Anda di halaman 1dari 74

KAJIAN PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN DAN

KONSENTRASI ASAM (HCl) TERHADAP KEMAMPUAN


SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL
WELL STIMULATION AGENT



Oleh
ASTI LESTARI
F34101020














2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
KAJIAN PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN DAN
KONSENTRASI ASAM (HCl) TERHADAP KEMAMPUAN
SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL
WELL STIMULATION AGENT




SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor





Oleh
ASTI LESTARI





2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAJIAN PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN DAN
KONSENTRASI ASAM (HCl) TERHADAP KEMAMPUAN
SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL
WELL STIMULATION AGENT


SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
ASTI LESTARI
Dilahirkan pada tanggal 03 Desember 1983
di Sukabumi, Jawa Barat
Tanggal lulus: 14 Februari 2006
Disetujui,
Bogor, 8 Maret 2006





Dr. Ir. Erliza Hambali Prayoga Suryadarma, STP, MT
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kajian Pengaruh
Suhu, Lama Pemanasan dan Konsentrasi Asam (HCl) terhadap Kemampuan
Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Sebagai Oil Well Stimulation Agent
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.



Bogor, Februari 2006

Asti Lestari
F34101020






















RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Sukabumi pada tanggal 3
Desember 1983 dari keluarga pasangan Uuh Ruhyatna dan
Nurlelah. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara
yaitu Astuti Wulandari dan Faizal Fajar Firdaus. Riwayat
pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi pada tahun 1987-
1989. Pendidikan SD ditempuh dari tahun 1989-1995 di SD
Surade II. Penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri I Surade dan lulus pada
tahun 1998. kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU
Negeri 3 SUKABUMI dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan studi ke IPB
melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama
kuliah, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan antara lain di DKM Al-
Hurriyah dan Forum Bina Islami-Fateta. Pada tanggal 14 Juni 2004 sampai dengan
14 Agustus 2004, Penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Istana Cipta
Sembada, Banyuwangi, JawaTimur untuk mempelajari Aplikasi HACCP di
perusahaan tersebut. Akhirnya sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknologi
Pertanian, penulis melaksanakan tugas akhir dengan judul Kajian pengaruh suhu,
lama pemanasan dan konsentrasi asam (HCl) terhadap kemampuan surfaktan metil
ester sulfonat (MES) sebagai oil well stimulation agent dibawah bimbingan Dr. Ir.
Erliza Hambali dan Prayoga Suryadarma STP, MT.










Asti Lestari. F34101020. Kajian Pengaruh Suhu, Lama Pemanasan dan
Konsentrasi Asam (HCl) Terhadap Kemampuan Surfaktan Metil Ester Sulfonat
(MES) Sebagai Oil Well Stimulation Agent. Dibawah Bimbingan Erliza Hambali
dan Prayoga Suryadarma. 2006

RINGKASAN

Sisa minyak bumi didalam reservoir setelah tahap primary recovery adalah
sebesar 60-70%. Enhanced Oil Recovery (EOR) sebagai metode pengurasan tahap
lanjut merupakan suatu metode penginjeksian fluida kedalam batuan reservoir guna
menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih terkandung dalam batuan reservoir.
Salah satu mekanisme EOR adalah dengan menginjeksikan suatu bahan kimia yang
dapat menurunkan tegangan antara minyak dan air.
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent) dan tegangan antar muka antara zat yang berbeda polaritasnya.
Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka telah lama
dimanfaatkan dalam proses EOR guna meningkatkan produktivitas sumur minyak
bumi, khususnya dalam pelaksanaan stimulasi kimia, baik stimulasi surfaktan
maupun stimulasi asam. Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik turunan
dari minyak sawit yang berpotensi menggantikan surfaktan berbasis minyak bumi
(petroleum sulfonat) yang selama ini digunakan. Hal tersebut terkait dengan
kelebihan yang dimiliki metil ester sulfonat, diantaranya yaitu bersifat terbarukan,
lebih ramah lingkungan, secara alami mudah didegradasi dan memiliki sifat
deterjensi yang baik walaupun digunakan pada air dengan tingkat kesadahan yang
cukup tinggi (Matheson, 1996). Petroleum sulfonat, sebagai surfaktan yang biasa
digunakan untuk proses EOR, memiliki kelemahan yaitu menggunakan bahan baku
yang tidak dapat diperbaharui, tidak tahan pada kesadahan yang tinggi dan sulit
didegradasi (Watkins, 2001).
Penelitian ini mengkaji pengaruh suhu pemanasan, lama pemanasan dan
konsentrasi asam terhadap nilai tegangan antar muka (IFT) minyak-air metil ester
sulfonat 3% serta studi kelakuan fasanya untuk menguji kompatibilitas MES dengan
minyak bumi. Penelitian ini diawali dengan produksi surfaktan MES. Produksi
surfaktan MES dilakukan melalui proses sulfonasi metil ester dengan reaktan
natrium bisulfit (NaHSO
3
). Kondisi proses yang digunakan pada tahap pembuatan
MES merujuk pada Pore (1976). Selanjutnya, MES yang dihasilkan diuji
ketahanannya terhadap suhu dengan cara dipanaskan dalam oven pada tingkat suhu
120, 150 dan 180
o
C selama 8, 16, 24, 32, 40, 48, dan 56 jam. Disamping itu, dalam
rangka pemanfaatan MES sebagai acid additive dalam stimulasi asam, MES diuji
ketahanannya terhadap suhu dan asam dengan cara MES dengan konsentrasi 3%
(b/b) dicampurkan dalam larutan HCl 0, 5, 10, 15 dan 20% (v/v). Campuran yang
telah dibuat kemudian dipanaskan selama 6 jam dalam reaktor berleher tiga pada
taraf suhu ruang (252), 60 dan 110
o
C. Selanjutnya MES diukur tegangan antar
mukanya dengan minyak dan air dalam alat spinning drop interfacial tensiometer.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor suhu pemanasan
berpengaruh signifikan terhadap meningkatnya nilai tegangan antar muka minyak
brine baik pada tingkat kepercayaan 95% maupun 99%. Lama pemanasan dan
interaksi keduanya (antara suhu pemanasan dan lama pemanasan) tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap peningkatan nilai tegangan antar muka. Hasil uji lanjut
Duncan terhadap suhu pemanasan menunjukkan bahwa suhu 120
o
C tidak
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap suhu 150
o
C. Suhu 180
o
C memberikan
pengaruh yang berbeda pada suhu 120
o
C dan suhu 150
o
C.
Pengaruh suhu pemanasan dan konsentrasi HCl juga memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap kenaikan nilai IFT. Berdasarkan analisis keragaman,
pengaruh suhu pemanasan dan konsentrasi HCl signifikan dengan tingkat
kepercayaan 95%. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil
uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi HCl menunjukkan bahwa asam HCl pada
konsentrasi 0, 5, 10, dan 15% tidak memberikan pengaruh yang berbeda, namun
konsentrasi 0, 5, dan 10% memberikan pengaruh yang berbeda dengan konsentrasi
20%, dan pada konsentrasi HCl 15% tidak memberikan pengaruh yang berbeda
dengan konsentrasi 20%.
Studi kelakuan fasa surfaktan MES ditujukan mengetahui kompatibilitas
surfaktan dengan minyak bumi. Kelakuan fasa surfaktan karena suhu dan lama
pemanasan MES menghasilkan kelakuan fasa tipe fasa atas, sedangkan kelakuan
fasa surfaktan karena faktor suhu dan konsentrasi HCl menghasilkan kelakuan fasa
tipe makroemulsi.

























Asti Lestari. F34101020. Study of Temperature, Heating Period, and Acid (HCl)
Concentration Effect to The Performance of Surfactant Methyl Ester Sulphonate
(MES) as Oil Well Stimulation Agent. Supervised by Erliza Hambali and Prayoga
Suryadarma. 2006.


SUMMARY
Primary recovery phase left about 60-70% of petroleum in reservoir.
Enhanced Oil Recovery (EOR) as an advanced draining phase, in order to drain
petroleum remainder which is contained in reservoir rock. One of EOR mechanism
is by injecting a chemical material which can decrease oil-water tension.
Surfactant is an active agent which decrease surface tension (surface active
agent) and interfacial tension between different polarity substances. Surfactant
performance in decreasing interfacial tension has benn used for a long time in EOR
process to improve petroleum productivity, especially in chemical stimulation
process, both surfactant and acid stimulation. Metil ester sulphonate, an anionic
surfactant derived from oil pal, is potential to substitute petroleum-based surfactant
(petroleum sulphonate) which is commonly used nowadays. This is related with
several advantages of metil ester sulphonate : renewable, environmentally friendly,
degradable in nature, and posses a good detergent characteristic even in high
hardness of water (Matheson, 1996). While petroleum sulphonate has weaknesses
which are produced from unrenewable raw material, intolirate with high hardness of
water, and hard to degrade (Watkins, 2001).
This research studies about heating temperature, heating period, and acid
concentration effect to interfacial tension (IFT) of 3% metil ester sulphonate and
phase behaviour to examine MES compatibility with petroleum. This research
begins with MES surfactant production. MES surfactant production is carried out
trough metil ester sulphonation with reactant sodium bisulphate (NaSO
3
), and
applying process condition of Pore (1976). MES which has produced is heated at
120, 150, and 180
o
C during 8, 16, 24, 32, 40, 48 and 56 hours, in order to
determined its endurance toward temperature. Meanwhile, as MES utilization as acid
additive in acid stimulation, MES endurance should also determined by mixing 3%
MES (w/w) with 0, 5, 10, 15 and 20% (v/v) HCl solution. This mix then heated as
long as 6 hours in reactor at 27, 60, and 110
o
C. After heated, interfacial tension of
MES in oil and water is measured with spinning drop interfacial tensiometer.
Variance analysis result shows that heating temperature factor significantly
influence to the increasing of interfacial tension value both at 95% and 99%
significancy, while heating period and interaction between heating temperature and
heating period does not influence to the increasing of interfacial tension value.
Duncan advanced test of heating temperature shows that both heating at 120
o
C and
150
o
C, gives similar effect. While heating at 120
o
C gives different effect with
heating at 180
o
C.
Heating temperature and HCl concentration also give significant effect to
the increasing of IFT value. Based on variance analysis, heating temperature and
HCl concentration gives a significant effect with 95% of significancy. while
interaction between heating temperature and HCl concentration gives no effect.
Study of phase behaviour of surfactant MES is carried out to determine
surfactant and petroleum compatibility. Surfactant phase behaviour becaused of
MES heating temperature and heating period classified as phase performance type
upper phase, while which because of heating temperature and HCl concentration
classified as phase behaviour type macroemulsion.





























KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamiin segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah,
Rabb Semesta Alam yang telah memberikan segala karunia-Nya hingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Departemen Teknologi Industri Pertanian. Skripsi ini disusun
berdasarkan hasil penelitian laboratorium mengenai degradasi surfaktan metil ester
sulfonat (MES) terhadap suhu, lama pemanasan, dan konsentrasi asam (HCl). Judul
dari skripsi ini adalah Kajian Pengaruh Suhu, Lama Pemanasan dan Konsentrasi
HCl Terhadap Kemampuan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Sebagai Oil Well
Stimulation Agent. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Dr. Ir. Erliza Hambali dan Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku dosen
pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama
ini.
2. Dr. Ono Suparno, STP, MT selaku dosen penguji dalam ujian skripsi yang
telah memberikan kritik dan saran.
3. Ir. Agus Pratomo MT dan Dr. Ir. Ani Suryani, DEA yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dalam melakukan penelitian.
4. Ibu Suhartini, Bapak Sugiharjo, Bapak Parnomo, Bapak Pri, dan laboran
Lemigas lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bimbingannya
selama peneliti melaksanakan penelitian.
5. Laboran TIN : ibu Sri, Pak Sugiardi dan ibu Ega atas bimbingannya selama
penelitian.
6. Ibu, Bapak, Wulan, dan Faisal yang telah memberikan kasih sayang dan
dukungan moril maupun materil kepada penulis.
7. Surfaktan team, Aji, Agung, Eko, Arya, Retno, Siti, Mas Deni, Ibu Sri
Hidayati, dan Mas Dudin atas bantuan dan kerjasamanya.
8. Rekan-rekan TIN angkatan 38 atas segala persahabatan kita selama ini.

Bogor, Januari 2006
Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR TABEL.. xi
DAFTAR GAMBAR. xii
DAFTAR LAMPIRAN. xiii
I. PENDAHULUAN.. 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN.... 3
C. RUANG LINGKUP... 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
4
A. SURFAKTAN 4
B. METIL ESTER SULFONAT. 6
C. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK BUMI. 8
D. ENHANCED OIL RECOVERY (EOR).. 10
E. OIL WELL STIMULATION AGENT.. 11
F. KELAKUAN FASA SURFAKTAN.. 17
III. METODOLOGI PENELITIAN.. 20
A. BAHAN DAN ALAT 20
B. METODE PENELITIAN.. 20
C. RANCANGAN PERCOBAAN 23
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
A. PENGUJIAN SURFAKTAN ANIONIK.. 25
B. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT 25
C. KARAKTERISTIK MINYAK BUMI... 28
D. PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMANASAN SURFAKTAN
TERHADAP NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA.

29
E. PENGARUH SUHU PEMANASAN DAN KONSENTRASI HCl
TERHADAP NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA.

33
F. PERBANDINGAN SURFAKTAN MES DENGAN SURFAKTAN
KOMERSIAL..............

38
G. STUDI KELAKUAN FASA CAMPURAN MINYAK-
SURFAKTAN-AIR.....

39
1. Faktor Suhu dan Lama Pemanasan Surfaktan 40
2. Faktor Suhu dan Konsentrasi HCl.. 40
V. KESIMPULAN DAN SARAN. 42
A. KESIMPULAN.. 42
B. SARAN.. 42
DAFTAR PUSTAKA.
43
LAMPIRAN
46


























DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia1
Tabel 2. Komposisi minyak bumi.....9
Tabel 3. Spesifikasi metil ester minyak inti sawit........20
Tabel 4. Karakteristik MES..........26
Tabel 5. Karakteristik minyak bumi.....28
Tabel 6. Nilai tegangan antar muka MES dan surfaktan komersial.....39























DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Molekul surfaktan. 4

Gambar 2. Struktur kimia metil ester sulfonat (MES).... 6

Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak. 7

Gambar 4. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol. 7

Gambar 5. Reaksi kimia antara metil ester dengan natrium bisulfit... 7

Gambar 6. Sudut kontak dalam penentuan wettability batuan 13

Gambar 7. Emulsi fasa bawah.... 17

Gambar 8. Emulsi fasa tengah 18

Gambar 9. Emulsi fasa atas.... 18

Gambar 10. Makroemulsi. 18

Gambar 11. Hasil uji timol biru terhadap surfaktan metil
ester sulfonat.


