Anda di halaman 1dari 36

3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Lansia dan Mental
Lansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur (usia 60 tahun ke atas)
pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Hal ini
sesuai menurut Undang-Undang no. 13 yahun 1998 yang menyatakan bahwa usia
60 tahun ke atas adalah yang paling layak disebut usia lanjut. Pada kelompok
yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging proses.
DEPKES RI membagi Lansia menjadi sebagai berikut :
1. Kelompok menjelang usia lanjut (4554 th) sebagai masa Virilitas.
2. Kelompok usia lanjut (5564 th) sebagai masa Presenium.
3. Kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa Senium.
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu :
1. Usia lanjut : 6074 tahun.
2. Usia Tua : 7589 tahun.
3. Usia sangat lanjut : > 90 tahun.
Mental berasal dari kata latin yaitu mentis yang artinya: jiwa, nyawa,
sukma, roh, semangat (Kartini Kartono, 1987:3). Sedangkan dalam kamus
psikologi Kartini Kartono, (1987:278) mengemukakan: mental adalah yang
berkenaan dengan jiwa, batin ruhaniah. Dalam pengertian aslinya menyinggung
masalah: pikiran, akal atau ingatan. Sedangkan sekarang ini digunakan untuk
menunjukkan penyesuaian organisme terhadap lingkungan dan secara khusus
menunjuk penyesuaian yang mencakup fungsi-fungsi simbolis yang disadari oleh
individu. Pengertian mental dalam kamus besar bahasa Indonesia, (1991:647)
adalah Berkenaan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan
atau tenaga, Bukan bersifat badan atau tenaga: bukan hanya pembangunan fisik
yang diperhatikan melainkan juga pembangunan batin dan watak.
4

Sehingga, mental bisa diartikan sesuatu yang berada dalam tubuh (fisik)
manusia yang dapat mempengaruhi perilaku, watak dan sifat manusia di dalam
kehidupan pribadi dan lingkungannya.
Sedangkan Psikogeriatri adalah ilmu yang mempelajari gangguan
psikologis/psikiatrik pada lansia. Lansia memiliki beberapa Tugas perkembangan
yang harus dilaluinya, yaitu adalah sebagai berikut:
1. Menyesuaikan diri terhadap ketahanan dan kesehatan yang berkurang.
2. Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya pendapatan.
3. Menyesuaikan diri terhadap kemungkinan ditinggalkan pasangan hidup.
4. Mempertahankan kehidupan yang memuaskan dan mencari makna hidup.
5. Menjaga hubungan baik dengan anak.
6. Membina hubungan dengan teman sebaya dan berperan serta dalam
organisasi sosial.


B. Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Mental Lansia
Adanya masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek
yaitu;
1. Aspek fisik
Aspek fisik dapat berupa emosi tidak labil, mudah tersinggung,
gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan
tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan mengalami
gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan)
atau kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia adalah
masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari
keadaan sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan) menjadi
kemunduran.


5

2. Aspek psikologi
Aspek psikologi merupakan faktor sangat penting dalam kehidupan
seseorang terutama kehidupan seorang lansia. Aspek psikologis ini lebih
menonjol daripada aspek materiil dalam kehidupan seorang lansia. Pada
umumnya, lansia mengharapkan: panjang umur, semangat hidup, tetap
berperan sosial, dihormati, mempertahankan hak dan hartanya, tetap
berwibawa, kematian dalam ketenangan dan diterima di sisi-Nya, dan masuk
surga. Keinginan untuk lebih dekat kepada Allah merupakan kebutuhan
lansia. Proses menua yang tidak sesuai dengan harapan tersebut, dirasakan
sebagai beban mental yang cukup berat.
3. Aspek sosial
Aspek sosial yang terjadi pada individu lanjut usia, meliputi kematian
pasangan hidupnya/teman-temannya, perubahan peran seorang ayah/ibu
menjadi seorang kakek/nenek, perubahan dalam hubungan dengan anak
karena sudah harus memerhitungkan anak sebagai individu dewasa yang
dianggap sebagai teman untuk dimintai pendapat dan pertolongan, perubahan
peran dari seorang pekerja menjadi pensiunan yang sebagian besar waktunya
dihabiskan di rumah.
4. Aspek ekonomi
Aspek ekonomi berkaitan dengan status sosial dan prestise. Dalam
masyarakat sebagai seorang pensiunan, perubahan pendapatan karena
hidupnya tergantung dari tunjangan pensiunan. Kondisi-kondisi khas yang
berupa penurunan kemampuan ini akan memunculkan gejala umum pada
individu lanjut usia, yaitu perasaan takut menjadi tua.
Pada umumnya beberapa perubahan diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua
atau jaminan hari tua, namun dikenyataan sering diartikan sebaliknya, karena
pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan,
peran, kegiatan, status, dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa
6

pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya dan sangat tergantung pada
sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada
yang menerima, takut kehilangan, merasa senang memiliki jaminan hari tua dan
ada juga yang seolah-olah pasrah terhadap pensiun.
Hal ini menunjukkan bahwa aspek mental yang ada pada diri manusia
adalah aspek-aspek yang dapat menentukan sifat dan karakteristik manusia itu
sendiri. Perbuatan dan tingkah laku manusia sangat ditentukan oleh keadaan
jiwanya yang merupaka motor penggerak suatu perbuatan. Oleh sebab itu aspek-
aspek mental tersebut bisa manusia kendalikan melalui proses pendidikan.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Jiwa Lansia
1. Perubahan fisik
a. Sel: jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan
cairan interseluler menurun.
b. Kardiovaskuler: katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa
darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh
darah menurun, serta meningkatnya retensi pembuluh darah perifer
sehingga tekanan darah meningkat.
c. Persarafan: saraf pancaindera mengecil sehingga fungsinya menurun serta
lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan
dengan stres. Berkurang atau hilangnya lapisan mielin akson, sehingga
menyebabkan berkurangnya respon motorik dan reflek.
d. Pendengaran: membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan
pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.
e. Penglihatan: respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap
menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun, katarak.
f. Belajar dan memori: kemampuan belajar masih ada tetapi relatif menurun.
Memori menurun karena proses encoding menurun.
g. Intelegensi: secara umum tidak berubah.
7

