Anda di halaman 1dari 31

Tanggapan terhadap Daftar Permasalahan yang terkait dengan Laporan Awal ICCPR-

Indonesia

Dengan fokus tentang Isu-Isu Penyiksaan


Disusun oleh:

KELOMPOK KERJA UNTUK ADVOKASI MENENTANG PENYIKSAAN
(WGAT)



2013





Tim WGAT: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Koalisi
Perempuan Indonesia (KPI), YPHA, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH
Jakarta), Center for Detention Studies (CDS), Human Rights Working Group
(HRWG).
Tanggapan terhadap Daftar Permasalahan yang terkait dengan Laporan Awal ICCPR-
Indonesia

Isu-Isu Penyiksaan


Disusun oleh: KELOMPOK KERJA UNTUK ADVOKASI MENENTANG
PENYIKSAAN (WGAT)
Berkonsultasi dengan: The World Organization Against Torture (OMCT)



Tim Kontributor:

1. Adzkar Ahsinin (YPHA)
2. Ali Akbar Tanjung (HRWG)
3. Feby Yonesta (LBH Jakarta)
4. Ikhana Indah Barnasaputri (ELSAM)
5. Maruli Radjaguguk (LBH Jakarta)
6. M.Gatot Goei (CDS)
7. Th. Mike Verawati (KPI)
8. Wahyu Wagiman (ELSAM)

Sekretariat WGAT:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
J l. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, INDONESIA 12510 Tel; (62-21)
79192564 Fax: (62-21) 79192519 Email: office@elsam.or.id
I. Introduction

1. Dokumen ini diajukan sebagai sebuah laporan alternatif atas gabungan dari laporan
awal dan laporan periodik pertama Republik Indonesia tentang pemenuhan atas
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan). Laporan
ini dibuat dengan mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
Komite Hak Asasi Manusia di dalam Daftar Permasalahan
1
dengan fokus khusus
yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan penyiksaan dan
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya
(perlakuan yang sewenang-wenang). Laporan ini memberikan rekomendasi-
rekomendasi bagi Negara untuk setiap isu yang dibahas.
2. Laporan alternatif ini disusun oleh Kelompok Kerja untuk Advokasi Menentang
Penyiksaan (WGAT). WGAT dibentuk pada tahun 2007 dan terdiri dari 15 NGO
di tingkat nasional dan lokal yang bekerja untuk penghapusan penyiksaan.
Beberapa anggota WGAT memiliki fokus kerja pada proses pembuatan kebijakan,
sementara yang lainnya berkonsentrasi pada litigasi publik serta pemantauan atas
isu-isu hak asasi manusia.
3. Laporan alternatif ini disusun atas dasar berbagai materi dan sumber yang diterima
dari setiap anggota WGAT. Informasi di dalam laporan ini dikumpulkan dari
kegiatan-kegiatan pemantauan dan advokasi yang dilakukan oleh setiap organisasi
anggota.
4. WGAT ingin menyampaikan bahwa WGAT telah menyerahkan sebuah laporan
alternatif dan sebuah catatan tindak lanjut pada tahun 2008 dan 2010 kepada
Komite Menentang Penyiksaan dalam kerangka pemeriksaan terhadap laporan
periodik kedua dari Pemerintah Republik Indonesia. Hingga saat ini, pemerintah
belum meningkatkan pelaksaan rekomendasi-rekomendasi yang dirumuskan oleh
Komite.

II. Kerangka kerja konstitusional dan hukum dalam pelaksanaan Kovenan, hak
atas pemulihan yang efektif (pasal 2)

Isu 1: Silahkan berikan juga informasi tentang ketersediaan pemulihan bagi individu-
1
Dokumen CCPR/C/IDN/Q/1.

individu yang menyatakan terjadinya suatu pelanggaran terhadap hak-hak yang
dimuat di dalam Konstitusi dan Kovenan.

5. Ada beberapa peraturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Peraturan-
peraturan tersebut, antara lain, adalah pasal 34 dan 35 Undang-Undang No.
26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
2
. Peraturan-peraturan lainnya
adalah Undang-Undang No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan
Peraturan Pemerintah No. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan bagi Saksi dan Korban.
6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dibentuk melalui Undang-
Undang No. 13/2006, memiliki mandat untuk memberikan perlindungan dan
memenuhi hak-hak para saksi dan korban (termasuk hak atas kompensasi bagi para
korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan hak atas restitusi bagi para korban
tindak pidana).
7. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum sepenuhnya efisien bagi
para korban sejak didirikan. Contohnya, di dalam kasus Urut Sewu di Kebumen,
para korban berstatus tersangka sehingga LPSK tidak dapat memberikan
perlindungan kepada para korban. Kurangnya kehati-hatian juga mengakibatkan
terhentinya layanan bantuan medis bagi korban tragedi 1965. Hal ini terjadi pada
Nani Nurani, yang bantuan medisnya dihentikan tanpa alasan yang jelas.
Kelemahan-kelemahan yang lainnya dari LPSK adalah pengambilan keputusan
yang lambat untuk menerima permohonan pemberian perlindungan dan bantuan
oleh seorang korban; korban tidak mendapatkan bantuan segera, malah harus
menunggu Rapat Pleno LPSK terlebih dahulu
3
.
2
Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: Pasal 34
mengenai Perlindungan terhadap Saksi dan Korban dan Pasal 35 mengenai
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
3
Berdasarkan Peraturan LPSK No. 3/2010, tidak ada informasi yang jelas tentang
kapan rapat pleno dilaksanakan. Pasal 9 dari Peraturan tersebut menyebutkan bahwa
Rapat Pleno akan dipimpin oleh Ketua LPSK dan didahului dengan sebuah undangan.
Namun, seringkali dalam praktiknya, para anggota LPSK tidak mengambil bagian di
dalam Pleno (karena jadwal yang tidak jelas), sehingga rapat-rapat seringkali tidak
quorum.


Isu 3: Kemudian, upaya-upaya apa yang telah dilakukan untuk memastikan bahwa
Komnas HAM dapat melawan keputusan-keputusan Kejaksaan untuk tidak
mengadili kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang telah
direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk diadili.

8. Sejak bulan J uni 2013, Kejaksaan Agung belum memproses beberapa laporan
penyelidikan KOMNAS HAM yang terkait dengan kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia walaupun KOMNAS HAM telah memberikan rekomendasinya.
Meskipun KOMNAS HAM menganggap bahwa hasil dari penyelidikan-
penyelidikan tersebut telah rampung, Kejaksaan Agung menganggap bahwa kasus-
kasus tersebut belum lengkap (setidaknya ada 6 laporan pelanggaran-pelanggaran
hak asasi manusia yang belum diproses oleh Kejaksaan Agung, seperti Peristiwa
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (1998), Peristiwa Mei 1998, penghilangan
paksa 1997-1998, Peristiwa Talangsari tahun 1989, Peristiwa 1965, Peristiwa
Penembakan Misterius).
9. Di tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat menerbitkan empat rekomendasi kepada
Presiden dalam upayanya untuk menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa
tahun 1997-1998 (kasus dugaan penculikan terhadap 23 aktivis mahasiswa oleh
pihak keamanan Indonesia di tahun 1997 dan 1998, di bulan-bulan terakhir
kekuasaan mantan Presiden Suharto. Sembilan orang dari aktivis yang diculik,
kemudian dibebaskan dalam kondisi hidup, seorang ditemukan tewas, dan 13
lainnya tidak pernah ditemukan. Di tahun 1999, pengadilan militer memidana 11
personil militer atas penculikan aktivis yang dibebaskan dalam kondisi hidup
tersebut, namun pengadilan tersebut tidak memeriksa isu penghilangan paksa
terhadap 13 kasus yang lainnya). Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Merekomendasikan Presiden untuk membentuk sebuah pengadilan ad hoc hak
asasi manusia. Hingga kini Pengadilan ad hoc Hak Asasi Manusia tersebut belum
dibentuk karena Kejaksaan Agung tidak menindaklanjuti rekomendasi KOMNAS
HAM dalam kasus ini. Selain itu, pendirian pengadilan ad hoc Hak Asasi Manusia
juga memerlukan sebuah Keputusan Presiden, seperti yang diatur di dalam
Undang-Undang No. 26/2000; 2) Merekomendasikan Presiden dan lembaga-
lembaga pemerintah, serta para pemangku kepentingan untuk menemukan
keberadaan dari 13 aktivis mahasiswa tersebut, yang masih hilang hingga saat ini;
3) Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan
kompensasi bagi para keluarga korban penghilangan paksa; 4) Merekomendasikan
pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan
bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Sejak bulan J uni, rekomendasi-
rekomendasi tersebut belum dilaksanakan, kecuali dalam kaitannya dengan proses
ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari
Penghilangan Paksa (ICEPD).
10. Sejak bulan J uni 2013, sebuah rencana ratifikasi atas ICPED telah
disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas nama Pemerintah
Indonesia. Namun, Pemerintah belum menyerahkan rancangan dari rencana
ratifikasi tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
11. Di tahun 2012, Presiden membentuk sebuah tim kecil di bawah kordinasi
Menteri Kordinasi Urusan Politik, Hukum dan Keamanan untuk mencari jalan
terbaik di dalam memberikan solusi-solusi terhadap pelanggaran-pelanggaran hak
asasi manusia, namun hingga bulan J uni 2013, tim tersebut belum mengumumkan
hasil apapun.