25
Gambar 12. Histogram nilai tegangan antar muka akibat faktor suhu dan
lama pemanasan

30

Gambar 13. Reaksi desulfonasi MES... 32

Gambar 14. Histogram nilai tegangan antar muka akibat faktor suhu dan
konsentrasi HCl.

34

Gambar 15. Reaksi Hidrolisis dengan Asam... 38

Gambar 16. Histogram perbandingan nilai IFT MES dengan surfaktan
komersial..

39

Gambar 17. Foto kelakuan fasa tipe fasa atas.. 40

Gambar 18. Foto kelakuan fasa makroemulsi.. 41



DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1.
Diagram Alir Proses Pembuatan Surfaktan Metil Ester
Sulfonat............ .......................................................................

46

Lampiran 2. Prosedur Karakterisasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat
(MES).......................................................................................

47

Lampiran 3. Hasil Analisa Nilai Tegangan Antar Muka (IFT) Akibat
Pengaruh Suhu Pemanasan dan Lama
Pemanasan........................................................


53

Lampiran 3a. Rekapitulasi Data Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air
(IFT) Akibat Faktor Suhu dan Lama
Pemanasan................................................................................


53

Lampiran 3b. Analisa Sidik Ragam Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-
Air (IFT) Akibat Pengaruh Suhu dan Lama
Pemanasan........................................................................


54

Lampiran 3c. Hasil Uji Duncan Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air
(IFT) Akibat Pengaruh Suhu pada Perlakuan Suhu dan Lama
Pemanasan................................................................................


54

Lampiran 4. Hasil Analisa Nilai Tegangan Antar Muka (IFT) Akibat
Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Asam........................

55

Lampiran 4a. Rekapitulasi Data Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air
(IFT) Akibat Pengaruh Suhu dan Konsentrasi
Asam........................................................................................


55

Lampiran 4b. Analisa Sidik Ragam Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-
Air (IFT) Akibat Pengaruh Suhu dan Konsentrasi
Asam....................................................................................


56

Lampiran 4c. Hasil Uji Duncan Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air
(IFT) Akibat Pengaruh Suhu pada Perlakuan Suhu dan
Konsentrasi Asam...........................................................


56

Lampiran 4d. Hasil Uji Duncan Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air
(IFT) Akibat Pengaruh Konsentrasi Asam pada Perlakuan
Suhu dan Konsentrasi Asam................................................


56

Lampiran 5. Gambar Surfaktan MES Setelah dipanaskan........................... 57

Lampiran 6. Gambar Dokumentasi peralatan yang dipakai saat
penelitian..

58
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Komoditas sawit merupakan komoditas ekspor non migas yang dapat
meningkatkan devisa negara dan memenuhi kebutuhan industri minyak nabati
dan industri turunannya di dalam negeri. Potensi minyak sawit yang dapat
diproduksi menjadi berbagai bahan oleokimia dan turunannya menjadikan
permintaan dunia terhadap minyak sawit ini meningkat dari tahun ke tahun. Hal
ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya areal pengembangan tanaman
kelapa sawit rakyat yang cukup nyata dari tahun ke tahun. Perkembangan luas
dan volume produksi minyak sawit (CPO) di Indonesia dapat dilihat pada Tabel
1.

Tabel 1. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia
Tahun
Luas Areal (ha)
Produksi minyak
sawit (ton)
Perkebunan
Besar
Perkebunan
Rakyat
Total
1996 1.146.300 738.900 1.885.200 4.898.658
1997 1.739.100 813.200 2.552.300 5.385.458
1998 1.878.100 890.500 2.768.600 5.640.154
1999 2.397.800 1.038.300 3.436.100 5.949.183
2000 2.548.900 1.093.700 3.642.600 6.217.425
2001 2.704.500 1.144.400 3.848.900 6.945.166
2002 3.143.127 1.254.847 4.397.973 8.069.462
2003 3.557.180 1.502.820 5.060.000 9.600.000
2004 4.491.500 1.897.500 6.389.000 11.500.000
Sumber : Badan Pusat Statistik (2005)

Selama ini ekspor produk sawit dilakukan dalam bentuk CPO dan PKO.
Untuk memperkuat industri kelapa sawit di Indonesia perlu dilakukan
pengembangan produk-produk hilir minyak sawit agar dapat diperoleh nilai
tambah yang lebih tinggi. Industri hilir minyak kelapa sawit penghasil produk
ekspor dengan nilai tambah yang tinggi adalah industri oleokimia. Salah satu
produk oleokimia turunan adalah surfaktan (surface active agent).
Surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif permukaan yang dapat
menurunkan tegangan antar permukaan (IFT) minyak-air. Surfaktan mempunyai
kecenderungan untuk menjadikan zat terlarut dan pelarutnya terdapat pada
bidang antar muka. Salah satu produk hasil diversifikasi dari minyak sawit
adalah surfaktan MES (metil ester sulfonat).
Enhanced Oil Recovery (EOR) sebagai metode pengurasan minyak bumi
tahap lanjut adalah merupakan suatu metode penginjeksian fluida ke dalam
batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih terkandung
dalam batuan reservoir, sebagai hasil sisa dari pengurasan minyak bumi tahap
pertama (primary recovery). Salah satu metoda EOR adalah Oil Well
Stimulation. Metoda ini menggunakan surfaktan sebagai agent untuk
menurunkan tegangan antar muka antara air formasi dengan minyaknya. Selama
ini surfaktan yang digunakan adalah surfaktan yang berasal dari produk
petrokimia (petroleum sulfonat), sehingga harganya juga tergantung pada harga
minyak bumi. Di samping itu petroleum sulfonat memiliki beberapa kelemahan
yaitu cenderung menggumpal pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi dan
sifat detergensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat salinitas yang
tinggi (Watkins, 2001).
Surfaktan MES berbasis minyak sawit adalah kelompok surfaktan anionik
yang dapat menggantikan surfaktan petroleum sulfonat. Kelebihan surfaktan
MES dibandingkan surfaktan petroleum sulfonat yang berbasis petrokimia
adalah bersifat terbarukan, mudah didegradasi (good biodegradability),
karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), dapat mempertahankan
aktivitas enzim yang lebih baik, dan toleransi yang lebih baik terhadap
keberadaan kalsium (Matheson, 1996). Kemampuan surfaktan dalam
menurunkan tegangan antar muka pada proses pendesakan minyak bumi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan reservoir, diantaranya adalah kadar garam,
suhu, sifat batuan dan fluida formasi, kompatibilitas surfaktan dengan fluida
formasi, dan tekanan reservoir.
Suhu reservoir meningkat seiring dengan kedalamannya, semakin dalam
reservoir maka suhunya akan semakin tinggi. Surfaktan MES yang digunakan
untuk proses stimulasi surfaktan dan stimulasi asam harus memiliki ketahanan
yang cukup baik terhadap suhu tinggi dan asam yang mungkin akan merusak
MES.
Penelitian ini mengkaji pengaruh kondisi suhu, lama pemanasan, dan
konsentrasi asam HCl, serta interaksinya terhadap kinerja surfaktan metil ester
sulfonat dengan bahan dasar minyak sawit dalam menurunkan tegangan antar
muka minyak-air serta kompatibilitas antara surfaktan dengan fluida formasi dan
fluida asam yang diperlihatkan dengan tipe fasa yang terbentuk.

B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan
suhu pemanasan dan lama pemanasan surfaktan metil ester sulfonat (MES)
dengan konsentrasi 3% (b/b) serta pengaruh suhu dan konsentrasi asam HCl
pada pemanfaatan MES sebagai acid additive dalam stimulasi asam (acidizing)
terhadap nilai tegangan antar muka (IFT) minyak-air. Disamping itu juga untuk
mendapatkan informasi tentang tipe pembentukan fasa dari kedua perlakuan.

C. RUANG LINGKUP

1. Karakterisasi metil ester sulfonat
2. Karakterisasi minyak bumi
3. Pemanasan surfaktan MES pada taraf 120, 150, dan 180
o
C, dan lama
pemanasan 8, 16, 24, 32, 40, 48 dan 56 jam yang bertujuan sebagai agent
untuk stimulasi surfaktan pada proses EOR.
4. Pemanasan surfaktan MES pada taraf suhu 27, 60 dan 110
o
C, dan
konsentrasi asam HCl pada taraf konsentrasi 0, 5, 10, 15, dan 20 % (v/v)
yang bertujuan sebagai acid additive untuk stimulasi asam pada proses EOR.
5. Pengujian kinerja hasil perlakuan terhadap nilai tegangan antar muka (IFT).
6. Analisa kelakuan fasa surfaktan MES



II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SURFAKTAN
Surfaktan atau surface active agent merupakan zat aktif penurun
tegangan permukaan yang dapat diproduksi secara sintetis kimiawi dan
biokimiawi. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu
molekul. Pembentukan film pada antar muka fasa menurunkan energi antar
muka. Surfaktan dimanfaatkan sebagai bahan penggumpal, pembasah,
pembusaan, emulsifier oleh industri farmasi, industri kosmetika, industri kimia,
industri pertanian, dan industri pangan (Suryani et al., 2002). Menurut Mulyadi
(2000), surfaktan adalah molekul kimiawi yang memiliki dua bagian, yaitu satu
bagian yang larut dalam minyak dan satu bagian yang lain larut dalam air.
Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola
raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat
hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian
ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian non polar.
Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan bagian ekor
dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor
tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri. Gambar
dari molekul surfaktan terdapat pada Gambar 1.








Gambar 1. Molekul surfaktan (Mulyadi, 2000)

Menurut Matheson (1996), surfaktan dapat digolongkan menjadi 4 jenis
yaitu, surfaktan anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik. Masing-masing
kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku yang berbeda.
Hydrophilic
head
Hydrophobic tail
Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik
atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan karena
keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat.
Surfaktan kationik adalah senyawa yang bersifat positif pada bagian aktif
permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik pada umumnya disebabkan karena
keberadaan garam amonium, seperti quartenery ammonium salt (QUAT).
Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi
ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen
eter atau hidroksil. Contoh surfaktan nonionik adalah poliglikol ester dari fatty
alkohol, asam lemak, amina, dan amida. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan
yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya
tergantung pada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi
surfaktan akan bermuatan positif.
Kelompok surfaktan yang terbesar penggunaannya (dalam jumlah)
adalah surfaktan anionik. Surfaktan jenis ini mempunyai karakteristik hidrofilik
disebabkan adanya gugus ionik yang cukup banyak, biasanya berupa grup sulfat
atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen
sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alpha olefin
sulfonat (AOS), secondary alkane sulfonat (SAS), dan metil ester sulfonat
(MES) (Matheson, 1996).
Menurut Rieger (1985), sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan
tegangan permukaan, tegangan antar muka, meningkatkan kestabilan partikel
yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau
water in oil (w/o)). Disamping itu surfaktan akan terserap ke dalam permukaan
partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau
menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi.
Kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari
kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik).

B. METIL ESTER SULFONAT
Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan
(Watkins, 2001). Metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai
bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products)
(Matheson, 1996). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) adalah sebagai
berikut (Watkins, 2001):






Gambar 2. Struktur kimia metil ester sulfonat (MES)

Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester
asam lemak C
14
, C
16
dan C
18
memberikan tingkat detergensi terbaik, serta
bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Jika dibandingkan
petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan
diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya detergensinya
sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang
lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan
kandungan garam (disalt) lebih rendah.
Menurut Sheats dan McArthur (2002), jenis minyak yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES adalah kelompok minyak nabati
seperti minyak kelapa, minyak inti sawit, minyak kedelai dan tallow. Pembuatan
metil ester sulfonat dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester. Metil ester
dihasilkan melalui proses esterifikasi asam lemak atau transesterifikasi
trigliserida. Esterifikasi adalah reaksi antara asam lemak dengan alkohol dengan
bantuan katalis untuk membentuk ester. Umumnya katalis yang digunakan
adalah katalis asam seperti asam sulfat. Reaksi esterifikasi asam lemak untuk
menghasilkan metil ester disajikan pada Gambar 3.


O

R-CH- C-OCH3

SO3Na
RCOOH + ROH RCOOR + H
2
O
Asam lemak alkohol ester air

Gambar 3. Reaksi esterifikasi asam lemak

Transesterifikasi trigliserida dilakukan dengan mereaksikan trigliserida
dengan metanol yang dapat disebut juga dengan metanolisis. Reaksi
transesterifikasi antara trigliserida dengan metanol terdapat pada Gambar 4.
RCOOCH
2
CH
2
OH
RCOOCH
2
+ 3 CH
3
OH 3 RCOOCH
3
+ CHOH


RCOOCH
2
CH
2
OH
Minyak/lemak Metanol Metil ester Gliserin

Gambar 4. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol

Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk
keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai
hidrofobik terlalu panjang akan terjadi ketidakseimbangan, yaitu afinitas untuk
gugus lemak yang terlalu besar dan sebaliknya afinitas untuk gugus air yang
terlalu kecil. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air.
Demikian sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, maka molekul
surfaktan tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena
ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan
dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah
asam lemak dengan 10 -18 atom karbon.
Menurut Pore (1993), proses sulfonasi dengan menggunakan metil ester
dan natrium bisulfit dilakuan pada suhu antara 60 100
o
C dengan lama reaksi
antara 3 - 6 jam. Reaksi kimia yang terjadi antara metil ester dan natrium bisulfit
dapat disajikan pada Gambar 5.
CH
3
---CH = CH COOR + NaHSO
3
CH
3
---CH CH
2
---COOR

SO
3
Na
Metil ester Na-bisulfit Metil ester sulfonat (MES)
katalis
Gambar 5. Reaksi kimia antara metil ester dengan natrium bisulfit
C. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK BUMI
Menurut Koesoemadinata (1980), secara umum sifat fisik minyak bumi
terdiri dari bobot jenis, titik didih, titik nyala dan nilai kalori.

