Anda di halaman 1dari 9

PENYELAMATAN BENDERA BAJO SEBAGAI SEBUAH ASET

BUDAYA YANG PERLU DISELAMATKAN

[Sebuah Catatan Perjalanan di Wilayah Wuring, Nusa Tenggara Timur]

Oleh : Bayu Vita Indah Yanti 1

ABSTRAK

Bendera adalah merupakan salah sebuah simbol dari kebudayaan yang dimiliki

oleh suatu kelompok suku bangsa atau Negara. Suku Bajo merupakan salah satu

suku bangsa (etnis) yang terdapat di Indonesia. Suku ini terkenal sebagai suku

laut. Suku ini tersebar di banyak wilayah pesisir di Indonesia, salah satu tempat

diantaranya adalah di daerah pesisir Wuring wilayah Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah mengenai bendera

yang dimiliki oleh para keturunan suku Bajo yang belum menjadi aset budaya

karena hanya diturunkan secara turun-temurun tanpa pernah ada yang

mencatatkan ataupun mendokumentasikan bendera tersebut. Tujuan dari penulisan

ini adalah untuk memberikan sebuah dokumentasi tertulis mengenai bendera Bajo,

meskipun tidak bisa secara sempurna. Penelitian ini menggunakan studi lapangan,

karena berdasarkan pada hasil wawancara dengan pemuka adat Bajo di wilayah

Wuring (Bapak Lolo Bajo). Jenis data berdasarkan tempat diperoleh pada

penelitian ini adalah data primer karena data diperoleh dari penelitian lapangan.

Kata kunci: Bendera adat, suku Bajo, budaya

1
Calon Peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, BRKP-DKP.
Jl. KS Tubun Petamburan VI, Slipi-Jakarta Barat. Email: bviy1979@gmail.com
A. PENDAHULUAN

Bendera merupakan jati diri suatu suku bangsa dan identitas yang dimiliki

oleh suatu kelompok suku bangsa atau Negara. Bendera bukan hanya sekedar

bentuk identitas dan jati diri semata, melainkan juga menjadi simbol yang

dihormati dan dibanggakan oleh masyarakatnya.

Suku Bajo terkenal sebagai pelaut tangguh. Julukan yang melekat dengan

mereka adalah sebagai manusia perahu. Ada beberapa versi yang menyatakan

asal muasal etnik suku bajo, tapi semuanya memiliki kesamaan bahwa suku

bajo hidup di laut. Versi yang diceritakan oleh pemuka adat Bajo di wilayah

Wuring ini adalah bahwa Suku Bajo berasal dari asal kata „Bajak Laut‟ (Bajo

berarti Bajak Laut). Mereka pada masa kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan

berperang melawan para penjajah berperan sebagai prajurit pertama yang

melindungi wilayah lautan, karena mereka terkenal sebagai kaum bajak laut.

Lokasi penelitian ini adalah pada masyarakat Bajo yang tinggal pada wilayah

wuring dan semuanya beragama muslim karena bagi mereka Islam adalah

satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini, mereka umumnya berasal

dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Wilayah wuring mungkin tidak terlalu dikenal di masyarakat Indonesia.

Wuring itu sendiri menurut masyarakat Bajo sudah merupakan sebuah kata

dalam bahasa Indonesia, yang memiliki arti implisit adalah datang kembali.

Wilayah wuring terletak di daerah Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara

Timur. Wilayah Wuring sendiri terdiri dari wuring lama dan wuring baru.

Wuring Lama termasuk dalam wilayah administratif kelurahan Wolomarang,


sedangkan Wuring Baru termasuk dalam wilayah administratif kelurahan

Wuring. Terbagi dalam 2 (dua) wilayah semenjak terjadinya gempa pada

wilayah wuring lama yang menyebabkan mereka dipindahkan ke wilayah

wuring baru. Namun karena keterikatan mereka dengan laut dan lokasi

pengungsian yang terletak pada wilayah perbukitan, menyebabkan

kebanyakan dari mereka kembali menempati lokasi Wuring Lama.

Dari segi bahasa, suku adat Bajo memiliki bahasa daerah sendiri, yaitu bahasa

Bajo, meski dengan berbagai macam dialeknya, karena tergantung dimana

lokasi tempat tempat tinggal suku Bajo tersebut. Menjaga kekayaan laut

adalah salah sifat yang diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka

mampu menyesuaikan diri dengan ganasnya lautan. Karakteristik Orang Bajo

adalah tidak bisa tinggal di tanah daratan kecuali sudah terjadi proses

perkawinan dari generasi ke generasi, yang menyebabkan perubahan budaya,

pola pikir, dan adat istiadat Bajo. Kebersamaan dan persatuan di antara warga

suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial,

dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka.