III. Hak atas Hidup (Pasal 6)

Isu 10: Silahkan berikan data tentang jumlah kematian dan penyebab-penyebabnya
di dalam penjara-penjara dan tempat-tempat penahanan yang ada di Negara pihak.
Silahkan berikan juga informasi tentang upaya-upaya khusus yang diambil untuk
mencegah kematian di penjara. Upaya-upaya apa sajakah yang telah diambil untuk
menyelidiki, dan bila diperlukan, mengadili dan menghukum tindakan-tindakan
para personil penjara atau kekerasan antar narapidana yang mengakibatkan
kematian di dalam penjara dan fasilitas penahanan? Silahkan berikan data
sehubungan dengan jumlah angka personil penjara yang mendapatkan
pendisiplinan atau diadili atas kasus-kasus yang terkait dengan kematian di dalam
penjara atau fasilitas penahanan.

12. Berdasarkan dokumen Rekapitulasi Sebab Kematian Narapidana dan Tahanan
Seluruh Wilayah Indonesia tahun 2012 yang diterbitkan oleh Direktorat J endral
Pemasyarakatan, di tahun 2010, angka kematian berjumlah 791; di tahun 2011
(J anuari-Agustus), jumlah kematian adalah 352 dan, di tahun 2012 (J anuari-
September), jumlah kematian adalah 440. Berdasarkan laporan tersebut, kematian
di tempat penahanan terkait dengan masalah kesehatan (serangan jantung, sakit
pernapasan) atau kekerasan internal di dalam penjara. Angka kematian akibat
HIV/AIDS adalah yang tertinggi dengan jumlah 204 kasus di tahun 2010, 105
kasus di tahun 2011, dan penurunan menjadi 73 kasus di tahun 2012.
13. Berdasarkan dokumen tersebut, kematian para tahanan dan narapidana di penjara
dan tempat-tempat penahanan di Indonesia telah menurun sejak tahun 2010, 2011
dan 2012 (lihat lampiran 3). WGAT memiliki keprihatinan terhadap tidak adanya
otopsi yang dilakukan di dalam kasus-kasus kematian yang mencurigakat. Hal ini
terjadi, contohnya, pada kasus Sijunjung (lihat lampiran 2), di mana para korban
meninggal di tempat penahanan. Pihak yang berwajib melaporkan bahwa mereka
melakukan bunuh diri di dalam tahanan.

IV. Pelarangan penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan lainnya; kebebasan dan keamanan orang, perlakuan terhadap
orang yang dirampas kebebasannya, kemandirian peradilan dan pengadilan
yang adil (Pasal 7, 9, 10 dan 14)

Isu 12: Silahkan berikan pembaharuan informasi sehubungan dengan langkah-
langkah spesifik yang telah diambil untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berlaku pada saat ini sehingga dapat melarang penyiksaan dan memuat
definisi penyiksaan yang sesuai dengan pasal 7 dari Kovenan dan pasal 1 dari
Konvensi Menentang Penyiksaan. Silahkan berikan informasi tentang upaya-upaya
yang diambil untuk melawan dugaan meluasnya penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang terhadap para tahanan, dan kondisi tidak layak di penjara-penjara yang
diduga diperburuk oleh kepadatan yang berlebih karena kebanyakan penjara dan
tempat penahanan beroperasi hampir dua kali lipat melebihi kapasitasnya.

14. Indonesia telah meratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Hukuman yang Kejam, TIdak Manusiawi atau Merendahkan lainnya sejak tahun
1998. 15 (lima belas) tahun setelah ratifikasi, beroperasi hampir dua kali lipat
dari kapasitasnya. Penyiksaan masih dipraktikan oleh petugas kepolisian, petugas
penjara, petugas dari tempat-tempat penahanan lainnya (contohnya, pusat-pusat
pelatihan bagi bagi para pekerja migran, tempat-tempat penahanan imigrasi, pusat
rehabilitasi narkoba, dan panti-panti sosial), dan petugas militer
4
di seluruh
Indonesia. Para pelaku seringkali bebas dari hukuman karena, antara lain,
kurangnya definisi dan kriminalisasi atas Penyiksaan. Definisi penyiksaan seperti
yang dinyatakan di dalam Pasal 1 dari Konvensi menentang Penyiksaan belum
diintegrasikan ke dalam hukum nasional dikarenakan oleh lambatnya proses
legislasi penyusunan Naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Definisi
tersebut juga tidak diintegrasikan kedalam undang-undang khusus.
15. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada hanya mengakui istilah
penganiayaan yang diancam pidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan,
atau lima tahun bila mengakibatkan cidera fisik yang berat, atau tujuh tahun bila
berakibat pada kematian
5
. Pidana yang diatur di dalam KUHP untuk
penganiayaan tersebut tidak mencerminkan unsur utama dari penyiksaan, yang
pelarangannya telah diakui di dalam norma hukum internasional jus cogens
6
.
16. Praktik ini telah dibuktikan oleh temuan-temuan dari pemantauan persidangan
yang dilakukan oleh ELSAM dan penelitian yang dilakukan oleh LBH J akarta.
Contohnya adalah kasus Sijunjung dan kasus Erick Alamsyah. Di Sumatra Barat
pada tahun 2011 (lampiran 2), pengadilan terhadap para pelaku dilakukan setelah
adanya hujatan publik yang datang dari media, masyarakat sipil, dan KOMNAS
HAM dan LPSK.
17. Sejak awal tahun 2013, pembahasan-pembahasan yang terkait dengan naskah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru memuat sebuah definisi tentang
penyiksaan
7
, pihak masyarakat sipil telah membuat catatan kritis karena muatan-
4
Berdasarkan laporan Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia 2012 Tahun
Peningkatan Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia, ELSAM 2012.
5
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 351.
6
Laporan Tindak Lanjut Alternatif tentang Perkembangan Pelaksanaan Rekomendasi
yang dibuat oleh Komite Menentang Penyiksaan untuk Indonesia; Laporan WGAT,
Maret 2010
7
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi 2012 pasal 404 mengenai
Penyiksaan yang berbunyi Setiap pejabat publik atau orang lain yang bertindak

muatan lainnya di dalam naskah tersebut bertentangan dengan asas-asas dan
norma-norma hak asasi manusia
8
.
18. Kepala Kepolisian Republik Indonesia menetapkan sebuah Peraturan Kepolisian
(Perkap) Nomor 8 tahun 2009 tentang Pelaksanaan Standar-Standar dan Asas-
Asas dalam Menjalankan Tugas-Tugas Kepolisian, yang berlaku bagi Polisi (dan
segala unit khusus kepolisian yang terkait lainnya, seperti unit anti-terorisme
Datasemen Khusus 88 yang dikenal dengan Densus 88.) Sementara peraturan
tersebut termasuk pelarangan penyiksaan dan tindangan sewenang-wenang,
peraturan tersebut tidak secara jelas menyebutkan tindakan penyiksaan. Peraturan
Kepolisian ini dipandang sebagai langkah yang positif pada saat itu. Namun,
peraturan tersebut gagal untuk merespon secara tepat praktik penyiksaan yang
dilakukan oleh polisi di Indonesia, terutama karena pelaksanaan dan
sosialisasinya yang lemah di lapangan.
19. Berdasarkan kasus-kasus yang dipantau oleh ELSAM dan LBH J akarta, ruang-
ruang interogasi di kantor polisi tidak dilengkapi dengan perekam audio dan
video. Namun di beberapa tempat, seperti di wilayah Kepolisian Resort J akarta
Utara, ada sebuah CCTV di dalam ruang penyidikan, namun tidak berfungsi.