1. Bobot jenis
Bobot jenis (specific gravity) dinyatakan dalam derajat API (American
Petroleum Institute). Derajat API ini menunjukkan kualitas minyak bumi.
Makin kecil bobot jenis minyak bumi atau makin tinggi derajat API-nya,
maka minyak bumi tersebut makin berharga karena makin banyak
mengandung bensin. Sebaliknya makin besar bobot jenis minyak bumi atau
makin rendah derajat API-nya, mutu minyak bumi itu kurang baik. Selain itu,
bobot jenis minyak bumi tergantung pada suhu. Lebih tinggi suhu, makin
rendah bobot jenisnya.

2. Titik didih
Titik didih (boiling point) minyak bumi berbeda-beda sesuai dengan
derajat API-nya. Jika derajat API-nya rendah maka titik didihnya tinggi,
demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan minyak bumi yang mempunyai
derajat API rendah mengandung banyak fraksi berat sehingga titik didihnya
menjadi tinggi. Jika derajat API-nya tinggi maka lebih banyak mengandung
fraksi ringan seperti bensin, yang berarti titik didihnya rendah. Titik didih
mempunyai arti penting untuk transportasi sehingga proses pembekuan
minyak yang mungkin terjadi dapat dicegah.
3. Titik nyala
Titik nyala (flash point) adalah suhu dimana minyak bumi dapat
terbakar karena suatu percikan api. Makin tinggi derajat API, titik didihnya
makin rendah, maka titik nyalanya juga makin rendah dan mudah terbakar
karena percikan api. Titik nyala mempunyai arti penting, karena makin
rendah akan makin berbahaya. Sebaliknya makin tinggi titik nyala,
mengurangi kemungkinan terbakarnya minyak bumi.
Minyak bumi merupakan campuran dari berbagai senyawa organik
yang terdiri dari komponen hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Kandungan
senyawa hidrokarbon lebih banyak daripada senyawa non-hidrokarbon.
Minyak bumi yang keluar dari perut bumi mengandung berbagai macam
senyawa hidrokarbon, air dan mineral. Minyak bumi yang berasal dari
berbagai sumur minyak bumi mempunyai komposisi yang berbeda. Menurut
Koesoemadinata (1980), dan Speight (1980) secara garis besar minyak bumi
mempunyai komposisi seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi minyak bumi
Komponen % Bobot
Karbon 83,9 86,8
Hidrogen 11,4 14,0
Belerang 0,06 8,00
Nitrogen 0,11 1,70
Oksigen 0,50
Logam 0,03

Hidrokarbon merupakan unsur pokok terbesar dalam minyak bumi
dengan konsentrasi antara 50 sampai 95%. Sisanya merupakan senyawa
senyawa non-hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen, dan logam.
Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon
dan hidrogen dan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon
alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik.
Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafin adalah senyawa yang
mempunyai rantai atom karbon jenuh terbuka. Senyawa parafin yang didapatkan
dari minyak bumi mengandung 1 sampai lebih dari 78 atom C. Wujud parafin
dengan jumlah atom C kurang dari 5 adalah bentuk gas. Jumlah atom C dari 5
sampai dengan 16 adalah bentuk cair dan jumlah atom C lebih dari 16 adalah
bentuk padat dan semi padat.
Hidrokarbon alisiklik atau disebut juga neftena adalah senyawa yang
umumnya berbentuk cincin dan tidak mempunyai ikatan ganda. Senyawa ini
bersifat stabil dan tahan terhadap oksidasi. Titik didih senyawa ini 10 sampai
20
o
C lebih tinggi dari senyawa hidrokarbon alifatik dengan jumlah atom yang
sama (Speight, 1980).
Hidrokarbon aromatik merupakan senyawa yang sangat kompleks,
termasuk diantaranya senyawa senyawa aromatik dengan substitusi mono, di
dan poli alkil maupun tanpa substitusi. Dalam minyak bumi senyawa ini
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan parafin atau neftena.
Senyawa non-hidrokarbon didalam minyak bumi terutama disusun oleh
senyawa organik yang mengandung nitrogen, belerang, oksigen, dan logam
organik (organometalik). Selama proses penyulingan, komponen non-
hidrokarbon terkumpul dalam minyak fraksi berat dan residu, yaitu dengan titik
didih diatas 350 400
o
C.

D. ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)
Menurut Taber (1997), proses recovery minyak bumi dapat
dikelompokkan menjadi 3 fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder
(secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer diterapkan
proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan
proses stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing dan
metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan
proses immiscible gas flood dan waterflood. Metode pada fase tersier sering juga
disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR).
Menurut Sumotarto (1997), pada fase primer minyak dapat keluar dari
sumur minyak bumi karena tekanan dari reservoirnya sendiri (natural flow).
Tekanan reservoir ini dapat berasal dari tekanan gas yang terlarutkan dalam
fluida minyak (solution gas drive), kolom air yang berada di bawah lapisan
minyak (water drive), atau tekanan beban lapisan batuan diatasnya (over burden
pressure). Minyak akan berhenti mengalir ke permukaan bumi bila tekanan
natural telah tak mampu lagi mengatasi tekanan beban kolom fluida dalam
sumur (tekanan hidrostatis).
Pada umumnya masih terdapat sejumlah minyak tertinggal dalam
reservoir pada akhir tahap recovery primer. Karena itu untuk mengangkat sisa
minyak yang masih cukup banyak (92-93% OOIP), dilakukan recovery tahap
kedua (secondary recovery) yang terdiri dari water flooding dan immiscible gas
(Sumotarto,1997). Pada tahap ini diperkirakan rata-rata reservoir akan
menyisakan minyak tak kurang dari 55% OOIP (original oil in place).
Bila sisa minyak pada akhir tahap sekunder masih layak diambil, maka
dapat dilakukan pengambilan minyak tahap tersier (tertiary recovery) atau
enhanced oil recovery. Pada tahap ini terdapat berbagai macam teknik yang
dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok yakni metode termal, gas,
kimiawi dan jenis lain yang tidak termasuk pada ketiga teknik tersebut.
(Sumotarto,1997).
Menurut Allen dan Roberts (1993), karakteristik minyak dan reservoir
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target
yang hendak di capai. Sebagai gambaran, reservoir dengan gambaran yang
dangkal tidak cocok bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi
sehingga dapat beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar.
Selain pertimbangan karakteristik minyak dan reservoir, yang perlu
diperhatikan juga adalah nilai ekonomis dari proyek EOR tersebut. Faktor yang
mempengaruhi pada penilaian nilai ekonomis proses adalah sebagai berikut :
1. Apakah cukup tersedia material yang akan diinjeksikan. Perlu
diperhatikan faktor ketersediaan bahan yang digunakan, karena bila
kegiatan tersebut dilaksanakan tidak akan menghambat proses produksi
disebabkan karena bahan yang tidak tersedia.
2. Perkiraan harga minyak dimasa yang akan datang. Perhitungan ini
untuk mengetahui apakah biaya kegiatan lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan dengan harga penjualan minyak.

E. OIL WELL STIMULATION
Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam
hal kondisi geologis batuannya, kandungan air dalam reservoir, dan jenis minyak
yang dikandungnya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk menguras
minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda
terhadap reservoir yang lain.
Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan
permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan lumpur
dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus,
permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami
penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung. Sumur yang
mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang
padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah
sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun
tekanan reservoir tinggi. Karena itu, pada kondisi ini pemberian tekanan
menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Selanjutnya
injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang
rendah. Walaupun demikian, produktifitas sumur minyak tersebut dapat
ditingkatkan melalui metode stimulasi (Economides dan Nolte, 1989). Metode
stimulasi yang umum digunakan di industri minyak bumi adalah metode
stimulasi asam (acidizing) dan injeksi surfaktan (Gomaa, 1997). Pada proses
stimulasi surfaktan, batuan reservoir direndam oleh surfaktan. Proses
perendaman berbeda untuk setiap sumur, pada umumnya perendaman dilakukan
berkisar antara 2-3 hari. Perendaman bertujuan untuk memberikan waktu bagi
surfaktan berpenetrasi kedalam batuan reservoir sehingga dapat merubah
wettability batuan menjadi water wet, menurunkan tegangan antar muka,
menurunkan gaya kapiler, dan mengurangi terjadinya water cut. Dengan
demikian dapat memperbaiki permeabilitas dan diharapkan terjadinya
peningkatan produktifitas sumur. Menurut Hu dan Tuvell (1998), pada proses
stimulasi surfaktan, surfaktan dapat kontak dengan suhu reservoir yang tinggi
dan untuk periode waktu yang lama. Milikan (1980) menambahkan bahwa setiap
penambahan kedalaman sebesar 1 ft, maka suhu reservoir sumur minyak bumi
akan meningkat sebesar 1-2
o
F.
Oil well stimulation dapat digolongkan sebagai metode enhanced oil
recovery dengan surfaktan sebagai bahan injeksinya. Metode EOR dengan
injeksi surfaktan termasuk proses kimiawi dimana larutan surfaktan sebagai zat
aktif permukaan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antar
muka minyak-air ke tingkat harga yang sangat rendah (Sudibjo dan Kaumi,
1992). Sedangkan stimulasi asam dilakukan untuk meningkatkan permeabilitas
minyak pada reservoir yang mengalami kerusakan, dimana asam akan bereaksi
dengan mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar
(McCune, 1976).
Kerusakan reservoir minyak bumi menyebabkan produktifitas sumur
minyak bumi menurun. Kerusakan ini disebabkan oleh menurunnya
permeabilitas sumur akibat berubahnya sifat kebasahan batuan (wettability)
menjadi oil wet, adanya tekanan kapiler yang tinggi, water blocking, particle
blocking, dan adanya emulsion blocking akibat terbentuknya emulsi di dalam
pori-pori batuan ( Mulyadi, 2000).
Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah batuan memiliki
kemampuan lebih mudah terlapisi oleh minyak atau oleh air. Jika harga tegangan
antar muka cukup besar dan atau sudut kontak besar, maka permukaan batuan
akan diselimuti oleh fluida minyak dan meningkatkan ketebalan lapisan film
pada batuan reservoir. Penebalan lapisan ini akan mengurangi jumlah aliran
minyak. Hal ini menyebabkan batuan bersifat oil wet atau sifat kebasahan
terhadap minyak besar dan menyebabkan minyak mudah terperangkap sehingga
mengakibatkan residual oil. Sudut kontak penting diketahui untuk mengetahui
wettability, dimana sudut kontak yang lebih besar 90
o
C menunjukkan batuan
bersifat oil wet (Gambar 6.a), sedangkan sudut kontak yang lebih kecil dari 90
o
C
menunjukkan batuan bersifat water wet (Gambar 6.b) (Allen and Robert, 1993).






Gambar 6. Sudut kontak dalam penentuan wettability
(Allen dan Roberts, 1993)
Tekanan kapiler merupakan tekanan yang ditimbulkan karena adanya
perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling
melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tekanan kapiler yang