2. Kesehatan umum
Keadaan fisik lemah dan tidak berdaya sehingga harus bergantung pada
orang lain. Terjadi banyak perubahan dalam penampilan lansia, seperti pada
bagian kepala dengan rambut yang menipis dan berubah menjadi putih atau
abu-abu, tubuh yang membungkuk dan tampak mengecil, bagian persendian
dengan pangkal tangan menjadi kendur dan terasa berat, sedangkan ujung
tangan tampak mengerut. Selain itu, fungsi pancaindera terjadi perubahan
seperti ada penurunan dalam kemampuan melihat objek, kehilangan
kemampuan mendengar bunyi dengan nada yang sangat tinggi, penurunan
sensitivitas papil-papil pengecap (terutama terhadap rasa manis dan asin),
penciuman menjadi kurang tajam, dan kulit yang semakin kering dan
mengeras menyebabkan indra peraba di kulit semakin peka. Pada
kemampuan motorik, lansia mengalami penurunan kekuatan yang paling
nyata, yaitu pada kelenturan otot-otot tangan bagian depan dan otot-otot
yang menopang tegaknya tubuh, lansia pun cepat merasa lelah. Terdapat
juga penurunan kecepatan dalam bergerak dan lansia cenderung menjadi
kaku. Hal ini menyebabkan sesuatu yang dibawa dan dipegangnya tertumpah
dan jatuh.
3. Lingkungan
Berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti keluarga dan teman. Lansia
tidak jarang merasa emptiness (kesendirian, kehampaan) ketika keluarganya
tidak ada yang memperhatikannya. Selain itu, ketika ada lansia lainnya
meninggal, maka muncul perasaan pada lansia kapan ia akan meninggal.

D. Masalah Kesehatan Jiwa yang Sering Timbul pada Lansia
Masalah kesehatan jiwa yang sering timbul pada lansia yaitu
(Maryam:2008) :


8

1. Kecemasan
Gangguan kecemasan pada lansia adalah berupa gangguan panik, fobia,
gangguan obsesif kondlusif, gangguan kecemasan umum, gangguan stress
akut, gangguan stress pasca traumatik.
Gejala-gejala kecemasan yang dialami lansia adalah sebagai berikut:
a. Perasaan khawatir atau takut yang tidak rasional terhadap kejadian
yang akan terjadi.
b. Sulit tidur sepanjang malam.
c. Rasa tegang dan cepat marah.
d. Sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut/khawatir terhadap
penyakit yang berat, misalnya kanker dan penyakit jantung yang
sebenarnya tidak dideritanya.
e. Sering membayangkan hal-hal yang menakutkan.
f. Merasa panik terhadap masalah yang ringan
Tindakan untuk mengatasi kecemasan pada lansia adalah sebagai
berikut:
a. Cobalah untuk mendapatkan dukungan keluarga dengan rasa kasih
sayang.
b. Bicaralah tentang rasa khawatir lansia dan cobalah untuk menentukan
penyebab mendasar (dengan memandang lansia secara holistik).
c. Cobalah untuk mengalihkan penyebab dan berikan rasa aman dengan
penuh empati.
d. Bila penyebabnya tidak jelas dan mendasar, berikan alas an-alasan
yang dapat diterima olehnya.
e. Konsultasikan dengan dokter bila penyebabnya tidak dapat ditentukan
atau bila telah dicoba dengan berbagai cara tetapi gejala menetap.
2. Depresi
Depresi adalah suatu jenis keadaan perasaan atau emosi dengan
komponen psikologis seperti rasa sedih, susah, merasa tidak berguna, gagal,
9

putus asa dan penyesalan atau berbentuk penarikan diri, kegelisahan atau
agitasi (Afda Wahywlingsih dan Sukamto). Depresi adalah kondisi umum
yang terjadi pada lansia dan alasan terjadinya kondisi ini dapat dilihat pada
saat mengkaji kondisi sosial, kejadian hidup, dan masalah fisik pada lansia.
Memang, depresi sering disalahartikan sebagai demensia. Kemampuan
mental klien dengan depresi tetap utuh, sedangkan pada klien demensia,
terjadi peningkatan kerusakan kognitif.
Terdapat 2 tipe depresi yaitu eksogen atau depresi reaktif dan deprsesi
endogen.
a. Depresi endogen mungkin akan terjadi pada awitan awal dalam
hidupnya. Individu dengan depresi endogen betul-betul dapat
mengalami gangguan mental bahkan mengalami delusi, dan sering kali
mencoba bunuh diri. Bunuh diri adalah pengalaman yang biasa pada
lansia, terutama laki-laki. Oleh karena itu, semua ancaman ini harus
ditangani dengan serius.
b. Klien dengan depresi eksogen biasanya mendapat dukungan yang cukup
pada stuasi depresi, seperti setelah berduka karena kehilangan atau
selama tinggal di rumah sakit. Kadang-kadang dapat dilakukan sesuatu
terhadap penyebab depresi yang dialami lansia yang ketakutan untuk
kembali ke rumah setelah tinggal dirumah sakit. Hal yang dapat
dilakukan adalah dengan memastikan bahwa mereka mendapat cukup
dukungan di rumah.
Penyebab depresi pada lansia:
a. Penyakit fisik
b. Penuaan
c. Kurangnya perhatian dari pihak keluarga
d. Gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular)
10

e. Faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup
banyak lansia yang mengalami peristiwa kehidupan yang tidak
menyenangkan atau cukup berat.
f. Serotonin dan norepinephrine
g. Zat-zat kimia didalam otak (neurotransmitter) tidak seimbang.
Neurotransmitter sendiri adalah zat kimia yang membantu komunikasi
antar sel-sel otak.
Berikut adalah beberapa faktor pencetus depresi pada lansia:
a. Faktor biologis, misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak,
faktor risiko vaskular, kelemahan fisik.
b. Faktor psikologik yaitu tipe kepribadian, relasi interpersonal, peristiwa
kehidupan seperti berduka, kehilangan orang dicintai, kesulitan ekonomi
dan perubahan situasi, stres kronis dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Gejala depresi pada lansia:
a. Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan
yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak rnemberikan kesenangan.
b. Sering mengalami gangguan tidur atau sering terbangun sangat pagi
yang bukan merupakan kebiasaannya sehari-hari.
c. Sering kelelahan, lemas, dan kurang dapat menikmati kehidupan sehari-
hari.
d. Kebersihan dan kerapihan diri sering diabaikan.
e. Cepat sekali menjadi marah atau tersinggung.
f. Daya konsentrasi berkurang. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir
dengan jernih dan untuk mernecahkan masalah secara efektif. Orang
yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk memfokuskan
perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu.
Keluhan umum yang sering terjadi adalah, "saya tidak bisa
berkonsentrasi".
11

g. Pada pembicaraan sering disertai topik yang berhubungan dengan rasa
pesimis atau perasaan putus asa.
h. Berkurang atau hilangnya napsu makan sehingga berat badan menurun.
i. Kadang-kadang dalam pembicaraannya ada kecendrungan untuk bunuh
diri.
Depresi dapat timbul secara spontan ataupun sebagai reaksi terhadap
perubahan-perubahan dalam kehidupan, seperti :
a. Cacat fisik atau mental seperti stroke atau demensia, sehingga menjadi
sangat bergantung pada orang lain;
b. Suasana duka cita;
c. Meninggalnya pasangan hidup.
3. Insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat
mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal serumah.
Perubahan pola tidur dapat berubah tiak bisa tidur sepanjang malam dan
sering terbangun pada malam hari, sehingga lansia melakukan kegiatannya
pada malam hari, sehingga lansia melakukan kegiatannya pada malam hari.
Penyebab insomnia pada lansia adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka
masih semangat sepanjang malam.
b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari.
c. Gangguan cemas dan depresi.
d. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman.
e. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam
hari.
f. Infeksi saluran kemih.



12

4. Paranoid
Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka,
membicarakan, serta berkomplot ingin melukai atau mencuri barang
miliknya
Gejala-gejala Paranoid antara lain:
a. Perasaan curiga dan memusuhi anggota keluarga, teman-teman, atau
orang-orang di sekelilingnya.
b. Lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh orang-
orang di sekelilingnya mencuri atau menyembunyikan barang miliknya.
c. Paranoid dapat merupakan manifestasi dari masalah lain, seperti depresi
dan rasa marah yang ditahan.
Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan paranoid adalah
memberikan rasa aman dan mengurangi rasa curiga dengan memberikan
alasan yang jelas dalam setiap kegiatan. Konsultasikan dengan dokter bila
gejala bertambah berat.
5. Demensia
Demensia ialah kemunduran fungi mental umum, terutama intelegensi,
disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang tidak dapat kembali lagi
(irreversible) (Maramis, 1990). Demensia adalah gangguan progresif kronik
yang dicirikan dengan kerusakan berat pada proses kognitif dan disfungsi
kepribadian serta perilaku (Isaac, 2004). Menurut Roger Watson, demensia
adalah suatu kondisi konfusi kronik dan kehilangan kemampuan kognitif
secara global dan progresif yang dihubungkan dengan masalah fisik.
Demensia senelis merupakam gangguan mental yang berlangsung progresif,
lambat, dan serius yang disebabkan oleh kerusakan organic jaringan otak
(Maryam, 2008)
Berdasarkan penyebabnya, demensia dibagi menjadi tiga jenis.
a. Demensia jenis Alzheimer yang penyebabnya adalah kerusakan otak
yang tidak diketahui.
13

b. Demensia vaskular (multi-infark) penyebabnya adalah kerusakan otak
karena stroke yang multiple, ditandai dengan gejala-gejala demensia
pada tahun pertama terjadinya gejala neurologik fokal. Klien diketahui
mengalami faktor resiko penyakit vaskuler (misalnya hipertensi, fibrilasi
atrium, diabetes).
c. Jenis demensia yang lain berkaitan dengan kondisi medis umum, seperti
tumor otak, penyakit parkinson, penyakit pick, koreahuntingtown dan
penyakit Creutzfeldt-jakob. Demensia yang disebabkan kondisi-kondisi
tersebut dicatat sesuai penyakitnya yang spesifik.
Adapun gejala-gejala demensia adalah sebagai berikut:
a. Afasia: kehilangan kemampuan berbahasa; kemampuan berbicara
memburuk dan klien sulit "menemukan" kata-kata.
b. Apraksia: rusaknya kemampuan melakukan aktivitas motorik sekalipun
fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
c. Agnosia: kegagalan mengenali atau mengidentifikasi objek atau benda
urnurn walaupun fungsi sensoriknya tidak mengalami kerusakan.
d. Konfabulasi: mengisi celah-celah ingatannya dengan fantasi yang
diyakini oleh individu yang terkena.
e. Sundown sindrom: memburuknya disorientasi di malam hari.
f. Reaksi katastrofik: respon takut atau panik dengan potensi kuat
inenyakiti diri sendiri atau orang lain.
g. Perseveration phenomenon: perilaku berulang, meliputi mengulangi
kata-kata orang lain.
h. Hiperoralitas: kebutuhan untuk mencicipi dan mengunyah benda-benda
yang cukup kecil untuk dimasukkan ke mulut.
i. Kehilangan memori: awalnya hanya kehilangan memori tentang hal-hal
yang baru terjadi, dan akhirnya gangguan ingatan masa lalu.
j. Disorientasi waktu, tempat dan orang.
k. Berkurangnya kemampuan berkonsentrasi atau mempelajari materi baru.
14