Berdasarkan laporan akhir tahun LBH dan riset tentang pencegahan dan
penghapusan penyiksaan periode 2010-2012, polisi adalah pelaku utama
penyiksaan
9
. Tabel di bawah ini menunjukkan jumlah kasus penyiksaan yang
dengan kapasitas resmi atau dalam penyelidikan atas atau dengan persetujuan dari
seorang pejabat publik, yang melakukan segala tindakan yang mengakibatkan rasa
sakit atau penderitaan yang berat, baik secara fisik ataupun mental, terhadap
seseorang dengan tujuan untuk mendapatkan informasi atau sebuah pengakuan dari
dirinya ataupun dari pihak ketiga, menghukumnya atas sebuah tindakan yang
dilakukan oleh dirinya atau oleh pihak ketiga atau diduga melakukan atau
mengintimidasi atau memaksa dirinya atau pihak ketiga, atau atas alasan apapun yang
didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun juga, dapat dipidana dengan
hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimum 20 tahun.
8
Merujuk pada http://www.elsam.or.id/?act=view&id=2384&cat=c/101
9
Ini dapat dilihat di dalam Catatan Akhir Tahun yang diterbitkan oleh LBH J akarta
pada tahun 2010, 2011, dan 2012.

dilakukan olek polisi yang diterima oleh LBH J akarta pada tahun 2010, 2011, dan
2012 (penjelasan lengkap dari kasus tersebut terlampir di lampiran 1).

Kasus-kasus penyiksaan yang dilaporkan kepada LBH Jakarta

Tahun J umlah Pelaku
2010 7 Kasus Polisi
2011 2 kasus Polisi
2012 5 Kasus Polisi

(Sumber: Laporan LBH Jakarta)

20. Laporan LBH J akarta Penelitian Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan
di Indonesia tahun 2010, yang dilakukan di lima wilayah di Indonesia seperti
J akarta, Makassar, Surabaya, Banda Aceh dan Lhokseumawe, menunjukkan
bahwa prevelansi tertinggi penyiksaan terdapat di tingkat Penyidikan dan
penahanan sebelum persidangan dengan berbagai prosentase di atas 53% hingga
97.9%. Prevelansi penyiksaan cukup rendah di tingkat pemidanaan, dengan
kisaran sekitar 44%. Di Lhokseumawe.
21. Sejak dekade terakhir (2002-2012), 56 tersangka teroris ditembak mati dalam
operasi-operasi Kepolisian Indonesia (Datasemen Khusus 88). Tidak ada
mekanisme pemeriksaan bagi para petugas kepolisian terkait dengan
kewenangan untuk menangkap atau menahan tersangka teroris. Sejak 2010-
2012, tercatat sejumlah 28 kasus salah tangkap. Mereka dituduh terlibat
terorisme tanpa ada bukti permulaan yang memadai. Ada banyak tersangka
teroris yang ditangkap tanpa surat penangkapan. Terkadang, polisi
mengeluarkan surat penangkapan setelah menangkap para tersangka teroris
10
.
22. Data sehubungan dengan para tahanan dan narapidana di Indonesia dapat
diakses melalu beberapa website yang terbaharui berikut ini
10
Data dari Taufik Andrie, Direktur Penelitian dari Lembaga Pembangunan
Perdamaian Internasional di J akarta, dipresentasikan di sebuah Loka Karya tentang
Kondisi Undang-Undang Keamanan di Asean, ICJ -ELSAM- LIBERTAS, Oktober
2012.

http://smslap.ditjenpas.go.id yang dikelola oleh Direktorat J endral
Pemasyarakatan. Setiap hari dilaporkan bahwa baik lembaga-lembaga
pemasyarakatan maupun rumah-rumah tahanan mengalamai kepadatan hingga
150% melebihi kapasitas dari ruang yang tersedia. Belum ada program yang
jelas dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengatasi
permasalahan ini, meskipun kementerian ini seharusnya merancang sebuah
kebijakan untuk mengatasi kondisi ini.
23. OMCT menerbitkan sebuah seruan mendesak pada bulan Mei 2013 tentang
kondisi penahanan Bpk. Matan Klembiap, seorang warga Papua berusia 41
tahun, yang ditahan di penjara Abepura sejak bulan Februari 2013. OMCT
diberitahu tentang kondisi kesehatannya yang buruk, akibat dari penyiksaan
yang dia alami selama proses penangkapan dan pemeriksaan oleh kepolisian,
dan kurangnya layanan medis yang disediakan oleh pihak yang berwajib sejak
ia ditahan
11
.
24. Tingkat kepadatan yang melebihi kapasitas juga merupakan realitas yang terjadi
di tempat-tempat penahanan kepolisian. Namun, tidak ada data yang tersedia
untuk membandingkan jumlah tahanan di dalam fasilitas-fasilitas penahanan di
kepolisian dengan rumah-rumah tahanan yang dikelola oleh Direktorat J endral
Pemasyarakatan. Informasi yang terbatas tentang tingkat kepadatan yang
melebihi kapasitad di tempat penahanan kepolisian menunjukkan kurangnya
kehendak dari kepolisian Indonesia untuk mengkomunikasikan kondisi hak
asasi manusia para tahanan yang berada di bawah tanggung jawab kepolisan.

Isu 13: Silahkan berikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil untuk
menjamin akses ke penjara-penjara dan tempat-tempat penahanan oleh badan-
badan pemantauan yang independen setelah penolakkan oleh pemerintah pada
tahun 2009 untuk memberikan akses kepada Komite Palang Merah
Internasional (ICRC) untuk menginspeksi penjara-penjara dan tempat-tempat
penahanan di Negara Pihak. Silahkan berikan tanggapan atas dugaan-dugaan
bahwa Negara Pihak meminta ICRC untuk menutup kantor lapangannya di
propinsi Aceh dan Papua. Silahkan menkonfirmasi tentang apakah sebuah
mekanisme pemantauan yang independen telah dibentuk untuk memantau
11
Lihat seruan mendesak OMCT IDN 270513 dapat diakses melalui www.omct.org

kondisi penjara dan tempat penahanan dan kondisi para narapidana dan tahanan,
dengan kewenangan untuk melakukannya tanpa pemberitahuan sebelumnya.

25. Sejak bulan J uni 2013, Indonesia tidak memiliki mekanisme independen yang
melakukan kegiatan-kegiatan pemantauan terhadap tempat-tempat penahanan.
Hal ini dikarenakan Indonesia belum maratifikasi OPCAT meskipun rencana ini
telah dicantumkan di dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) tahun 2011-2014. Dalam kaitannya dengan proses ratifikasi
OPCAT, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini sedang
merancang undang-undang dan naskah akademik ratifikasi tersebut.
26. Masyarakat sipil dapat mengunjungi tempat-tempat penahanan yang berada di
bawah kewenangan Direktorat J endral Pemasyarakatan melalui sebuah
perjanjian langsung (MoU) dengan Direktorat tersebut. Namun, kunjungan-
kunjungan ini harus diberitahukan dan tidak dapat dilakukan secara dadakan.
Tempat-tempat penahanan yang berada di bawah kewenangan kepolisian dan
TNI masih tetap sulit untuk diakses oleh masyarakat sipil.
27. Lembaga-lembaga negara yang dapat memantau tempat-tempat penahanan
adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional
anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Ombudsman. Namun, kunjungan
hanya dapat dilakukan bila ada pengaduan yang diajukan kepada mereka. Tidak
ada satupun lembaga ini yang dapat melakukan kunjungan ke tempat-tempat
penahanan secara dadakan.
28. Atas permintaan dari pihak Militer dan Kepolisian, pada tahun 2009,
Kementerian Luar Negeri menolak akses ICRC untuk mengunjungi penjara dan
tempat-tempat penahanan. WGAT melihat bahwa kujungan yang dilakukan
oleh ICRC dapat sangat bermanfaat bagi perbaikan sanitasi dan kondisi
kesehatan di penjara, seperti organisasi-organisasi internasional lainnya yang
telah membantu membangun sistem pemantauan untuk pencegahan HIV/AIDS
dan penyakit menular lainnya.