Pemukaan Zat Padat
Air
Air
a b
Minyak
Minyak
terdapat dalam penyempitan pori-pori berbanding terbalik dengan jari-jari
kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler
yang tinggi akan menghambat aliran fluida minyak sehingga minyak akan
tertinggal di dalam pori-pori (Allen and Robert, 1993).
Water blocking terjadi ketika sejumlah air keluar dari formasi yang
bersifat oil wet. Water blocking terjadi karena air yang bersifat mobile akibat
adanya gaya kapilaritas air. Sifat air tersebut menyebabkan air akan memby-
passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai
by-passed oil. Karena banyak volume air yang terdapat di reservoir
mengakibatkan air terkumpul pada lubang perforasi sehingga menyebabkan
minyak tidak bisa mengalir. Water blocking dapat diatasi dengan menginjeksikan
1-3 % surfaktan ke dalam formasi (Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2000).
Particle blocking terjadi karena tertutupnya pori-pori oleh partikel-
partikel tertentu seperti lempung (clay). Particle blocking dapat diatasi dengan
menginjeksikan surfaktan jenis tertentu kedalam formasi. Penginjeksian
surfaktan bertujuan untuk melarutkan partikel-partikel penyumbat tersebut
(Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2000).
Emulsion Blocking terjadi karena terjadinya emulsi antara air dan
minyak didalam pori-pori batuan sehingga menyumbat pori-pori batuan. Adanya
asphaltene akan menstabilkan emulsi yang terbentuk. Terbentuknya emulsi
yang viskos di sekitar pori-pori dan sumur (wellbore) dapat menurunkan
produktivitas sumur minyak secara drastis. Emulsi yang terbentuk dapat
dipecahkan dengan menginjeksikan surfaktan pendemulsifikasi ke dalam
formasi. Konsentrasi surfaktan yang umum diinjeksikan adalah berkisar 2-3 %
berdasarkan volume di dalam air atau minyak (Allen and Robert, 1993).
Pada umumnya terdapat empat jenis asam yang biasa digunakan dalam
stimulasi asam, yaitu (1) asam klorida (HCl), (2) asam flourida (HF), asam
organik (3) asam asetat, dan (4) asam format. Penggunaan keempat jenis asam
tersebut spesifik terhadap jenis batuan reservoir. Asam HCl dan asam organik
digunakan pada pengasaman batuan karbonat, sedangkan asam HF digunakan
pada pengasaman batuan sandstone. Pada pengasaman batuan karbonat, asam
HCl dan asam organik akan melarutkan mineral limestone dan dolomite
membentuk garam yang soluble. Konsentrasi asam HCl yang dapat dipompakan
berkisar antara 3-30 % dan konsentrasi yang umum digunakan adalah pada
konsentrasi 15 %. Penggunaan konsentrasi asam yang rendah digunakan untuk
menghilangkan endapan garam dan emulsi, sedangkan konsentrasi yang tinggi
digunakan untuk mencapai waktu reaksi yang lebih lama sehingga menghasilkan
saluran pori yang lebih besar. Asam organik merupakan jenis asam lain yang
digunakan dalam pengasaman batuan karbonat. Asam organik bersifat asam
lemah dan kurang reaktif sehingga umumnya digunakan pada stimulasi sumur
yang dalam dimana dibutuhkan waktu reaksi yang lama dan sumur yang
memiliki suhu yang tinggi (diatas 250
o
F) (Hendrickson, 1960; Allen and Robert,
1993).
Asam fluorida (HF) merupakan jenis asam yang digunakan untuk
pengasaman pada batuan sandstone. Asam HF tidak dapat digunakan pada
pengasaman batuan karbonat karena reaksi antara asam HF dan batuan karbonat
akan membentuk endapan CaCl
2
yang insoluble dan dapat menyumbat pori-pori
batuan. Pada pengasaman batuan sandstone, asam HF akan melarutkan mineral-
mineral sand (pasir) dan clay (lempung). Asam HF dalam pengasaman batuan
sandstone pada umumnya dikombinasikan dengan asam HCl atau dengan asam
organik. Kombinasi asam HF-HCl merupakan kombinasi yang paling banyak
digunakan dalam stimulasi batuan sandstone. Kosentrasi asam yang umum
digunakan adalah 3% HF-12% HCl; 1,5 %HF-13,5 % HCl; 1,5%HF-6% HCl;
dan 0,5% HF-3% HCl. Pada stimulasi batuan sandstone, asam HCl digunakan
untuk melarutkan batuan karbonat yang terkandung di dalam batuan sandstone.
Hal ini dikarenakan pada batuan sandstone terkadang sering dijumpai mineral
batuan karbonat.
Pelaksanaan pengasaman batuan sandstone meliputi tiga tahap, yaitu
preflush, injeksi asam HF-HCl, dan tahap afterflush. Pada tahap preflush
dilakukan penginjeksian asam HCl dengan konsentrasi berkisar 5-15 %. Tahap
ini bertujuan untuk melarutkan dan menghilangkan batuan karbonat yang
terkandung di dalam batuan sandstone. Disamping asam HCl, pada tahap ini
juga diinjeksikan corrosion inhibtor dan surfaktan (umumnya surfaktan anionik-
nonionik). Surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan antar muka dan
merubah sifat kebasahan batuan menjadi water wet. Pada tahap kedua dilakukan
penginjeksian asam HF-HCl dengan kombinasai 1,5% HF-13,5% HCl, surfaktan
anionik serta corrosion inhibitor. Kombinasi asam HF-HCl ditujukkan untuk
mengantisipasi waktu reaksi yang lama sebelum fluida asam diproduksikan dari
sumur. Tahap terakhir adalah afterflush. Pada tahap ini dilakukan penginjeksian
asam HCl dengan konsentrasi berkisar 5-10% dan surfaktan sebagai water
wetting. Penginjeksian asam HCl ditujukan untuk menggantikan posisi asam HF
yang masih terdapat di dalam sumur. Ini dikarenakan asam HF sangat bersifat
korosif.
Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka
minyak air dapat digunakan untuk kegiatan enhanced oil recovery (EOR).
Surfaktan dapat menurunkan tegangan antar muka antara fluida dengan fluida,
fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon. Disamping itu, surfaktan
dapat memecah tegangan antar muka dari minyak yang terikat dengan batuan,
mengurangi terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan
(wettability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang
bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan
demikian water cut dapat diturunkan (Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2000).
Efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-
air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis surfaktan yang
digunakan, konsentrasi surfaktan dan cosurfaktan yang digunakan, kadar garam
larutan dan adsorpsi larutan cosurfaktan (Tim Lemigas, 2002). Jenis surfaktan
yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi reservoir terutama kadar
garam, suhu dan tekanan karena akan mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk
menurunkan tegangan antar muka (IFT minyak-air). Efektifitas surfaktan untuk
menurunkan IFT akan berkurang dengan semakin tingginya kadar garam larutan
(Ashrawi, 1984).

F. KELAKUAN FASA SURFAKTAN
Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan
faktor penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak
dengan proses injeksi surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan
antar muka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran
surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang
diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat
rendah, yaitu dengan orde 10
-2
sampai dengan 10
-4
dyne/cm, yang dapat
digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2002). Ada beberapa jenis emulsi
yang akan terbentuk pada proses uji kelakuan fasa, yaitu:
1. Emulsi fasa bawah, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa air,
terjadi kelebihan fasa minyak (excess oil), dalam kondisi dua fasa, dan
berwarna translusen (jernih tembus cahaya). Gambar emulsi fasa bawah
terdapat pad Gambar 7.
2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah, yaitu emulsi yang terdiri dari tiga
fasa (air-mikroemulsi-minyak) dan berwarna translusen. Gambar emulsi
fasa tengah terdapat pada Gambar 8.
3. Emulsi fasa atas, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa
minyak dan terjadi kelebihan fasa air (excess water), emulsi ini terdiri
dari dua fasa. Gambar emulsi fasa atas terdapat pad Gambar 9.
4. Makroemulsi, emulsi yang berbentuk kental dan berwarna putih susu
(milky). Gambar makroemulsi terdapat pad Gambar 10.









Gambar 7. Emulsi fasa bawah






Gambar 8. Emulsi fasa tengah (mikroemulsi)






Gambar 9. Emulsi fasa atas







Gambar 10. Makroemulsi

Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi
surfaktan adalah emulsi fasa tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi
fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai tegangan antar
muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses
pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Terbentuknya
mikroemulsi fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan
dengan emulsi fasa bawah maupun fasa atas. Namun demikian untuk tercapainya
kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa persyaratan yang diantaranya
adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan. Oleh karena itu pada
penelitian ini digunakan uji tabung untuk mengetahui kelakuan fasa yang terjadi
pada campuran minyak-air-surfaktan setelah perlakuan suhu, lama pemanasan,
dan konsentrasi asam HCl terhadap surfaktan MES dengan konsentrasi 3%.


















III. METODOLOGI PENELITIAN


A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan metil ester
yang terbuat dari minyak inti sawit (PKO). Bahan kimia yang digunakan untuk
proses produksi surfaktan MES adalah natrium bisulfit, metanol, NaOH, dan
bahan-bahan kimia untuk analisa.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor leher tiga
untuk sulfonasi, hotplate, tangki pemurnian, termometer, timbangan analitik,
peralatan gelas, pipet, dan oven. Peralatan yang digunakan untuk analisa yaitu
spinning drop interfacial tensiometer, pH meter, vortex mixer, pipet, pignometer,
dan hotplate stirer.
Tabel 3. Spesifikasi metil ester minyak inti sawit
Analisa Nilai
Bilangan asam (mg KOH/g) 0,19
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 1,88
Bilangan Iod (g/100g) 83,20
Densitas (gr/ml) 0,87
Kadar air 0,03
Lovibond colour, 5 red / yellow 0,2 / 1,7
Warna, APHA 65
Distribusi asam lemak (%)
C
16
0,2
C
18
10,6
C
18/1
75,4
C
18/2
13,3
C
20
0,5
Sumber : PT. Ecogreeen Oleochemicals (2003)

B. METODE PENELITIAN
1. Persiapan Sampel
Tahap awal penelitian ini dilakukan dengan membuat surfaktan metil
ester sulfonat (MES) yang bersifat oil soluble pada skala laboratorium
dengan kondisi proses suhu 100
o
C selama 4 jam. Surfaktan MES dibuat
dengan mereaksikan metil ester dari minyak inti sawit dengan menggunakan
pereaksi natrium bisulfit (NaHSO
3
).
Proses pembuatan MES dilakukan dengan menggunakan reaktor
sulfonasi dengan sistem batch. Penambahan NaHSO
3
dilakukan setelah suhu
mencapai 40
o
C dan waktu reaksi dihitung setelah suhu mencapai 100
o
C dan
berlangsung selama 4 jam. Setelah itu dilanjutkan dengan mensentrifugasi
MES yang diperoleh pada kecepatan 1500 rpm selama 30 menit untuk
memisahkan natrium bisulfit yang diperkirakan masih ada. Selanjutnya
dilakukan proses pemurnian dengan menambahkan metanol sebanyak 35 %
(v/v) pada suhu 50
o
C selama 1,5 jam. Untuk recovery metanol, reaksi
dilanjutkan selama 10 menit pada suhu 70-80
o
C. MES yang telah
dimurnikan, kemudian di netralkan pHnya dengan menambahkan NaOH 20
% hingga diperoleh pH netral dan selanjutnya dipanaskan selama 30 menit
pada suhu 55
o
C. Diagram alir proses dan neraca massa pembuatan surfaktan
metil ester sulfonat (MES) disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 3.
Produk MES yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi. Karakterisasi
MES yang dilakukan adalah tegangan antar muka air-minyak, pH, densitas,
tegangan permukaan, stabilitas emulsi, bilangan asam, bilangan iod, bilangan
peroksida dan uji kelakuan fasa. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui
kemampuan surfaktan metil ester sulfonat untuk menurunkan tegangan antar
muka minyak-air dan mengetahui kelakuan fasa yang terbentuk. Prosedur
analisa disajikan pada Lampiran 2.

2. Perlakuan dalam penelitian
Penelitian terbagi kedalam dua tahap penelitian. Hal ini dikarenakan
surfaktan yang dihasilkan kemungkinan akan digunakan untuk aplikasi yang
berbeda, yaitu sebagai agent pada proses stimulasi surfaktan dan sebagai
acid additive pada proses stimulasi asam.
2.1 Faktor suhu dan lama pemanasan
Pada tahap penelitian ini akan dicoba pengaruh suhu dan lama
pemanasan terhadap kinerja surfaktan MES dengan konsentrasi 3% dalam
menurunkan tegangan antar muka. Faktor suhu pemanasan (T) yang
digunakan terdiri dari 120, 150, dan 180
o
C. Faktor lama pemanasan (P) yang
digunakan adalah 8, 16, 24, 32, 40, 48, dan 56 jam.
2.2 Faktor suhu dan konsentrasi asam HCl
Pada tahap penelitian ini akan dicoba pengaruh suhu dan konsentrasi
asam HCl terhadap kinerja surfaktan MES 3% dalam menurunkan tegangan
antar muka. Faktor suhu pemanasan (S) yang digunakan terdiri dari suhu
ruang (25 2
o
C), 60
o
C, dan 110
o
C. Faktor konsentrasi asam (H) yang
digunakan adalah 0, 5, 10, 15, dan 20 % (v/v). Reaksi dilakukan selama 6
jam.

Tatalaksana Penelitian
Faktor suhu dan lama pemanasan
Penelitian mengenai faktor suhu dan lama pemanasan dilakukan
dengan memanaskan surfaktan didalam oven. Surfaktan sebanyak 5 ml
dimasukkan ke dalam 7 tabung reaksi dan kemudian ditutup untuk
mengurangi adanya oksigen yang dapat bereaksi dengan surfaktan. Sampel
yang telah disiapkan kemudian dimasukkan kedalam oven setelah suhu oven
mencapai suhu yang telah ditetapkan yaitu 120, 150, dan 180
o
C. Surfaktan
dipanaskan di dalam oven selama 8, 16, 24, 32, 40, 48, dan 56 jam. Gambar
surfaktan metil ester sulfonat (MES) setelah pemanasan disajikan pada
Lampiran 6.
Surfaktan yang telah diberi perlakuan kemudian dianalisa terhadap
kemampuannya dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air dan
kelakuan fasa yang terbentuk. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 2.

Faktor suhu dan konsentrasi asam
Penelitian mengenai faktor suhu dan konsentrasi asam HCl dilakukan
dengan terlebih dahulu membuat larutan surfaktan dalam konsentrasi 3 %
(b/b) di dalam larutan HCl yang telah ditetapkan (0, 5, 10, 15, dan 20 %
(v/v)). Larutan surfaktan kemudian direaksikan didalam reaktor berleher tiga
selama 6 jam pada suhu 60 dan 110
o
C, waktu reaksi dihitung setelah suhu
mencapai suhu tersebut. Tahap selanjutnya dilakukan pengujian terhadap
larutan surfaktan yang telah diberi perlakuan yang meliputi tegangan antar
muka dan kelakukan fasa yang terbentuk. Prosedur analisa disajikan pada
Lampiran 2.

C. RANCANGAN PERCOBAAN
1. Rancangan percobaan akibat pengaruh faktor suhu dan lama
pemanasan
Penelitian ini melibatkan 2 faktor yang terdiri dari :
a. Faktor suhu (T) dengan taraf faktor : 120, 150, dan 180
o
C.
b. Faktor lama pemanasan (P) dengan taraf faktor : 8, 16, 24, 32, 40, 48, dan
56 jam.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial dengan 2 faktor. Model rancangan percobaannya adalah:

Y
ijk
= + T
i
+ P
j
+ (TP)
ij
+
k(ij)
Dimana :
Y
ijk
= hasil pengamatan pada ulangan ke-k, suhu pemanasan ke-i dan
lama pemanasan ke-j.
= efek umum rata-rata yang sebenarnya
T
i
= efek yang sebenarnya pada faktor T, taraf ke-i (i=1,2,3)
P
j
= efek yang sebenarnya pada faktor P, taraf ke-j (j= 1,2,3,4,5,6,7)
(TP)
ij
= pengaruh interaksi faktor T ke-i dan faktor P ke-j

k(ij)
= error atau kekeliruan

2. Rancangan percobaan akibat pengaruh faktor suhu dan konsentrasi
asam HCl
Penelitian ini melibatkan 2 faktor yang terdiri dari :
a. Faktor suhu (S) dengan taraf faktor : suhu ruang (25 2
o
C), 60
o
C, dan
110
o
C.
b. Faktor konsentrasi asam HCl (H) dengan taraf faktor : 0, 5, 10, 15, dan
20 %.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
faktorial dengan 2 faktor. Model rancangan percobaannya adalah:

Y
ijk
= + S
i
+ H
j
+ (SH)
ij
+
k(ij)
Dimana :
Y
ijk
= hasil pengamatan pada ulangan ke-k, suhu ke-i, dan konsentrasi
asam (HCl) ke-j.
= efek umum rata-rata yang sebenarnya
S
i
= efek yang sebenarnya pada faktor S, taraf ke-i (i=1,2,3)
H
j
= efek yang sebenarnya pada faktor H, taraf ke-j (j= 1,2,3,4,5)
(SH)
ij
= pengaruh interaksi faktor S ke-i dan faktor H ke-j

k(ij)
= error atau kekeliruan






















IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGUJIAN SURFAKTAN ANIONIK
Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik. Pengidentifikasian
dilakukan dengan pengujian menggunakan timol biru berdasarkan Rosen et al
(1981). Cara pengujian ini adalah dengan menambahkan indikator HCl dan timol
biru ke dalam larutan MES. Jika hasil pencampuran berwarna ungu kemerahan,
maka surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik. Prinsip kerja dari pengujian
ini adalah surfaktan anionik akan bereaksi dengan timol biru membentuk
pasangan ion berwarna ungu kemerahan yang larut dalam pelarut organik. Hasil
pengujian menunjukan hasil yang positif terhadap uji timol biru. Hal tersebut
menunjukkan bahwa MES adalah surfaktan anionik. Foto hasil pengujian
surfaktan metil ester sulfonat dapat dilihat pada Gambar 11.









