Perumusan naskah akademik dan RUU ini tidak memiliki perspektiI korban, padahal seharusnya kebijakan penanganan konIlik di Indonesia memiliki perspektiI korban. Rencana kebijakan penanganannya tidak cukup hanya berbicara teknis dan strategi tentang tata kelola kebijakannya dan pengaturan peran setiap dalam penanganan konIlik.. Hal ini penting dan mendasar karena dalam setiap penanganan konIlik, yang bukan semata penekanannya bagaimana konIlik sekedar selesai, juga harus menekankan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban harus menjadi perspektiI di dalam situasi konIlik ataupun pasca konIlik. Terlebih lagi dalam konIlik sosial yang bermuara pada kekerasan yang belakangan ini makin marak.
Indonesia pernah dan bahkan terus menghadapi sejumlah konIlik di beberapa wilayahnya, baik itu vertikal ataupun horisontal.|1| Jenis konIliknya beragam. Namun dalam setiap penanganannya acapkali mengabaikan hak-hak korban.
Jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak korban merupakan asas penting dalam penanganan konIlik. Kendati bukan perkara mudah mendeIinisikan siapa yang dimaksud dengan 'korban. Mengingat banyak perbedaan deIinisi yang ada. Namun secara umum bisa dipahami bahwa 'korban adalah seseorang atau kelompok yang menerima keadaan yang menyakitkan, menyengsarakan, tidak mengenakkan baik Iisik maupun non Iisik dimana keadaan tersebut di luar kehendaknya. Lebih jauh, untuk memberikan gambaran dasar deIinisi tentang korban, bisa menggunakan deIinisi yang dirumuskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985.|2| Korban bisa individu ataupun kelompok.
Resolusi PBB 1985 di atas mendeIinsikan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang- orang, baik secara individual maupun kolektiI, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Bahwa termasuk dalam pengertian 'korban ini adalah orang-orang yang menjadi Korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma HAM yang diakui secara internasional.
Lebih lanjut, pengertian kerugian (harm) menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985, antara lain meliputi kerugian Iisik maupun mental (physical or mental infury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari hak-hak asasi para Korban (substansial impairment of their fundamental rights). Lebih lanjut, seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dan korban. Istilah korban juga mencakup keluarga dekat atau orang- orang yang menjadi tanggungan korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban.
Meski banyak pengertian tentang korban yang saling berbeda, namun deIinsi yang dikemukakan dalam resolusi PBB 1985 dapat menjadi rujukan yang komprehensiI untuk menjelaskan tentang siapa 'korban dan apa yang menjadi kerugian bagi korban. Pengertian korban tidak hanya mengacu pada perseorangan, namun juga mencakup kelompok dan masyarakat. Selain itu, pengertian di atas juga mencakup hampir semua jenis penderitaan yang mungkin dialami oleh korban.
Hak-hak korban.
|1| Berdasarkan catatan Institut Titian Perdamaian, bahwa sejak orde baru tahun 1998 runtuh Indonesia telah mengalami berbagai konIlik besar. Hingga tahun 2001 saja, jumlah korban tewas akibat konIlik mulai dari Papua, Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Poso, dan lain-lain, jumlahnya mencapai 11.160 jiwa. Jumlah ini belum ditambah dengan korban konIlik pada tahun berikutnya hingga 2011 ini. |2| Declaration oI Basic Principles oI Justice Ior Victims oI Crime and Abuse oI Power, Resolusi Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985.