Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI

Keadaan kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum seperti yang diharapkan. Bila
dibandingkan dengan situasi negara di kawasan ASEAN saja, posisi Indonesia masih jauh tertinggal
dalam aspek kesehatan reproduksi. Berikut ini dapat dikaji gambaran umum situasi kesehatan
reproduksi di Indonesia.

A. Kesehatan Ibu dan Anak
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih ter
ASEAN lainnya yaitu pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran
hidup. Penurunan angka tersebut sangat lambat dan menjadi 334 per 100.000 pada tahun 1997
(SDKI) dan 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002
tahun 2010 ditargetkan menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup.


Masih tingginya AKI menggambarkan masih rendahnya tingkat kesadaran perilaku hidup bersih dan
sehat, status gizi dan status kesehatan ibu, cakupan dan kualitas pelayanan untuk ibu hamil, ibu
melahirkan, dan ibu nifas, serta kondisi kesehatan lingkungan.
Adapun penyebab kematian maternal dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Penyebab Langsung
Penyebab langsung kematian ibu te
karena komplikasi. Penyebab langsung kematian ibu menurut SKRT 2001 adalah: perdarahan (28%),
eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (11%), abortus (5%), trauma obstetric (5%),
emboli obstetric (5%), partus lama/macet (5%), serta lainnya (11%).
2. Penyebab Tidak Langsung
Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi, rendahnya status
kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu. SKRT 2001 menunjukkan ba
hamil mengalami kurang energy kronis (KEK), sedangkan 40% menderita anemia gizi besi. SKI 2002
2003 menunjukkan bahwa 22,4% ibu masih dalam keadaan 4 terlalu yaitu 4,1% kehamilan terjadi
pada ibu berumur kurang dari 18 tahun (terlalu muda), 3
0
100
200
300
400
500
1986 1992
ANGKA KEMATIAN IBU (MMR)
BAB II
ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI
DI INDONESIA
Keadaan kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum seperti yang diharapkan. Bila
negara di kawasan ASEAN saja, posisi Indonesia masih jauh tertinggal
dalam aspek kesehatan reproduksi. Berikut ini dapat dikaji gambaran umum situasi kesehatan
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong paling tinggi di antara negara di kawasan
ASEAN lainnya yaitu pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran
hidup. Penurunan angka tersebut sangat lambat dan menjadi 334 per 100.000 pada tahun 1997
00 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 (SDKI). Sementara itu pada
tahun 2010 ditargetkan menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Masih tingginya AKI menggambarkan masih rendahnya tingkat kesadaran perilaku hidup bersih dan
tus kesehatan ibu, cakupan dan kualitas pelayanan untuk ibu hamil, ibu
melahirkan, dan ibu nifas, serta kondisi kesehatan lingkungan.
Adapun penyebab kematian maternal dapat dikategorikan sebagai berikut:
Penyebab langsung kematian ibu terjadi pada umumnya sekitar persalinan dan 90% terjadi oleh
karena komplikasi. Penyebab langsung kematian ibu menurut SKRT 2001 adalah: perdarahan (28%),
eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (11%), abortus (5%), trauma obstetric (5%),
obstetric (5%), partus lama/macet (5%), serta lainnya (11%).
Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi, rendahnya status
kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu. SKRT 2001 menunjukkan ba
hamil mengalami kurang energy kronis (KEK), sedangkan 40% menderita anemia gizi besi. SKI 2002
2003 menunjukkan bahwa 22,4% ibu masih dalam keadaan 4 terlalu yaitu 4,1% kehamilan terjadi
pada ibu berumur kurang dari 18 tahun (terlalu muda), 3,8% terjadi pada ibu berumur lebih dari 34
1994 1995 1997 2003
ANGKA KEMATIAN IBU (MMR)
8
ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI
Keadaan kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum seperti yang diharapkan. Bila
negara di kawasan ASEAN saja, posisi Indonesia masih jauh tertinggal
dalam aspek kesehatan reproduksi. Berikut ini dapat dikaji gambaran umum situasi kesehatan
golong paling tinggi di antara negara di kawasan
ASEAN lainnya yaitu pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran
hidup. Penurunan angka tersebut sangat lambat dan menjadi 334 per 100.000 pada tahun 1997
2003 (SDKI). Sementara itu pada
Masih tingginya AKI menggambarkan masih rendahnya tingkat kesadaran perilaku hidup bersih dan
tus kesehatan ibu, cakupan dan kualitas pelayanan untuk ibu hamil, ibu
rjadi pada umumnya sekitar persalinan dan 90% terjadi oleh
karena komplikasi. Penyebab langsung kematian ibu menurut SKRT 2001 adalah: perdarahan (28%),
eklamsia (24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (11%), abortus (5%), trauma obstetric (5%),
Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi, rendahnya status
kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu. SKRT 2001 menunjukkan bahwa 34% ibu
hamil mengalami kurang energy kronis (KEK), sedangkan 40% menderita anemia gizi besi. SKI 2002-
2003 menunjukkan bahwa 22,4% ibu masih dalam keadaan 4 terlalu yaitu 4,1% kehamilan terjadi
,8% terjadi pada ibu berumur lebih dari 34
9