Isu 14: Silahkan berikan tanggapan terhadap dugaan-dugaan tentang
meluasnya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap para
tahanan, khususnya pada saat penangkapan dan selama penahanan pra
penyidangan, dan bahwa penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
tersebut kebanyakan digunakan untuk mendapatkan pengakuan. Upaya-upaya
apa yang telah dilakukan untuk memastikan bahwa bukti-bukti yang
didapatkan dengan menggunakan penyiksaan tidak dapat dijadikan bukti yang
sah dan tidak digunakan di dalam persidangan? Silahkan berikan data yang
terkait dengan kegiatan-kegiatan Divisi Urusan Internal dan Komisi
Kepolisian Nasional, yang diberikan mandat untuk menyelidiki pengaduan-
pengaduan terhadap petugas-petugas kepolisian. Silahkan berikan data,
khususnya tentang: (a) jumlah pengaduan yang diterima terkait dengan
petugas-petugas kepolisian; (b) penyelidikan yang dijalankan; (c)
penyidangan, pemidanaan dan jenis-jenis hukuman yang diberikan; dan (d)
kompensasi yang diberikan kepada para korban penyiksaan atau perlakuan
sewenang-wenang.

29. Merujuk paragraf sebelumnya mengenai laporan alternatif ini, praktik
penyiksaan masih terjadi dan semakin meningkat. Sejak bulan J anuari hingga
November 2011, ELSAM telah mendokumentasikan 19 kasus penyiksaan dan
perlakuan yang sewenang-wenang
12
, selain itu, ELSAM juga
mendokumentasikan 83 kasus serupa dari bulan Desember 2011 hingga
November 2012
13
. Dari pemantauan kegiatan yang dilakukan oleh ELSAM,
sebagian besar korban penyiksaan adalah pelaku kejahatan ringan seperti
pencurian telepon genggam, pencurian kotak amal, pencurian kendaraan
bermotor, dan perkelahian
14
.
30. NGO telah mengajukan pengaduan-pengaduan tentang praktik penyiksaan ke
berbagai lembaga, mulai dari laporan kejahatan kepada Pusat Layanan
Kepolisian, pengaduan kepada Propam Keplisian Indonesia, serta kepada
12
Laporan Kondisi Hak Asasi Manusia 2011, Menuju Titik Terendah Perlindungan
Hak Asasi Manusia; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), J anuari
2012.
13
Laporan Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia 2012. Tahun Peningkatan
Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia, ELSAM 2012.
14
Laporan Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia 2012. Tahun Peningkatan
Kekerasan dan Pengabaian Hak Asasi Manusia, ELSAM 2012.

Komisi Kepolisian Nasional. Namun, tanggapan terhadap laporan-laporan ini
sangatlah lambat, terutama di dalam mengungkapkan praktik penyiksaan.
Pemulihan terhadap para korban jarang sekali diterima (lihat lampiran 1).
31. Praktik tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku penyiksaan tidak
disidangkan. Ketika hal tersebut terjadi, sebagian besar diakibatkan oleh
tekanan publik (seperti dari media, Komnas HAM, LPSK dan masyarakat sipil).
Para pelaku penyiksaan yang diajukan ke pengadilan dihukum dengan pasal
penganiayaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
32. Contoh dari kasus-kasus yang mendapatkan perhatian media adalah, antara lain,
kasus Sijunjung (Faisal Budri) di akhir tahun 2011, Erik Alamsyah di tahun
2012 kedua kasus tersebut terjadi di Sumatera Barat, dan kasus Charles Mali
di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2011. Dalam kasus Erik Alamsyah dan
Sijunjung, para pelaku, yang merupakan petugas kepolisian, dihukum selama 1
hingga 2 tahun. Sementara di dalam kasus Charles Mali, para pelaku, yaitu 22
orang aparat militer, diadili di Pengadilan Militer dan dihukum hingga 11 bulan
penjara (lihat Lampiran 2).
33. Di antara bentuk-bentuk lain perlakuan sewenang-wenang terhadap para
tahanan yang menjadi perhatian adalah pemerasan di dalam rumah-rumah
tahanan baik yang berada di bawah kepolisian maupun yang berada di bawah
Direktorat J endral Pemasyarakatan. Praktik tersebut meliputi tindakan para
petugas yang meminta para tahanan yang mereka percaya untuk mengumpulkan
uang untuk sewa kamar, kunjungan dan berbagai biaya lainnya kepada para
tahanan yang lain, bila seorang tahanan atau narapidana ingin mendapatkan
sesuatu.

Isu 15: Silahkan berikan informasi tentang upaya-upaya yang telah diambil
untuk mencegah meluasnya penggunaan hukuman fisik di Negara Pihak.
Upaya-upaya apa yang diambil untuk mencabut peraturan-peraturan lokal
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2005 di Aceh, yang
mencantumkan hukuman fisik untuk beberapa bentuk kejahatan, dan yang
penegakkannya diserahkan kepada polisi moral (Wilayatul Hisbah) yang
mengeksekusi hukuman ini di hadapan publik dengan menggunakan metode-
metode seperti pencambukan?

34. Pada tahun 2009, Propinsi Aceh mengesahkan Undang-Undang No. 11 tahun
2006 (tentang Pemerintahan Aceh), yang mengatur tentang hukuman fisik
seperti pencambukan dan rajam untuk para pelaku kejahatan. Balai Syura
Ureung Inong Aceh
15
mencatat bahwa praktik pencambukan tesebut telah
dilakukan sejak tahun 2002 di Aceh untuk kejahatan-kejahatan terhadap qanun
yang mengatur tentang cara berpakaian, qanun khalwat yang melarang seorang
laki-laki dan seorang perempuan berdua-duaan di tempat sepi
16
; qanun maisir
yang melarang penggunaan alkohol; dan qanun khamar yang melarang
perjudian. Pencambukan dilakukan di hadapan umum.
35. Masyarakat miskin, khususnya perempuan, rentan terhadap pencambukan. Di
dalam undang-undang tersebut, pencambukan bukanlah satu-satunya hukuman
yang dimungkinkan. Ada sanksi-sanksi lain, termasuk denda dalam bentuk uang
dan barang-berharga seperti emas. Akibatnya, orang-orang yang berasal dari
strata sosial yang lebih tinggi dapat menghindari pencambukan dengan
mudahnya. Selain itu, sistem peradilannya masih sangan rentan terhadap
pemerasan dan penyuapan.
36. Fakta bahwa pencambukan seringkali diterapkan untuk kejahatan-kejahatan
ringan seperti pelanggaran terhadap tata cara berpakaian yang Islami, menjual
makanan pada bulan puasa, dan berdua-duaan di tempat sunyi bersama seorang
laki-laki, menjadikan perempuan lebih rentan terhadap bentuk hukuman ini.
Selain itu, peraturan sharia (Qanun) tidak mengatur tentang bantuan hukum bagi
mereka yang dikenakan hukuman cambuk.
Pada tanggal 1 Oktober, 2010, dua orang perempuan pedagang
kaki lima, Rukiah (22) dan Murni (17), keduanya merupakan
warga Baitussalam Aceh Besar, dicambuk di hadapan ratusan
15
Balai Syura Ureung Inong Aceh adalah sebuah organisasi masyarakat sipil yang
memberikan penguatan bagi perempuan Aceh pasca konflik. Salah satu mandatnya
adalah menjamin keterwakilan perempuan di dalam proses pembuatan kebijakan dan
penyelesaian konflik secara damai melalui dialog. Website:
http://bsuia.wordpress.com/sejarah-bsuia/.

16


orang di pekarangan depan Mesjid Al Munawarah, dua hingga
tiga kali, karena mereka menjual makanan di bulan Ramadhan
17
.
37. Pelaksanaan hukum shariah oleh Wilayatul Hisbah (WH) juga diskriminatif dan
cenderung menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi dan bias gender.
Putri Ermelia, seorang warga Langsa Aceh, melakukan bunuh
diri setelah dituduh terlibat prostitusi dan ditangkap oleh WH.
Namun kebenaran tentang tuduhan tersebut tetap tidak jelas
18
.