Gambar 11. Hasil positif terhadap uji timol biru (kanan) dibandingkan dengan
kontrol (kiri)

B. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT
Karakteristik metil ester sulfonat meliputi tegangan antar muka air-
minyak, pH, densitas, bilangan iod, bilangan asam, bilangan peroksida, tegangan
permukaan dan stabilitas emulsi. Karakteristik metil ester sulfonat terdapat pada
Tabel 4.
Allen dan Roberts (1993) mengukur tegangan antar muka air- minyak
sebesar 39,8 dyne/cm. Apabila dibandingkan dengan nilai tegangan antar muka
minyak-air setelah ditambah surfaktan MES, maka nilai penurunan tegangan
antar mukanya sebesar 39,796 dyne/cm atau sebesar hampir 100%. Kemampuan
MES dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air disebabkan MES
memiliki gugus hidrofilik dan hifrofobik dalam molekul yang sama. Dengan
kedua gugus inilah MES sebagai surfaktan mampu meningkatkan gaya tarik-
menarik antara dua fasa yang berbeda polaritasnya. Gugus hidrofilik akan
berikatan dengan air, sedangkan gugus hidrofobik akan berikatan dengan minyak
yang non polar. Perilaku ini menyebabkan tegangan antar muka minyak-air
menjadi turun sehingga fluida air dan minyak dapat bercampur. Tegangan antar
muka fasa yang berbeda polaritasnya akan menurun ketika gaya tarik-menarik
antar molekul yang berbeda dari kedua fasa (adhesi) lebih kuat dari pada gaya
tarik menarik antar molekul yang sama dalam fasa tersebut (kohesi).

Tabel 4. Karakteristik metil ester sulfonat
Parameter Nilai
Tegangan antar muka
air-minyak (dyne/cm)
0,003429
PH 6,5-7,5
Densitas (g/ml) 0,87
Tegangan permukaan
(dyne/cm)
32,8
Stabilitas emulsi (%) 88,7
Bilangan asam
(mg KOH/g sampel)
16,32
Bilangan iod
(g iod/100 g sampel)
7,84
Bilangan peroksida
(mmol/1000 gram)
9,85

Terbentuknya tegangan permukaan pada suatu cairan disebabkan
karena adanya gaya tarik menarik antara molekul-molekul pada cairan tersebut
dengan udara. Gaya tarik menarik antara molekul-molekul pada suatu cairan
lebih besar dibanding pada gas. Gaya tarik molekul di permukaan lebih besar
dibanding bagian luar permukaan. Dogra dan Dogra (1990) mendefinisikan
tegangan permukaan sebagai kerja yang dilakukan untuk memperluas
permukaan cairan per satuan luas. Rivai (2004) melakukan pengukuran terhadap
tegangan permukaan air yang memberikan nilai sebesar 68,2 dyne/cm. Apabila
dibandingkan dengan nilai tegangan permukaan setelah penambahan MES yang
nilainya sebesar 32,8 dyne/cm, maka dapat dikatakan MES mampu menurunkan
tegangan permukaan air sebesar 51,9 persen.
Suatu sistem emulsi memiliki kecenderungan untuk memisah. Hal ini
disebabkan fasa terdispersi dan pendispersinya merupakan bahan-bahan yang
tidak saling melarut akibat perbedaan polaritas. Stabilitas emulsi surfaktan
berkaitan erat dengan nilai penurunan tegangan antarmuka. Makin tinggi
penurunan tegangan antarmuka maka penurunan daya kohesi dan peningkatan
daya adhesi juga makin tinggi, sehingga kestabilan emulsi juga semakin tinggi.
Nilai stabilitas emulsi MES pada tabel diatas (88,7 %) tergolong stabil karena
mendekati nilai 100%.
Bilangan asam adalah banyaknya miligram KOH yang diperlukan
untuk menetralkan satu gram lemak atau minyak dengan prinsip pelarutan
contoh lemak atau minyak dalam pelarut organik tertentu (alkohol netral 95%)
yang dilanjutkan penitaran menggunakan basa (NaOH atau KOH). Bilangan
asam metil ester sulfonat lebih tinggi (16,32 mg KOH/g sampel) dari pada nilai
bilangan asam pada metil ester (0,19 mg KOH/g sampel), karena gugus sulfonat
yang terbentuk dari proses sulfonasi semakin banyak sehingga derajat
keasamannya semakin meningkat, hal tersebut berakibat pada makin
meningkatnya nilai bilangan asam produk MES yang dihasilkan.
Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodin yang diserap oleh
100 gram minyak atau lemak. Bilangan iod bergantung kepada komposisi asam
lemak penyusun minyak/lemak ataupun produk turunannya. Asam lemak yang
tidak jenuh dalam minyak atau lemak mampu menyerap sejumlah iod dan
membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap
menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau tidak jenuh (Ketaren, 1986).
Penetapan bilangan iod dilakukan untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus
sulfat ke dalam rantai lemak dan membentuk gugus sulfonat.
Berdasarkan data karakteristik MES, nilai bilangan iod metil ester
sulfonat (7,84 g iod/100 g sampel) jauh lebih rendah dari pada bilangan iod metil
ester (83,2 g iod/100 g sampel). Hal tersebut menunjukkan beberapa ikatan tak
jenuh dari metil ester telah diadisi oleh gugus sulfonat saat reaksi sulfonasi
sehingga tidak dapat diadisi oleh molekul I
2
saat proses pengujian bilangan iod.
Bilangan peroksida menunjukkan terjadinya suatu reaksi oksidasi yang
terjadi pada minyak yang dipanaskan dan adanya kontak minyak dengan udara.
Bilangan peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan
oksidatif pada suatu minyak atau lemak dan turunannya, yang merupakan
indikator bahwa suatu minyak atau lemak dan turunannya sebentar lagi akan
mengalami kerusakan atau tengik. Adanya peroksida sebenarnya tidak
diharapkan pada karakteristik suatu minyak, sehingga nilai bilangan peroksida
pada data karakteristik MES senilai 9,85 mmol/1000 g tergolong tinggi.

C. KARAKTERISTIK MINYAK BUMI
Minyak bumi yang dipakai dalam penelitian ini secara umum memiliki
karakteristik sebagai berikut.
Tabel 5. Karakteristik minyak bumi
Parameter Nilai
Derajat API (
o
API) 31 - 40
Densitas pada suhu 15,5
o
C
(g/ml)
0,8
Titik tuang (
o
C) 29,4 37,8
Viskositas (Cp) 22 - 34

Titik tuang adalah kondisi dimana minyak mulai membeku atau dari
membeku pada saat mulai mengalir karena cair. Minyak mentah diklasifikasikan
atas tiga kelompok yaitu minyak mentah ringan, minyak mentah sedang, dan
minyak mentah berat. Berdasarkan pengukuran derajat API, minyak mentah
kategori ringan adalah minyak bumi yang memiliki derajat API lebih besar dari
31,1
o
API, sedangkan minyak mentah kategori berat adalah minyak bumi yang
memiliki derajat API lebih rendah dari 22,3
o
API. Minyak mentah kategori
sedang adalah yang memiliki derajat API antara 22,3 31,1
o
API. Minyak bumi
yang dipakai pada penelitian ini tergolong pada minyak bumi kategori ringan,
dimana memiliki kandungan bensin. Hal tersebut berkaitan juga dengan nilai
bobot jenisnya. Apabila dilakukan konversi menurut rumus
o
API =
(141,5/densitas pada15,5
o
C)-131,5, nilai 30
o
API setara dengan bobot jenis
senilai 0,8762 g/ml, sedangkan nilai 40
o
API setara dengan 0,8251 g/ml. Minyak
bumi kategori ringan tentunya memiliki titik didih yang rendah dan titik nyala
yang rendah.

D. PENGARUH SUHU DAN LAMA PEMANASAN SURFAKTAN
TERHADAP NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA
Tegangan antar muka merupakan salah satu parameter utama dalam
proses EOR. Mekanisme penurunan tegangan antar muka oleh surfaktan MES
pada saat stimulasi surfaktan adalah molekul-molekul surfaktan yang
mempunyai rumus RSO
3
H akan terurai menjadi ion-ion RSO
3

dan H
+
ketika
dilarutkan dalam air. Ekor dari molekul surfaktan (R) akan berinteraksi dengan
minyak sehingga akan membungkusnya, sedangkan kepala molekul surfaktan
(SO
3
) akan berinteraksi dengan air dan membentuk butir emulsi. Bersamaan
dengan itu terjadi persinggungan antar molekul-molekul surfaktan dengan
permukaan butiran sehingga akan terjadi interaksi antara molekul-molekul
surfaktan dengan batuan. Karena minyak dibungkus oleh molekul surfaktan,
maka ikatan antara gelembung minyak semakin besar, sedangkan ikatan antara
minyak dengan air menjadi semakin kecil. Dengan demikian tegangan antar
muka minyak-air menjadi berkurang. Karena molekul-molekul batuan
berinteraksi dengan surfaktan, maka akan mengakibatkan tegangan adhesi
antara gelembung-gelembung minyak dengan batuan reservoirnya menjadi
berkurang, sehingga gelembung minyak dapat didesak. Histogram hubungan
antara suhu, lama pemanasan, dan nilai IFT disajikan pada Gambar 12.


















Gambar 12. Histogram nilai tegangan antar muka akibat faktor suhu dan lama
pemanasan
Meningkatnya suhu pemanasan menyebabkan peningkatan nilai
tegangan antar muka antara minyak dan air. Hal tersebut menunjukkan bahwa
faktor suhu menyebabkan kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan
tegangan antar muka minyak-air menjadi menurun. Nilai tegangan antar muka
terendah dicapai pada suhu 120
o
C dengan lama pemanasan 8 jam senilai 1,5 x
10
-2
sedangkan nilai tegangan antar muka tertinggi terjadi pada suhu 150
o
C pada
lama pemanasan 48 jam sebesar 2,0 x 10
-2
. Peningkatan nilai tegangan antar
muka setelah surfaktan MES dipanaskan selama 8 jam jika dibandingkan dengan
karakteristik IFT MES tanpa perlakuan suhu dan lama pemanasan adalah sebesar
1,16 x 10
-2
(77%) untuk suhu 120
o
C, 1,26 x 10
-2
(78,6%) untuk suhu 150
o
C dan
1,56 x 10
-2
(82%) untuk suhu 180
o
C.






0
8
16
24
32
40
48
56
suhu 120
suhu 150
suhu 180
0.00E+00
5.00E-03
1.00E-02
1.50E-02
2.00E-02
2.50E-02
Lama pemanasan (jam)
I
F
T

(
d
y
n
e
/
c
m
)

o
C
o
C
o
C
1. Pengaruh Suhu
Hasil analisa sidik ragam memperlihatkan adanya pengaruh yang
signifikan dari perlakuan suhu pemanasan MES terhadap meningkatnya nilai
tegangan antar muka minyak air baik pada tingkat kepercayaan 95% maupun
99%. Semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai tegangan antar muka
minyak-air semakin besar yang mengindikasikan kemampuan MES dalam
menurunkan tegangan antar muka semakin menurun. Hasil analisa sidik ragam
disajikan pada Lampiran 3b.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap suhu pemanasan menunjukkan bahwa
suhu 120
o
C tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap suhu 150
o
C,
sebaliknya memberikan pengaruh yang berbeda pada suhu 180
o
C. Suhu 150
o
C
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap suhu 180
o
C. Hasil uji lanjut
Duncan disajikan pada Lampiran 3c.
Pengaruh suhu pemanasan terhadap peningkatan nilai tegangan antar
muka disebabkan karena suhu akan mempengaruhi kecepatan reaksi degradasi
surfaktan MES. Suhu dapat mempercepat terjadinya reaksi dengan memperluas
distribusi energi dan memperbanyak jumlah molekul-molekul yang memiliki
energi kinetik lebih tinggi dari pada energi aktivasinya. Pada suhu yang lebih
tinggi, energi terdistribusi lebih luas sehingga semakin banyak jumlah
molekul-molekul yang memiliki energi kinetik melebihi dari energi
aktivasinya. Pada kondisi ini memungkinkan semakin besarnya peluang untuk
terjadinya tumbukan dan dengan demikian akan mempercepat terjadinya reaksi
penguraian MES.
MES yang terurai kemudian membentuk asam sulfat. Asam sulfat yang
terbentuk dalam proses desulfonasi akan menjadi katalisator untuk terjadinya
penguraian ikatan C-S selanjutnya (Hu dan Tuvell, 1998). Katalisator adalah
zat yang dapat mengubah laju reaksi sehingga reaksi dapat berjalan lebih cepat
dengan cara menurunkan energi aktivasi dari zat tersebut. Mekanisme
desulfonasi MES terdapat pada Gambar 13.