tahun (terlalu tua), 5,2% persalinan terjadi dalam interval waktu kurang dari 2 tahun (terlalu sering),
dan 9,3% ibu hamil mempunyai paritas lebih dari 3 orang (terlalu banyak).
Penyebab mendasar kematian maternal dipengaruhi oleh kondisi geografis, penyebaran penduduk,
kondisi sosial ekonomi, budaya, kondisi bias gender dalam masyarakat dan keluarga dan tingkat
pendidikan masyarakat pada umumnya. Hasil audit maternal perinatal (AMP) menunjukkan bahwa
kematian maternal lebih banyaj terjadi pada ibu dengan karakteristik pendidikan di bawah SMP,
kemampuan membayar biaya pelayanan persalinan rendah, terlambat memeriksakan kehamilannya,
serta melakukan persalinan di rumah. Keadaan ini menyebabkan keterlambatan-keterlambatan
sebagai berikut:
a. Terlambat mengenali tanda-tanda bahaya dan mengambil keputusan untuk segera mencari
pertolongan;
b. Terlambat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan pertolongan
persalinan;
c. Terlambat memperoleh pertolongan yang memadai di fasilitas pelayanan kesehatan

Berdasarkan SDKI 2002-2003, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia saat ini adalah 35 per 1.000
kelahiran hidup. Angka ini masih di atas negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (10),
Thailand (20), Vietnam (18), Brunei Darussalam (8), dan Singapura (3). Walaupun demikian, AKB
tersebut sudah menurun sekitar 41% selama 15 tahun ini yaitu dari 59 per 1.000 kelahiran hidup
pada tahun 1989-1992. Sekitar 40% kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama
kehidupannya. Penyebab kematian pada masa neonatal/perinatal pada umumnya berkaitan dengan
kesehatan ibu selama kehamilannya, kesehatan janin selama di dalam kandungan dan proses
pertolongan persalinan yang diterima ibu/bayi, yaitu asfiksia, hipotermia karena prematuritas/BBLR,
trauma persalinan, dan tetanus neonatorum.

Proporsi kematian bayi di Indonesia menurut SKRT 2001, kematian antara 0 7 hari (32%), 8 28
hari (8%), dan 28 hari 11 bulan (60%). Sedangkan penyebab kematian neonatal di Indonesia
adalah BBLR (29%), asfiksia (27%), tetanus neonatorum (10%), masalah pemberian minum (10%),
infeksi (5%), gangguan hematologik (6%), dan lain-lain (13%). Sementara itu penyebab kematian
bayi terbanyak di Indonesia menurut SKRT Tahun 2001 adalah karena gangguan perinatal (36%),
gangguan pada saluran nafas (28%), diare (9%), gangguan saluran cerna (4%), penyakit saraf (3%),
tetanus (3%), dan gangguan lainnya (17%). Sedangkan penyebab kematian balita menurut SKRT
Tahun 2001 adalah sebagai berikut: gangguan saluran nafas (23%), diare (13%), penyakit saraf
(12%), tifus (11%), gangguan saluran cerna (6%), dan gangguan lainnya (35%).

Dalam rangja mempercepat penurunan AKI dan AKB, sejak tahun 1989/1990 dimulai Program
Pendidikan Bidan bagi para lulusan Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK) selama 1 tahun untuk
menjadi bidan yang kemudian ditempatkan di desa. Sejak itu sampai tahun 1996 telah dihasilkan
lebih dari 54.000 bidan, sehingga hampir semua desa di Indonesia mempunyai bidan. Bidan di desa
yang semula direkrut sebagai pegawai negeri ini sejak tahun 1999 dipekerjakan berdasarkan
kontrak selama 3 tahun (Bidan PTT), yang dapat diperpanjang selama 3 tahun lagi (2 kali masa
kontrak), dan berdasarkan Kepmenkes No. 1212 tahun 2002, bahkan dapat dikontrak seumur hidup.

Keberadaan bidan di desa tampaknya memberikan kontribusi sangat signifikan terhadap
peningkatan cakupan pelayanan kebidanan dasar. Misalnya cakupan akses pelayanan antenatal (K1)
meningkat dari 74% pada tahun 1993 menjadi 89% pada tahun 1997 dan meningkat lagi menjadi
91,5% pada tahun 2002-2003 (SDKI). Demikian halnya dalam hal cakupan persalinan yang ditolong
10

oleh tenaga kesehatan (linakes) meningkat dari hanya 39,6% pada tahun 1993 menjadi 59,8% pada
tahun 1997 dan 66,3% pada tahun 2002-2003 (SDKI), walaupun lebih dari 59% persalinannya masih
berlangsung di rumah (homebirth).

