Anda di halaman 1dari 13

Pluralisme sebagai Tantangan Pendidikan Demokrasi dan Multicultural

Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu








Disusun Oleh:
Tri Handayani
13705251014


PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014


Bab I
Pendahuluan

1. Latar Belakang Penulisan
Bangsa Indonesia terbagi atas ratusan suku bangsa, yang masing-masing
memiliki adat dan tradisi berbeda. Merekapun mempunyai bahasa daerah yang
berlainan, dengan ratusan dialek dan logat bahasa. Jika dikelompokkan,
diperkirakan terdapat sekitar 200 sampai 250 bahasa daerah. Dilihat dari ras,
penduduk Indonesia juga memiliki beberapa ras. Ras didasarkan kepada
persamaan cirri-ciri fisik dari kelompok manusia. Keberagaman budaya suku
bangsa yang terdapat di Indonesia akan memberikan berbagai kemungkinan
implikasi baik secara positif maupun secara negatif, baik menguntungkan maupun
merugikan. Kemungkinan implikasi itu dapat berupa konflik, primordialisme,
politik aliran, dan integrasi.
Demokrasi merupakan pilar pertama untuk menjamin persaudaraan, hak
manusia dengan tidak memandang jenis kelamin, umur, warna kulit, agama dan
bangsa. melihat Indonesia yang begitu kaya akan keberagaman maka sebuah
konsep demokratis harus betul-betul seimbang dengan pemahaman multicultural
yang ditanamkan sejak dini didunia pendidikan kita melalui pendidikan
multicultural. Konsep multikulturalisme menekankan pentingnya memandang
dunia dari bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta
manghargai kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas
global.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk
atau pluralis. kemajemukan sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : perspektif horizontal
dan dan vertikal. Dalam perspektif horizontal, kemajemuan bangsa kita dapat
dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya.
Sedangkan dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat
dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.
Membangun masyarakat yang demokratis bagi Indonesia merupakan suatu tugas
yang tidak ringan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural dan
multikultural. Indonesia terkenal dengan pluralitas suku bangsa yang mendiami
kepulauan nusantara. Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa
Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-
masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku
tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi
suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang
cepat.
Choirul Mahfud, menjelaskan bahwa, Wacana pendidikan
multikultural ini dimaksudkan untuk merespons fenomena konflik
etnis, sosial, budaya yang kerap muncul ditengah-tengah masyarakat
yang berwajah multikultural. Wajah multicultural di negeri ini hingga
kini ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu
politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan
konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik banyak
sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku,
agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah terjadi di
tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan
pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau perbedaan
SARA tersebut (2009:4)

Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya majemuk (multicultural) akibat
dari kemajemukan tersebut sering kita jumpai berbagai kasus seperti:
1. Pembakaran pasar glodok, peristiwa Mei kelabu di Jakarta
2. Peristiwa Ambon-Maluku, pertarungan antara Bugis-Buton-Makasar dan
Ambon Islam melawan Kristen.
3. Peristiwa sabang dan palangkaraya, pertarungan Dayak, Melayu dan
tionghoa melawan Madura.
4. Peristiwa Poso, pertarungan antara kelompok islam dan Kristen yang
disertai oleh unsure-unsur dari luar.
5. Peristiwa Sumbawa (NTT), perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali.
6. Peristiwa Aceh, pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa.
7. Peristiwa separatism gerakan Aceh merdeka dan organisasi Papua
merdeka
8. Penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu
oleh perbedaan.
Banyaknya peristiwa-peristiwa tersebut seakan tidak adanya toleransi antar
masyarakat yang multicultural kurangnya pemahaman akan pluralisme
menciptakan masyarakat yang kurang bisa menerima antar masyarakat lain. Dari
pembelajaran multikulturalisme diharapkan masyarakat mampu memahami akan
makna dari pluralisme di masyarakat.

2. Rumusan masalah
1. Bagaimana masyarakat yang multicultural?
2. Bagaimana pendidikan demokrasi dan multicultural?
3. Apa yang dimaksud dengan pluralisme?
4. Bagaimana bentuk pluralisme yang diharapkan?