+ H
2
O

R...-CH-COOCH
3
+ H
+
R...-CH-COOCH
3






R....-CH
2
-COOCH
3
+ H
2
SO
4
+ H
+
( Ester)
Gambar 13. Reaksi desulfonasi MES (Talley et al, 1986)
Hu dan Tuvell (1988) telah melaksanakan penelitian mengenai
degradasi termal alfa olefin sulfonat, dimana alfa olefin sulfonat ini
dipanaskan selama 99 jam pada suhu 287
o
C. Dari hasil uji degradasi
menggunakan HPLC terjadi penurunan peak pada 3-hidroksitetradecan 1-
sulfonat dari 9,8 dan 10,5 menjadi 0,16 dan 0,6 dan sisa zat aktif sudah tidak
tesisa. Hal ini disebabkan hasil degradasi akan memecah surfaktan menjadi
senyawa-senyawa hasil degradasi seperti metil keton, asam sulfat, dan
senyawa-senyawa yang memiliki berat molekul yang lebih kecil terutama pada
alkane sulfonat dimana ikatan C-S menjadi lemah dengan adanya ikatan
rangkap.
Nilai IFT yang dihasilkan oleh surfaktan MES semakin meningkat
seiring dengan semakin tingginya suhu pemanasan. Meningkatnya nilai IFT ini
diindikasikan karena terdegradasinya gugus sulfonat pada ikatan hidrofilik
MES menjadi senyawa-senyawa yang memiliki berat molekul lebih kecil yang
mengakibatkan kemampuan MES dalam menurunkan tegangan antar muka
menjadi menurun. Rosen (2004) menyatakan bahwa degradasi surfaktan
menyebabkan surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Pada surfaktan yang
mengandung gugus ester, degradasi berlangsung lebih cepat dimana surfaktan
akan terurai menjadi alkohol dan asam. Kedua produk hasil degradasi ini
sangat bersifat tidak aktif permukaan.
O=S=O

O
-

O=S
+
-O

O
-
H
2. Pengaruh lama pemanasan
Lama pemanasan dan interaksi antara suhu pemanasan dan lama
pemanasan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan nilai
tegangan antar muka. Hal tersebut menunjukkan degradasi MES terjadi karena
faktor suhu pemanasan dan tidak terpengaruh oleh lamanya MES tersebut
dipanaskan. Terurainya ikatan C=S menyebabkan surfaktan kehilangan
komponen aktifnya sehingga surfaktan MES menjadi berkurang
kemampuannya dalam menurunkan tegangan antar muka. Namun demikian,
peningkatan nilai tegangan antar muka hanya sampai 10
-2
dyne/cm saja,
sehingga dapat dikatakan bahwa surfaktan MES memiliki stabilitas panas yang
cukup baik.

E. PENGARUH SUHU PEMANASAN DAN KONSENTRASI HCl
TERHADAP NILAI TEGANGAN ANTAR MUKA
Asam dapat digunakan untuk memperbaiki kerusakan sumur di
berbagai tipe formasi sumur minyak bumi, metoda ini dinamakan stimulasi
asam. Beberapa tahun ini berbagai inovasi dibuat dalam proses acidizing
(stimulasi asam) dalam rangka meningkatkan keefektifan proses stimulasi
asam di reservoir karbonat dan sandstone.
Kegunaan asam dalam stimulasi asam ini adalah untuk meningkatkan
permeabilitas dengan cara melarutkan partikel-partikel yang menyumbat
saluran pori-pori batuan formasi (reservoir) dan mineral-mineral batuan
membentuk pori-pori dan saluran pori yang lebih besar (McCune, 1976; Allen
dan Robert, 1993).
Pada umumnya, jenis asam yang digunakan untuk proses stimulasi
asam adalah asam HCl. Ini dikarenakan kemampuannya mengion secara
sempurna membentuk ion H
+
dan Cl
-
. Kekuatan suatu asam berkaitan dengan
seberapa sempurna asam tersebut berdisosiasi membentuk ion H
+
. Suatu asam
kuat bersifat lebih korosif dan lebih reaktif terhadap minyak mentah (crude oil)
dibandingkan dengan asam lemah, perbedaan ini terlihat jelas terutama pada
suhu yang tinggi (Allen dan Robert, 1993). Penggunaan 1000 galon HCl 15%
dapat melarutkan 1840 lb batuan limestone (CaCO
3
) dan menghasilkan 2050 lb
kalsium klorida (CaCl
2
), 812 lb CO
2,
dan 333 lb air. Sedangkan 1000 galon
HCl pada konsentrasi 28% dapat melarutkan 3670 lb batuan limestone
(CaCO
3
) (Hendrickson, 1960; Allen dan Roberts, 1993).
Pada pelaksanaan stimulasi asam, diperlukan surfaktan sebagai salah
satu acid additive yang berfungsi untuk menurunkan tegangan antar muka dan
mengubah wettability batuan menjadi water-wet. Oleh karena itu dilakukan
pengkajian stabilitas surfaktan terhadap kemampuannya dalam menurunkan
tegangan antar muka (IFT) akibat pengaruh konsentrasi asam HCl.
Pada penelitian ini, pengkajian pengaruh konsentrasi asam HCl
terhadap kemampuan surfaktan MES 3% dalam menurunkan tegangan antar
muka dilakukan pada tingkat konsentrasi 0, 5, 10, 15, dan 20%. Disamping itu
juga dilakukan kombinasi dengan suhu reaksi yang dilakukan pada tingkat
suhu 27, 60, dan 110
o
C. Hal tersebut disebabkan ketika diinjeksikan kedalam
reservoir, surfaktan disamping bereaksi dengan asam juga bereaksi dengan
temperatur reservoir. Histogram nilai tegangan antar muka akibat faktor suhu
dan konsentrasi HCl terdapat pada Gambar 14.
















Gambar 14. Histogram nilai tegangan antar muka akibat suhu dan konsentrasi
HCl

Nilai tegangan antar muka (IFT) minyak-air yang dihasilkan oleh surfaktan
MES dengan konsentrasi 3% semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya

0.00E+00
5.00E-03
1.00E-02
1.50E-02
2.00E-02
2.50E-02
3.00E-02
3.50E-02
4.00E-02
I
F
T

(
d
y
n
e
/
c
m
)


0 5 10 15 20
Konsentrasi larutan HCl (%)
suhu ruang
60
o
C 110
o
C
suhu pemanasan dan semakin besarnya konsentrasi HCl. Nilai tegangan antar muka
terendah dihasilkan pada kondisi perlakuan suhu ruang dan konsentrasi HCl 0%
dengan nilai IFT 3,429x10
-3
dyne/cm. Nilai tegangan antar muka tertinggi dihasilkan
pada kondisi perlakuan suhu pemanasan 110
o
C dan konsentrasi HCl 20% dengan
nilai tegangan antar muka 3,574x10
-2
dyne/cm.


1. Pengaruh Suhu Pemanasan
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh suhu pemanasan
dan konsentrasi HCl terhadap nilai IFT yang dihasilkan oleh surfaktan MES. Suhu
pemanasan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan nilai IFT surfaktan MES
3% dengan tingkat kepercayaan 95%, dimana semakin tinggi suhu pemanasan
maka nilai IFT juga semakin tinggi. Konsentrasi asam juga berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan nilai IFT surfaktan MES 3% pada tingkat
kepercayaan 95%. Nilai IFT meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
asam HCl yang digunakan. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh secara
signifikan. Hasil analisa sidik ragam disajikan pada Lampiran 4b.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap suhu pemanasan menunjukkan bahwa
suhu pemanasan pada suhu ruang tidak memberikan pengaruh yang berbeda
dengan suhu pemanasan 60
o
C dan memberikan pengaruh yang berbeda dengan
suhu 110
o
C. Sedangkan suhu pemanasan 60
o
C dan 110
o
C juga memberikan
pengaruh yang tidak berbeda pula. Hasil uji lanjut Duncan disajikan pada
Lampiran 4c.
Hasil uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi HCl menunjukkan bahwa
asam HCl pada konsentrasi 0, 5, 10, dan 15% tidak memberikan pengaruh yang
berbeda, namun konsentrasi 0, 5, dan 10% memberikan pengaruh yang berbeda
dengan konsentrasi 20%. Sedangkan pada konsentrasi HCl 15% tidak
memberikan pengaruh yang berbeda dengan konsentrasi 20%. Hasil uji lanjut
Duncan disajikan pada Lampiran 4d.
Suhu reaksi berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan nilai
tegangan antar muka MES. Hal ini dikarenakan suhu reaksi mempengaruhi
kecepatan reaksi penguraian MES dengan cara menurunkan energi aktivasi. Pada
suhu yang lebih tinggi, distribusi energi meluas. Energi kinetik molekul rata-rata
bertambah dan lebih banyak molekul yang memiliki energi melebihi energi
aktivasi. Pada kebanyakan reaksi, kecepatan akan meningkat dengan
meningkatnya suhu, biasanya kenaikan sebesar 10
o
C akan melipatkan dua atau tiga
laju suatu reaksi antara molekul-molekul. Kenaikan laju reaksi ini menyebabkan
semakin cepatnya molekul-molekul bergerak sehingga lebih sering bertabrakan.
Pada temperatur yang ditinggikan, reaksi kimia yang terjadi sebagai akibat dari
banyaknya molekul yang bertabrakan akan lebih besar, karena makin banyak
molekul yang memiliki kecepatan lebih besar dan karenanya memiliki energi
cukup untuk bereaksi (Keenan, et al., 1980).


2. Pengaruh Konsentrasi Asam
Demikian juga dengan konsentrasi asam, jika dibandingkan dengan nilai
IFT akibat pengaruh suhu pemanasan saja, nilai IFT akibat perlakuan suhu
pemanasan reaksi yang dikombinasikan dengan berbagai tingkat konsentrasi HCl
cenderung lebih tinggi, ditambah dengan hasil uji lanjut Duncan yang
menunjukkan konsentrasi HCl berpengaruh sangat nyata terhadap kenaikan nilai
IFT pada tingkat kepercayaan 99%. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi
asam pun sangat berperan dalam meningkatkan kecepatan reaksi penguraian MES.
Berpengaruhnya konsentrasi asam HCl dapat dijelaskan bahwa asam HCl
bersifat reaktif dan ikut bereaksi dengan MES, apalagi berkombinasi dengan
temperatur. Menurut Slabaugh dan Parsons (1976), kecepatan reaksi berbanding
dengan konsentrasi pereaksi. Semakin banyak konsentrasi pereaksi maka reaksi
akan semakin cepat karena jumlah tumbukan yang terjadi diantara molekul-
molekul zat yang melakukan reaksi tiap detik semakin banyak. Hal ini
menunjukkan bahwa kecepatan reaksi tergantung dari konsentrasi pereaksi.
Meningkatnya jumlah molekul asam memungkinkan semakin besarnya peluang
terjadinya tumbukan antara molekul asam dengan surfaktan MES sehingga reaksi
penguraian semakin cepat terjadi. Disamping itu, menurut Hendrickson (1960),
tingkat reaksi asam meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Secara umum
pada suhu 140-160
o
F (60-71,1
o
C) tingkat reaksi asam meningkat dua kali-nya
dibanding pada suhu 70-80
o
F (21,1-26,7
o
C), begitu pula pada suhu 200-230
o
F (93-
110
o
C) tingkat reaksi asam akan meningkat tiga kali-nya, dan seterusnya.
Peningkatan nilai IFT diduga akibat terjadinya penguraian surfaktan MES
yaitu hidrolisis desulfonasi. Kawauchi (1997), dalam penelitiannya tentang
hidrolisis desulfonasi surfaktan alkil sulfat, dihasilkan bahwa proses hidrolisis
surfaktan alkil sulfat tergantung pada konsentrasi asam. Proses hidrolisis alkil
sulfat pada suhu 121
o
C berlangsung makin cepat dengan bertambahnya
konsentrasi asam dan semakin lamanya waktu pemanasan. Kecepatan hidrolisis
mencapai seratus persen pada menit ke-60 untuk konsentrasi asam H
2
SO
4
0,05N
(0,13% v/v) dan menit ke-10 untuk konsentrasi asam H
2
SO
4
2,5 N (6,66% v/v), 0,5
N (1,36% v/v) dan 0,25 N (0,67% v/v). Hal tersebut mungkin juga terjadi pada
surfaktan MES pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian Kawauchi (1997) diketahui bahwa gugus aktif
surfaktan terhidrolisis membentuk alkohol dan asam sulfat. Semakin tinggi suhu
pemanasan, maka semakin cepat reaksi hidrolisis terjadi dan semakin banyak pula
MES yang terhidrolisis. Kecepatan hidrolisis pun meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi HCl. Dalam hal ini HCl merupakan katalis dalam proses
hidrolisis desulfonasi MES. Menurut Mahargiani (2002), adanya katalisator dapat
mempercepat reaksi walaupun pada suhu yang relatif rendah. Adanya katalisator
akan menurunkan energi aktivasi sehingga konstanta reaksi akan semakin besar.
Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang dibutuhkan untuk terjadinya
tumbukan molekul-molekul sehingga dapat terjadi suatu reaksi. Sehingga hal yang
wajar jika nilai IFT yang dihasilkan akibat pengaruh konsentrasi asam dan suhu
terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai IFT akibat pengaruh suhu dan lama
pemanasan walaupun suhu yang digunakan pada kajian ini lebih rendah.
Reaksi hidrolisis gugus ester diduga terjadi setelah terjadinya desulfonasi.
Hal tersebut dikarenakan ion H
+
akan cenderung menyerang atom O terlebih
dahulu yang membentuk ikatan ganda dengan atom S. Ikatan ganda walaupun
mempunyai energi ikatan yang lebih besar dibanding dengan ikatan tunggal,
namun struktur ikatan ganda lebih labil. Gugus sulfonat bersifat lebih
elektronegatif dibandingkan dengan gugus ester sehingga akan lebih cenderung
menarik elektron dari luar. Reaksi hidrolisis yang diduga terjadi disajikan pada
Gambar 15.