B. Keluarga Berencana
Angka Kesuburan Total (Total Fertility Rate atau TFR) di Indonesia selama kurun waktu 1967 1970
mencapai 5,6. Angka kesuburan total ini dalam waktu 25 tahun telah turun hampir setengahnya
sehingga menjadi 2,8 pada periode 1995 1997 (SDKI, 1997). Bahkan berdasarkan SDKI 2002-2003,
TFR saat ini sebesar 2,6 per perempuan. Data SDKI ini menunjukkan penurunan tingkat fertilitas.

Cakupan pelayanan KB (contraceptive prevalence rate CPR) pada tahun 1987 adalah 48% yang
meningkat menjadi 57% pada tahun 1997 dan 60,3% pada tahun 2002. Partisipasi pria dalam ber-KB
maupun dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak termasuk pencegahan kematian maternal
hingga saat ini masih rendah. Indikatornya antara lain masih sangat rendahnya kesertaan KB pria,
yaitu sekitar 4,4%. Secara rinci angka ini meliputi penggunaan kondom (0,9%), vasektomi atau MOP
(0,4%), senggama terputus atau coitus interruptus (1,5%) dan pantang berkala (1,6%) (SDKI, 2002-
2003).

Sampai saat ini keadaan pencapaian peserta KB pria 1,74%, masih jauh jika dibandingkan dengan
harapan pencapaian sebesar 5,34% untuk tahun 2003 dan sekitar 8% tahun 2004 (Propenas). Masih
rendahnya kesertaan KB pria, selain disebabkan karena terbatasnya jenis/metode kontrasepsi yang
tersedia, juga dipengaruhi beberapa hal. Sosialisasi kondom sebagai alat pencegah IMS dan
HIV/AIDS lebih gencar daripada sosialisasi kondom sebagai alat kontrasepsi. Di lain pihak kampanye
kondom untuk double protection juga masih perlu ditingkatkan.

Gambaran prosentase pemakai kontrasepsi ada 8 (delapan) propinsi terjadi penurunan dari tahun
1997 s.d. 2002-2003, yaitu:
No Propinsi
% Pemakai
Kontrasepsi
% Pemakai
Kontrasepsi Modern
1997
2002-
2003
1997
2002-
2003
1 Jambi 61,8 59,0 60,3 57,9
2 Lampung 66,5 61,4 64,7 58,9
3 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 72,9 75,6 63,7 63,2
4 Nusa Tenggara Barat 56,5 53,5 54,3 52,5
5 Nusa Tenggara Timur 39,3 34,8 35,2 27,5
6 Kalimantan Selatan 60,2 57,6 58,5 56,2
7 Sulawesi Tengah 51,7 54,6 50,2 49,8
8 Sulawesi Tenggara 53,1 48,6 46,7 40,9

Sedangkan persentase pemakai kontrasepsi terdapat 3 propinsi yang konsisten turun sejak tahun
1994 2002-2003 yaitu Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.












Berdasarkan SDKI 2002-2003 dapat ditunjukkan bahwa ternyata 6 dari 10 perempuan kawin pada
usia 15 19 tahun di Indonesia memakai
kontrasepsi modern (57%) sementara 3,6% memakai kontrasepsi tradisional. Kontrasepsi yang
paling popular adalah suntik/injeksi (28%), pil (13%), dan IUD/AKDR (6%).

Proporsi drop-out peserta KB (
penghentian antara lain 10% karena terjadinya efek samping/alasan kesehatan, 6% karena ingin
hamil/punya anak lagi, dan 3% karena terjadinya gagal KB. Pada tahun 2003 (SDKI), angka putus
pemakaian turun menjadi 20,7% dengan alasan kegagalan (2,1%), ingin hamil (4,8%), ganti
cara/metode lain (9%), dan alasan lainnya (4,8%). Sedangkan data unmet need menurut SDKI tahun
1997 adalah 9,2% dan menurun menurut SDKI 2002

Dilihat dari segi pemenuhan terha
need seperti itu masih tergolong cukup tinggi. Menurut SDKI 1997 tercatat sebanyak 9,7%,
sedangkan berdasarkan hasil pencapaian program tahun 2001 tercatat sebanyak 14,6% yang
kebutuhan KB-nya tidak terpenuhi. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya menurunkan tingkat
unmet need memerlukan upaya yang jauh lebih besar dan serius lagi. Harapan tahun 2001 turun
menjadi 8% dan tahun 2004 turun menjadi 6,5%.