Isu 16: Silahkan berikan tanggapan terhadap laporan-laporan bahwa para tahanan pra
persidangan tidak dipisahkan di dalam beberapa penjara di Negara pihak, seperti di
penjara Pondok Bambu (J akarta) dan Rumah Tahanan Anak Kutoarjo (J awa Tengah).
Silahkan berikan juga tanggapan atas dugaan kurangnya pemisahan antara narapidana
anak dan dewasa dan antara tersangka dengan narapidana di Negara pihak. Upaya-
upaya apa yang diambil untuk memastikan pemisahan tersebut dipenuhi di seluruh
tempat pemasungan kebebasan di Negara pihak?

Meskipun anak-anak tidak lagi ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu,
namun mereka ditahan di blok yang sama dengan tahanan dewasa di Rumah
Tahanan Salemba. Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Peradilan Anak
mewajibkan pemisahan antara anak-anak dan orang dewasa di tempat-tempat
penahanan. Berdasarkan undang-undang tersebut, anak-anak harus ditempatkan
di dalam rumah-rumah tahanan sementara atau sebuah fasilitas pendidikan bagi
anak-anak yang harus terpisah sepenuhnya dari pengelolaan Tempat-Tempat
Penahanan atau Pemasyarakatan. Namun, undang-undang tersebut belum
dilaksanakan
19
.
38. Meskipun Indonesia terdiri dari 34 propinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota, jumlah
17
www.detik.com.
18
Didokumentasikan oleh Koalisi Perempuan Indonesia basis Aceh Claura Evanty,
Sekretaris Lokal Koalisi Perempuan Indonesia di Aceh.
19
Peraturan ini menyebutkan bahwa pelaksanaanya akan dilakukan dua tahun setelah
pengesahannya.

fasilitas penahanan bagi anak hanya berjumlah 19 tempat
20
. J umlah fasilitas
penahanan yang terbatas bagi anak-anak ini tidak dibarengi dengan upaya
apapun untuk menuntaskan akar permasalahan
21
yang mendorong anak-anak
untuk melakukan kejahatan.
39. Data from the National Police Headquarter shows the growing number of
children committing crimes in 2007-2009

Year Boy Girl Total
2007 2.785 360 3.145
2008 2.747 483 3.280
2009 3.200 1.013 4.213
Sumber: Profil Anak tahun 2011, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2012

40. Menurut Ibu. Harkristuti Harkrisnowo, Direktur J endral Hak Asasi Manusia
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mayoritas anak-anak yang
bersengketa dengan hukum dicabut kebebasannya karena tidak adanya penasihat
20
Ke-19 Lapas Anak di seluruh Indonesia, yaitu: (1) Lapas Anak Gianyar, Provinsi
Bali; (2) Lapas Anak Pria Tangerang, Provinsi Banten; (3) Lapas Anak Wanita
Tangerang, Provinsi; (4) Lapas Anak Muara Bulian, Provinsi J ambi; (5) Lapas Anak
Bandung, Provinsi J awa Barat; (6) Lapas Anak Kutoarjo, Provinsi J awa Tengah; (7)
Lapas Anak Blitar, Provinsi J awa Timur; (8) Lapas Anak Pontianak, Provinsi
Kalimantan Barat; (9) Lapas Anak Martapura, Provinsi Kalimantan Selatan; (10)
Lapas Anak, Bandar Lampung, Provinsi Lampung; (11) Lapas Anak Kota Bumi,
Provinsi Lampung; (12) Lapas Anak Medan, Provinsi Sumatera Utara; (13) Lapas
Anak Tanjung
21
Beberapa akar permasalahan yang berkontribusi terhadap kejahatan yang dilakukan
oleh remaja adalah, antara lain, biaya pendidikan yang semakin tinggi, tingkat
kemiskinan yang tinggi, akses yang mudah terhadap pornografi yang tidak disertai
dengan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, tidak memadainya ruang bagi
anak-anak untuk bermain dan mengeksperiskan diri mereka, ruang-ruang publik telah
berubah menjadi ruang-ruang komersial.

hukum
22
. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh LBH J akarta di tahun 2012
menunjukkan bahwa pada saat penangkapan, pemeriksaan dan penahanan, anak-
anak mengalami penyiksaan. Penyiksaan terhadap anak-anak pada saat
penahanan terjadi karena lamanya waktu penahanan
23
.
41. Total lamanya masa penahanan pada saat proses penyidikan bagi anak-anak
yang bersengketa dengan hukum adalah maksimum 200 hari. Durasi tersebut
dianggap terlalu lama bagi anak-anak.
42. Baru-baru ini, Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 11 tahun 2012
tentang Peradilan Anak yang menggantikan Undang-Undang No. 3 tahun 1997.
Ada tiga isu yang dianggap sebagai sebuah kemajuan di dalam Undang-Undang
No. 11 tahun 2011, yaitu: 1) usia pertanggungjawaban pidana ditingkatkan
menjadi 14 tahun, di mana di undang-undang sebelumnya mencantumkan bahwa
batas usia bagi anak untuk dipidanakan adalah 8 hingga 12 tahun; 2) undang-
undang tersebut mengatur tentang diversi yang artinya adalah penyelesaian
kasus di luar pengadilan pidana; 3) undang-undang tersebut mengatur tentang
keadilan restoratif. Namun, pelaksanaan Undang-Undang No. 11 tahun 2012
masih berkisar pada inisiatif peribadi dari petugas penegak hukum, dan masih
belum sepenuhnya dilaksanakan. Hingga saat ini, peraturan pemerintah atas
Undang-Undang tersebut masih dalam proses pembahasan di Kementrian
22
Berdasarkan sebuah penelitian di tahun 2011 yang dilakukan oleh UNICEF dan
Pusat Kajian Kriminologi Universitas Indonesia, dari 85% kasus yang melibatkan
anak-anak melalui sistem peradilan, 80% di antaranya ditempatkan di penjara.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LBH J akarta, 71% kasus yang melibatkan
anak-anak tidak diselesaikan dengan menggunakan mekansime diversi (seperti
dialog). Lihat Restaria F Hutabarat, dkk., "Memudarnya Batas Kejahatan dan
Penegakan Hukum: Situasi Pelanggaran Hak Anak dalam Peradilan Pidana", LBH
J akarta, J akarta, 2012
23
According to a study conducted by LBH J akarta, 58% of children in conflict with
the law were detained more than 60 days. Referring to the Law No. 3/ 1997 on
J uvenile Court, the duration for detention of children in all stages is maximum 200
days.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LBH J akarta, 58% anak yang bersengketa
dengan hukum ditahan

Hukum dan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu peraturan pelaksanaannya
masih tetap menggunakan Undang-Undang No. 3 tahun 1997.
43. Akibat dari kondisi ini, jumlah tahanan dan narapidana anak akan terus
meningkat tinggi seperti yang tampak pada data dari Direktorat J endral
Pemasyarakatan tahun 2011 di bawah ini.

Status Anak Laki-Laki Anak
Perempuan
Total
Narapidana 3.038 274 3.312
Tahanan 49.238 2.162 51.400
Total 52.276 2.436 54.712

44. Selain itu, tingkat kepadatan yang berlebihan di tempat-tempat penahanan untuk
anak adalah salah satu konsekuensi ketika anak-anak harus menghadapi
peradilan pidana. Berdasarkan data dari Direktorat J endral Pemasyarakatan,
tingkat kepadatan yang berlebihan di tempat-tempat penahanan anak dapat
dilihat dari tabel berikut ini
24
:


Nama Tempat
Penahanan
Jumlah
Tahanan/Narapidana
Kapasitas Kelebihan
Kapasitas
Rumah Tahanan
Laki-Laki
Tanggerang
241 220 110
Rumah Tahanan
Martapura
930 180 517
Rumah Tahanan
Anak Pekanbaru
207 194 107
Rumah Tahanan
Anak Medan
588 250 235

Beberapa faktor yang menghambat akses keadilan bagi anak-anak yang
24
http://smslap.ditjenpas.go.id/, diakses pada tanggal 22 Mei 2013.

bersengketa dengan hukum adalah kurangnya kapasitas dan jumlah penegak
hukum dan pengacara. Selain itu, sarana dan prasarananya juga sangat terbatas.

45. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan sebuah sistem peradilan anak
yang integral (lex specialis) yang memuat baik hukum material maupun hukum
formal agar peradilan anak dapat menjadi sui generis
25
. Penggunaan mekanisme
diversi dan keadilan restoratif harus menjadi model yang digunakan untuk
menangani anak-anak yang bersengketa dengan hukum di masa depan
26
.
Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak telah
mengakomodasi mekanisme diversi dan keadilan restoratif, meskipun ada
beberapa kritik, karena penahanan anak masih digunakan di dalam sistem
peradilan anak. Selain itu, lamanya penahanan bagi anak yang bersengketa
dengan hukum di setiap proses peradilan pidana masih terlalu lama bagi anak-
anak, karena bisa mencapai hingga 110 hari
27
. Kemudian, belum ada ketentuan
apapun yang mengatur bahwa setiap anak yang ditangkap harus secara fisik
dibawa ke hadapan seorang hakim anak agar hakim tersebut tahu kondisi anak
tersebut dan untuk menilai apakah anak tersebut perlu ditahan atau tidak.

Isu 17: Silahkan berikan tanggapan terhadap laporan-laporan bahwa meskipun
hukum mengkriminalisasikan perkosaan, peristiwa perkosaan masih tinggi dan
bahwa pengadilan menjatuhkan hukuman minimum kepada orang-orang yang
dipidana karena melakukan perkosaan. Silahkan berikan informasi tentang
upaya-upaya spesifik yang diambil untuk memastikan bahwa hukuman-hukuman
bagi perkosaan membuat orang jera melakukan kejahatan ini.

25
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang
No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak masih menerapkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum acara pidana anak.
26
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang
No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak masih menerapkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum acara pidana anak.
27
Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang sampai 200 hari, peraturan
terbaru ini sampai 100 hari dan masih dianggap terlalu lama bagi anak-anak.

46. Di tahun 2011, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia didominasi oleh
angka kasus perkosaan. 400.939 kasus didokumentasikan, di mana sejumlah
70.115 kasus diantaranya dilakukan di rumah. Pelaku pemerkosaannya adalah
ayah, orang tua, saudara kandung dan kerabat. 22.285 kasus perkosaan terjadi di
tempat-tempat umum, termasuk di dalam angkutan umum. Selain itu, Negara
telah melakukan kejahatan yang sama dengan membiarkan 1.561 kasus
perkosaan terjadi tanpa adanya penyidikan (Laporan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2011). Di awal tahun 2013, jumlah
perkosaan cukup tinggi dan kebanyakan terjadi pada anak perempuan di usia 18
tahun.
47. Di dalam laporan akhir tahun yang diterbitkan oleh Koalisi Perempuan untuk
Keadilan dan Demokrasi, terlihat bahwa perkosaan sering kali terjadi di rumah.
Hal ini dikarenakan standar perumahan yang tidak layak di Indonesia (rumah-
rumah terlalu sempit tanpa ada pemisahan kamar). Kemiskinan menghambat
masyarakat dalam mendapatkan standar perumahan yang layak dan sebagai
akibatnya, perempuan dan anak perempuan tetap rentan terhadap pelecehan dan
kekerasan seksual di rumah mereka sendiri.
In addition to that, rape is considered as a taboo in the society and makes it
therefore difficult for women and girls to report.
48. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak melaksanakan
tugas mereka dengan baik, khususnya di dalam menghukum para pelaku
perkosaan. Akibatnya, tidak ada efek jera. Ketika perkosaan tidak segera
diungkapkan dan dituntaskan oleh polisi, maka perkosaan akan terus menjadi
tren di antara para pelaku. Perspektif para aparat penegak hukum masih bias
gender. Dari seluruh kasus perkosaan, kebanyakan diantaranya diputuskan
sebagai hubungan seksual atas dasar suka sama suka
28
.
49. Sanksi bagi pelaku perkosan juga sangat rendah dan tidak memuaskan bagi para
korban. Hal ini dikarenakan ketentuan yang terkait dengan perkosaan di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang belum diamandemen sesuai dengan
peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia.

Article 285 regarding rape
28
Laporan LBH APik J akarta tahun 2006-2010.


Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam
karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun

Perkosaan didefinisikan sebagai suatu tindakan dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman kepada seorang perempuan yang bukan isterinya untuk
melakukan hubungan seksual dengan dirinya Unsur-unsur di dalam delik ini
adalah, antara lain: menggunakan kekerasan atau ancaman; untuk memaksa
seorang perempuan yang bukan isterinya; untuk berhubungan seksual. Di dalam
konteks sosial saat ini, rumusan tersebut jelas sekali ketinggalan zaman, karena
pemerkosaan telah secara pesat berubah dalam hal modus operandi dan model.

Isu 18: Silahkan berikan tanggapan terhadap laporan-laporan bahwa kekerasan
terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi
permasalahan yang diperburuk dengan tingkat pelaporan yang rendah dan
dokumentasi yang buruk oleh aparat Negara. Kemudian, silahkan berikan
tanggapan terhadap laporan-laporan bahwa undang-undang tidak melarang
sunat perempuan (FGM), dan bahwa pada bulan 2010, Kementerian Kesehatan
telah menerbitkan surat keputusan yang melarang jenis-jenis sunat perempuan
yang buruk namun secara jelas memperbolehkan para doktor, bidan dan
perawat bersertifikat untuk melakukan sunat perempuan. Silahkan jelaskan
bagaimana medikalisasi atas praktik sunat perempuan sesuai dengan hak-hak
yang diatur di dalam Kovenan.

50. Sunat perempuan masih dipraktikkan di banyak tempat di Indonesia. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tujuh tahun yang lalu
menunjukkan bahwa 68 persen dari sunat perempuan di Sulawesi Selatan dan
Banten, contohnya, yang masih dilakukan oleh petugas non-medis. Penelitian
tersebut menjadi alasan mengapa Menteri Kesehatan mengeluarkan pelarangan
terhadap sunat perempuan pada tahun 2006 (Surat Edaran Direktorat J endral
Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Nomor HK. 00.07.1.31047a
tertanggal 20 April 2006 tentang Pelarangan Sunat Perempuan).
51. Namun, dua tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
sebuah fatwa yang menolak larangan yang dirumuskan oleh Kementerian
Kesehatan tersebut dengan alasan bahwa sunat perempuan adalah bagian dari
shariah dan, pada tahun 2010, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak
Kementerian Kesehatan untuk mengeluarkan surat keputusan PMK No. 163/
2010 yang memperbolehkan sunat perempuan.
52. Di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatra Barat, J awa Barat, Madura,
Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, praktik sunat perempuan tetap
menjadi tradisi. Praktik tersebut sangat erat kaitannya dengan ajaran agama,
khususnya Islam. Sebagai akibat dari PMK No. 1636 tersebut, setiap rumah
sakit, bahkan klinik bersalin swasta, melakukan sunat perempuan dengan alasan
bahwa lebih higienis dan lebih aman dilakukan sesuai dengan cara yang medis.

Isu 19: Silahkan berikan tanggapan atas laporan-laporan bahwa undang-undang
mengizinkan polisi menahan tersangka selama 20 hari di periode awal, yang
dapat diperpanjang hingga 60 hari, dan bahwa jaksa dapat melanjutkan
penahanan tersangka hingga 30 hari dan hanya dapat memperpanjang masa
tahanan tersebut selama 20 hari lagi atas izin dari pengadilan. Silahkan berikan
pernyataan bagaimana hal tersebut sesuai dengan Kovenan.