BAB II
Pembahasan

1. Masyarakat Indonesia Yang Multikultural
Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua
atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah
serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu sama lain. Menurut
ilmuan, berdasarkan konfigurasi dan komunitas etnik dibedakan menjadi empat
kategori sebagai berikut:
1) Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang. Merupakan
masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau etnik yang
mempunyai kekuatan kompetitif tidak kurang seimbang. Kualisi lintas
etnik sangat diperlukan untuk pembentukan suatu masyarakat yang stabil.
2) Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan. Merupakan masyarakat
majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas etnik dengan kekuatan
kompetitif lebih besar daripada kelompok lainnya. Atau, suatu kelompok
etnis mayoritas mendominasi kompetisi politik atau ekonomi sehingga
posisi kelompok-kelompok yang lain menjadi kecil.
3) Masyarakat mejemuk dengan minoritas dominant.
4) Masyarakat majemuk dengan fragmentasi. Merupakan masyarakat yang
terdiri atas sejumlah kelompok etnik, tetapi semuanya dalam jumlah yang
kecil sehingga tidak ada satu kelompok pun yang mempunyai posisi
politik atau ekonomi yang dominant. Masyarakat demikian ini sangat
stabil tetapi masih mempunyai potensi konflik karena rendahnya
kemampuan pembangunan koalisi.

Untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multicultural tentu
tidak mudah. Paling tidak dibutuhkan beberapa konsep yang mendukung demi
terwujudnya tatanan multicultural yang betul-betul berpijak pada konsep yang
kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh kondisi lingkungan. Konsep
masyarakat multicultural sebenarnya relative baru. Sekitar tahun 1970-an, gerakan
multicultural muncul pertama kali di kanada. Kemudian diikuti Australia,
Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Lain-lainnya. Choirul (2009:100) Bagi
masyarakat Indonesia yang telah melewati reformasi, konsep masyarakat
multicultural bukan hanya sebuah wacana, atau sesuatu yang dibayangkan. Tetapi,
konsep ini adalah sebuah ideology yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM dan kesejahteraan masyarakat.
Karena itu, konsep multicultural ini tidak henti-hentinya selalu dikomuikasikan di
antara ahli sehingga ditemukan kesamaan pemahaman dan saling mendukung
dalam memperjuangkan ideology ini.
Dalam konteks ini, kita harus bersedia menerima kelompok lain secara
sama sebagai satu kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan suku bangsa,
agama, budaya, gender, bahasa, kebiasaan, ataupun kedaerahan, multicultural
memberi penegasan, bahwa segala perbedaan itu sama di dalam ruang public.
Dalam ruang public siapapun boleh dan bebas mengambil peran, di sini tidak ada
perbedaan gender dan kelas yang ada adalah profesionalita. Adanya komunitas
yang berbeda saja belum cukup, sebab terpenting adalaha komunitas itu
diperlakukan sama oleh Negara. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan
yang saling menghormati, itu diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang
mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya mungkin terwujud dalam
praktiknyata apabila ada pranata sosial, terutama pranata hukum yang merupakan
mekanisme kontrol secara ketat dan adil yang mendukung dan mendorong
terwujudnya prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata, prinsip masyarakat sipil
demokratis yang dicita-citakan reformasinya hanya dapat berkembang dan hidup
secara mantap dalam masyarakat Indonesia apabila warganya mempunyai
toleransi terhadap perbedaan dalam bentuk apapun. Di Indonesia terdapat
berbagai macam kebudayaan yang berasal dari hampir seluruh suku bangsa.
Dengan keanekaragaman ini kita dapat mewujudkan masyarakat multicultural,
apabila waganya dapat hidup berdampingan , toleran dan saling menghargai.
Terdapat beberapa prinsip-prinsip dasar dari demokrasi yang patut
dikembangkan di Indonesia adalah:
1) Kesetaraan derajat indiviu
2) Kebabasan
3) Toleransi terhadap perbedaan
4) Konflik dan konsensus
5) Hukum yang adil dan beradab
6) Perikemanusiaan

Prinsip demokrasi tersebut dapat berkembang hanya dalam masyarakat
multicultural, yang dilandasi kesetaraan, demokrasi dan toleransi sejati.

2. Pendidikan Demokrasi dan Multicultural
Tilar (2004:301) secara micro, praksis pendidikan demokratis
mengandung tiga unsur pokok yaitu:
1) Pendidikan yang membebaskan, membebaskan dari fanatisme
keterikatan terhadap nilai-nilai kelompok atau agama dan
menumbuhkan sikap yang penuh toleransi terhadap perbedaan tanpa
mengurangi keyakinan dalam agama sendiri.
2) Pendidikan yang mencerdaskan bangsa, memberikan kemampuan atau
kompetensi untuk mengambil pilihan yang terbaik demi kemaslahatan
individu masyarakatnya,
3) Manusia yang bermoral, moral yang berdasarkan pancasila.