Namun, sebagaimana telah dikemukakan di atas b
lebih keadaan terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, dan terlalu banyak). Menurut SDKI
2002-2003, keadaan 4 terlalu didapatkan pada 22,4% dari seluruh persalinan. Hal ini menunjukkan
bahwa masih jauh lebih banyak terjadi kehamilan walaupun angka
juga sekaligus menunjukkan bahwa kesadaran ber
pelayanan KB (karena umur istri terlalu mua/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun, a
mempunyai anak lebih dari 3) belum mantap.
0 5
Injeksi
Pil
IUD
Implan
MOW
Kondom dan MOP
2003 dapat ditunjukkan bahwa ternyata 6 dari 10 perempuan kawin pada
19 tahun di Indonesia memakai kontrasepsi, dimana hampir seluruhnya memakai
kontrasepsi modern (57%) sementara 3,6% memakai kontrasepsi tradisional. Kontrasepsi yang
paling popular adalah suntik/injeksi (28%), pil (13%), dan IUD/AKDR (6%).
out peserta KB (discontinuous rate) menurut SDKI 1997 adalah 24%. Alasan
penghentian antara lain 10% karena terjadinya efek samping/alasan kesehatan, 6% karena ingin
hamil/punya anak lagi, dan 3% karena terjadinya gagal KB. Pada tahun 2003 (SDKI), angka putus
7% dengan alasan kegagalan (2,1%), ingin hamil (4,8%), ganti
cara/metode lain (9%), dan alasan lainnya (4,8%). Sedangkan data unmet need menurut SDKI tahun
1997 adalah 9,2% dan menurun menurut SDKI 2002-2003 menjadi 8,6%.
Dilihat dari segi pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan KB, tingkat
seperti itu masih tergolong cukup tinggi. Menurut SDKI 1997 tercatat sebanyak 9,7%,
sedangkan berdasarkan hasil pencapaian program tahun 2001 tercatat sebanyak 14,6% yang
idak terpenuhi. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya menurunkan tingkat
memerlukan upaya yang jauh lebih besar dan serius lagi. Harapan tahun 2001 turun
menjadi 8% dan tahun 2004 turun menjadi 6,5%.
Namun, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sekitar 65% ibu hamil memiliki satu atau
lebih keadaan terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, dan terlalu banyak). Menurut SDKI
2003, keadaan 4 terlalu didapatkan pada 22,4% dari seluruh persalinan. Hal ini menunjukkan
uh lebih banyak terjadi kehamilan walaupun angka unmet need hanya 8,6% yang
juga sekaligus menunjukkan bahwa kesadaran ber-KB pada pasangan yang paling membutuhkan
pelayanan KB (karena umur istri terlalu mua/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun, a
mempunyai anak lebih dari 3) belum mantap.
10 15 20 25 30
SDKI 2002/2003
SDKI 1997
11
2003 dapat ditunjukkan bahwa ternyata 6 dari 10 perempuan kawin pada
kontrasepsi, dimana hampir seluruhnya memakai
kontrasepsi modern (57%) sementara 3,6% memakai kontrasepsi tradisional. Kontrasepsi yang
) menurut SDKI 1997 adalah 24%. Alasan
penghentian antara lain 10% karena terjadinya efek samping/alasan kesehatan, 6% karena ingin
hamil/punya anak lagi, dan 3% karena terjadinya gagal KB. Pada tahun 2003 (SDKI), angka putus
7% dengan alasan kegagalan (2,1%), ingin hamil (4,8%), ganti
cara/metode lain (9%), dan alasan lainnya (4,8%). Sedangkan data unmet need menurut SDKI tahun
dap kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan KB, tingkat unmet
seperti itu masih tergolong cukup tinggi. Menurut SDKI 1997 tercatat sebanyak 9,7%,
sedangkan berdasarkan hasil pencapaian program tahun 2001 tercatat sebanyak 14,6% yang
idak terpenuhi. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya menurunkan tingkat
memerlukan upaya yang jauh lebih besar dan serius lagi. Harapan tahun 2001 turun
ahwa sekitar 65% ibu hamil memiliki satu atau
lebih keadaan terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering, dan terlalu banyak). Menurut SDKI
2003, keadaan 4 terlalu didapatkan pada 22,4% dari seluruh persalinan. Hal ini menunjukkan
hanya 8,6% yang
KB pada pasangan yang paling membutuhkan
pelayanan KB (karena umur istri terlalu mua/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun, atau
SDKI 2002/2003
SDKI 1997

Menurut perundangan yang berlaku saat ini, tindakan aborsi di luar tindakan medis termasuk ilegal.
Diperkirakan kejadian aborsi terkomplikasi yang menjadi penyebab kematian ibu adalah 15%. Masih
tingginya angka kejadian aborsi merupakan cerminan banyaknya kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki. Berdasarkan hasil survey tentang kejadian aborsi di 10 kota besar dan 6 kabupaten
tahun 2000 ditemukan bahwa alasan melakukan aborsi untuk klien di kota karena cukup ju
anak (43,7%), disusul karena belum siap untuk menikah (24,3%). Sedangkan di kabupaten
persentase tertinggi alasan aborsi adalah karena masih sekolah (46,5%) disusul kemudian karena
jumlah anak sudah cukup.

C. Pencegahan Infeksi Menular Seksual, termasuk
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi di Indonesia
cukup tinggi. Misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta Utara (1997)
menunjukkan bahwa angka prevalensi ISR mencapai 24,7% dengan infe
yang tertinggi (10%), kemudian disusul trikomoniasis (5,4%), dan gonore (0,3%). Penelitian lainnya
yang dilakukan di Surabaya pada 599 perempuan hamil didapatkan bahwa infeksi virus herpes
simpleks mencapai 9,9%, klamidiasis 8
survey yang dilakukan di 3 Puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan yang berkunjung ke
pos KIA/KB diperoleh proporsi tertinggi untuk trikomoniasis (6,2%), kemudian sifilis 4,6%, dan
klamidiasis 3,6%.