Suku Bajo merupakan salah satu suku bangsa (etnis) yang terdapat di

Indonesia. Suku ini terkenal sebagai suku laut. Suku ini tersebar di banyak

wilayah pesisir di Indonesia, salah satu tempat diantaranya adalah di daerah

pesisir Wuring wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Suku ini mulai

bermukim di wilayah ini pada tahun 1950-an, yaitu pada saat terjadi peristiwa

pemberontakan Permesta (Kahar Muzakar) di wilayah Sulawesi Selatan.


Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah mengenai bendera adat

Bajo yang dimiliki oleh para keturunan suku Bajo yang merupakan aset

budaya namun hanya diturunkan secara turun-temurun tanpa pernah ada yang

mencatatkan ataupun mendokumentasikan bendera tersebut.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan sebuah dokumentasi

tertulis mengenai bendera Bajo, meskipun tidak bisa secara sempurna.

Penelitian ini menggunakan studi lapangan, karena berdasarkan pada hasil

wawancara dengan pemuka adat Bajo di wilayah Wuring (Bapak Lolo Bajo).

Jenis data berdasarkan tempat diperoleh pada penelitian ini adalah data primer

karena data diperoleh dari penelitian lapangan.

B. PEMBAHASAN

Penggunaan bendera adat Bajo dapat dilihat pada saat adanya perayaan

perkawinan, ataupun acara-acara resepsi lainnya. Tidak semua masyarakat

keturunan suku Bajo menggunakan acara pengibaran bendera adat Bajo ini,

karena terdapat tatacara tertentu yang harus dipenuhi.

Penggunaan simbol bendera adat Bajo itu sendiri memiliki kandungan “asas

persatuan”, dalam hal ini mempersatukan anggota masyarakat suku Bajo ke

dalam tradisi adat mereka; mengandung juga “asas kedaulatan”, dimana

penggunaan bendera adat tersebut menunjukkan kedaulatan adat Bajo yang

masih mendarah daging pada masyarakat adat Bajo yang masih menggunakan

adat tersebut; mengandung juga “asas kehormatan”, dimana penggunaan


bendera adat tersebut adalah sebagai jati diri yang menunjukkan eksistensi

harga diri, dan kebesaran adat masyarakat Bajo; “asas kebangsaan”, disini

berarti penggunaan bendera mencerminkan sifat patriotisme, kepahlawanan,

dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada adat istiadat Suku Bajo;

“asas ketertiban”, berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat

mewujudkan ketertiban dalam penggunaannya; “asas kepastian hukum”,

berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat memberikan kepastian hukum

dalam penggunaannya; “asas keseimbangan”, berarti bahwa penggunaan

bendera harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan, penetapan,

dan penggunaannya; “asas keserasian” berarti bahwa penggunaan bendera

harus mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan

penggunaannya; dan “asas keselarasan” berarti bahwa penggunaan bendera

harus mencerminkan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan

penggunaannya.

Bendera adat suku Bajo ini hanya wajib dipergunakan oleh keturunan „murni‟

suku Bajo, dan acara pengibaran bendera adat ini dilakukan pada saat akan

dimulainya suatu acara syukuran atau hajatan, baik itu perkawinan, khitanan

(sunatan), dan sebagainya.

Tidak semua orang berhak untuk bertugas sebagai pengibar bendera adat Bajo.

Para pengibar bendera adat Bajo adalah para keturunan langsung dari kerajaan

Bajo. Proses penaikan bendera adat Bajo dilakukan dengan diiringi oleh musik

tradisional (1 set kendang khusus), harus dilakukan secara khidmad, tidak ada

yang boleh tersenyum atau tertawa pada saat proses penaikan bendera.
Apabila hal-hal tersebut dilanggar, maka akan terdapat musibah yang

menimpa pada pihak keluarga penyelenggara hajatan tersebut, demikian pula

jika keluarga yang memang berkewajiban menjalankan tradisi tersebut namun

tidak mau melaksanakannya. Berdasarkan keterangan bapak Lolo Bajo (Lolo

adalah gelar bangsawan Bajo), beberapa waktu sebelum kami menemui

beliau, ada sebuah hajatan yang menyelenggarakan adat pengibaraan bendera

Bajo, namun si empunya hajatan tidak sabar menunggu bapak Lolo Bajo

untuk mengibarkan bendera adat Bajo, sehingga mengibarkan bendera

tersebut sendiri, hal tersebut berakibat terjadinya musibah sakit yang di derita

salah satu keluarga penyelenggara hajatan dan mengganggu kelancaran acara

hajatan tersebut, dan keesokkan harinya, si sakit tersebut akhirnya meninggal

dunia. Masyarakat setempat percaya bahwa hal tersebut terjadi akibat dari

dilanggarnya ketentuan adat pengibaran bendera tersebut.

