JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2014
KEJANG DEMAM KOMPLEKS 1. DEFINISI Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam biasanya terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5 tahun dan tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.
Kejang demam terdiri dari kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum, tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal dan tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut : 1. Kejang lama > 15 menit. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam 2. EPIDEMIOLOGI Kejang demam adalah jenis kejang yang paling sering terjadi pada anak, sekitar 2 5 % dari populasi, pada usia antara 5 bulan dan 5 tahun dengan manifestasi paling sering pada usia 2 tahun3. Insiden di seluruh dunia bervariasi, 5 10 % di India, 8,8 % di Jepang, 14 % di Guam, 0,35 % di Hongkong dan 0,5 1,5 % di Cina. Kejang demam terjadi pada semua ras dan insidennya sedikit lebih predominan pada anak lelaki. Kejang demam kompleks terjadi rata-rata 25 50 % dari seluruh kasus kejang demam. Kejang demam kompleks berhubungan dengan peningkatan risiko kejang demam berulang, kejang demam dengan status epileptikus dan epilepsi.
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Kejang demam sering berhubungan dengan infeksi virus penyebab demam pada anak, seperti herpes simpleks-6 (HHSV-6), Shigella, dan influenza A. Penyakit yang mendasari demam berupa infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Risiko berulangnya kejang demam akan meningkat pada anak dengan riwayat orangtua dan saudara kandungnya juga pernah menderita kejang demam. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana. Kejang demam kompleks berhubungan dengan banyak faktor, seperti gejala klinisnya, infeksi virus, faktor genetik dan metabolik, serta kemungkinan adanya
abnormalitas struktur otak. Gurner et al baru-baru ini berhasil memetakan suatu lokus genetik di kromosom 12 yang berhubungan dengan peningkatan risiko kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks juga memiliki kemungkinan untuk menjadi salah satu gejala adanya infeksi meningitis bakterial akut. 4. PATOFISIOLOGI Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sitem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: 1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 380C sedangkan pada anak denagn ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 400C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejangt lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan antomis di otak hingga terjadi epilepsi.
5. MANIFESTASI KLINIS Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral dan sering berhenti sendiri. Setelah kejang anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.2 Kejang demam kompleks memiliki manifestasi klinis yang berbeda dari kejang demam simpleks, yakni : - Dapat memiliki durasi yang lebih lama (hingga > 15 menit) - Dapat muncul dengan beberapa kali kejang dalam 24 jam - Dapat terjadi kejang lagi pada 24 jam berikutnya - Kejang bersifat fokal, dengan kemungkinan tampilan : - Klonik dan atau tonik - Kehilangan tonus otot sesaat - Dimulai pada salah satu sisi tubuh, dengan atau tanpa generalisasi sekunder
- Gerakan kepala atau mata ke salah satu sisi - Kejang diikuti paralisis unilateral transien (dalam beberapa menit atau jam, kadang-kadang beberapa hari)
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dengan dehidrasi yang disertai demam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah b. Pungsi Lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya meningitis, karena pada bayi kecil manifestasi meningitis cenderung tidak jelas. Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada bayi kurang dari 12 bulan. Pada bayi antara 12-18 bulan dianjurkan, tetapi tidak rutin pada bayi usia > 18 bulan. Bila yakin bukan meningitis secara klinis, pungsi lumbal tidak perlu dilakukan. c. Elektroensefalografi (EEG) EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan EEG ditemukan pada 88% anak yang EEG-nya dilakukan pada hari kejang terjadi, dan 33 % pada tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang.2 EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau perkiraan terjadinya epilepsi pada pasien kejang demam, sehingga EEG ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan. d. Pencitraan Foto rontgen kepala, CT-Scan, atau MRI jarang dikerjakan dan tidak rutin, hanya atas indikasi adanya kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, atau papil edema.1 Suatu penelitian menunjukkan bahwa hasil CT-Scan yang dilakukan pada anak dengan serangan kejang demam kompleks pertama tidak memiliki adanya kondisi intrakranial patologis yang membutuhkan penanganan bedah saraf emergensi.