Menurut James A. Banks ( 2002 : 14 ), pendidikan multikultural adalah
cara memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang
beragam kelompok etnis, ras, dan budaya. Pendidikan multicultural, secara
terminology merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya,
etnis, suku dan aliran (agama) (Maslikhah, 2007:48). Pendidikan multicultural
adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar
belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis) ras, agama (alliran
kepercayaan dan budaya (kultur) (Aimnurofik, 2003:100). Pendidikan
multicultural merupakan suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk
menciptakan lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa (Akhmad,
2012:1-74).
Amin (2005:25) pendidikan multicultural adalah strategi pendidikan yang
diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan
perbedaan-perbedaan cultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis,
agama, bahasa, gender, klas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar
menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multicultural memiliki tujuan yaitu
membangun wacana pendidikan multicultural di kalangang guru, dosen, ahli
pendidikan, pengambilan kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa
jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Adapun tujuan akhir dari
pendidikan mltikultural ini adalah, peserta didiktidak hanya mampu memahami
dan menguasai materi pelajaran yang dipelajari akan tetapi diharpkan juga bahwa
para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap
demokratis, pluralis dan humanis.
Choirul (2009:187) pendiikan multiculturalisme bisanya mempunyai ciri-
ciri yaitu:
1) Tujuannya membentuk manusia budaya dalam menciptakan
masyarakat berbudaya (berperadapan)
2) Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kmanusiaan, nilai-nilai bangsa
dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural)
3) Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis)
4) Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak
didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya
lainnya.

3. Pluralisme
Pluralisme adalah ideology-ideologi yang memandang keanekaragamana
budaya yang lebih memandang keanekaragaman budaya yang lebih menekankan
perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya ( Maria, 2012:297).
pluralisme sesuatu yang sangat asasi dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau
kelompok-kelompok cultural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta
keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan
sebagainya (Syamsul, 2005:13).
Orang yang dikatakan memiliki sikap pluralisme yaitu apabila ia dapat
berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut, saling
mengerti, memahami dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi
tercapai kerukunan antarumat beragama. Pluralisme berkaitan dengan prinsip-
prinsip demokrasi. Pluralisme tersebut berkenaan dengan hak hidup kelompok-
kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas yang memiliki budaya
masing-masing (Tilar, 2004:82).
Pluralisme merupakan menerima kemajemukan, menerima kemajukan
berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti
menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang
tidak sama. Kemajemukan juga bukan berarti tercampur baur dalam satu
frame Justru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang
membedakan hal yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan.
Jadi pluralisme berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau
akulturasi (penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi,
kendati di dalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana
keaslian tetap dipertahankan.
Manfaat dari pluralisme (penerimaan kemajemukan) yaitu dengan adanya dan
penerimaan akan kemajemukan, maka dengan sendirinya harus :
1. Ditolak berbagai paham, sikap dan praktek hidup yang mengandung
unsur-unsur diskriminasi, fanatisme, premordialisme dan kekerasan atau
terorisme.
2. Dijamin penuh kebebasan dan keadilan.
3. Setiap kelompok (maupun oknum anggota kelompok) yang berbeda akan
saling:
- Memberi ruang atau kesempatan untuk mewujudkan dan
mengembangkan dirinya, cita-cita atau tujuan hidupnya masing-
masing sebagaimana adanya dan mestinya.
- Menghargai / menghormati.
- Belajar untuk memahami dengan lebih baik.
- Menunjang dan memperkaya.

Beberapa cara memelihara kemajemukan secara Internal yaitu :
1) Pendalaman dan pemahaman identitas sendiri dengan lebih tepat,
mendalam dan lengkap.
2) Pendewasaan dan peningkatan kwalitas diri (sebagai manusia pada
umumnya maupun secara khusus sebagai orang beragama dan beriman,
beradat dan berbudaya, berakhlak dan bermoral, berbangsa dan
bernegara) melalui pengajaran, pelatihan dan pembinaan untuk
meningkatan penetahuan, ketrampilan dan kepribadian, dengan penekanan
pada pengakaran nilai-nilai hidup (kemanusiaan, keagamaan/keimanan,
kebudayaan, dan kemasyarakatan/ kenegaraan) serta penerapannya dalam
parktek hidup sehari-hari.
3) Revitalisasi (pemantapan diri, posisi, peran/fungsi/makna) melalui:
introspeksi, koreksi atau pembaharuan, pelestarian dan pengembangan
internal secara kontekstual dan berkelanjutan.