Berdasarkan hasil base-line survey
(LDUI) di 4 (empat) propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung pada tahun
1999 menunjukkan bahwa hanya 42% remaja yang mengeta
remaja yang mengetahui tentang IMS, hanya 55% remaja yang mengetahui tentang proses
kehamilan, 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan seksual dapat
mengakibatkan kehamilan, 45% remaja beranggapan bahwa HIV
remaja beranggapan orang yang nampak sehat tidak mungkin mengidap HIV/AIDS. SDKI 2002
2003 menunjukkan bahwa 59% responden perempuan pernah kawin dan 73% pria pernah kawin,
pernah mendengar tentang AIDS. Peresentase perempua
tentang AIDS meningkat 8% dibandingkan dengan hasil SDKI 1997.

Gambar Perkiraan Kelompok Rawan yang Tertular HIV sampai dengan Tahun 2002

Menurut perundangan yang berlaku saat ini, tindakan aborsi di luar tindakan medis termasuk ilegal.
Diperkirakan kejadian aborsi terkomplikasi yang menjadi penyebab kematian ibu adalah 15%. Masih
ka kejadian aborsi merupakan cerminan banyaknya kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki. Berdasarkan hasil survey tentang kejadian aborsi di 10 kota besar dan 6 kabupaten
tahun 2000 ditemukan bahwa alasan melakukan aborsi untuk klien di kota karena cukup ju
anak (43,7%), disusul karena belum siap untuk menikah (24,3%). Sedangkan di kabupaten
persentase tertinggi alasan aborsi adalah karena masih sekolah (46,5%) disusul kemudian karena
Pencegahan Infeksi Menular Seksual, termasuk HIV/AIDS
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi di Indonesia
cukup tinggi. Misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta Utara (1997)
menunjukkan bahwa angka prevalensi ISR mencapai 24,7% dengan infeksi klamidia atau klamidiasis
yang tertinggi (10%), kemudian disusul trikomoniasis (5,4%), dan gonore (0,3%). Penelitian lainnya
yang dilakukan di Surabaya pada 599 perempuan hamil didapatkan bahwa infeksi virus herpes
simpleks mencapai 9,9%, klamidiasis 8,2%, trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Bahkan
survey yang dilakukan di 3 Puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan yang berkunjung ke
pos KIA/KB diperoleh proporsi tertinggi untuk trikomoniasis (6,2%), kemudian sifilis 4,6%, dan
line survey yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia
(LDUI) di 4 (empat) propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung pada tahun
1999 menunjukkan bahwa hanya 42% remaja yang mengetahui tentang HIV/AIDS, hanya 24%
remaja yang mengetahui tentang IMS, hanya 55% remaja yang mengetahui tentang proses
kehamilan, 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan seksual dapat
mengakibatkan kehamilan, 45% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan, dan 42%
remaja beranggapan orang yang nampak sehat tidak mungkin mengidap HIV/AIDS. SDKI 2002
2003 menunjukkan bahwa 59% responden perempuan pernah kawin dan 73% pria pernah kawin,
pernah mendengar tentang AIDS. Peresentase perempuan pernah kawin yang pernah mendengar
tentang AIDS meningkat 8% dibandingkan dengan hasil SDKI 1997.
Gambar Perkiraan Kelompok Rawan yang Tertular HIV sampai dengan Tahun 2002
NAPZA Suntik
Penjaja Seks
Pelanggan Penjaja Seks
Gay
Waria
Pasangan dari Kelompok Risiko Tinggi
12
Menurut perundangan yang berlaku saat ini, tindakan aborsi di luar tindakan medis termasuk ilegal.
Diperkirakan kejadian aborsi terkomplikasi yang menjadi penyebab kematian ibu adalah 15%. Masih
ka kejadian aborsi merupakan cerminan banyaknya kasus kehamilan yang tidak
dikehendaki. Berdasarkan hasil survey tentang kejadian aborsi di 10 kota besar dan 6 kabupaten
tahun 2000 ditemukan bahwa alasan melakukan aborsi untuk klien di kota karena cukup jumlah
anak (43,7%), disusul karena belum siap untuk menikah (24,3%). Sedangkan di kabupaten
persentase tertinggi alasan aborsi adalah karena masih sekolah (46,5%) disusul kemudian karena
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi di Indonesia
cukup tinggi. Misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta Utara (1997)
ksi klamidia atau klamidiasis
yang tertinggi (10%), kemudian disusul trikomoniasis (5,4%), dan gonore (0,3%). Penelitian lainnya
yang dilakukan di Surabaya pada 599 perempuan hamil didapatkan bahwa infeksi virus herpes
,2%, trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Bahkan
survey yang dilakukan di 3 Puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan yang berkunjung ke
pos KIA/KB diperoleh proporsi tertinggi untuk trikomoniasis (6,2%), kemudian sifilis 4,6%, dan
yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia
(LDUI) di 4 (empat) propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung pada tahun
hui tentang HIV/AIDS, hanya 24%
remaja yang mengetahui tentang IMS, hanya 55% remaja yang mengetahui tentang proses
kehamilan, 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan seksual dapat
/AIDS bisa disembuhkan, dan 42%
remaja beranggapan orang yang nampak sehat tidak mungkin mengidap HIV/AIDS. SDKI 2002-
2003 menunjukkan bahwa 59% responden perempuan pernah kawin dan 73% pria pernah kawin,
n pernah kawin yang pernah mendengar
Gambar Perkiraan Kelompok Rawan yang Tertular HIV sampai dengan Tahun 2002
Pelanggan Penjaja Seks
Pasangan dari Kelompok Risiko Tinggi
13