+ H
2
O
R......-CH
2
-COOCH3 + H
+
R......-CH
2
-COO
+
CH3
(Ester)


R.....-CH
2
-COOH + H
+
R.....-CH
2
-COO
+
H
2
+ CH
3
OH


Proses desulfonasi dan hidrolisis gugus ester pada surfaktan MES
diduga menyebabkan MES berkurang sifat aktif permukaannya sehingga nilai
IFT meningkat semakin tajam terutama pada suhu pemanasan 110
o
C dan
konsentrasi asam 20%. Walaupun demikian nilai IFT yang dihasilkan masih
dalam kisaran 10
-2
dyne/cm.

F. PERBANDINGAN SURFAKTAN MES DENGAN SURFAKTAN
KOMERSIAL
Pembandingan nilai IFT surfaktan MES dengan surfaktan komersial
(stimsol), nilai tegangan antar muka yang dihasilkan oleh surfaktan MES
ternyata sedikit lebih rendah. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa surfaktan
MES dengan konsentrasi 3% dapat menyamai surfaktan komersial sehingga
layak untuk dipergunakan dalam proses stimulasi asam. Tabel nilai tegangan
antar muka MES dan surfaktan komersial terdapat pada Tabel 6, sedangkan
histogram perbandingan nilai IFT MES dan surfaktan komersial terdapat pada
Gambar 16.





H
Gambar 15. Reaksi hidrolisis dengan asam (Ketaren, 1986)
Tabel 6. Nilai tegangan antar muka MES dan surfaktan komersial
Konsentrasi HCl
(%v/v)
IFT (dyne/cm)
MES Surfaktan
Komersial
0 3,429 x 10
-3
5,659 x 10
-3

5 4,332 x 10
-3
6,880 x 10
-3

10 5,329 x 10
-3
7,288 x 10
-3

15 7,625 x 10
-3
9,728 x 10
-3

20 1,609 x 10
-2
1,620 x 10
-2













Gambar 16. Histogram perbandingan nilai IFT MES dan surfaktan komersial


G. STUDI KELAKUAN FASA CAMPURAN MINYAK-SURFAKTAN-AIR
Keberhasilan dalam pelaksanaan EOR juga dipengaruhi oleh kelakuan
fasa emulsi pada system minyak-surfaktan-air. Kelakuan fasa menunjukkan
compatibility (kecocokan) surfaktan dengan minyak yang akan diproduksikan.
Terdapat empat tipe kelakuan fasa yaitu emulsi fasa bawah dan terjadi kelebihan
fasa minyak (excess oil). Kedua adalah tipe fasa tengah (mikroemulsi), terdiri
dari 3 fasa, terjadi kelebihan air dan juga minyak. Ketiga adalah tipe emulsi fasa
atas (minyak) dengan kelebihan fasa air (excess water), dan keempat adalah tipe
makroemulsi.
1. Faktor Suhu dan Lama Pemanasan Surfaktan
Hasil kelakuan fasa surfaktan MES karena suhu dan lama pemanasan
adalah kelakuan fasa tipe fasa atas. Perbedaan suhu dan lama pemanasan
0.00E+00
3.00E-03
6.00E-03
9.00E-03
1.20E-02
1.50E-02
1.80E-02
0 5 10 15 20
konsentrasi HCl (%v/v)
I
F
T

(
d
y
n
e
/
c
m
)
Surfaktan
komersial
MES
surfakatan MES tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kelakuan fasa pada
perlakuan suhu 120
o
C dengan lama pemanasan 8, 16, 24, 32, 40, 48, dan 56
jam tidak berbeda dengan kelakuan fasa yang terbentuk pada kondisi
perlakuan suhu 150
o
C dan suhu 180
o
C pada lama pemanasan 8, 16, 24, 32,
40, 48, dan 56 jam. Terbentuknya emulsi fasa atas menunjukkan bahwa
surfaktan MES bersifat lebih larut dalam minyak. Dengan demikian
surfaktan MES dapat mengikat minyak sehingga terlepas dari batuan.
Kondisi tersebut menyebabkan sifat kebasahan batuan menjadi water wet
sehingga surfaktan MES dapat digunakan sebagai oil well stimulation agent.
Pembentukan fasa atas disajikan pada Gambar 17.














2. Faktor Suhu dan Konsentrasi HCl
Uji kelakuan fasa campuran minyak-surfaktan-asam bertujuan untuk
mengetahui compatability atau kecocokan antara surfaktan sebagai acid
additive dengan fluida minyak yang akan distimulasi asam dimana
diharapkan terbentuknya fasa atas. Hasil uji kelakuan fasa campuran
surfaktan, minyak, dan asam adalah kelakuan fasa tipe makroemulsi.
Kelakuan fasa tipe makroemulsi memperlihatkan seluruh zat
(minyak, air, dan surfaktan) bercampur menjadi emulsi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa surfaktan MES kurang cocok dengan fluida minyak
yang digunakan pada percobaan ini. Kondisi ini sangat sulit digunakan dalam
EOR karena dapat menyumbat pori-pori batuan, sehingga apabila dipaksa
untuk didesak akan menyebabkan kerusakan pada formasi. Terbentuknya
air
Emulsi
Gambar 17. Foto kelakuan fasa atas
makroemulsi dapat diduga karena surfaktan MES telah terurai akibat
perlakuan suhu dan konsentrasi asam sehingga tidak lagi bersifat aktif
permukaan. Hasil kelakuan fasa makroemulsi terdapat pada Gambar 18.














Gambar 18. Kelakuan Fasa Makroemulsi


















V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Faktor suhu pemanasan dan konsentrasi asam HCl memberikan
pengaruh terhadap efektifitas surfaktan MES sebagai agent pada proses stimulasi
surfaktan dan sebagai acid additive pada proses stimulasi asam (acidizing)
dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air. Faktor lama pemanasan
tidak berpengaruh terhadap efektifitas surfaktan MES sebagai stimulation agent
dalam menurunkan tegangan antar permukaan minyak-air.
Nilai tegangan antar muka (1FT) sebagai parameter keefektifan
surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antar muka minyak-air semakin
meningkat seiring dengan naiknya suhu pemanasan, begitu pula dengan semakin
besarnya konsentrasi asam HCl yang ditambahkan. Nilai tegangan antar muka
tertinggi yang dihasilkan akibat suhu pemanasan adalah sebesar 2 x 10
-2

dyne/cm, sedangkan nilai IFT tertinggi akibat pengaruh suhu pemanasan yang
dikombinasikan dengan beberapa tingkat konsentrasi HCl adalah sebesar 3,57 x
10
-2
dyne/cm. Peningkatan nilai IFT ini masih dapat diterima karena
peningkatannya masih berkisar pada nilai 10
-2
dyne/cm.
Pada uji kelakuan fasa, pengaruh suhu dan lama pemanasan menghasilkan
kelakuan fasa tipe fasa atas, sedangkan kelakuan fasa yang dihasilkan akibat
perlakuan suhu pemanasan dan konsentrasi HCl adalah kelakuan fasa
makroemulsi. Kelakuan fasa makroemulsi menunjukkan bahwa surfaktan MES
tidak kompatibel dengan minyak yang diuji coba sehingga kurang efektif jika
diaplikasikan sebagai acid additive untuk stimulasi asam.

B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi surfaktan metil
ester sulfonat sebagai oil well stimulation agent dengan sumber bahan baku yang
berasal dari jenis minyak nabati lainnya untuk menambah keberagaman
surfaktan MES yang dipakai dalam proses EOR.


VI. DAFTAR PUSTAKA

Allen TO, AP Roberts. 1993. Production Operations 2 : Well Completions,
Workover, and Stimulation. USA: Oil & Gas Consultants International
(OGCI) Inc.

Ashrawi SS. 1984. A Study of The Relationship Between Surfactant/Oil/Brine
System Phase Behavior and Chemical Flood Recovery in Short Core.
SPE/DOE. 1272 : 311-320

BPS. 2005. Statistik Indonesia 1996-2004. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Dogra SK, S Dogra. 1990. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta:UI Press.

Economides MJ, KG Nolte. 1989. Reservoir Stimulation. Ed ke-2. Schlumberger
Educational Services.

Gardener JE, ME Hayes. 1983. Spinning Drop Interfacial Tensiometer Instruction
Manual. Austin: The University of Texas,.

Gomaa EE. 1997. Enhanced Oil Recovey : Modern Management Aproach. IATMI-
IWPL/MIGAS Conference, Surakarta, 28 Juli-1 Agustus 1997.

Hendrickson AR. 1960. Acid Stimulation on Carbonate Reservoir. Trans., AIME.
219: 16-23

Hu PC, ME Tuvell. 1998. A Mechanistic Approach to the Thermal Degradation of
Alfa Olefin Sulfonates. JAOAC 65 (6 ): 1007

Kawauchi A. 1997. Non Solvent Quantitation of Anionic Surfactant and Inorganic
Ingridients in Laundry Detergent Product. JAOAC 74(7)

Keenan CW, DC Kleinfelter, JH Wood. 1980. General College Chemistry. Ed ke-6.
Harper & Row, Publishers, Inc.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak Lemak. Jakarta:UI-Press

Koesoemadinata RP. 1980. Geologi minyak dan Gas Bumi. Ed ke-3, Jilid 1.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Lake LW. 1989. Enhanced Oil Recovery. New Jersey: Prentice Hall.


Mahargiani T. 2002. Pengaruh Penambahan NaCl pada Proses Hidrolisis Minyak
Sawit Dengan Katalisator HCl. Jurnal Iptek Material : 1( 2).

Matheson KL. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses.
Di dalam : Spitz, L, Editor. Soap and Detergents : A Theoretical and
Practical Review. Champaign: AOCS Press. .

Mac Arthur, W Brian, WB Sheats. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. WWW
The Chemithon Corporation. [terhubung berkala].[5 September 2002].

McCune CC. 1976. Matrix Acidizing Model and Its Application to Different
Sandstones. COFRC.

Milikan CV. 1980. Temperature in Well. Trans. AIME 142: 15.

Mulyadi. 2000. Surfactant For Oil Well Stimulation Agent. Jakarta: PT Mulino
Ciptanusa.

Pore J. 1976. Sulfated and Sulfonated Oil. Di dalam : Karlenskind A, Editor. Oil and
Fats. Manual Intercept Ltd., New York.

Rieger MM. (Ed). 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant science series, New
York: Marcel Dekker, Inc. hlm.488 .

Rivai M. 2004. Kajian Pengaruh Nisbah Reaktan H
2
SO
4
dan Lama Reaksi Sulfonasi
Terhadap Kinerja Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) yang di hasilkan.
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rosen JM. 2004. Surfactant and Interfacial Phenomena. Ed ke-3. New York. John
Wiley & Sons, Inc.

Rosen MJ, dan Goldsmith. 1981. Systematic Analysis of Surface Active Agent.
Second Edition. Di dalam: Elving PJ, IM Kotthoff, editor. Chemical
Analysis. New York. John Wiley & Sons, Inc.

Slabaugh H, W Parsons, D Theran. 1976. General Chemistry. Ed ke-3. New York.
John Wiley & Sons, Inc.

Speight JG. 1980. The Chemistry and Technology of Petroleum. New York: Marcel
Dekker, Inc.

Sugihardjo. 2002. Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air, dan Minyak.
Lemigas : 36(3).

Sumatarto U. 1997. Peningkatan Perolehan (Recovery) Minyak Bumi Paska Primer.
Prosiding Konferensi Energi sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPP,
Jakarta, 11-12 Maret 1997.

Suryani A, I Sailah, E Hambali. 2002. Pengantar Teknologi Emulsi. Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB, Bogor.

Swern D. 1979. Baileys Industrial Oil and Fat Products. Vol. I, Ed ke-4. New
York. John Willey and Son, New York.

Taber JJ, FD Martin, RS Seright. 1997. EOR Screening Criteria Revisited-Part 1 :
Introduction to Screening Criteria and Enhanced Recovery Field Project.
SPE/DOE improved Oil Recovery Symposium, Tulsa, Oklohoma, 21-24
April 1997.

Talley LD, Exxon Research & Engineering Co.1996. Hidrolytic Stability of
Alkylethoxy Sulfate. Paper for SPE/DOE Fifth Symposium on EOR, Tulsa,
Oklohoma, 20-23 April 1996.

Thamrin MK, R Sudibjo. 1992. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi
Pendesakan Surfaktan. Proceeding Diskusi Ilmiah VII Hasil Penelitian
Lemigas, Jakarta, 11-13 Februari 1992.

Tim Lemigas. 2002. Studi Awal Inplementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang kar
Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih: Penentuan Parameter
Batuan, Fluida reservoir dan rancangan Fluida Injeksi. Lemigas.

Watkins C. 2001. All Eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-1159.


























































Lampiran 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Surfaktan Metil Ester
Sulfonat (MES)














































Metil Ester PKO
NaHSO
3
Sulfonasi
Rasio mol metil ester : NaHSO
3
= 1 : 1,5
100
0
C, 4 jam
Metanol 30 %(v/v)
Pemurnian
50
0
C, 1,5 jam
Sentrifugasi
1500 rpm, 30 menit
NaHSO
3

Metil Ester Sulfonat (MES)
NaOH 20%
Penguapan Metanol
70 80
0
C, 10 menit
Penetralan
pH 7, 55
0
C, 30 menit
Metanol
Lampiran 2. Prosedur Karakterisasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)

1. Uji Timol Biru (Rosen dan Goldsmith, 1981)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah suatu bahan atau
larutan merupakan surfaktan anionik atau bukan. Cara pengujian sederhana,
yaitu dengan menambahkan reagen yang terdiri dari 5 ml HCl 0,005 N yang
ditambahkan 3 tetes timol biru 1% kedalam 5 ml (0,01 0,1%) larutan yang
akan diuji (surfaktan). Terbentuknya warna ungu-kemerahan mengindikasikan
keberadaan surfaktan anionik dalam larutan.

2. Bilangan Iod (AOAC, 1995)
Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 gram didalam
labu erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida
dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi Hanus. Semua bahan diatas dicampur
merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium
akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10
ml larutan KI 15%. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan
Na
2
S
2
O
3
0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya
ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru
hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak.