Bentuk bendera adat tersebut adalah sepasang bendera berwarna hitam dan

berwarna putih. Warna hitam merupakan simbol untuk mewakili bendera laki-

laki, memiliki panjang 7 (tujuh) meter, berbentuk gambar kepala dan ada

tangannya (seperti orang-orangan sawah tapi dalam bentuk kain). Demikian

pula dengan yang berwarna putih, merupakan simbol bendera perempuan,

dilengkapi dengan pita rambut, dan memiliki panjang 5 (lima) meter.

Sepasang bendera ini harus dibuat dengan jahitan tangan dari keturunan

langsung bangsawan kerajaan Bajo. Perawatan juga perlu dilakukan kepada

sepasang bendera adat ini, bukan dilakukan proses pencucian, namun harus

diperlakukan secara sopan, tidak boleh dilangkahi, harus diletakkan dalam


tempat khusus, dan harus diberi sesajian pada saat dikibarkan pada suatu

acara.

Sepasang bendera ini harus terpasang semenjak dimulainya acara sampai

selesainya suatu perhelatan acara, dalam kondisi cuaca apapun. Hal tersebut

dilakukan karena sepasang bendera ini dianggap sebagai pencerminan

“kekuatan pelindung” dari penguasa alam terutama penguasa laut setelah

nenek moyang mereka mengorbankan diri mereka dalam suatu kejadian angin

puyuh yang menghisap mereka (cerita asal muasal keharusan adanya bendera

ini sebagai pencerminan pemberian perlindungan tersebut diturunkan secara

turun-temurun).

Gambar 1. Bendera Bajo Laki-laki Gambar 2. Bendera Bajo Perempuan

Sumber: koleksi pribadi, 2009

Pada saat ini bendera adat suku Bajo adalah bendera asli dari kerajaan Bajo di

wilayah Sulawesi Selatan. Namun di buat duplikatnya oleh salah satu

keturunan bangsawannya untuk melaksanakan adat pengibaran bendera adat

ini di daerah Kabaena, Sulawesi Selatan.


C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Bendera adat suku Bajo adalah merupakan sebuah aset budaya yang

dimiliki oleh suku Bajo. Meskipun tidak semua anggota masyarakat suku

adat Bajo mempergunakan bendera tersebut dalam ritual acara pernikahan

ataupun acara resepsi lainnya, karena tidak semua keturunan bangsawan

Bajo menyebar mengikuti penyebaran suku ini ke seluruh wilayah

Indonesia.

Masyarakat suku adat Bajo yang terdapat di wilayah Wuring, provinsi

Nusa Tenggara Timur ini termasuk salah satu yang masih melaksanakan

upacara pengibaran bendera adat Bajo pada acara ritual perkawinan atau

acara resepsi lainnya karena pada wilayah ini masih terdapat keturunan

langsung bangsawan kerajaan Bajo yang disebut sebagai Lolo Bajo, yang

memiliki kewenangan langsung untuk menjalankan ritual pengibaran

bendera Bajo tersebut.

2. Saran

Bendera adat yang dimiliki oleh masyarakat suku adat Bajo merupakan

salah satu aset budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yang perlu

dilindungi dan didokumentasikan sehingga perlu di catat keberadaannya.

Pemberian saran atau pemberitahuan kepada pemuka adat mengenai

pentingnya dokumentasi atas keberadaan aset budaya ini perlu juga

dilakukan kepada para pemuka adat lainnya di seluruh Indonesia, yang

mungkin saja masih mempunyai pendapat bahwa keberadaan aset-aset


budaya mereka cukup dilakukan secara lisan saja. Budaya lisan tersebut

selama ini baik, namun akan lebih baik jika tercatat dalam sebuah catatan

kebudayaan tertulis, untuk meminimalisasi punahnya aset-aset budaya

tersebut. Bentuk penyadaran tersebut tidak dapat dilakukan dengan

pemaksaan, melainkan dalam bentuk sebuah dialog dengan para pemuka

adat, sehingga terjadi proses penyadaran terhadap masyarakat untuk

mengarsipkan aset-aset budaya mereka.

Ucapan terima kasih diucapkan kepada seluruh masyarakat adat suku Bajo

terutama kepada Bapak Lolo Bajo sebagai tokoh masyarakat adat Bajo

yang telah bersedia untuk menjadi narasumber untuk penulisan ini dan

memberikan kepercayaan kepada kami untuk mendapatkan cerita langsung

mengenai suku Bajo di Wuring ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Dr., M.Pd. Kajian Pendidikan dan Kebudayaan Bajo: Tinjauan Historis
dan Kontemporer. Disajikan dalam Seminar Perumusan Penulisan Naskah
Sejarah Bajo di Kendari pada tanggal 18 Maret 2006.

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Bendera, Bahasa, dan


Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. UU RI No. 24 Th. 2009. [LN
RI Tahun 2009 No. 109 TLN No. 5035]

www.kompas.com

Anda mungkin juga menyukai