Beberapa risiko perilaku yang dapat meningkatkan penularan HIV/AIDS antara lain:
1. Perilaku seksual berisiko tidak hanya terbatas pada kelompok perempuan penjaja seks dan
pelanggannya saja;
2. Perilaku pengguna NAPZA suntik yang menggunakan jarum suntik tidak steril;
3. Tingkat penularan yang tinggi terjadi pada kelompok waria penjaja seks;
4. Terjadi peningkatan penularan HIV hampir 4 kali di tahun 2002 dibandingkan tahun 1997;
5. Data kumulatif sampai dengan Juni 2005, infeksi HIV mencapai 3.740 kasus dan AIDS mencapai
3.358 kasus.

Perkiraan penularan HIV/AIDS di Indonesia:
1. Terdapat 90 130 ribu orang dengan HIV di Indonesia (prakiraan tahun 2002)
2. Pada tahun mendatang kemungkinan akan bertambah cepat, terutama penularan pada
penggunaan NAPZA suntik
3. Penularan terus meningkat melalui jalur seksual berisiko

D. Kesehatan Reproduksi Remaja
Survey Depkes RI Tahun 1995/1996 pada remaja 13-19 tahun di Jawa Barat dan Bali didapatkan
angka 7% dan 5% kehamilan pada remaja. Data tentang kehamilan tidak dikehendaki (KTD) atau
unwanted pregnancy dari beberapa sumber adalah 61% pada usia 15 19 tahun (N = 1310, SDKI
oleh Pradono 1997), di antaranya sebesar 12,2% (N = 98 orang) melakukan aborsi dimana 7,2% di
antaranya ditolong oleh dokter dan bidan, 10,2% lainnya oleh dukun dan 70,4% tanpa pertolongan.

Berdasarkan hasil base-line survey yang dilakukan oleh LDUI di 4 (empat) provinsi (Jatim, Jateng,
Jabar, dan Lampung) pada tahun 1999 didapatkan bahwa:
Hanya 42% remaja mengatakan HIV tidak ditularkan oleh orang yang tampak sehat
Hanya 24% remaja yang mengetahui tentang Infeksi Menular Seksual (IMS)
Hanya 55% remaja yang mengetahui tentang proses kehamilan
53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan seks dapat mengakibatkan
kehamilan
46% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan; dan
26% remaja mengatakan kondom tidak dapat mencegah HIV/AIDS
57,1% remaja perempuan menderita anemia (SKRT 1995)
23% remaja kekurangan energy kalori (Survei Bali dan Jawa Barat 1995)
74% remaja memiliki kebiasaan makan tidak teratur (Survei SMA di Surabaya 1998)
61% kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja usia 15 19 tahun dengan melakukan solusi
12% dari mereka melakukan aborsi yang dilakukan secara mandiri (70%), meminta pertolongan
dukun (10%), dan meminta pertolongan tenaga medis/paramedis (7%).
Hanya 45,1% remaja mempunyai pengetahuan yang baik tentang organ reproduksi, pubertas,
menstruasi, dan kebersihan diri (FKM UI, 1001)
Hanya 16% remaja yang mengetahui dengan baik tentang masa subur (SDKI, 1997)

Masalah reproduksi remaja, selain akan berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap
kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang.
Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, namun juga
akan dirasakan terhadap keluarganya, masyarakat, dan bangsa pada akhirnya. Permasalahan
kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Perilaku berisiko
14

2. Kurangnya akses pelayanan kesehatan
3. Kurangnya informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
4. Banyaknya akses informasi terhadap informasi yang salah tanpa tapisan (screening)
5. Masalah IMS termasuk HIV/AIDS
6. Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, dan transaksi seks komersial
7. Kehamilan dan persalinan pada usia muda yang berisiko meningkatkan kematian ibu dan BBL
8. Kehamilan yang tak dikehendaki, yang seringkali menjurus pada tindakan aborsi tidak aman
(unsafe abortion) beserta segala komplikasinya termasuk kematian. Menurut Biran (1980),
kehamilan remaja kurang dari 20 tahun berisiko menyebabkan kematian ibu dan bayi 2 4 kali
lebih tinggi dibandikan dengan ibu yang berusia 20 35 tahun.