7. PENATALAKSANAAN KLINIS 1. Pengobatan fase akut saat anak kejang Saat pasien sedang kejang, semua pakaian yang ketat dibuka, anak dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Bebaskan jalan napas untuk menjamin oksigenasi. Pengisapan lendir dapat dilakukan secara teratur, berikan
oksigen, kalau perlu dilakukan intubasi. Tanda vital mesti dipantau dan diawasi, sperti kesadran, suhu tubuh, tekanan darah, pernafasan, dan fungsi jantung. Obat yang dapat diberikan saat pasien kejang adalah diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1 2 mg/ menit atau dalam waktu 3 5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dapat berupa diazepam rektal dengan dosis 0,5 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau dosis 5 mg diazepam rektal untuk anak di bawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian masih kejang, anjurkan ke rumah sakit untuk pemberian diazepam intravena. Bila masih kejang, dapat diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal 10 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dapat diberikan dosis selanjutnya 4 8 mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal. Setelah kejang berhenti dengan pemberian diazepam, dapat diberikan fenobarbital loading dose secara intramuskular dengan dosis awal 10 20 mg/kgBB, lalu dilanjutkan setelah 24 jam dosis awal dengan 4 8 mg/kgBB/hari 2. Pemberian obat saat demam dan mencari penyebab demam Antipiretik dapat digunakan untuk menurunkan panas, dengan obat yang dipakai adalah parasetamol dengan dosis 10 15 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali dan tidak lebih dari 5 kali. Dapat juga diberikan ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.1 Dapat juga diberikan antibiotik bila ada indikasi, misalnya otitis media dan pneumonia.4 3. Pemberian terapi profilaksis Profilaksis diberikan untuk mencegah berulangnya kejadian kejang demam. Pengobatan profilasis ini diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu ciri sebagai berikut : - Kejang lama > 15 menit - Ada kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, serebral palsi, retardasi mental, hidrosefalus - Kejang fokal - Terapi profilaksis ini dipertimbangkan bila : kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan, dan kejang demam terjadi > 4 kali per tahun.
Profilaksis yang diberikan terdiri dari dua jenis, yakni : - Profilaksis intermittent. Profilaksis ini hanya diberikan pada saat pasien demam, dimana orangtua atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada anak. Dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 5 mg (untuk anak dengan berat badan < 10 kg) atau 10 mg ( anak dengan berat badan >10 kg), bila anak menunjukkan suhu 38,5C. - Profilaksis terus menerus dengan pemberian antikonvulsan setiap hari. Antikonvulsan yang dapat diberikan adalah asam valproat dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
8. PROGNOSIS - Kejang demam kemungkinan akan berulang bila ada faktor risiko berikut : 1. Ada riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia terjadinya kejang demam kurang dari 12 bulan 3. Suhu tubuh yang rendah saat kejang 4. Cepatnya terjadi kejang setelah demam Bila seluruh faktor risiko ada, maka kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya sekitar 10 15 %. Kejang demam lebih besar kemungkinan berulangnya pada tahun pertama kehidupan. - Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.1 Akan tetapi, kejang demam kompleks, yang terjadi sebelum usia 1 tahun, atau dipicu oleh suhu <39C dihubungkan dengan peningkatan mortalitas 2 kali lipat pada 2 tahun pertama setelah kejang terjadi.4 - Kejang demam kompleks, riwayat epilepsi atau abnormalitas neurologis pada keluarga, dan keterlambatan tumbuh kembang dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi di kemusian hari. Anak dengan 2 faktor risiko ini memiliki kemungkinan 10 % untuk mengalami kejang tanpa demam.
ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, tangal pengkajian, No register, tanggal rawat dan penanggung jawab dan perawat mengumbpulkan informasi informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: a. ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang b. pasien mempunyai program rekreasi atau Kontak sosial c. pengalaman kerja d. Mekanisme koping yang digunakan e. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya. Selama serangan : a) ada kehilangan kesadaran atau pingsan. b) ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena. c) pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai. d) disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik. e) pasien menggigit lidah. f) mulut berbuih. g) ada inkontinen urin. h) bibir atau muka berubah warna. i) mata atau kepala menyimpang pada satu posisi. j) Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya. k) ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional. l) penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang. m) Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak. n) Apakah makan obat-obat tertentu. o) ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
Sesudah serangan a) pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara b) ada perubahan dalam gerakan.
c) Sesudah serangan pasien masih ingat yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan. d) terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung. e) Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang. 3. Riwayat sebelum serangan a. ada gangguan tingkah laku, emosi. b. disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar. c. ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual. 4. Riwayat Penyakit a.Sejak kapan serangan terjadi. b.Pada usia berapa serangan pertama. c.Frekuensi serangan. 5. Riwayat kesehatan a.Riwayat keluarga dengan kejang. b.Riwayat kejang demam. c.Tumor intrakranial. d.Trauma kepala terbuka, stroke. 6. Riwayat kejang a. Berapa sering terjadi kejang b. Gambaran kejang seperti apa c. sebelum kejang ada tanda-tanda awal d. yang dilakuakn pasien setelah kejang 7. Riwayat penggunaan obat a. Nama obat yang dipakai b. Dosis obat c.Berapa kali penggunaan obat 8.Pemeriksaan fisik a.Tingkat kesadaran b.Abnormal posisi mata c.Perubahan pupil d.Garakan motorik e.Tingkah laku setelah kejang f.Apnea g.Cyanosis h.Saliva banya 9. Psikososial a. Usia
b.Jenis kelamin c.Pekerjaan d.Peran dalam keluarga e.Strategi koping yang digunakan f.Gaya hidup dan dukungan yang ada 10. Pengetahuan pasien dan keluarga a.Kondisi penyakit dan pengobatan b. Kondisi kronik c.Kemampuan membaca dan belajar. (Utopias,2008)
2. Diagnosa Keperawatan secara teoritis 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva, keruskan neromuskuler. 2. Termogulasi tidak efektif : Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik, proses infeksi 3. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan perubahan kesadaran, keruskan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri dan aktivitas kejang yang terkontrol ( gangguan keseimbangan ) 4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang pemanjaan, kesalahan interprestasi, kurang mengingat. 3. Rencana asuhan Keperawatan Teoritis 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di endotrakea, peningkatan sekresi saliva, keruskan neromuskuler. Tujuan : Setelah dilakukan askep 3x24 Jam masalah bersihan jalan nafas tidak efektif tidak terjadi dan teratasi. Kriteria hasil : nafas normal ( 25 30 x/menit ), tidak tejadi aspirasi, tidak ada dispnea, tidak ada penumpukan sekret. INTERVENSI RASIONAL
1. Anjurkan klien untuk mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu
1. Menurunkan resiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing kedalam tirah baring
2. Letakkan klien dalam posisi miring dan pada permukaan datar
3. Tanggalkan pakaian klien pada daerah leher atau dada dan abdomen
4. Melakukan penghisapan sesuai indikasi
5. Berikan oksigen sesuai program terai
2. Meningkatkan aliran (drainase), sekret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
3. Untuk memudahkan usaha klien dalam bernafas dan ekspansi dada
4. Mengeluarkan mukus yang berlebihan menurunkan resiko aspirasi atau afeksia
5. Membantu pemenuhi kebutuhan oksigen adar tetap adekuat.
2. Termogulasi tidak efektif : Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolik, proses infeksi Tujuan : Setelah dilakukan askep 3x24 Jam, masalah termogulasi tidak efektif teratasi. Kriterua hasil normal, tidak ada perubahan warna kulit INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji faktor-faktor terjadinya peningkatan suhu
2. Observasi tanda tanda vital
1. Mengetahui penyebab terjadinya peningkatan suhu tubuh karena penambahan pakaian / selimut dapat menghambat penurunan suhu.
2. Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan
3. Ajarkan keluarga cara memberikan kompres dibagian kepala / ketiak
4. Anjurkan untuk menggunakan pakaian tipis yang terbuat dari kain katun
5. Berikan ekstra cairan dengan menganjurkan klien banyak minum keperawatan selanjutnya.
3. Proses konduksi / perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.
4. Proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.
5. Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh yang meningkat.
1. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan perubahan kesadaran, keruskan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri dan aktivitas kejang yang terkontrol ( gangguan keseimbangan ) Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3x24 Jam masalah resiko terhadap cidera teratasi dan tidak terjadi. Kriteria Hasil : tidak terjadi cidera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak ada memar dan tidak ada resiko terjatuh. INERVENSI RASIONAL
1. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya cidera
2. Pasang penghalang ditempat tidur
1. Dengan menjauhkan barang-barang disekitarnya dapat membahayakan saat terjadinya kejang
2. Penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah terjadinya cidera pada klien
3. Letakkan klien ditempat tidur yang rendah & datar
4. Siapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat kejang
5. Berikan obat anti kejang 3. Area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cidera pada klien
4. Lidah berpotensi tergigit saat kejang karena saat kejang biasanya lidah menjulur kedepan
5. Mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan yang dapat mengurangi suplai oksigen
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang pemanjaan, kesalahan interprestasi, kurang mengingat. Tujuan : Setelah dilakukan askep 1x24 Jam masalah kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan teratasi. Kriteria hasil : Mampu mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsangan yang telah diberikan, mulai merubah perilaku, mentaati peraturan obat yang diresepkan. INTERVENSI RASIONAL 1. Jelaskan mengenai prognosis penyakit dan perlunya pengobatan
2. Berikan informasi yang adekuat tentang prognosis penyakit dan tentang interaksi obat yang potensial
1. Memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi & keadaan penyakit yang ada
2. Pengetahuan yang diberikan mampu menurunkan resiko dari efek bahay satu penyakit & cara menanganinya
3. Kebutuhan terpeutik dapat
3. Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi yang teratur/melakukan pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
4. Diskusikan manfaat kesalahan umum yang baik, seperti diet yang adekuat, & istirahat yang cukup berubah sehingga mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi
4. Aktivitas yang sedang & teratur dapat membantu menurunkan/mengendalikan faktor presdiposisi
DAFTAR PUSTAKA UKK Neurologi IDAI. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006. Soetomenggolo T, Ismael S. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : IDAI; h. 244-51. Roberton DM, South M. Practical Paediatrics Sixth Edition. UK : Churchill Livingstone. 2007; page 582. Tejani NR. Febrile Seizure. Dalam emedicine.medscape.com 5 Februari 2010. Kimia A, Ben-Joseph EP, Rudloe T, Capraro A, Sarco D, Hummel D, Johnston P, Harper MB. Yield of Lumbar Puncture Among Children Who Present With Their First Complex Febrile Seizure. Pediatrics 2010;126;62-69. Kapita Selekta Kedokteran. Ilmu Kesehatan Anak. Media Aeculapius. Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia 2000. Konsensus Penatalaksanaan kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2006. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indinesia 1985. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi I 2004.