Keterangan : B = ml Na
2
S
2
O
3
blanko
S = ml Na
2
S
2
O
3
contoh
N = normalitas Na
2
S
2
O
3

G = berat contoh
12,69 = berat atom iod/10





3. Bilangan Asam (AOAC, 1995)
G
69 , 12 x N x ) S B (
Iod Bilangan

=
Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 5 gram dalam labu
erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 50 ml alkohol netral 95%, lalu dipanaskan
selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan 2 tetes
indicator penolphtalein 1%, larutan dititrasi dengan KOH 0,1 N sampai berwarna
merah jambu yang tidak hilang dalam beberapa detik. Selanjutnya dihitung
jumlah milligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam dalam satu
gram minyak atau lemak.






Keterangan : A = ml KOH untuk titrasi
N = normalitas larutan KOH
G = berat contoh (gram)


4. pH (BSI, 1996)
Nilai pH dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran
potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH-meter komersial. Alat pH-
meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan
menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan
air bebas CO
2
yang memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda
dicelupkan kedalam larutan yang akan diukur. Nilai pH dibaca pada pH meter,
pembacaan dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali
dengan air bebas CO
2
. Pengukuran minimal dilakukan dua kali.

5. Bilangan Peroksida (AOAC, 1995)
Contoh minyak ditimbang seberat 5 gram didalam labu erlenmeyer,
kemudian dimasukkan 30 ml campuran pelarut yang terdiri dari 60 persen asam
asetat glacial dan 40 persen kloroform. Setelah minyak larut, ditambahkan 0,5 ml
larutan kalium iodida jenuh sambil dikocok. Setelah dua menit sejak
penambahan kalium iodida, ditambahkan 30 ml air. Kelebihan iod dititar dengan
larutan natrium thiosulfat 0,1 N atau 0,01 N, tergantung dari banyaknya iod
bebas. Dengan cara yang sama dibuat juga penentuan blanko. Titrasi blanko
G
1 , 56 x N x A
Asam Bilangan =
tidak boleh lebih dari 0,1 ml larutan natrium thiosulfat. Hasilnya dinyatakan
miliekuivalen per 1000 gram minyak, milimol per 1000 gram, atau milligram
oksigen per 100 gram minyak atau lemak.






Keterangan : A = jumlah ml larutan Na
2
S
2
O
3
(natrium thiosulfat)
N = normalitas larutan Na
2
S
2
O
3

G = berat contoh minyak (gram)


6. Tegangan Permukaan (Metode DuNuoy)
Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan
larutan surfaktan dengan alat Tensiometer du Nuoy. Peralatan dan wadah contoh
yang akan digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih
besar dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromic-sulfuric acid,
kemudian dibilas dengan air destilata. Cincin platinum merupakan bagian dari
alat Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin
dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air
destilata, lalu dikeringkan.
Posisi alat diatur supaya horizontal water pas dan diletakkan pada tempat
yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas.
Larutan contoh dimasukkan kedalam gelas dan diletakkan diatas dudukan
(platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya
cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup
3-5 mm dibawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan
(platform). Skala vernier Tensiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk
harus berada pada posisi berimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya platform
diturunkan perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar
sedimikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca.
Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala
G
000 1 x N x A x 5 , 0
gram 1000 per mol Mili =
dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. Pengukuran dilakukan
paling sedikit dua kali. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan
permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan
sebanyak 10 persen (dalam air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan
surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air
sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.

7. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes,
1983)
Langkah awal surfaktan ditimbang sebanyak x gram dan dilarutkan ke
dalam y gram pelarut, hingga dihasilkan larutan surfaktan MES dengan
konsentrasi 1 % (b/b). Setelah itu larutan surfaktan diaduk menggunakan
magnetic strirrer sampai homogen. Selanjutnya larutan surfaktan tersebut
diukur tegangan antar permukaan minyak-air dengan menggunakan alat
Spinning Drop Interfacial Tensiometer.
Cara kerja Spinning Drop sebagai berikut : panaskan alat spinning
drop, kemudian set pada suhu 40
o
C (kondisi percobaan) dan periode pada 10,10
msec/rev. Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan
surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah
berisi larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube
tidak boleh ada gelembung udara. Masukkan glass tube ke dalam alat spinning
drop, dengan permukaan glass tube menghadap kea rah luar. Hidupkan power
dan tombol lampu. Setiap setengah jam, catat data lebar tetesan dalam tabung
dengan memutar drum. Ulangi pembacaan ini sampai didapatkan harga yang
konstan dari pembacaan lebar tetesan. Bila pembacaan kurang jelas, fokus lensa
dapat diatur. Nilai tegangan antar muka dapat dihitung dengan menggunakan
rumus dibawah ini.








Keterangan :
IFT = nilai tegangan antar muka (dyne/cm)
= perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g/cm)
d = lebar drop (cm)
n = indeks bias larutan surfaktan
P = kecepatan putar (msec)

8. Stabilitas Emulsi (modifikasi ASTM D 1436, 2000)
Stabilitas emulsi diukur antara air dan xylene. Xylene dan air dicampur
dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit
menggunakan vortex-mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur
berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa. Konsentrasi surfaktan yang
ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Lamanya
pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan surfaktan dibandingkan dengan
sesudah ditambahkan surfaktan. Penetapan stabilitas emulsi dilakukan dengan
cara sederhana yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan persen pemisahan,
dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100.








2 3
3 2 6
P n 8
d 10
IFT

=
( )
100 x
n keseluruha volume
pemisahan volume n keseluruha volume
stabilitas %

=
9. Uji Kelakuan Fasa Campuran Surfaktan-Minyak-Air (Tim Lemigas, 2002)
Pada tahap awal buat larutan surfaktan MES 1 % dengan melarutkan x
gram surfaktan didalam y gram pelarut. Pelarut yang digunakan adalah air
aquades, larutan asam HCl pada tingkat konsentrasi 5 %, 10 %, 15 %, dan 20%
(v/v). Larutan surfaktan yang telah dibuat, kemudian di tuang kedalam tabung
reaksi sebanyak 5 ml. Kemudian tambahkan 5 ml minyak ke dalam tabung
reaksi tersebut. Tahap selanjutnya, campuran minyak-surfaktan-air pelarut
dikocok dengan vortex mixer selama 3 menit sampai larutan tercampur merata.
Masukkan ke dalam oven dengan suhu 69
0
C selama 2 jam. Amati terjadinya
mikroemulsi atau sistem fasa yang terbentuk.

10. Berat Jenis (Ketaren, 1986)
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian ditimbang (g).
Piknometer diisi air sehingga volumenya diketahui. Piknometer dengan volume
tertentu (ml) diisi sampai meluap dan tidak terbentuk udara, kemudian ditimbang
beserta isinya (g). Berat jenis sampel ditimbang dengan rumus berikut :
















( ) ( )
( ) ml air Volume
kosong pikno Bobot sampel dan meter pikno Bobot
jenis Berat

=
Lampiran 3. Hasil Analisa Nilai Tegangan Antar Muka (IFT) Akibat Pengaruh
Suhu Pemanasan dan Lama Pemanasan
Lampiran 3a. Rekapitulasi Data Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air (IFT)
Akibat Faktor Suhu dan Lama Pemanasan
Perlakuan Nilai Tegangan Antar Muka (IFT)
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata SD
T1P1 0,014467 0,017344 0,015906 0,00203
T1P2 0,016518 0,017438 0,016978 0,00065
T1P3 0,015846 0,016630 0,016238 0,00055
T1P4 0,014985 0,017195 0,016090 0,00156
T1P5 0,016073 0,017888 0,016980 0,00128
T1P6 0,014908 0,018908 0,016908 0,00283
T1P7 0,016769 0,018462 0,017616 0,00197
T2P1 0,015631 0,016589 0,016110 0,00068
T2P2 0,015644 0,016731 0,016188 0,00077
T2P3 0,016842 0,017375 0,017109 0,00038
T2P4 0,015423 0,016032 0,015728 0,00043
T2P5 0,018318 0,016821 0,017569 0,00106
T2P6 0,020018 0,021199 0,020609 0,00083
T2P7 0,016753 0,018736 0,017744 0,00140
T3P1 0,019925 0,018644 0,019285 0,00090
T3P2 0,019620 0,018391 0,019006 0,00087
T3P3 0,018663 0,017088 0,017875 0,00111
T3P4 0,018396 0,019137 0,018766 0,00052
T3P5 0,018388 0,018185 0,018287 0,00014
T3P6 0,021360 0,017767 0,019564 0,00254
T3P7 0,018647 0,019912 0,019280 0,00089

Keterangan :
T1 : Suhu 120
o
C
T2 : Suhu 150
o
C
T3 : Suhu 180
o
C
P1 : Lama Pemanasan 8 jam
P2 : Lama Pemanasan 16 jam
P3 : Lama Pemanasan 24 jam
P4 : Lama Pemanasan 32 jam
P5 : Lama Pemanasan 40 jam
P6 : Lama Pemanasan 48 jam
P7 : Lama Pemanasan 56 jam

Lampiran 3b. Analisa Sidik Ragam Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air (IFT)
Akibat Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan

DAFTAR ANALISA SIDIK RAGAM
Sumber Variasi db JK KT F F-Tabel
Rata-rata 1 1,303E-02 1,303E-02 8064,954 = 0,01 = 0,05
Perlakuan :
SUHU (Ti) 2 3,576E-05 1,788E-05 11,070** 6,93 3,473
Lama
Pemanasan (Pj)
6 2,116E-05 3,527E-06 2,183 5,95 2,575
Interaksi (TPij) 12 2,045E-05 1,705E-06 1,055 4,82 2,25
Kekeliruan 21 3,392E-05 1,615E-06
Jumlah 42 1,314E-02
Keterangan : * Berpengaruh nyata
** Berpengaruh sangat nyata


Lampiran 3c. Hasil Uji Duncan Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air (IFT)
Akibat Pengaruh Suhu pada Perlakuan Suhu dan Lama Pemanasan

Suhu
(
o
C)
Jumlah Data Rataan
Kelompok
120 14 1,667E-02 A
150 14 1,729E-02 A
180 14 1,887E-02 B

Keterangan :Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang
tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok
Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukan hasil yang berbeda.



















Lampiran 4. Hasil Analisa Nilai Tegangan Antar Muka (IFT) Akibat
Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Asam
Lampiran 4a. Rekapitulasi Data Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air (IFT)
Akibat Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Asam

Perlakuan

Nilai Tegangan Antar Muka (IFT)
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata SD
T1H0 0,002125 0,004733 0,003429 0,00184
T1H1 0,002915 0,005748 0,004322 0,00200
T1H2 0,004158 0,006500 0,005329 0,00165
T1H3 0,009425 0,005814 0,007625 0,00256
T1H4 0,025002 0,007192 0,016097 0,01259
T2H0 0,010046 0,012504 0,011275 0,00173
T2H1 0,017043 0,007437 0,012240 0,00679
T2H2 0,018320 0,008595 0,013457 0,00697
T2H3 0,022912 0,008534 0,015624 0,01031
T2H4 0,020634 0,016564 0,018599 0,00288
T3H0 0,005202 0,004917 0,005060 0,00020
T3H1 0,022324 0,006524 0,014424 0,01117
T3H2 0,012749 0,012892 0,012821 0,00010
T3H3 0,020463 0,020907 0,020685 0,00031
T3H4 0,022354 0,049122 0,035738 0,01893

Keterangan :
T1 : Suhu ruang ( 252
o
C)
T2 : Suhu 60
o
C
T3 : Suhu 110
o
C
H1 : Konsentrasi HCl 5%
H2 : Konsentrasi HCl 10%
H3 : Konsentrasi HCl 15%
H4 : Konsentrasi HCl 20%











Lampiran 4b. Analisa Sidik Ragam Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air
(IFT) Akibat Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Asam

Daftar Analisa Sidik Ragam
Sumber Variasi db JK KT F F-Tabel
Rata-rata 1 5,161E-03 5,161E-03 89,026 = 0,01 = 0,05
Perlakuan :
SUHU (Ti) 2 5,580E-04 2,790E-04 4,813* 6,36 3,68
Konsentrasi
HCl(Hj)
4 1,000E-03 2,501E-04 4,315* 4,89 3,06
Interaksi (THij) 8 3,357E-04 4,197E-05 ,724 4,00 2,64
Kekeliruan 15 8,695E-04 5,797E-05
Jumlah 30 7,924E-03
Keterangan :* * = Berpengaruh sangat nyata
* = Berpengaruh nyata


Lampiran 4c. Hasil Uji Duncan Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air (IFT)
Akibat Pengaruh Suhu pada Perlakuan Suhu dan Konsentrasi Asam

Suhu
(
o
C)
Jumlah Data Rataan Kelompok
Ruang 10 7,362 E-03 A
60 10 1,424 E-02 AB
110 10 1,775 E-02 B

Keterangan :Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang
tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok
Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukan hasil yang berbeda.


Lampiran 4d. Hasil Uji Duncan Nilai Tegangan Antar Muka Minyak-Air (IFT)
Akibat Pengaruh Konsentrasi Asam pada Perlakuan Suhu dan
Konsentrasi Asam
Konsentrasi
HCl (
o
C)
Jumlah Data Rataan Kelompok
0 6 6,588 E-03 A
5 6 1,033 E-02 A
10 6 1,054 E-02 A
15 6 1,464 E-02 AB
20 6 2,348 E-02 B

Keterangan :Kelompok Duncan dengan huruf yang sama menunjukan hasil yang
tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan. Sedangkan kelompok
Duncan dengan huruf yang berbeda menunjukan hasil yang berbeda.


Lampiran 5. Foto Surfaktan MES setelah dipanaskan













Foto Surfaktan Metil Ester Sulfonat















Foto Surfaktan MES Setelah di panaskan
Lampiran 6. Dokumentasi peralatan yang dipakai saat penelitian









a) Alat Spinning Drop Interfacial Intensiometer






b) Refraktometer Abbe








c) Piknometer

Anda mungkin juga menyukai