E. Kesehatan Reproduksi Lanjut Usia
Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah perempuan yang berusia 50 tahun dan
memasuki usia menopause sebanyak 15,5 juta orang, sedangkan laki-laki yang berusia di atas 55
tahun dan diperkirakan telah memasuki usia andropause adalah sebanyak 14,2 juta orang.
Diperkirakan pada tahun 2002 menurut perhitungan statistik jumlah perempuan yang hidup dalam
usia menopause adalah 30,3 juta dan jumlah laki-laki di usia andropause akan mencapai 24,7 juta
orang.
Masalah kesehatan reproduksi pada usia menopause akan terjadi seiring dengan penurunan dan
hilangnya aktivitas hormon estrogen yang akan mengakibatkan timbulnya berbagai gangguan dan
keluhan yang seringkali mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan dapat menurunkan kualitas
hidupnya (quality of life).

Gangguan kesehatan yang akan timbul pada masa menopause antara lain nyeri tulang dan
persendian, nyeri saat melakukan hubungan seksual (dispareunia), meningkatnya insidensi penyakit
jantung koroner, insidens keganasan/kanker, timbulnya demensia tipe Alzheimer dan banyak lagi
gangguan kesehatan lainnya sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap kesehatan reproduksi
yang dapat mengganggu produktivitas lanjut usia.
Pada laki-laki gangguan kesehatan yang dapat terjadi pada masa andropause yang berkaitan
dengan penurunan fungsi hormon androgen dan testosteron antara lain impotensi, keluhan tulang
dan persendian, pembesaran kelenjar ataupun terjadinya keganasan pada prostat.
Keterbatasan data yang ada pada kesehatan usia lanjut bukan berarti bahwa kesehatan reproduksi
usia lanjut tidak bermasalah.

F. Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Bias gender dalam keluarga dan diskriminasi terhadap perempuan masih tinggi, sehingga
perempuan belum memperoleh hak untuk mencapai derajat kesehatan tertinggi yang mungkin
dicapainya. Keadaan ini sangat merugikan kesehatan perempuan, seperti gangguan pertumbuhan,
gangguan terhadap bayi yang sedang dikandungnya (bila sedang hamil). Dengan adanya sifat
kodrati yang khas pada perempuan yaitu hamil, melahirkan, haid, dan menyusui yang tidak dimiliki
oleh kaum laki-laki menyebabkan derajat kesehatan reproduksi masyarakat sangat ditentukan oleh
status kesehatan perempuan. Oleh karena itu, perempuan merupakan kelompok rawan dalam
kesehatan reproduksi sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Nilai-nilai sosial budaya yang
terkesan menomorduakan anak perempuan semakin memposisikan perempuan sebagai kelompok
yang memperoleh asupan gizi dan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tertinggal
dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan seringkali terpaksa menikah pada usia muda karena
15

tekanan ekonomi atau orang tua yang mendorongnya untuk cepat menikah, agar terlepas dari
beban ekonomi.

Kurangnya hak perempuan dalam pengambilan keputusan terutama untuk kepentingan kesehatan
dirinya misalnya dalam ber-KB, menentukan kapan akan hamil, memilih bidan sebagai penolong
persalinan atau mendapat pertolongan segera di RS ketika diperlukan, disamping kurangnya
kesempatan untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga.

Anak perempuan masih belum diprioritaskan untuk sekolah, sehingga tingkat pendidikan
perempuan secara rata-rata masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini mengakibatkan
sulitnya memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan tentang kesehatan secara umum.
Apabila pendidikan perempuan cukup tinggi, setidaknya perempuan dapat meningkatkan rasa
percaya dirinya, wawasan dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik bagi dirinya dan
keluarga, termasuk yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Masalah kesehatan yang berkaitan dengan pemberian ASI dapat dijelaskan sebagai berikut: target
nasional pemberian ASI Eksklusif pada tahun 2000 adalah 80%. Namun pada kenyataannya situasi
pemberian ASI Eksklusif di Indonesia masih kurang menggembirakan, dimana masih banyak ibu di
Indonesia yang belum memberikan ASI secara benar. Berdasarkan SDKI 1994 hanya 47% ibu-ibu
yang memberikan ASI Eksklusif dan itupun hanya 1,7 bulan. Bahkan berdasarkan penelitian di DKI
Jakarta, ibu yang memberikan ASI Eksklusif selama 4 bulan hanya sekitar 5 10% saja, sedangkan
untuk pemberian ASI Eksklusif 6 bulan belum ada penelitian dan datanya.