l. Sulit mengambil keputusan.
m. Penilaian buruk: individu ini mungkin tidak mempunyai kewaspadaan
lingkungan tentang keamanan dan keselamatan.
Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan demensia adalah
sebagai berikut.
a. Evaluasi secara cermat kemampuan yang maksimal dari lansia dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari kemudian dapat ditentukan jenis
perawatan yang dibutuhkan.
b. Perbaiki lingkungan tempat tinggal untuk menghindari kecelakaan yang
tidak diinginkan.
c. Upayakan lansia tersebut dapat mempertahankan kegiatan sehari-hari
secara optimal.
d. Bantu daya pengenalan terhadap waktu, tempat, dan orang dengan
sering mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan kejadian
dan hal yang pernah terjadi.
6. Skizofrenia
Gangguan jiwa skizofrenia dikutip dalam (http://www.e-psikologi.com)
merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat yang dapat dialami manusia
sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan lebih gawat ketika
muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut perubahan pada segi
fisik, psikologis dan sosial-budaya. Skizofrenia pada lansia angka
prevalensinya sekitar 1% dari kelompok lanjut usia (lansia) (Dep.Kes.1992)
Banyak pembahasan yang telah dikeluarkan para ahli sehubungan
dengan timbulnya skizofrenia pada lanjut usia (lansia). Hal itu bersumber
dari kenyataan yang terjadi pada lansia bahwa terdapat hubungan yang erat
antara gangguan parafrenia, paranoid dan skizofrenia. Parafrenia lambat (late
paraphrenia) digunakan oleh para ahli di Eropa untuk pasien-pasien yang
memiliki gejala paranoid tanpa gejala demensia atau delirium serta terdapat
gejala waham dan halusinasi yang berbeda dari gangguan afektif.
15

Gangguan skizofrenia pada lanjut usia (lansia) ditandai oleh gangguan
pada alam pikiran sehingga pasien memiliki pikiran yang kacau. Hal tersebut
juga menyebabkan gangguan emosi sehingga emosi menjadi labil misalnya
cemas, bingung, mudah marah, mudah salah faham dan sebagainya. Terjadi
juga gangguan perilaku, yang disertai halusinasi, waham dan gangguan
kemampuan dalam menilai realita, sehingga penderita menjadi tak tahu
waktu, tempat maupun orang.
Ganguan skizofrenia berawal dengan keluhan halusinasi dan waham
kejaran yang khas seperti mendengar pikirannya sendiri diucapkan dengan
nada keras, atau mendengar dua orang atau lebih memperbincangkan diri si
penderita sehingga ia merasa menjadi orang ketiga. Dalam kasus ini sangat
perlu dilakukan pemeriksaan tinggkat kesadaran pasien (penderita), melalui
pemeriksaan psikiatrik maupun pemeriksaan lain yang diperlukan. Karena
banyaknya gangguan paranoid pada lanjut usia (lansia) maka banyak ahli
beranggapan bahwa kondisi tersebut termasuk dalam kondisi psikosis
fungsional dan sering juga digolongkan menjadi senile psikosis.
Parafrenia merupkan gangguan jiwa yang gawat yang pertama kali
timbul pada lanjut usia (lansia), (misalnya pada waktu menopause pada
wanita). Gangguan ini sering dianggap sebagai kondisi diantara Skizofrenia
paranoid di satu pihak dan gangguan depresif di pihak lain. Lebih sering
terjadi pada wanita dengan kepribadian pramorbidnya (keadaan sebelum
sakit) dengan ciri-ciri paranoid (curiga, bermusuhan) dan skizoid (aneh,
bizar). Mereka biasanya tidak menikah atau hidup perkawinan dan seksual
yang kurang bahagia, jika punya sedikit itupun sulit mengasuhnya sehingga
anaknyapun tak bahagia dan biasanya secara khronik terdapat gangguan
pendengaran. Umumnya banyak terjadi pada wanita dari kelas sosial rendah
atau lebih rendah.

16

Gangguan skizofrenia sebenarnya dapat dibagi menjadi beberapa tipe,
yaitu :
a. Skizofrenia paranoid (curiga, bermusuhan, garang dsb)
b. Skizofrenia katatonik (seperti patung, tidak mau makan, tidak mau
minum, dsb)
c. Skizofrenia hebefrenik (seperti anak kecil, merengek-rengek, minta-
minta, dsb)
d. Skizofrenia simplek (seperti gelandangan, jalan terus, kluyuran)
e. Skizofrenia Latent (autustik, seperti gembel)


E. Model Keperawatan Jiwa Pada Usia Lanjut
Berikut adalah model keperawatan jiwa pada usia lanjut dikutip dari (Farida,
2012), yaitu:
1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang
apabila ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau
insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego)
untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich),
akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik
intrapsikis terutama pada masa anak-anak..
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas
dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian
mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna
pada masa lalu misalnya (pernah disiksa orang tua, pernah disodomi,
diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa
17

pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik
setelah terjalin trust (saling percaya)
2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety).
Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan
dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut
seseorang didasari adanya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang
sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya
membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal
Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan
dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan
dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan
sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan
oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and
relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa
yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang
mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Social ( Caplan, Szasz)
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau
penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan
yang akan memicu munculnya stress pada seseorang (social and
environmental factors create stress, which cause anxiety and symptom).
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah
environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi
lingkungan dan adanya dukungan sosial)
18

Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien
harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat
melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan
therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di
kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4. Existensial (Ellis, Rogers)
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa
terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya.
Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan
mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya
Prinsip dalam proses terapinya adalah: mengupayakan individu agar
berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang
lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in
relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self
assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in
group), mendorong untuk menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik
atau feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self
and control behavior).
Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta
dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan
mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas
kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui
feed back, kritik, saran atau reward & punishment.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial
dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti:
sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami
banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan
bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti :
19

susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu
mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi
menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat
ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat
ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif,
individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang
ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan
masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping
yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin
hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping
klien yang adaptif.
6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor
yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial.
Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan
diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat
berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur
diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian
terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan
menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.


