Anda di halaman 1dari 6

Etika Bisnis Orang Wajo dan Orang China

Orang Wajo merupakan bagian dari rumpun suku Bugis sebagai salah satu dari
empat suku lainnya di provinsi Sulawesi Selatan yakni Toraja, Makassar dan
Mandar, hingga kini tergolong patron budaya yang tetap defensif terhadap etika
bisnis dan kewirausahaan yang telah dikenal jauh sebelum masa sekarang.

Fenomena sosial budaya dari kehidupan masyarakat yang memiliki etika bisnis
tersebut, sangat menarik untuk dikaji lebih dalam terutama melalui teori
antropologi sosial. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh gambaran tentang
nuansa-komparatif dari eksistensi orang Wajo dalam perbandingannya dengan
orang China.

Membandingkan kepiawaian orang Wajo dengan kepandaian dalam berbisnis serta


mengembangkan kewirausahaan, akan diperoleh suatu deskripsi mengenai
persamaan dan perbedaannya. Bahkan berbagai keunggulan masing masing dalam
dunia bisnis, akan menjadi ciri dan karakteristik dalam bidang ekonomi yang
dimiliki. Orang Wajo menjalankan aktivitas usahanya karena memperoleh inspirasi.
dari kebiasaan para pendahulu mereka.

Dalam pandangan orang Wajo raja-rajanya dahulu telah mengukir berbagai


keberhasilan, sehingga nilai-nilai. yang melekat pada diri rajanya, akan menjadi
sumber pelajaran. Sikap patuh pada warisan kultural leluhur tersebut, pada
gilirannya memperkuat etnisisme, loyalitas afiliatif, ikatan sosio-kultural dan
emosional sekaligus tampil sebagai kekuatan penggugah atau motor pengerak.

Sama seperti orang Wajo, orang China baik usahawan maupun birokrat pun
mendapat inspirasi dari leluhur mereka terutama ajaran etika dari Kong Hu Chu.
Kearifan besar inilah yang menjadi dasar pemikiran dan tingkah laku orang China di
seluruh daratan Asia hingga sekarang. Orang China selalu yakin bahkan rasa
kasihan pada manusia dan kebajikan bersama dengan kebiasaan etiket yang
diajarkan oleh Kong Hu Chu, adalah dasar yang tepat buat semua hubungan
dagang.
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa baik orang Wajo maupun orang
China mengembangkan usaha berdasarkan kebiasaan dan keberhasilan para
pendahulu mereka.

Dalam pengertian lain bahwa kedua etnis ini masih memiliki ikatan etnisisme, sosio-
kultural dan emosional yang sangat kuat dengan orang-orang yang pernah sukses
di masa lalu. Berbagai ikatan klasik yang masih dipegang dan dianut hingga
sekarang, pada gilrannya semakin diperkuat oleh kecenderungan mencontoh atau
meneladani kebiasaan seseorang yang ditokohkan.

Sebagaimana ungkapan lama “ala biasa karena biasa", demikianlah


kecenderungan orang Wajo dan juga orang China menanamkan kebiasaan berbisnis
pada anak-anak mereka sejak usia dini. Proses pembentukan bakat ini dimulai dari
hal-hal yang paling sederhana dan berhubungan dengan profesi apa saja tidak
menjadi persoalan sepanjang itu memiliki muatan bisnis di dalamnya.

Efek progresif dari proses pembiasaan dalam berbisnis baik di kalangan orang Wajo
maupun orang China bagi sang anak, pada gilirannya akan menciptakan generasi
yang mandiri. Dapat dipastikan bahwa kebiasaan hidup mandiri yang ditanamkan
sejak awal, akan membawa efek positif yakni akan lahir kelak generasi yang
profesional dan memiliki bakat yang memadai dalam dunia usaha (bisnis).

Meskipun demikian, rupanya ada efek lain yang ditimbulkan kemudian yakni
lahirnya kecenderungan memilih dunia bisnis sebagai jalan hidup, sebaliknya
keengganan untuk menuntut ilmu pada lembaga pendidikan pada jenjang yang
lebih tinggi menjadi sikap mereka.