Data tentang tindakan kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga masih
belum banyak diketahui. Namun demikian, ada indikasi hal tersebut merupakan fenomena gunung
es karena berbagai kasus tersebut cukup sering terjadi walaupun jarang mengemuka. Data yang
berhasil dihimpun dari Kalyanamitra pada periode 1997 1999 menunjukkan bahwa selama periode
tahun 1997 telah terjadi kasus 299 perkosaan, 46 kasus pelecehan seksual, dan 42 kasus tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Angka tersebut meningkat cukup signifikan pada tahun 1998
dengan jumlah kasus secara keseluruhan mencapai 673 kasus perkosaan, 96 kasus pelecehan
seksual, dan 66 tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut bukan saja dilakukan
oleh pasangan hidup, namun juga oleh anggota keluarga lainnya, tanpa dapat dibendung oleh
perempuan itu sendiri. Bentuk-pentuk tindak kekerasan tidak saja dilakukan secara fisik, namun juga
dapat berupa nonfisik seperti pelecehan, penghinaan, makian, dan penghardikan. Bentuk tindakan
kekerasan lainnya adalah perdagangan perempuan dan anak (trafficking) sebagai bentuk eksploitasi
perempuan dalam aspek ekonomi misalnya perempuan dan anak dijadikan pengemis, pembantu
rumah tangga, maupun pekerja tanpa upah. Sementara eksploitasi perempuan dan anak dalam
aspek komersial dilakukan dalam bentuk perempuan dan anak yang dilacurkan, menjadi pelacur,
menjadi bintang film porno/foto porno, sampai kepada malordered-bride (dikawinkan dengan
orang yang tidak dikenal dari luar negeri). Bentuk-bentuk eksploitasi perempuan dan anak dalam
aktivitas ekonomi yang marak akhir-akhir ini adalah dijadikannya perempuan sebagai
penjual/pengedar NAPZA, diperdagangkan, dan penjualan organ tubuh (bagi anak).






16

Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah serius dalam bidang kesehatan karena
melemahkan energi perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga diri perempuan. Disamping
menyebabkan luka-luka, kekerasan juga memperbesar risiko jangka panjang, cacat fisik,
penyalahgunaan obat dan alkohol serta depresi. Perempuan dengan riwayat penganiayaan fisik dan
seksual juga meningkat risikonya untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit
menular seksual, dan hasil kehamilan yang kurang baik. Rendahnya kualitas hidup perempuan di
bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dapat mengakibatkan rentannya perempuan terhadap
tindak kekerasan.

Profil Kesehatan Perempuan Indonesia
Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta orang) adalah
perempuan. Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal dibandingkan laki-laki. Masih sedikit
sekali perempuan yang mendapat akses dan peluang untuk berpartisipasi optimal dalam proses
pembangunan. Tidak heran bila jumlah perempuan yang menikmati hasil pembangunan lebih terbatas
dibandingkan laki-laki. Hal itu terlihat dari semakin turunnya nilai Gender-related Development Index
(GDI) Indonesia dari 0,651 atau peringkat ke 88 (HDR 1998) menjadi 0,664 atau peringkat ke 90 (HDR
2000) (GOI & UNICEF, 2000). GDI mengukur angka harapan hidup, angka melek huruf, angka
partisipasi murid sekolah, dan pendapatan kotor per kapita (Gross Domestic Product/GDP) riil per kapita
antara laki-laki dan perempuan. Di bidang pendidikan, terdapat perbedaan akses dan peluang antara
laki-laki dan perempuan terhadap kesempatan memperoleh pendidikan. Menurut Susenas 1999,
jumlah perempuan yang berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf (14,1%) lebih besar daripada laki-laki
pada usia yang sama (6,3%) (GOI & UNICEF, 2000).
Kematian ibu adalah kematian perempuan selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah
persalinan dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau
penanganannya tetapi bukan karena kecelakaan (WHO-SEARO, 1998). Angka Kematian Ibu (AKI)
menurut survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000
kelahiran (GOI & UNICEF, 2000). Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan
eklampsia. Kedua sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal
care/ANC) yang memadai. Walaupun proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melakukan ANC
minimal 1 kali telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2% yang
persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan menurut SDKI 1997,
masih sangat rendah, di mana sebesar 54% persalinan masih ditolong oleh dukun bayi (GOI & UNICEF,
2000).
Usia kehamilan pertama ikut berkontribusi kepada kematian ibu di Indonesia. Data SKIA 2000
menunjukkan umur median kehamilan pertama di Indonesia adalah 18 tahun. Sebanyak 46%
perempuan mengalami kehamilan pertama di bawah usia 20 tahun, di desa lebih tinggi (51%) daripada
di kota (37%) (GOI & UNICEF, 2000). SDKI 1997 melaporkan 57,4% Pasangan Usia Subur (PUS)
menggunakan alat kontrasepsi dan sebanyak 9,21% PUS sebenarnya tidak ingin mempunyai anak atau
menunda kehamilannya, tetapi tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Krisis ekonomi yang terjadi
sejak pertengahan 1997 menjadi sebab utama menurunnya daya beli PUS terhadap alat dan pelayanan
kontrasepsi (GOI & UNICEF, 2000).

Anda mungkin juga menyukai