F. Peran Perawat dalam Keperawatan Jiwa Pada Usia Lanjut
Perawat yang bekerja dengan lansia yang memiliki gangguan kejiwaan harus
menggabungkan keterampilan keperawatan jiwa dengan pengetahuan gangguan
fisiologis, proses penuaan yang normal, dan sosiokultural pada lansia dan
keluarganya. Sebagai pemberi pelayanan perawatan primer, perawat jiwa lansia
20

harus pandai dalam mengkaji kognitif, afektif, fungsional, fisik, dan status
perilaku. Perencanaan dan intervensi keperawatan mungkin diberikan kepada
pasien dan keluarganya atau pemberi pelayanan lain.
Sebagai konsultan, perawat jiwa lansia mengkaji penyediaan perawatan lain
pada lansia untuk mengidentifikasi aspek tingkah laku dan kognitif pada
perawatan pasien. Praktek perawat ahli jiwa lansia yang telah lulus menempuh
pendidikan spesialis di bidang ini dan mungkin akan bekerja di agensi untuk
membantu pegawai dalam menjalankan program terapeutik untuk senior dengan
gangguan psikiatrik atau perilaku. Perawat jiwa lansia harus memiliki
pengetahuan tentang efek pengobatan psikiatrik pada lansia. Mereka dapat
memimpin macam-macam kelompok seperti orientasi, remotivasi, kehilangan
dan kelompok sosialisasi dimana perawat dengan tingkat ahli dapat memberikan
psikoterapi. (http://keperawatanners.wordpress.com)
Dalam sumber lain juga dijelaskan bahwa peran perawat dalam keperawatan
jiwa lansia adalah:
1. Pengkajian yg mempertimbangkan budaya
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
3. Berperan serta dlm pengelolaan kasus
4. Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh
penyakit mental penyuluhan dan konseling
5. Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
6. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan.
(http://muhamadilafifqozwini.wordpress.com)


G. Pendekatan Keperawatan Jiwa Pada Usia Lanjut
Terdapat beberapa prinsip dalam keperawatan jiwa pada usia lanjut, salah
satunya adalah dengan melakukan pendekatan pelayanan kesehatan pada
21

kelompok lanjut usia yang ditekankan dapat mencakup sehat fisik, psikologis,
spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak
akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut usia yang membutuhkan suatu
pelayanan yang komprehensif. Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan
jiwa (mental health) disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan
yang tidak tertuju pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek
psikososial dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah
pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatkan derajat
kesehatan lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh.
a. Pendekatan fisik
Perawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya cedera
sehingga diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti berdiri disamping
klien, menghilangkan sumber bahaya dilingkungan, memberikan perhatian
dan sentuhan, bantu klien menemukan hal yang salah dalam penempatannya,
memberikan label gambar atau hal yang diinginkan klien.
b. Pendekatan Psikologis
Mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada
klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi
dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan
ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak
untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas.
Perawat harus selalu memegang prinsip Tripple, yaitu sabar, simpatik dan
service. Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena
bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi
gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru
terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan,
perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu
siang, dan pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari
22

masa lampau yang membosankan, jangan menertawakan atau memarahi klien
lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan. Harus diingat kemunduran ingatan
jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Bila perawat ingin merubah
tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bila
melakukannya secara perlahanlahan dan bertahap, perawat harus dapat
mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh
pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan
agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
c. Pendekatan Spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungan lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya dalam keadaan
sakit atau mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi
klien lanjut usia yang menghadapi kematian. Seorang dokter mengemukakan
bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh
berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya,
adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia
akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara
dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan
oleh persoalan keluarga, perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa
kalaupun keluarga tadi ditinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus
mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
d. Pendekatan Sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi
mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat
bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan
orang lain. Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
23

para lanjut usia untuk mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal
jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur
terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah
sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa
kecemasan. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut
usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan
kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan
komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara
langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.


H. Penerapan proses keperawatan jiwa pada usia lanjut
1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Jiwa Usia Kanjut
a. Pengkajian Pasien Lansia
Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu biologis,
psikologis, dan sosiokultural yang beruhubungan dengan proses penuaan
yang terkadang membuat kesulitan dalam mengidentifikasi masalah
keperawatan. Pengkajian perawatan total dapat mengidentifikasi gangguan
primer. Diagnosa keperawatan didasarkan pada hasil observasi pada
perilaku pasien dan berhubungan dengan kebutuhan.
b. Wawancara
Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat
penting untuk wawancara yang positif kepada pasien lansia. Lansia
mungkin merasa kesulitan, merasa terancam dan bingung di tempat yang
baru atau dengan tekanan. Lingkungan yang nyaman akan membantu
pasien tenang dan focus terhadap pembicaraan.
c. Keterampilan Komunikasi Terapeutik
Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan dan lama wawancara. Berikan waktu yang cukup
24

kepada pasien untuk menjawab, berkaitan dengan pemunduran kemampuan
untuk merespon verbal. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien
sesuai dengan latar belakang sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang
pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir abstrak.
Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan
memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara langsung, duduk
dan menyentuk pasien.
Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data yang
baik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan sumber
dukungan. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda
kepribadian pasien dan distress yang ada. Perawat tidak boleh berasumsi
bahwa pasien memahami tujuan atau protocol wawancara pengkajian. Hal
ini dapat meningkatkan kecemasan dan stres pasien karena kekurangan
informasi. Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan
mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi.
d. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas dan
takut. Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat senyaman
mungkin. Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia
yang sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi atau perubahan
kemampuan penglihatan.
Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi
dengan cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada
keluarga pasien atau orang lain yang sangat mengenal pasien. Perawat
harus memperhatikan kondisi fisik pasien pada waktu wawancara dan
faktor lain yang dapat mempengaruhi status, seperti pengobatan media,
nutrisi atau tingkat cemas.