53. Kitab Hukum Acara Pidana memungkinkan para penyidik dan jaksa untuk
memperpanjang masa penahanan bila penyidikan belum rampung, dan bila para
penyidik serta jaksa belum menyelesaikan dokumen kasus tersebut. Para
penyidik diperbolehkan menahan seseorang selama maksimal 20 hari yang
dapat diperpanjang hingga 40 hari. J aksa dapat menahan seseorang selama
maksimum 20 hari yang dapat diperpanjang hingga maksimum 30 hari. Hakim
dapan menahan seseorang selama maksimum 30 hari yang dapat diperpanjang
hingga 60 hari. Dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
mencantumkan bahwa ketentuan tersebut tidak menghapuskan kemungkinan
membebaskan seorang tahanan sebelum masa tahanannya berakhir, bila
penyidikan belum selesai. Bila masa penahanan berakhir dan kasusnya belum
rampung, terdakwa harus dibebaskan demi hukum. Namun, dalam praktiknya,
kita masih menemukan penahanan sewenang-wenang, tanpa adanya surat
penangkapan atau penahanan (lihat lampiran 1 dan 2).
54. J umlah total hari penahanan, sejak tahap penyidikan hingga persidangan di
Mahkamah Agung adalah 400 hari. Bila batas masa penahanan dan pemeriksaan
belum rampung, tersangka/terdakwa harus dibebaskan demi hukum.
55. Masa penahanan di Indonesia panjang dan dapat memfasilitasi terjadinya
penyiksaan. Dan hal ini juga melanggar asas-asas pengadilan yang cepat,
murah, dan sederhana.
56. Masih ada sejumlah tahanan, yang masa penahanannya hampir habis, namun
masih ditahan karena dokumen-dokumennya yang belum selesai di kejaksaan.

Isu 20: Silahkan sebutkan upaya-upaya yang diambil oleh Negara pihak untuk
memastikan bahwa para tersangka memiliki akses atas pengacara dan layanan
bantuan hukum, termasuk dugaan bahwa cepatnya kasus-kasus yang didanai
oleh skema bantuan hukum tergantung dari bayaran suapnya.

57. Hak atas bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi seluruh warga
negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh Keputusan
Mahkamah Agung No. 006/PUU-II/2004. Kemudian, hak atas bantuan hukum
diatur di dalam Pasal 17, 18,19 dan 34 dari Undang-Undang No.39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang diamandemen dengan Undang-Undang No. 34
tahun 1999, Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan
Pasal 54, 55, dan 56 dari Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
58. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana digunakan sebagai rujukan
bantuan hukum. Rumusan bantuan hukum di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut: 1) Bantuan
hukum hanya diberikan bagi masyarakat miskin/tidak mampu yang diancam
dengan pidana penjara selama 5 tahun atau lebih. Akibatnya, masyarakat miskin
yang diancam pidana kurang dari 5 tahun penjara kehilangan hak atas penasihat
hukum; hal ini terjadi di dalam kasus-kasus kriminalisasi atas kebebasan
beragama/berkeyakinan, sengketa tanah, sengketa perburuhan, dll; 2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa ada kewajiban bagi
terdakwa yang diancam pidana penjara selama 5 tahun atau lebih, untuk
didampingi oleh pengacara, namun bila kewajiban ini tidak dilaksanakan, tidak
ada sanksi atas pelangaran hukum acara tersebut. Di banyak kasus, hakim tetap
melaksanakan sidang meskipun terdakwa, yang diancam pidana penjara selama
5 tahun atau lebih, tidak didampingi oleh pengacara dan; 3) Tidak ada sanksi
terhadap para penyidik yang tidak memenuhi hak atas bantuan hukum.
59. Pada tanggal 31 Oktober 2011, Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 16
tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang memberikan bantuan hukum dalam
bentuk akses dan dana bagi lembaga-lembaga bantuan hukum. Ada satu
peraturan di bawah undang-undang ini, yaitu Peraturan Pemerintah No. 42
tahun 2013 tentang Persyaratan-Persyaratan dan Prosedur-Prosedur pemberian
dan distribusi bantuan hukum serta Peraturan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia No. 3 tahun 2013 tentang Prosedur Verifikasi dan Akreditasi
Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi-Organisasi Masyarakat
Sipil. Peraturan di bawah undang-undang ini belum dilaksanakan secara efektif.
60. Berdasarkan sebuah laporan yang diterbitkan oleh LBH J akarta pada tahun
2012, upaya-upaya untuk memberikan bantuan hukum memberikan dampak
yang besar bagi masyarakat miskin dalam kaitannya dengan pemulihan dan
penghukuman terhadap pelaku penyiksaan. Hal inilah yang terjadi di dalam
kasus Hasan Basri, seorang korban salah tangkap yang mengalami penyiksaan
di dalam tahanan (silahkan lihat lampiran 1 di dalam daftar kasus tahun 2012).
Dia dibebaskan karena para penasihat hukumnya dapat membuktikan bahwa
kasus tersebut direkayasa dan terdakwa tersebut disiksa.
61. Ada juga pendanaan bagi bantuan hukum di berbagai lembaga negara,
contohnya di Bank Indonesia. Di dalam proses pelaksanaanya, penggunaan
dana tersebut rentan terhadap penyalahgunaan. Contohnya, dana tersebut
digunakan untuk mengadvokasi para pejabat bank yang diduga melakukan
korupsi di dalam kasus BLBI
29
.
62. Penyuapan di dalam proses hukum masih terjadi di Indonesia. Penyuapan di
29
http://english.kompas.com/read/2009/06/12/2040428/Aulia.Says.His.Case.Thick.wit
h.Political.Intere sts

dalam kasus-kasus korupsi juga melibatkan aparat penegak hukum seperti para
hakim, jaksa dan polisi. Negara telah mengambil tindakan hukum untuk
menanggapi praktik penyuapan ini, khususnya terhadap aparat penegak hukum.
Namun, tindakan hukum tersebut masih belum memadai, dan penyuapan yang
melibatkan aparat penegak hukum masih terus berlanjut.

Isu 21: Silahkan berikan informasi tentang kemajuan yang dicapai oleh Satuan
Tugas Penghapusan Mafia Peradilan berkaitan dengan laporan-laporan dari
sebuah tim independen pencarian fakta yang teridi dari para penyidik yang
menemukan bahwa korupsi meluas di segala tingkat sistem penyelenggaraan
peradilan di Negara peserta. Silahkan berikan data statistik tentang (a) angka
penyelidikan yang telah dilakukan; (b) jumlah orang yang telah diadili dan
dipidana atas tindakan korupsi yang melibatkan peradilan; dan (c) jumlah orang
yang dikenakan tindakan pendisiplinan.

63. Sebuah Satuan Tugas Penghapusan Mafia Peradilan (Satgas PMH) didirikan
pada tahun 2009 melalui Keputusan Presiden No. 37 tahun 2009. Mandat dari
Satuan Tugas ini adalah melakukan kegiatan-kegiatan kordinasi, evaluasi,
koreksi dan pemantauan untuk menghapus mafia peradilan.
64. For 2 years, the Task Force received 2869 reports starting from 6 August 2010.
According to the reports, there were 410 cases of corruption involving the state
police, 283 cases involving the judiciary, and 232 cases involving the office of
prosecutors30. The performance of the Task Force that was well appreciated
was related to the impromptu visits to places of detention. However, on the
other hand, the performance of the Task Force was also criticized by various
social elements, for example social figures, civil society and also by the
Commission III of the House of Representatives, particularly regarding to the
exemption of corruptors. The Task Force was accused of not performing its
tasks in a well manner. Therefore, the suggestion not to extend its mandate was
growing. Finally, on 30 December 2011, the mandate for the Task Force was
ended and some of its tasks, such as system improvement, receiving complaints
and following them up were diverted to the UKP- PPP31.
65. Selama 2 tahun, Satuan Tugas tersebut menerima 2869 laporang sejak tanggal 6
Agustus 2010. Berdasarkan laporan-laporan tersebut, ada 410 kasus korupsi
yang melibatkan aparat kepolisian, 283 kasus melibatkan peradilan, dan 232
kasus melibatkan kejaksaan
30
. Kinerja Satuan Tugas yang sangat dihargai
adalah yang terkait dengan kunjungan-kunjungan dadakan ke tempat-tempat
penahanan. Namun, di sisi lain, kinerja Satuan Tugas juga dikritik oleh berbagai
elemen masyarakat, contohnya dari parah tokoh masyarakat, masyarakat sipil
dan juga oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, khsusnya yang terkait
dengan pembebasan koruptor. Satuan Tugas juga dituduh tidak melakukan
tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, saran untuk tidak memperpanjang
mandatnya berkembang. Akhirnya, pada tanggal 30 Desember 2011, mandat
dari Satuan Tugas tersebut diakhiri dan beberapa tugasnya, seperti perbaikan
sistem, menerima pengaduan dan menindaklanjutinya, dialihkan kepada UKP-
PPP
31
.
30
Kepolisian adalah lembaga yang paling sering diadukan, 7 Agustus 2010, dapat
dilihat di:
http://nasional.kompas.com/read/2010/08/07/11412176/Kepolisian.Paling.Banyak.Di
keluhkan-3
31
UKP-PPP (Satuan Tugas dan Unit Kerja Presiden untuk Pemantauan dan
Pengawasan Pembangunan), adalah sebuah unit kepresidenan untuk pengawasan dan
pengendailan yang berada di bawah, dan secara langsung bertanggungjawab kepada
presiden. Dasar pembentukannya adalah Keputusan Presiden No. 54 tahun 2009. Di
dalam melaksanakan tugas-tugasnya, UKP-PPP berkolaborasi dengan Wakil Presiden
dan berkordinasi dan mendapatkan informasi dan kementerian-kementerian bantuan
teknis, lembaga-lembaga non kementerian, badan-badan pemerintah, pemerintah-
pemerintah daerah (Pemda), dan pihak-pihak terkait lainnya. Tugas-tugas UKP-PPP,
berdasarkan Pasal 3 dari Keputusan Presiden No. 54 tahun 2009 adalah untuk
membantu Presiden dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pembanguan
agar mencapai target-target pembangunan dengan lancar.

