Anda di halaman 1dari 3

Belajar dari Nigeria

Oleh: Binny Buchori


Pertemuan regional tingkat menteri Asia Pasifik mengenai Millenium
Development Goals digelar 3-5 Agustus. Pertemuan membicarakan pentingnya
penghapusan utang sebagai sumber pembiayaan untuk pencapaian MDGs bagi
kawasan Asia Pasifik, terutama bagi negara-negara miskin di Asia, seperti
disampaikan Jomo K Sundaram, Assistant Secretary General for Economic
Devlopment, United Nations Department of Economic and Social Affairs.
Menarik dicermati, Pemerintah Indonesia segera menyatakan, Indonesia tidak
akan meminta penghapusan utang, tetapi akan menjajaki konversi utang untuk
pembiayaan MDGs atau debt swap. Argumen yang diajukan mengulang lagi alasan
lama, Indonesia tidak miskin; Indonesia tidak memiliki kebijakan penghapusan
utang luar negeri. Alasan lain, penghapusan utang membuat Indonesia dikucilkan
dan membuat investor lari.
Pertanyaannya, apakah Indonesia memiliki cukup dana untuk menghapus
kemiskinan? Bila ya, mengapa alokasi anggaran selalu lebih besar untuk
membayar utang daripada membiayai pendidikan dan kesehatan? Benarkah
Indonesia akan menghadapi penalty dari dunia internasional bila mengambil
langkah negosiasi untuk pemotongan utang?
Melihat Nigeria
Mari melihat kasus Nigeria. Tanpa melalui program IMF, tanpa dikucilkan, Nigeria
mendapat potongan utang 15,5 miliar dollar AS, atau 67 persen dari total stock
utang melalui Paris Club pada 30 Juni 2005. Dengan potongan utang ini, Nigeria
mampu membiayai pendidikan untuk 3,5 juta anak dan menggaji 120.000 guru
baru (Helen Kersley, Ann Pettifor, Janet Bush, What does the Paris Club Mean
for Nigeria, Newstartnigeria & Advocacy International, Juli 2005).
Penghapusan utang Nigeria ini amat istimewa dan penting karena mematahkan
mitos tentang penghapusan utang. Kenyataan bahwa Paris Club (kelompok
negara-negara kreditor) mengumumkan penghapusan utang untuk Nigeria,
memberi garansi, Nigeria tidak dikucilkan, tetapi dianggap patut dan pantas
menerima perlakuan ini.
Perlakuan kreditor terhadap Nigeria patut ditulis dalam sejarah karena Nigeria
tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan kreditor untuk mendapatkan
penghapusan utang. Kreditor selama ini menetapkan beberapa persyaratan cukup
berat untuk penghapusan utang. Syarat itu antara lain, pertama, harus masuk
kategori highly indebted poor country (HIPC) dengan indikator rasio net present
value utang (NPV) terhadap ekspor melebihi 150 persen. Kedua, menjalankan
program IMF, melalui Letter of Intent (LOI), terfokus pada tiga hal utama:
privatisasi, liberalisasi perdagangan dan keuangan, serta deregulasi. Ketiga, masuk
kategori negara yang hanya menerima utang tanpa bunga dari Bank Dunia melalui
International Development Assistance (IDA).
Satu pun persyaratan itu tidak dimiliki Nigeria. Kreditor tidak pernah memasukkan
Nigeria dalam kategori HIPC dan tidak memasukkan Nigeria dalam kategori
IDA recipient only.
Selain itu, Nigeria tidak melaksanakan program IMF sehingga tidak terikat Letter
of Intent (IMF). Untuk pemulihan ekonomi, Nigeria melaksanakan program
National Economic Empowerment and Development Strategy (NEEDS) yang fokus
pada penghapusan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan mendorong
kesejahteraan.
Program NEEDS juga menelurkan reformasi sektor publik, penghapusan korupsi,
serta pemantauan penggunaan anggaran untuk penghapusan kemiskinan (Helen
Kersley, Ann Pettifor, Janet Bush, "What does the Paris Club Mean for Nigeria,
Newstartnigeria & Advocacy International, Juli 2005).
Bukan utopia
Dengan tidak dipenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan kreditor, seharusnya
Nigeria tidak bisa masuk perundingan Paris Club, apalagi mendapat skema Napoli.
Dengan total utang kepada Paris Club 31 miliar dollar AS dan tunggakan enam
miliar dollar AS, Nigeria amat sulit mencapai tujuan MDGs.
Kewajiban Nigeria membayar tiga miliar dollar AS per tahun kepada Paris Club
menyebabkan negara ini tak mampu beri layanan publik yang layak. Akibatnya,
kurang dari 60 persen anak tak bisa menikmati pendidikan.
Apakah Pemerintah Nigeria berpangku tangan dan pasrah pada nasib? Tidak.
Dengan kerja politik di tingkat internasional, Presiden Obasanjo berhasil
mendapat dukungan dari Inggris, kreditor terbesar Nigeria, untuk memasukkan
Nigeria dalam kategori IDA only. Nigeria juga sepakat IMF bisa memantau
NEEDS. Inilah yang menyebabkan Nigeria mendapat pemotongan utang dari Paris
Club.
Sama seperti Nigeria, Indonesia juga tidak memenuhi persyaratan untuk
mendapat pengurangan utang. Namun, berbeda dengan Nigeria, Indonesia
tampaknya menyerah saja pada peraturan kreditor. Padahal, dengan kewajiban
membayar utang kepada Paris Club tujuh miliar dollar AS per tahun, Indonesia
mengorbankan belanja pendidikan dan kesehatan.
Indonesia semestinya bisa belajar dari Nigeria. Dengan komitmen untuk
menyejahterakan rakyat, dengan visi ke depan, serta keberanian berjuang,
penghapusan utang bukanlah utopia.
Binny Buchori Direktur Eksekutif PraKarsa
URL Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/08/opini/1951930.htm
________________________________________
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 08 Agt 05
Catatan: -
________________________________________
URL Artikel :
http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=5285&coid=1&caid=24
Copyright 2005 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Anda mungkin juga menyukai