25

e. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa lansia
karena beberapa hal termasuk :
1) Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
2) Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
3) Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
4) Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan
keterbatasan kognitif .
f. Status Afektif
Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting.
Kebutuhan termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit,
khususnya pada leher, kepala, punggung atau perut dengan sejarah
penyebab fisik. Gejala lain pada lansia termasuk kehilangan berat badan,
paranoia, kelelahan, distress gastrointestinal dan menolak untuk makan
atau minum dengan konsekuensi perawatan selama kehidupan.
Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa penyakit
yang berhubungan dengan depresi diantaranya gangguan tiroid, kanker,
khususnya kanker lambung, pancreas, dan otak, penyakit Parkinson, dan
stroke. Beberapa pengobatan da[at meningkatkan angka kejadian depresi,
termasuk steroid, Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive.
Skala Depresi Lansia merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid
untuk mengukur depresi.
g. Respon Perilaku
Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam
perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku merupakan
gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan mental. Jika mungkin,
pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi lingkungan rumah. Hal ini
menjadi modal pada faktor lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan
pada lansia.
26

Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah
laku, frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers. Ketika
terjadi perubahan perilaku, ini sangat penting untuk dianalisis.
h. Kemampuan fungsional
Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator
dalam kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam
pengkajian fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa dan
emosi.
i. Mobilisasi
Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi kesehatan
pribadi lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan lansia untuk
berpindah di lingkungan, partisipasi dalam aktifitas penting, dan
mamalihara hubungan dengan orang lain. Dalam mengkaji ambulasi ,
perawat harus mengidentifikasi adanya kehilangan fungsi motorik, adaptasi
yang dilakukan, serta jumlah dan tipe pertolongan yang dibutuhkan.
Kemampuan fungsi
j. Activities of Daily Living
Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat penting
dalam menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL ( mandi,
berpakaian, makan, hubungan seksual, dan aktifitas toilet) merupakan tugas
dasar. Hal ini sangat penting dalam untuk membantu pasien untuk mandiri
sebagaimana penampilan pasien dalam menjalankan ADL.
k. The Katz Indeks
Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen untuk
setiap ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat , dan
makan. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk
mengukur perubahan fungsi ADL setiap waktu, yang diakhiri evaluasi dan
aktivitas rehabilisasi.

27

l. Fungsi Fisiologis
Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia karena
interaksi dari beberapa kondisi kronis, adanya deficit sensori, dan frekuensi
tingkah laku dalam masalah kesehatan jiwa. Prosedur diagnostic yang
dilakukan diantaranya EEG, lumbal; funksi, nilai kimia darah, CT Scan dan
MRI. Selain itu, nutrisi dan pengobatan medis juga harus dikaji.
m. Nutrisi
Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan atau
rencana nutrisi diet. Pasien lansia yang memiliki masalah psikososial
memiliki kebutuhan pertolongan dalam makan dan monitor makan.
Perawat harus secara rutin mengevaluasi kebutuhan diet pasien. Pengkajian
nutrisi harus dikaji lebih dalam secara perseorangan termasuk pola makan
rutin, waktu dalam sehari untuk makan, ukuran porsi, makanan kesukaan
dan yang tidak disukai.
n. Pengobatan Medis
Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan harus
dikaji yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan, komorbiditas.
o. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya
Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol dan zat-
zat berbahaya beresiko mengalami peningkatan kecemasan dan gangguan
kesehatan lainnya apabila mengalami kehilangan dan perubahan peran
yang signifikan. Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya lainnya
oleh seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti kehilangan
dan kesepian.
p. Dukungan Sosial
Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan sejahtera
sepanjang kehidupan, khususnya untuk pasien lansia. Latar belakang
budaya pasien merupakan faktor yang sangat penting dalam
mengidentifikasi support system. Perawat harus mengkaji dukungan sosial
28

pasien yang ada di lingkungan rumah, rumah sakit, atau di tempat
pelayanan kesehatan lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu dalam
mengurangi shock dan stres di rumah sakit.
q. interaksi Pasien- Keluarga
Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan tingginya
harapan hidup untuk semua wanita yang berakibat pada kemampuan
keluarga untuk berpartisipasi dalam pemberian perawatan dan dukungan
kepada lansia. Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk
berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia kemungkinan
hasil dari ketiakmampuan keluarga untuk menerima kehilangan dan
peningkatan kemandirian pada anggota keluarga yang sudah dewasa.

2. Diagnosa Keperawatan
Berikut adalah beberapa dari diagnosa yang biasa ada pada asuhan
keperawatan jiwa pada pasien lansia.
a. Potensial suicide, sehubungan dengan harga diri rendah, ditandai denggan
isolasi sosial, penurunan kekuatan dan ketahanan.
b. Gangguan konsep diri sehubungan dengan proses ketuaan ditandai
dengan kulit keriput, gigi ompong, penurunan penglihatan, penurunan
pendengaran dan kelemahan fungsi fisik.
c. Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi
kegagalan pada peristiwa-peristiwa kehidupan.
d. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan
sistem saraf; kehilangan memori; ketidakseimbangan tingkah laku adaptif
dan kemampuan memecahkan masalah.
e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.
f. Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien;
keyakinan kesehatan,nilai spiritual, pengaruh kultural.