V. Rekomendasi
WGAT ingin menyampaikan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut kepada
Negara pihak:
1. Mematuhi kewajiban-kewajibannya di dalam hukum internasional sehubungan
dengan pelarangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang secara mutlak,
termasuk pelarangan mutlak atas non-refoulement (tidak memulangkan kembali),
pelarangan terhadap penghilangan paksa dan penahanan yang tidak
dikomunikasikan;
2. Mereformasi praktik-praktik dan undang-undang nasional (khususnya rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) untuk melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang dan mematuhi ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi CAT dalam
kaitannya dengan definisi penyiksaan, penghukuman dengan sanksi yang dang anti
kerugian yang layak bagi para korban dan keluarga mereka;
3. Memastikan bahwa rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai dengan standar-standar hak asasi
manusia;
4. Memuat data hunian tempat-tempat penahanan kepolisian di dalam data dari
Direktorat J endral Pemasyarakatan dan sistem-sistem di bawah peradilan pidana
lainnya;
5. Mempublikasikan informasi tentang jumlah kematian di dalam tahanan kepolisian
dan penyebab-penyebab kematian di dalam tiap kasus;
6. Memastikan bahwa semua tuduhan-tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang serta kematian yang mencurigakan di dalam tahanan segera diselidiki
secara cepat dan menyeluruh, hasilnya harus diumumkan kepada publik, agar dapat
membawa para pelakunya ke hadapan pengadilan yang kompeten, independen dan
imparsial dengan hukuman yang tepat;
7. Memastikan bahwa para korban dan keluarga mereka diberikan ganti rugi yang
layak, termasuk kompensasi dan rehabilitasi;
8. Menetapkan bahwa informasi yang didapatkan melalui penyiksaan atau perlakuan
yang sewenang-wenang, tidak dapat sama sekali dijadikan alat bukti di
persidangan;
9. Memastikan bahwa kepolisian, termasuk seluruh unti khusus kepolisian, TNI,
peradilan, petugas medis di tempat-tempat penahanan dan badan-badan
pemerintahan lainya mendapatkan pelatihan yang layak dan berkala tentang
pelarangan mutlak penyiksaan dan perlakuan yang sewenang-wenang;
10. Meningkatkan penyebaran dan sosialisasi serta pelatihan polisi (termasuk
seluruh unit khusus kepolisian) di dalam Peraturan Kepolisian No. 8 tahun 2009;
11. Memastikan bahwa kepolisian dan TNI memiliki komitmen yang jelas untuk
mengakhiri impunitas atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang;
12. Memastikan bahwa seluruh upaya melawan terorisme sesuai dengan kewajiban-
kewajiban internasionalnya, termasuk Konvensi CAT dan Konvensi Hak-Hak
Sipol;
13. Mempersingkat masa penahanan untuk mengurangi terjadinya penyiksaan
selama pemeriksaan awal;
14. Menggunakan hukuman di luar penahanan dan memberikan ketentuan-
ketentuan jaminan yang menguntungkan untuk mengurangi jumlah populasi
penjara, khususnya mereka yang dikenakan tuduhan melakukan kejahatan-
kejahatan ringan;
15. Melindungi para tahanan dengan memungkinkan akses yang cepat dan reguler
atas pengacara, dokter dan anggota keluarga;
16. Memastikan bahwa Direktorat J endral Pemasyarakatan mematuhi standar-
standar dan asas-asas PBB yang terkait dengan perlakuan terhadap narapidana dan
bahwa seluruh narapidana diberikan layanan medis yang layak dan akses penuh
atas layanan dan perawatan medis di dalam fasilitas-fasilitas kesehatan yang layak;
17. Memberikan akses kepada Komnas HAM, Ombudsman dan Komisi Nasional
Anti Kekerasa terhadap Perempuan dan masyarakat sipil untuk melakukan
pemantauan kegiatan-kegiatan di tempat-tempat penahanan kepolisian dan TNI;
18. Accelerate the process of ratification of the OPCAT;
19. Mengundang ICRC untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatan pemantauan di
dalam tempat-tempat penahanan di Indonesia, termasuk di Papua Barat;
20. Memastikan bahwa rancngan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, memuat sebuah ketentuan untuk
mengatur bahwa pemulihan bagi para korban penyiksaan hanya memerlukan
keputusan pengadilan dan/atau keputusan dari sidang etik di lembaga yang
bersangkutan. Beban pembuktian untuk penyiksaan tidak boleh dibebankan pada
korban, namun pada pelaku yang diduga melakukan penyiksaan;
21. Menghentikan praktik tempat-tempat penahanan/penjara di luar kewenangan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memudahkan pengawasan dan
pencegahan penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
lainnya;
22. Mendorong pemerintah untuk menyelaraskan peratuan perundang-
undangannya, khususnya di Aceh, agar sesuai dengan instrumen-instrumen hak
asasi manusia;
23. Mengembangkan sistem peradilan anak yang integral (lex specialis) yang
mencakup baik hukum material dan formal agar sistem peradilan anak menjadi sui
generis;
24. Memastikan bahwa anak-anak dipisahkan secara efektif dari orang dewasa di
tempat-tempat penahanan;
25. Mengamandemen Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana sehubungan dengan kekerasan terhadap perempuan,
kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, perkosaan dalam rumah tangga,
pencabulan, pornografi, dan kejahatan-kejahatan terhadap perempuan dan anak
yang lainnya. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus memegang komitmen tinggi
untuk mengamandemen baik Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
26. Meluncurkan kampanye kesadaran publik terhadap besarnya konsekuensi dari
sunat perempuan;
27. Mencabut peraturan Menteri Kesehatan No. 163 tahun 2010 yang
memperbolehkan sunat perempuan;
28. Mematuhi ketentuan pasal 5 dari Konvensi PBB tentang Penghapusan segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan menghapuskan praktik-praktik
tradisional kebudayaan yang melekangkan diskriminasi dan stereotype gender
terhadap perempuan;
29. Memasukkan ke dalam rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana, yang
saat ini tengah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat, hak atas bantuan hukum
bagi para tersangka/terdakwa dari kelompok-kelompok rentang seperti anak-anak,
perempuan, masyarakat adat, penyandang cacat yang menghadapi ancaman
hukuman penjara kurang dari 5 tahun. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana harus juga mengatur tentang konsekuensi-konsekuensi dari
perampasan atas hak bantuan hukum, serta di dalam Undang-Undang No. 11 tahun
2011 tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum telah memperluas para penerima
manfaat bantuan hukum melampaui tersangka/terdakwa saja, namun juga bagi
saksi/korban kejahatan, karena seorang saksi atau korban kejahatan juga rentan
terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum
dan dari pejabat-pejabat publik;
30. Mencabut pembatasan-pembatasan akses ke Papua Barat bagi jurnalis asing dan
organisasi-organisasi hak asasi manusia dan humaniter internasional;
31. Menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi Badan-Badan Perjanjian PBB,
termasuk rekomendasi-rekomendasi dari Komitee CAT tahun 2008;
32. Memperpanjang undangan terbuka bagi seluruh Pelapor Khusus PBB dan
menjamin akses bebas ke propinsi Papua Barat dan Maluku;

Anda mungkin juga menyukai