Secara eksternal yaitu:
1) Pengenalan/pendalaman dan pemahaman satu sama lain melalui dialog
(komunikasi), keterbukaan dan proses belajar timbal balik, secara
proporsional.
2) Membangun hidup bersama yang rukun dan toleran dalam suasana
persaudaraan lintas kelompok yang berbeda secara berkelanjutan.
3) Menanamkan dan mengembangkan kejujuran, ketulusan dan kepercayaan
satu sama lain.
4) Mencari dan mengembangkan bersama simpul kerukunan dan kesatuan
dalam kemajemukan.
5) Mengembangkan solidaritas soslal dan persaudaraan sejati lintas
kelompok yang berbeda (agama, suku, ras, dll) dalam tindakan konkrit
atau praktek hidup yang nyata dan aktual.
6) Membangun kerjasama lintas kelompok yang berbeda dalam bidang
pendidikan (pengajaran, pelatihan dan pembinaan formal maupun non-
fromal), ekonomi, sosial karitatif, sosial budaya dan politik.

4. Bentuk pluralisme yang diharapkan
Di era multikulturalisme dan pluralisme sekarang ini, seluruh masyarakat
dengan segala unsurnya dituntut untuk saling tergantung dan menanggung nasib
secara bersama-sama demi terciptanya kerukunan. Salah satu bagian penting dari
konsekuensi tata kehidupan global ditandai kemajemukan etnis, budaya dan
agama tersebut adalah membangun dan menumbuhkan kembali teologi pluralisme
dalam masyarakat. Memang harus diakui, kemajemukan bangsa bukanlah realitas
yang baru terbentuk. Kemajemukan dari segi etnis, budaya, bahasa dan agama,
merupakan realitas sejarah yang sudah berlangsung lama dikenal, diakui dan
bahkan dikukuhkan di Indonesia, Sedangkan di Indonesia pendidikan
multukultural relative baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang diangap lebih
sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural.
Tilar (2000:89) Pendidikan sebagai sebuah prose humanisasi dan
hominisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluargan dan
masyarakan yang berbudaya dan suatu proses pembudayaa yang diarahkan kepada
perkembangannya kepribadian seseorang yang demokratis. Pendidikan pluralisme
yang akan dibentuk, tujuan pendidikannya, secara khusus adalah dalam rangka
menjawab, merespons dan mengantisipasi persoalan-persoalan kerusuhan berbau
SARA (Syamsul, 2005:9). Bentuk pendidikan pluralisme harus mencerminkan
adanya pluralitas. Maksudnya, guru dan murid-murinya harus bersifat heterogen,
tidak terkotak-kotak satu sama lain. Sehingga orang-orang yang memiliki
keanekaragaman budaya, agama dan etnis dapat berinteraksi secara langsung dan
memungkinkan untuk saling belajar dan memahami satu sama lain dalam satu
komunitas pendidikan. Pluralism di Indonesia haruslah didasarkan pada
pemahaman adanya fenomena bahwa satu tuhan, banyak agama hal tersebut
merupakan fakta yang dihadapi manusia sekarang ini selain itu juga harus
didasarkan pada suatu pengertian bahwa manusia memang berbeda, tapi mereka
juga memiliki kesamaan-kesamaan dan setidaknya dalam keadaan peradaban
sekarang ini persamaan-persamaan mereka lebih penting ketimbang perbedaan-
perbedaan diantara mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, Hidayatullah. Al Arifin. Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam
Praksis Pendidikan di Indonesia.(10523274)

Amin, Abdullah. 2005. Pendidikan Multicultural. Yogyakarta: Pilar Media

Banks, James A. 2007. Educating citizens in multicultural society. Second edition.
New York: Teachers College Columbia University.

Choirul, Mahfud. 2009, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maria, Josephine mantik. 2012. Konsep Multikulturalisme dan Pluralisme dalam
Lalita Karya Ayu Utami. (pra siding)

Syamsul, Maarif.2005. Pendidikan Pluralisme Di Indonesia. Yogyakarta:
Logung Pustaka

Tilar, H.A.R, 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta
__________. 2004. Multikulturalisme. Jakarta: PT. Grasindo

Anda mungkin juga menyukai