Di kalangan orang Wajo dikenal sebuah budaya bernama siri, yang dalam tataran
praktis dan implementasinya mengandung makna filosofis yang berhubungan
dengan etos kerja. Istilah siri telah banyak ditafsirkan oleh para peneliti seperti
dipadankan dengan kaya malu, (beachaamd), takut (achroomvalling), malu-malu
(verlegent), kehormatan (eergovoel), aib (schande), dan dengki (wangusnt).

Dalam konteks yang lebih luas siri berarti manifestasi budaya dalam hal martabat
dan harga diri manusia dalam kehidupan kemasyarakatan. Demikian penting dan
berharganya siri tersebut sehingga eksistensi sebagai manusia ditentukan oleh siri
ini dan bagi mereka yang tidak memilikinya tidak lebih hanya sebagai hewan.
Sebagaimana pernyataan : "Only with siri are we called human, if we have not siri
we are not human. That's called, human inform only and the person who is without
siri ' is not different from an animal ".

Di kalangan orang Wajo konsep siri secara fungsional merupakan sumber motivasi
dan pendorong untuk mengubah, membangun dan memperbaiki nasib individu
ataupun kelompok secara kolektif. Jika dihubungkan dengan etos kerja, maka siri
yang diinterpretasikan sebagai kehormatan, harga diri dan martabat secara
otomatis menjadi kekuatan yang maha dahsyat dalam memberi spirit dan motivasi
kepada seseorang dalam bekerja.

Dalam formulasi yang agak berbeda, orang China justru menekankan pentingnya
tanggung jawab seseorang baik pada diri sendiri dan yang terpenting adalah
mengangkat harkat dan martabat keluarga. Karena itu, yang mendorong mereka
gemar bekerja dan berusaha disebabkan karena di atas pundak mereka ada
sebongkah tanggung jawab yang diembannya. Solusi alternatif untuk memenuhi
tanggung jawab tersebut adalah kerja keras, sekaligus demi persiapan di masa
depan.

Bagi orang Wajo yang umumnya menganut agama Islam, semangat berusaha,
berbisnis, dan kerja sama serta berbagai aspek bernilai finansial lainnya, dapat
dipastikan merupakan refleksi dari sistem ekonomi berdasarkan perspektif Islam.
Pengaruh ajaran agama Islam secara fundamental, juga sangat besar pengaruhnya
terhadap berkembangnya jenis usaha seseorang. Katakanlah predikat haji bagi
seseorang itu dipandang istimewa, otomatis dorongan untuk meraih prestise sosial
itu akan mendorong seseorang bekerja giat dalam mengembangkan usaha.

Di kalangan orang China pun tidak banyak berbeda, di mana ajaran Kong Hu Chu
hingga sekarang masih menjadi way of life termasuk dalam hal kegiatan
perdagangan sekalipun. Kenyataan tersebut terbukti melalui ajaran Kong Hu Chu
seperti ungkapan: "pikiran kita terletak di sebelah kiri, sementara kantong kita
terletak di sebelah kanan". Makna filosofis dari statement itu yakni anjuran
menggunakan pikiran dalam melakukan aktivitas usaha untuk memenuhi kantong
tadi.
Kemampuan membaca peluang bisnis dalam dunia usaha secara fundamental,
telah menjadi ciri dan karakteristik orang Wajo sejak dulu. Karena itu, tidak
mengherankan jika jaringan kerja atau usaha seolah terbentuk dengan mudahnya
dalam waktu yang relatif singkat. Kemampuan membaca peluang tersebut tentu
saja ditentukan oleh faktor seperti kemauan keras, keberanian menanggung risiko,
dan kecenderungan selalu menganggap hidup sebagai tantangan.

Semangat atau spirit seperti itu, menyebabkan seseorang atau kelompok orang
yang aktif dalam hal pengembangan usaha mampu membaca peluang yang ada.
Peluang tersebut umpamanya menjadikan bantuan keluarga sebagai modal,
bantuan famili sesama suku, modal dasar atau warisan, mengawinkan keluarga dan
mendekatkan rumpun.

Kecenderungan seperti itu juga dimiliki oleh orang China, ditandai oleh
kecenderungan mereka mengembangkan jaringan usaha sesamanya dan jika
memungkinkan keluarga dekatnya. Kemudian dalam tataran yang lebih luas
kemampuan membaca peluang juga tampak pada kebiasaan mereka menggaet
langganan dengan modus menjual murah barang dengan keuntungan tipis tapi
lancar.

