan pleura menjadi keruh atau purulen
(WHO, 2008).



2.12. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih
tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-
protein dan datang terlambat untuk pengobatan (Todd, 2008).

Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama
diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan
makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh.
Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya
tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka
malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang
lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan
malnutrisi apabila berdiri sendiri.

2.13 Pencegahan
Imunisasi : PCV (Pneumococcus Vaccine) diberikan umur 2 bln,4
bln,6 bln dan 12 15 bulan
Perbaiki hygiene umum, hindari kontak dengan orang dewasa / anak
yang menderita infeksi saluran napas

20









BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang meliputi alveolus
dan jaringan interstitial disebabkan oleh mikroorganisme. Usia pasien
merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala
berikut : sesak nafas, panas badan, ronkhi basah sedang nyaring (crackles),
foto thorax. Menunjukkan gambaran infiltrat difus, leukositosis. Terapi yang
diberikan oksigen dan antibiotik. Prognosisnya Sembuh total, mortalitas
kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak
dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk
pengobatan.




21










DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, Antonius H, dkk. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter
Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta : 2010.
2. Rahajoe, Nastiti N. dkk. Buku Ajar RESPIROLOGI ANAK edisi pertama,
cetakan kedua. Jakarta: IDAI. 2010.
3. Garna, Herry, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
Edisi ke 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. Bandung : 2005
4. Lynch, T; Bialy, L, Kellner, JD, Osmond, MH, Klassen, TP, Durec, T,
Leicht, R, Johnson, DW (2010 Aug 6). Huicho, Luis. ed. "A systematic
review on the diagnosis of pediatric bacterial pneumonia: when gold is
bronze"
5. Ezzati, edited by Majid; Lopez, Alan D., Rodgers, Anthony, Murray,
Christopher J.L. (2004). Comparative quantification of health risks.
Genve: Organisation mondiale de la sant. p. 70.
6. WHO. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman bagi rumah
sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. WHO INDONESIA :
Jakarta.2009.
7. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. 2008. Jakarta.
22

8. Setyaningrum RA, Landia S, Makmuri MS. Pneumonia. Kapita Selekta
Ilmu Kesehatan Anak VI. Surabaya; 2006.

9. Wahani AMI. Efektivitas suplemen zink pada pneumonia anak. Sari
Pediatri 2012;13(5):357-61.
10. Todd JK. Pneumonia. Dalam Behrman Richard E, Kliegman Robert,
Nelson Waldo E, VC Vaughan, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
18th edition. Jakarta : EGC, 2008 : 861-867

Anda mungkin juga menyukai