29

3. Rencana keperawatan
a. Potensial suicide, sehubungan dengan harga diri rendah, ditandai denggan
isolasi sosial, penurunan kekuatan dan ketahanan.
Tujuan : bunuh diri dapat dihindari.
Intervensi :
1) Memberikan motivasi pada klien
Rasional: untuk mempertahankan kemampuannya
2) Jauhkan dari barang yang membahayakan
Rasional untuk menghindarkan dari adanya cidera fisik yang
mungkin terjadi
3) Lakukan pendekatan pada pasien
Rasional: terbina hubungan saling percaya dan dapat memudahkan
dalam intervensi selanjutnya
4) Beri support pada pasien untuk pendekatan religious
Rasional: memberi ketenangan pada klien
b. Gangguan konsep diri sehubungan dengan proses ketuaan ditandai
dengan kulit keriput, gigi ompong, penurunan penglihatan, penurunan
pendengaran dan kelemahan fungsi fisik.
Tujuan : konsep diri positif.
Intervensi :
1) Berikan motivasi tentang perubahan fisik yang terjadi
Rasional: klin dapat memahami perubahan dan mempertahankan
konsep diri yang positif
2) Ajarkan pasien komunikasi non verbal
Rasional: klien dapat lenih mudah mengungkapkan perasaannya
30

3) Kolaborasi dokter untuk pemasangan alat bantu dengar/penglihatan
Rasional: meningkatkan harga diri dan mempertahankan konsep diri
yang positif
4) Kolaborasi dokter gigi untuk pemasangan gigi palsu
Rasional: meningkatkan harga diri dan mempertahankan konsep diri
yang positif

c. Harga diri rendah berhubungan dengan merasakan/mengantisipasi
kegagalan pada peristiwa-peristiwa kehidupan.
Tujuan : Klien mampu mencapai kembali harga diri terdahulu yang
positif.
Intervensi :
1) Dorong pengungkapan perasaan, menerima apa yang dikatakannya.
Rasionalnya: membantu pasien/orang terdekat untuk memulai
menerima perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan
fungsi/gaya hidup.
2) Bantu pasien dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-
hal tersebut mungkin di perlukan untuk dilepaskan atau dirubah.
Rasionalnya: memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan
konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan; meningkatkan orientasi
realita.
3) Berikan informasi dan penyerahan ke sumber-sumber komunitas.
Rasionalnya: memungkinkan pasien untuk berhubungan dengan grup
yang diminati dengan cara yang membantu dan perlengkapan
pendukung, pelayanan dan konseling.
d. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan
sistem saraf; kehilangan memori; ketidakseimbangan tingkah laku adaptif
dan kemampuan memecahkan masalah.
31

Tujuan : Klien mampu mencapai kembali harga diri terdahulu yang
positif.
Intervensi :
1) Kaji munculnya kemampuan koping positif, misalnya penggunaan
teknik relaksasi keinginan untuk mengekspresikan perasaan.
Rasionalnya: jika individu memiliki kemampuan koping yang
berhasil dilakukan dimasa lampau, mungkin dapat digunakan
sekarang untuk mengatasi tegangan dan memelihara rasa kontrol
individu.
2) Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin dimiliki pasien
Rasionalnya: membantu mengidentifikasi dan membenarkan persepsi
realita dan memungkinkan dimulainya usaha pemecahan masalah.
e. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional/maturasional.
Tujuan : untuk mengurangi tingkat ansietas
Intervensi :
1) Pahami rasa takut/ansietas
Rasionalnya: perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk
terbuka sehingga dapat mendiskusikan dan menghadapinya.
2) Kaji tingkat realita bahaya bagi pasien dan tingkat ansietas.
Rasionalnya: respon individu dapat bervariasi tergantung pada pola
kultural yang dipelajari. Persepsi yang menyimpang dari situasi
mungkin dapat memperbesar perasaan.
3) Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa yang terjadi saat ini dan
apa yang telah terjadi untuk mengantisipasi perasaan tidak tertolong
dan ansietas.
Rasionalnya: menyediakan petunjuk untuk membantu pasien dalam
mengembangkan kemampuan koping dan memperbaiki ekuilibrium.
32

f. Ketidakpatuhan berhubungan dengan sistem penghargaan pasien;
keyakinan kesehatan,nilai spiritual, pengaruh kultural.
Tujuan : untuk meningkatkan tingkat kepatuhan
Intervensi :
1) Tentukan kepercayaan kultural, spiritual dan kesehatan.
Rasionalnya: memberikan wawasan mengenai pemikiran/faktor-
faktor yang berhubungan dengan situasi individu. Kepercayaan akan
meningkatkan persepsi pasien tentang situasi dan partisipasi dalam
regimen keperawatan.
2) Kaji sistem pendukung yang tersedia bagi pasien.
Rasionalnya: adanya keluarga/orang terdekat yang
memperhatikan/peduli dapat membantu pasien dalam proses
penyembuhan.

Selain beberapa diagnosa diatas juga terkadang ditemukan diagnosa
keperawatan lain, yaitu:
a. Isolasi social berhubungan dengan rasa curiga.
Tujuan umum (TUM): Klien tidak mengisolasi diri lagi
Tujuan khusus (TUK)
TUK 1:Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria evaluasi: Ada kontak mata,ekspresi wajah ramah,klien
mau duduk berdampingan dengan perawat,mau mengutarakan
masalah yang dihadapi.
Intervensi:
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik
b. Sapa klien dengan ramah secara vernal maupun non verbal
c. Jelaskan tujuan pertemuan kepada klien dengan jelas
33

d. Tujuan sikap empati dan penuh perhatian
e. Terima klien apa adannya,hargai privacy klien
TUK II: Klien dapat mengenal perasaan curigannya
Kriteria hasil:Klien dapat menyatakan penyebab perasaan
curigannya
Intervensi:
a. Diskusikan dengan klien cara mengungkapkan perilaku: apa
alasan klien selalu menghindar bila disapa oleh perawat
b. Tunjukan komunikasi yang jujur dan respon prilaku klien.
TUK III: Gali bersama klien penyebab rasa curiga
Berikut adalah beberapa contoh Strategi Pelaksanaan jiwa pada lansia:
No Diagnosa Strategi Pelaksanaan
1 Gangguan proses
pikir; pikun
SP 1 p
1. Mengorientasikan
waktu, tempat, dan orang
di sekitar pasien
2. Membimbing
memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