Falsafah dan prinsip hidup orang Wajo berdasarkan konsep siri, pada dasarnya
dapat dianggap sebagai modal utama untuk bekerja atau mengembangkan usaha
sekaligus merupakan wujud implementasi tanggung jawab yang diembannya. Ada
sebuah prinsip yang dijadikan sebagai modal utama bagi langgengnya solidaritas
mekanik di kalangan orang Wajo yakni "sejelek-jelek keluarga, suku dan berbagai
produk yang berasal dari kita akan tetap menjadi tanggung jawab yang harus
dipikul bersama".

Konsekuensi logis yang ditimbulkan oleh landasan filosofis tersebut, yakni lahirnya
kecenderungan mengutamakan keluarga, suku untuk jabatan publik, menentukan
mitra dagang, mitra usaha dan yang tidak kalah pentingnya yakni mempertahankan
simbol dan atribut kebugisan.

Sebagaimana yang berlaku umum pada semua etnis, orang Wajo dan orang China
pun mengembangkan jaringan kerja (network) dalam dunia usaha melalui dua
macam strategi. Strategi yang pertama, sifatnya pengembangan ke dalam
(internal) yakni mengembangkan jaringan kerja sebatas di lingkungan sesama
etnis, sedangkan strategi kedua sifatnya pengembangan ke luar (eksternal) yakni
mengembangkan usaha lebih luas di lingkungan luar etnis (lintas etnis atau
daerah).

1. Jaringan Sesama Etnis

Kecenderungan menjadikan rekan se-etnis sebagai jaringan kerja, memang


merupakan sebuah fenomena wajar yang sulit dipisahkan dengan dinamika
perkembangan ekonomi suatu masyarakat secara mikro maupun makro yang
menyangkut persoalan negara. Hal ini disadari mengingat proses interaksi sosial
antar individu pada suatu masyarakat dalam kategori sederhana berasal dan
berawal dari lingkungan sendiri.

Barulah kemudian berkembang ke luar (lintas etnis) seiring dengan dinamika


kemajuan ekonomi, ketika disadari bahwa semakin luas jaringan kerja maka
semakin besar pula peluang meraih keuntungan yang lebih tinggi.

Jaringan kerja melului modus operandi ke dalam atau sesama etnis, dari dulu
hingga sekarang masih menjadi kecenderungan bahkan kebiasaan yang telah
mentradisi di kalangan orang Wajo. Tendensi ini pada dasarnya dilatari oleh ikatan
sosio-kultural yang masih kental, ikatan etnisitas yang masih kokoh dan ikatan
emosional yang masih mengakar.

Kebiasaan orang Wajo menjadikan rekan bisnis berdasarkan identitas etnis


tersebut, pada dasarnya juga berlaku bagi orang China baik di negara mereka
sendiri maupun bagi perantau yang hidup dan mengembangkan usaha di negeri
orang lain.

Kenyataan seperti ini masih didapati dan sering disaksikan dalam kehidupan
mereka di Makassar berupa kebiasaan memberi bantuan, baik modal usaha seperti
uang dan barang, maupun modal pemikiran tentang strategi mengembangkan
usaha ataupun peluang pengembangan jaringan kerja (usaha).

Menganalisa tendensi ini dengan menggunakan. hampiran teori sosiokultural, maka


dapat diketahui bahwa faktor penyebabnya berasal dari ajaran Kong Hu Chu yang
masih dianut secara hirarkis dan dipraktikkan secara turun-temurun di kalangan
orang China hingga sekarang.

Fanatisme kental terhadap ajarannya yang menyangkut pentingnya rasa belas


kasihan dan tolong-menolong bagi sesama juga dalam hubungan dagang, oleh
orang-orang China ditafsirkan sebagai anjuran untuk kerja sama dalam berbagai hal
termasuk dalam bidang pengembangan usaha.

Karena mereka berada dalam konteks dan konsep yang sama yakni doktrin Kong
Hu Chu, maka dalam tataran implementasi atau penjabaran ajaran tersebut
dijadikan sebagai landasan filosofis dan dasar perilaku di bidang ekonomi. emilih
jalur seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai