0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
96 tayangan11 halaman
Teks tersebut merangkum penelitian tentang pengaruh pH terhadap kerja enzim ptialin dalam pencernaan makanan pada Paramaecium. Enzim ptialin yang ada dalam saliva bekerja optimal pada pH 7-8 untuk mencerna pati menjadi gula sederhana, dan perubahan pH mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa pencernaan makanan dalam Paramaecium melibatkan pembentukan vakuola makanan dan proses digesti yang
Teks tersebut merangkum penelitian tentang pengaruh pH terhadap kerja enzim ptialin dalam pencernaan makanan pada Paramaecium. Enzim ptialin yang ada dalam saliva bekerja optimal pada pH 7-8 untuk mencerna pati menjadi gula sederhana, dan perubahan pH mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa pencernaan makanan dalam Paramaecium melibatkan pembentukan vakuola makanan dan proses digesti yang
Teks tersebut merangkum penelitian tentang pengaruh pH terhadap kerja enzim ptialin dalam pencernaan makanan pada Paramaecium. Enzim ptialin yang ada dalam saliva bekerja optimal pada pH 7-8 untuk mencerna pati menjadi gula sederhana, dan perubahan pH mempengaruhi aktivitas enzim tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa pencernaan makanan dalam Paramaecium melibatkan pembentukan vakuola makanan dan proses digesti yang
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Fisiologi Hewan dan Manusia yang Dibimbing Oleh Dra. Susilawati, M.S.
Disusun oleh : Offering G Kelompok 6 Afifah Nur Aini (130342603484) Muhammad Sholeh Al-Qoyyim H. (130342603485) Nazilatul Khoiroh (130342603479) Rieza Novrianggita (130342603492) Tri Yuni Andromeda (130342603482)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI OKTOBER 2014 I. Topik Pengaruh pH Terhadap Kerja Enzim Ptialin dan Pencernaan Makanan pada Paramaecium
II. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kerja enzim ptialin. 2. Untuk mengamati perubahan warna yang terjadi pada rongga makanan karena adanya perubahan pH dengan menggunakan indikator zat warna congo red.
III. Dasar Teori 3.1. Kerja Enzim Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh keadaan suhu dan pH tertentu dan aktivitasnya berkurang dalam keadaan di bawah atau di atas titik tersebut. Enzim pepsin pencerna protein bekerja paling efektif pada pH 1-2, sedangkan enam proteolitik lainnya, tripsin, pada pH tersebut menjadi tidak aktif, tetapi sangat efektif pada pH 8. Di dalam fungsi enzim peranan dari daya yang lemah seperti ikatan hydrogen dan ikatan ion dalam pembentukan struktur tersier, kita dapat mengerti mengapa enzim itu begitu peka terhadap suhu dan pH. Ikatan hidrogen mudah rusak dengan menaikkan suhu. Hal ini selanjutnya akan merusak bagian- bagian dari struktur tersier enzim yang esensial untuk mengikat substrat. Perubahan pH mengubah keadaan ionisasi dari asam amino yang bermuatan yang dapat mempunyai peranan penting dalam pengikat substrat dan proses katalitik. Tanpa gugus -COOH dari Glu-35 yang tidak terion dan gugus COO - dari ASP-52 yang terion, proses katalitik dari lisozim akan terhenti (Kimball, 1983). Enzim bekerja pada substrat tertentu, memerlukan suhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu pula. Suatu enzim tidak dapat bekerja pada substrat lain. Molekul enzim juga akan rusak oleh suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Demikian pula enzim yang bekerja pada keadaan asam tidak akan bekerja pada suasana basa dan sebaliknya (Swenson, 2007). Derajat keasaman enzim secara kimiawi disimbolkan dengan pH, singkatan dari Power of Hydrogen. Nilainya ditentukan dengan kuantitas ion Hidrogen bebas (H+) yang berada dalam satu liter larutan, yaitu tepatnya logaritma negative dari konsentrassi ion Hidrogen. Misalnya, jika terdapat 10 -7
gram ion Hidrogen dalam 1 liter larutan, maka pH-nya adalah 7. Range pH dari 1 hingga 14. pH 7 terletak ditengah-tengah, sehingga disebut netral. Semakin kea rah angka 1, maka sifat larutan semakin asam. Demikian pula sebaliknya, semakin kea rah 14, semakin basa (Campbell, 2004).
3.2. Pencernaan pada Paramaecium Paramaecium, merupakan salah satu spesies dari Kelas Ciliata, Filum Protozoa. Hewan ini seluruh permukaan tubuhnya bersilia yang berfungsi sebagai alat gerak. Paramaecium biasanya hidup di air tawar dan mudah ditemukan pada sisa tumbuhan yang membusuk. Hewan ini mudah dibiakkan di dalam laboratorium dengan mendidihkan air dicampuri jerami (Prasad, 1981). Pada pengamatan secara mikroskopis mudah teramati inti yang terdiri dari makronukleus dan mikronukleus, vakuola kontraktil, vakuola makanan dan rongga mulut. Vakuola makanan merupakan organel yang berfungsi untuk menerima makanan, mencerna makanan, dan mengedarkannya ke seluruh bagian sel dengan cara mengelilingi sel. Awalnya makanan masuk ke dalam sel melalui rongga mulut (= oral grove), lalu masuk ke dalam sitostoma (mulut). Pada saat sampai di mulut makanan didorong dimasukkan ke dalam sitofaring (Prasad, 1980). Ketika makanan mencapai bagian dasar sitofaring dibentuk vakuola makanan. Gerakan makanan dimulai dari mulut sampai ke sitofaring dibantu oleh gerakan silia dan dorongan air yang masuk. Pembentukan vakuola makanan dapat terjadi setiap 5 menit (Koptal, et al., 1980) Pencernaan makanan di dalam vakuola makanan terjadi pada saat vakuola makanan tersebut bergerak didalam sitoplasma (gerak siklosis). Gerak siklosis dimulai dari mulut ke arah posterior, kemudian ke arah anterior dan aboral, selanjutnya kembali ke posterior. Pengeluaran sisa pencernaan melalui sitopage (anus). Sitopage terletak di posterior mulut. Vakuola makanan yang bergerak secara siklosis secara bertahap akan mengecil ukurannya karena proses digesti dan absorbsi. Akhirnya sisa makanan yang tidak tercerna akan dikeluarkan melalui sitopage (Koptal, et al., 1980).
IV. Alat dan Bahan 4.1. Pengaruh pH Terhadap Kerja Enzim Ptialin Alat: Bahan: 1. Gelas piala 100 cc 1. Larutan amilum 1% 2. Tabung reaksi 2. Larutan iodin 10% 3. Rakk tabbing reaksi 3. Larutan buffer pH 3, pH 5, 4. Gelas ukur 10 cc pH 7 dan pH 9 5. Corong kaca 4. Saliva 6. Pipet 5. Aquades 7. Pelat tetes
4.2. Pencernaan Makanan pada Paramaecium Alat: Bahan: 1. Mikroskop cahaya 1. Biakan Paramaecium 2. 1 set CCTV umur 2 minggu 3. Kaca benda 2. Ragi (yeast) 4. Kaca penutup 3. Aquades 5. Pipet tetes 4. Congo red 6. Lampu spiritus 5. Kapas 7. Gelas beaker 50 cc
VII. Analisis Data 7.1. Pengaruh pH Terhadap Enzim Kerja Ptialin Pada percobaan pengaruh pH terhadap enzim, bahan uji yang digunakan adalah saliva. Saliva ditampung sebanyak 5 cc dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 5 cc aquades lalu dikocok, setelah itu disaring. Saliva dibagi ke dalam empat tabung reaksi yang sudah diberi label A, B, C, dan D sebanyak 1 cc untuk tiap tabung, lalu masing-masing tabung diberi larutan amilum 1%. Larutan saliva dan amilum dari tabung A yang sudah ditambah dengan larutan buffer pH 3 setelah diuji dengan iodin 10% berwarna ungu kehitaman sangat pekat (++++) pada 5 menit pertama, ungu kehitaman pekat (+++) pada 5 menit kedua, ungu kehitaman pekat (+++) pada 5 menit ketiga, dan ungu kehitaman pekat (+++) pada 5 menit keempat. Larutan saliva dan amilum dari tabung B yang sudah ditambah dengan larutan buffer pH 5 setelah diuji dengan iodin 10% berwarna biru kehijauan pada 5 menit pertama, kuning bening pada 5 menit kedua, kuning bening pada 5 menit ketiga, dan kuning telur pada 5 menit keempat. Larutan saliva dan amilum dari tabung C yang sudah ditambah dengan larutan buffer pH 7 setelah diuji dengan iodin 10% berwarna biru bening pada 5 menit pertama, kuning bening pada 5 menit kedua, kuning bening pada 5 menit ketiga, dan kuning telur pada 5 menit keempat. Larutan saliva dan amilum dari tabung D yang sudah ditambah dengan larutan buffer pH 9 setelah diuji dengan iodin 10% berwarna biru bening pada 5 menit pertama, biru bening pada 5 menit kedua, kuning kebiruan pada 5 menit ketiga, dan kuning telur pada 5 menit keempat.
7.2. Pencernaan Makanan pada Paramaecium Pada Paramaecium yang diamati, vakuola makanan terbentuk dan tampak berwarna merah setelah berlalu 1 menit 28 detik sejak sediaan makanan berupa ragi yang telah diwarnai dengan congo red diteteskan. Vakuola makanan tersebut akhirnya kembali menjadi transparan dan tidak teramati lagi setelah berlalu 2 menit 31 detik sejak pertama kali teramati berwarna merah. VIII. Pembahasan 8.1. Pengaruh pH Terhadap Kerja Enzim Ptialin Saliva merupakan cairan mulut yang kompleks terdiri dari campuran sekresi kelenjar saliva mayor dan minor yang ada dalam rongga mulut. Saliva disebut juga sebagai ludah atau air liur. Sekitar 90% saliva yang dihasilkan saat makan merupakan reaksi atas rangsangan yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan (Kidd, 1992). Saliva memiliki beberapa fungsi, yaitu melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan, membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair sehingga mudah ditelan dan dirasakan, membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman, sebagai antibakterial dan sistem buffer, membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptialin (amilase ludah) dan lipase ludah, berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva, sebagai ukuran keseimbangan air dalam tubuh dan membantu proses bicara karena dapat melumasi pipi dan lidah (Suharsono, 1986). Enzim amilase dapat memecah ikatan pada amilum hingga terbentuk maltosa (Maryati 2000). Organ pencernaan mempunyai enzim pada kisaran pH optimal masing- masing sesuai dengan tempat kerjanya. Misalnya, enzim pepsin memiliki pH optimal 2 karena bekerja di lambung yang bersuasana sangat asam. Contoh lain, enzim ptialin memiliki pH optimal 7,5 8 karena bekerja di mulut yang bersuasana basa. Perubahan pH dapat mempengaruhi perubahan asam amino kunci pada sisi aktif enzim, sehingga menghalangi sisi aktif bergabung dengan substratnya. Setiap enzim dapat bekerja baik pada pH optimum, masing-masing enzim memiliki pH optimum yang berbeda (Poedjiadi, 2006). Dalam uji karbohidrat menggunakan iodin, perubahan warna menjadi ungu kehitaman menunjukkan adanya amilum yang terkandung dalam suatu zat. Amilum yang bereaksi dengan iodin akan berwarna biru keunguan karena molekul iod masuk dan terperangkap di dalam kumparan molekul amilum yang berstruktur heliks (Alimuddin, 2011) Pada tabung A (pH 3) kandungan amilum masih tinggi dilihat dari warna ungu kehitaman setelah uji iodin, sebab amilum tidak terpecah menjadi maltosa. Hal ini menunjukkan bahwa enzim ptialin tidak dapat bekerja dengan baik dalam suasana asam kuat. Berkurangnya kepekatan warna ungu kehitaman pada menit- menit berikutnya menunjukkan kandungan amilum yang semakin rendah, yang berarti ada sebagian kecil amilum yang dapat terhidrolisis menjadi maltosa dengan bantuan enzim ptialin. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam suasana asam kuat kerja enzim ptialin tidak benar-benar terhenti, hanya semakin lambat. Pada tabung B (pH 5) tidak ada amilum yang terkandung dilihat dari tidak munculnya warna ungu kehitaman setelah uji iodin, sebab amilum terpecah menjadi maltosa. Hasil yang sama ditunjukkan pada tabung C (pH 7) dan tabung D (pH 9). Tidak terbentuk warna ungu kehitaman karena tidak ada molekul amilum yang memerangkap molekul iod. Hal ini menunjukkan bahwa enzim ptialin dapat bekerja dengan baik dalam suasana netral. Suasana dalam tabung B sudah mendekati keadaan netral karena pH-nya 5. Begitu pula dengan tabung D yang pH-nya 9.
8.2. Pencernaan Makanan pada Paramaecium Adanya perubahan warna pada vakuola makanan Paramaecium menunjukkan terjadinya perubahan pH. Perubahan pH pada vakuola makanan paramecium selama proses pencernaan makanan disebabkan karena adanya enzim-enzim yang diekskresikan oleh lisosom. Untuk mencerna makanan, lisosom akan berfusi dengan vakuola makanan. Enzim-enzim pada lisosom akan bekerja optimal pada pH sekitar 5 (Soewolo, dkk, 1999). Enzim pencernaan yang terlibat adalah protease, karbohidrase dan esterase yang disekresikan oleh lisosom ke dalam vakuola makanan. Semula vakuola makanan bersifat basa, kemudian berubah menjadi asam dan akhirnya menjadi basa lagi. Hasil pencernaan ini akan berdifusi ke dalam sitoplasma (Koptal, et al., 1980). Kelompok kami hanya mampu mengamati saat vakuola makanan mulai berwarna merah dan saat vakuola makanan kembali menjadi transparan. Kami belum berhasil mengamati perubahan warna yang terjadi antara merah dan transparan, sehingga kami belum bisa menentukan kapan vakuola makanan yang semula basa berubah menjadi asam dan kembali menjadi basa lagi. Yang dapat kami tentukan adalah berdasarkan hasil pengamatan Paramaecium yang kami amati membutuhkan waktu 1 menit 28 detik untuk memasukkan makanan ke dalam sitostom dan sitofaring sejak sediaan makanan diteteskan (ditandai dengan perubahan warna vakuola makanan dari transparan menjadi merah), sedangkan waktu yang dibutuhkan agar makanan tercerna dan terabsorbsi adalah 2 menit 31 detik (vakuola makanan berubah warna dari merah menjadi transparan lagi). Seharusnya pada saat makanan mulai dicerna warna vakuola makanan berubah dari merah menjadi merah muda. Perubahan warna tersebut menunjukkan bahwa keadaan vakuola makanan yang semula basa berubah menjadi asam untuk mengoptimalisasi kerja enzim-enzim pencernaan yang disekresikan lisosom. Dengan begitu dapat diketahui waktu yang dibutuhkan oleh lisosom untuk melakukan fusi dengan vakuola makanan. Setelah proses pencernaan makanan selesai, seharusnya warna vakuola makanan berubah dari merah muda menjadi biru tua. Perubahan warna tersebut menunjukkan bahwa lisosom telah memisahkan diri dari vakuola makanan dengan membawa enzim-enzim yang tadi dibawanya, sehingga keadaan vakuola makanan kembali menjadi basa. Dengan begitu dapat diketahui waktu yang dibutuhkan oleh enzim lisosom untuk mencerna makanan.
IX. Kesimpulan pH berpengaruh terhadap kerja enzim ptialin. Enzim ptialin bekerja optimal pada pH 7,5 8. Walaupun berada dalam suasana asam atau basa lemah yang pH-nya di luar rentang pH optimum, amilum masih dapat terhidrolisis menjadi maltosa, misalnya pada pH 7 dan 9. Hal ini dikarenakan pada pH yang mendekati pH optimum kerja enzim ptialin tidak benar-benar terhenti, tetapi hanya semakin lambat. Pada pencernaan Paramacium terjadi perubahan pH yang ditunjukkan oleh perubahan warna vakuola makanan. Ketika sediaan makanan masuk ke dalam vakuola makanan, keadaan vakuola makanan yang semula bersifat basa (berwarna merah) akan berubah menjadi asam (merah muda) untuk mengoptimalkan kerja enzim-enzim yang dihasilkan oleh lisosom. Enzim- enzim tersebut bekerja optimal pada sekitar pH 5. Setelah pencernaan selesai, keadaan vakuola akan kembali menajadi basa (biru tua).
DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin, Rabiati. 2011. Karbohidrat. (Online), (http://duniaraa13.blogspot.com/ 2011/04/karbohidrat.html), diakses tanggal 6 Oktober 2014. Campbell, Neil A; Reece, Jane B. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga. Kidd, Edwina A. M. dan Bechal, Sally Joyston. 1992. Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: EGC. Kimball, John W. 1983. Biologi Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga. Koptal, R. L. 1980. Protozoa A Text Book for College and University Students. Rastogi Publ India. Maryati, Sri. 2000. Sistem Pencernaan Makanan. Jakarta: Erlangga. Poedjiadi, Anna. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UIP. Prasad. 1981. Di dalam Muchtadi, D., N.S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor: PAU-IPB. Soewolo; Basoeki, Soedjono; Yudani, Titi. 1999. Fisiologi Manusia. Malang: MSTEP JICA. Suharsono. 1986. Enzim dalam Biokimia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Swenson, G. M. 1997. Dukes Physiology of Domestic Animals. United States: Publishing Co, Inc.