SP 2
1. Melatih pasien
dalam perawatan diri
2. Membimbing
memasukkan dalam
SP 1 k
1. Menjelaskan
masalah demensia
pada lansia
2. Menjelaskan
cara perawatan lansia
demensia
3. Melatih
keluarga merawat
lansia dengan
demensia

SP 2 k
34

jadwal kegiatan harian 1. Mengevaluasi
perawatan yang
dilakukan oleh
keluarga terhadap
lansia
2.
Mengidentifikasi
kendala yang dihadapi
3. Mencari solusi
cara perawatan yang
lebih efektif
4. Mendorong
keluarga menerapkan
solusi yang telah
ditetapkan
5. Mendiskusikan
sumber rujukan yang
bisa dijangkau oleh
keluarga
2 Resiko bunuh diri SP I p
1. Mengidentifikasi
benda-benda yang dapat
membahayakan pasien
2. Mengamankan
benda-benda yang dapat
membahayakan pasien
3. Melakukan
kontrak treatment
SP I k
1. Mendiskusikan
masalah yang
dirasakan keluarga
dalam merawat pasien
2. Menjelaskan
pengertian, tanda dan
gejala risiko bunuh
diri, dan jenis perilaku
35

4. Mengajarkan cara
mengendalikan dorongan
bunuh diri
5. Melatih cara
mengendalikan dorongan
bunuh diri

SP II p
1. Mengidentifikasi
aspek positif pasien
2. Mendorong pasien
untuk berfikir positif
terhadap diri
3. Mendorong pasien
untuk menghargai diri
sebagai individu yang
berharga
SP III p
1. Mengidentifikasi
pola koping yang biasa
diterapkan pasien
2. Menilai pola
koping yang biasa
dilakukan
3. Mengidentifikasi
pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong pasien
bunuh diri yang
dialami pasien beserta
proses terjadinya
3. Menjelaskan
cara-cara merawat
pasien risiko bunuh
diri

SP II k
1. Melatih
keluarga
mempraktekkan cara
merawat pasien
dengan risiko bunuh
diri
2. Melatih
keluarga melakukan
cara merawat
langsung kepada
pasien risko bunuh
diri

SP III k
1. Membantu
keluarga membuat
jadual aktivitas di
rumah termasuk
minum obat
36

memilih pola koping
yang konstruktif
5. Membimbing
memasukkan dalam
kegiatan harian
SP IV p
1. Membuat rencana
masa depan yang realistis
bersama pasien
2. Mengidentifikasi
cara mencapai rencana
masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan
pasien melakukan
kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang
realistis
2. Mendiskusikan
sumber rujukan yang
bisa dijangkau
keluarga
37

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur (usia 60 tahun ke atas)
pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya.
Sedangkan Psikogeriatri adalah ilmu yang mempelajari gangguan
psikologis/psikiatrik pada lansia. Orang yang berusia lanjut memiliki beberapa
tugas perkembangan yang harus dilalui dalam kurun waktu ia menjadi lansia juga
faktor-faktor dan aspek yang mempengaruhi jiwanya. Jika ia tidak bisa
beradaptasi, tidak memiliki koping yang baik maka bisa saja beberapa masalah
kejiwaan dapat timbul dalam diri seorang lansia.
Seorang perawatpun memiliki peran penting dalam perawatan jiwa pasien
yang berusia lanjut. Perawat yang bekerja dengan lansia yang memiliki
gangguan kejiwaan harus menggabungkan keterampilan keperawatan jiwa
dengan pengetahuan gangguan fisiologis, proses penuaan yang normal, dan
sosiokultural pada lansia dan keluarganya. Sebagai pemberi pelayanan perawatan
primer, perawat jiwa lansia harus pandai dalam mengkaji kognitif, afektif,
fungsional, fisik, dan status perilaku. Perencanaan dan intervensi keperawatan
mungkin diberikan kepada pasien dan keluarganya atau pemberi pelayanan
lain.Hal ini harus dilakukan dengan baik agar walaupun diusia senja, para lansia
masih bisa hidup dengan baik dan memiliki jiwa yang sehat.





38

DAFTAR PUSTAKA


Anonim
1
.2012.Keperawatan Jiwa Pada Lansia.
(http://keperawatanners.wordpress.com diakses tanggal 20 Maret 2014)
Anonim
2
.2013.Keperawatan Jiwa (http://muhamadilafifqozwini.wordpress.com)
diakses tanggal 20 Maret 2014)
Departemen Kesehatan RI.2003. Pedoman Pengelolaan: Kegiatan Kesehatan di
Kelompok Usia Lanjut. Edisi ke-2. Jakarta.
Isaac, Ann.2004.Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan
Psikiatri.Jakarta: EGC
Kartono, Kartini. 1987.Kamus Psikologi.Bandung: Pionir Jaya
Kuntjoro, Zainuddin Sri.2002. Mengenal Gangguan Jiwa Pada lansia. (http://www.e-
psikologi.com diakses tanggal 16 Maret 2014)
Kurniadi, Rizki.2012. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Jiwa.
(http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com diakses tanggal 20 Maret
2014)
Kusumawati, Farida dan Yudi Hartono.2012.Buku Ajar Keperawatan Jiwa Cetakan
Ke -3. Jakarta: Salemba Medika
Maramis, W.E.1990.Ilmu Kedokteran Jiwa.Surabaya: Air Langga Press
Maryam, R. Siti, dkk. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa.1991.Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-
2.Jakarta:Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai