Anda di halaman 1dari 14

SKIZOFRENIA

Psikosa (Sakit Jiwa)


disusun oleh Muhammad Akbar

Pengertian Psikosa
Dengan meninjau sistem kepribadian (dinamika jiwa):
1. Menurut Freud, bahwa kepribadian terdiri atas tiga sistem/lapis id, ego, super-ego.
Susunan teratur, kerjasamanya harmonis. Pada psikosa: susunan tidak teratur, bahkan
antara ego dan super-ego jadi jenuh, sehingga orang tak dapat menghayati realita.
2. Pada penciptaan manusia, di mana disebutkan diciptakan berjiwa tauhid dan
berkepribadian iman dan takwa. Pada manusia dewasa (umur 20/25 tahun 35/40 tahun),
iman dan takwa (kepribadian) harus sudah mantap/masak. Kalau belum maka diulang,
kalau pengulangan dimulai dari bawah 7 tahun, orang itu disebut menderita sakit jiwa.
Pada penderita psikosa (sakit jiwa) pada umumnya dan pada penderita skizofrenia
khususnya, terjadi tak kekompakkan dalam aspek-aspek:
1. Kontak psikis (hubungan antara penderita dengan orang lain). Misalnya: Autisme, isolasi diri dan
lain-lain.
2. Perhatian dan inisiatif. Misalnya: ide paranoid.
3. Daya menghayati realitas. Misalnya: waham, halusinasi dan lain-lain.
4. Proses berpikir. Misalnya: logorea, inkoherensi dan lain-lain.
5. Keadaan afek dan kehidupan emosi. Misalnya: afek datar, ketidak sesuaian afek dan lain-lain.
6. Dorongan dan perbuatan instinctual. Misalnya: hipoaktivitas, hiperaktivitas dan lain-lain.
Di mana kekompakkan aspek-aspek tersebut merupakan syarat mutlak bagi individu dalam
kehidupan/pergaulan dalam masyarakat:
Sebagai manusia berke-Tuhanan
Sebagai manusia individual
Sebagai manusia sosial
Sebagai manusia lingkungan
Karenanya penderita sakit jiwa (psikosa) mengalami gangguan/kemunduran dalam sosialisasinya,
kepandaiannya dan lain-lain, maka timbullah/terbentuklah gejala-gejala gangguan jiwa, (Prayitno, 2004).
Skizofrenia
Pengertian skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai di mana-mana sejak dahulu kala.
Sebelum Kraepelin tidak ada kesatuan pendapat mengenai berbagai gangguan jiwa yang sekarang
dinamakan skizofrenia, (Kaplan dan Sadock, 2003).
Kraepelin ialah seorang ahli kedokteran jiwa di kota Munich dan ia mengumpulkan gejala-gejala dan
sindroma itu dan menggolongkannya ke dalam satu kesatuan yang dinamakannya demensia precox.
Menurut Kreapelin pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya; sebab itu
dinamakannya demensia (kemunduran intelegensi) precox (muda, sebelum waktunya), (Kaplan dan
Sadock, 2003).
New Haven (Kaplan dan Sadock, 2003), memberikan indeks untuk merumuskan pengertian skizofrenia,
sebagai berikut :
1. a. Waham: tidak ditentukan atau selain dari deperesif
1. Halusinasi dengar
2. Halusinasi lihat
3. Halusinasi lain
2. a. Pikiran aneh
b. Automatisme atau pikiran pribadi yang jelas tidak realistik
c. Pengenduran asosiasi, pikiran tidak logis, overindusion.
d. Penghambatan
e. Kekonkretan
f. Derealisasi
g. Depersonalisasi
3. Afek yang tidak sesuai
4. Konfusi
5. Ide paranoid (pikiran merujuk pada diri sendiri, kecurigaan)
6. Perilaku katatonik (kegembiraan, stupor, flesibilitas lilin, negativisme, mutisme, ekolalia, aktivitas
motorik stereotipik).
Untuk dapat dianggap sebagai skizofrenia, pasien harus memiliki nilai pada butir 1 atau butir 2a, atau 2c.
dan harus mendapatkan skor total sekurangnya 4 poin.
3. Gambaran klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase
residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu,
bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi :
hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka
akan mengatakan orang ini tidak seperti yang dulu. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya. Pada fase aktif gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang berobat pada fase
ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami
eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual di mana gejala-gejalanya
sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala
yang terjadi pada ketiga fase di atas, pendenta skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa
gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi,
hubungan sosial), (Luana, 2007).

4. Jenis-jenis skizofrenia
Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama ialah
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan
mungkin penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama
ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila
tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi pengemis, pelacur atau
penjahat (Maramis, 2004).
Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2004) permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 1525 tahun. Gejala yang menyolok
adalah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan
psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi
banyak sekali.

3. Skizofrenia katatonik
Menurut Maramis (2004) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama
kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin
terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
Stupor katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali terhadap
lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar
dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.
Gaduh gelisah katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak disertai dengan emosi
yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
4. Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia
sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau gejala campuran
hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak
konstan, (Maramis, 2004).
5. Episode skizofrenia akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi.
Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan
dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus baginya.
Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan
penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-
gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya, (Maramis, 2004).
6. Skizofrenia residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala primernya Bleuler,
tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
skizofrenia, (Maramis, 2004).
7. Skizofrenia skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia terdapat menonjol secara
bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi
sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2004).
Diagnosis skizofrenia
Pedoman Diagnostik PPDGJ III
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih
bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1. - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya
(withdrawal); dan
- thought broadcasting= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
2. - delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh /
anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
- delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;
3. Halusinasi auditorik:
suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu,
atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
1. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
2. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
3. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
4. gejala-gejala negative, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri
dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau
lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed
attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Menurut Bleuler diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat ganguan-gangguan
primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian serta diperkuat dengan adanya gejala-gejala
sekunder. Sedangkan Schneider berpendapat bahwa diagnosa sudah boleh dibuat bila terdapat satu
dari gejala-gejala halusinasi pendengaran dan satu gejala gangguan batas ego dengan syarat bahwa
kesadaran penderita tidak menurun (PPDGJ III).
Setionegoro (Maramis, 2004) membuat diagnosa skizofrenia dengan memperhatikan gejala-
gejala pada tiga buah koordinat. Koordinat pertama (organobiologik) yaitu, autisme, gangguan afek
dan emosi, gangguan asosiasi (proses berfikir), ambivalensi (gangguan kemauan) serta gangguan
aktifitas maupun gangguan konsentrasi. Koordinat kedua (psikologik) yaitu, gangguan pada cara
berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keperibadian, dengan memperhatikan
perkembangan ego, sistematik motivasi dan psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan.
Koordinat ketiga (sosial) yaitu, gangguan pada kehidupan sosial penderita yang diperhatikan secara
fenomenologik.
Schneider (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosa berdasarkan urutan
gejala sebagai berikut:
Gejala urutan pertama:
1. Pikiran yang dapat digeser
2. Suara-suara yang berdebat atau berdiskusi atau keduanya
3. Suara-suara yang mengkomentari
4. Pengalaman pasivitas somatik
5. Penarikan pikiran dan pengalaman pikiran yang dipengaruhi lainnya
6. Siar pikiran
7. Persepsi bersifat waham
8. Semua pengalaman lain yang melibatkan kemauan, membuat afek dan membuat impuls.
Gejala urutan kedua:
1. Gangguan persepsi lain
2. Gagasan bersifat waham yang tiba-tiba
3. Kebingungan
4. Perubahan mood disforik dan euforik
5. Perasaan kemiskinan emosional
6. dan beberapa lainya juga

Langfeldt (Kaplan dan Sadock, 2003) memberikan kriteria diagnosis sebagai berikut:
Kriteria gejala
Petunjuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda gangguan kongnitif, infeksi,
atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan).
1. Perubahan keperibadian yang bermanifestasi sebagai penumpulan emosional dengan jenis
khusus diikuti oleh hilangnya inisiatif dan perilaku yang berubah dan seringkali aneh (khususnya
pada hebefrenik, perubahan adalah karakteristik dan petunjuk utama ke arah diagnosis).
2. Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam periode kegelisahan dan stupor
(dengan negativisme, wajah berminyak, katalepsi, gejala vegetatif, dll).
3. Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan keperibadian (atau gejala depersonalisasi)
dan hilangnya perasaan realitas (gejala derealisasi) atau waham primer.
Kriteria perjalanan penyakit
Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode follow-up selama sekurangnya
lima tahun telah menunjukkan perjalanan penyakit yang jangka panjang.

6. Prognosis skizofrenia
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh
sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Sampai saat ini belum
ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut,
riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood,
sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik sedangkan onset
muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak
menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk, gejala negatif, riwayat
trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan
prognosis yang buruk, (Luana, 2007).

7. Pengobatan skizofrenia
I. Psikofarmaka
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis
ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).
Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak
memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat
diganti dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan dosis
ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti psikosis sebelumnya sudah terbukti efektif
dan efek sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala
negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat anti psikosis atipikal. Sebaliknya bila
gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-
pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang
beredar di pasaran dapat di kelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama
(APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di
mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular sehingga dengan cepat menurunkan
gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan
ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi
seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I
menimbulkan efek samping anti kolinergik seperti mulut kering pandangan kabur gangguan miksi,
defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan
kurang atau sama dengan 10 mg di antaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan
pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis,
menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg di
antaranya adalah chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan
gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis
(SDA) atau anti psikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur
dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif
mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine,
quetiapine dan rispendon, (Luana, 2007).
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
1. Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu. Onset efek sekunder (efek samping): 2-6
jam.
2. Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2x per hari)
3. Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak
mengganggu kualitas hidup penderita.
4. Obat anti psikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau haloperidol
decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk pasien yang tidak/sulit minum
obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Cara atau lama pemberian
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai
dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2 minggu bila pertu dinaikkan sampai dosis
optimal kemudian dipertahankan 8-12 minggu (stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis
maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holidaytapering off (dosis
diturunkan 2-4 minggu) lalu dihentikan..
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multi episode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5
tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat
anti psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis
reda sama sekali. Pada penghentian mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan
lambung, mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergikt seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg (secara intra muskular), tablet trihexyphenidyl 3x2
mg/hari, (Luana, 2007). 1-2/hari/minggu) setelah itu

II. Psikososial
Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain:
Psikoterapi individual
o Terapi suportif
o Sosial skill training
o Terapi okupasi
o Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
Psikoterapi kelompok
Psikoterapi keluarga
Manajemen kasus
Assertive Community Treatment (ACT)

8. Kekambuhan skizofrenia
Kekambuhan gangguan jiwa pisikotik adalah munculnya kembali gejala-gejala pisikotik yang
nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk Rumah Sakit (RS),
lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang kambuh biasanya sebelum keluar dari
RS mempunyai karakteristik hiperaktif, tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan
sosial, (Porkony dkk, 1993).
Porkony dkk (1993), melaporkan bahwa 49% penderita Skizofrenia mengalami rawat ulang
setelah follow up selama 1 tahun, sedangkan penderita-penderita non Skizofrenia hanya 28% .
Solomon dkk (1994), melaporkan bahwa dalam waktu 6 bulan pasca rawat didapatkan 30%-40%
penderita mengalami kekambuhan, sedangkan setelah 1 tahun pasca rawat 40%-50% penderita
mengalami kekambuhan, dari setelah 3-5 tahun pasca rawat didapatkan 65%-75% penderita
mengalami kekambuhan, (Porkony dkk, 1993).
Penderita dengan skizofrenia dapat mengalami remisi dan kekambuhan, mereka dapat
dalam waktu yang lama tidak muncul gejala, maka skizofrenia sering disebut dengan penyakit kronik,
karena itu perlu mendapatkan perhatian medis yang sama, seperti juga individu-individu yang
menderita penyakit kronik lainnya seperti hipertensi dan diabetes mellitus.
Ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat
dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter,
kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat
yang membuat stress, (cybermed.cbn.net.id).
Empat faktor penyebab penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut
Sullinger, 1988:
Penderita
Sudah umum diketahui bahwa penderita yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien
yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur (Appleton, 1982, dikutip oleh
Sullinger, 1988).
Dokter
Makan obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat neuroleptic yang
lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial
seperti gerakan yang tidak terkontrol.
Penanggung jawab penderita
Setelah penderita pulang ke rumah maka pihak rumah sakit tetap bertanggung jawab atas program
adaptasi penderita di rumah.
Keluarga
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
(bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali
dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga
dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres
yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan).
Dengan terapi keluarga penderita dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stres. Cara terapi
bisanya: mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan
perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada
penderita ganguan jiwa, memfasilitasi untuk menemukan situasi dan pengalaman baru bagi
penderita.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu: menjadi
ragu-ragu dan serba takut, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat
serta menarik diri, (Iyus, 2007).
Untuk dapat hidup dalam masyarakat, maka penderita skizofrenia perlu mempelajari kembali
keterampilan sosial. Penderita-penderita yang baru keluar dari RS memerlukan pelayanan dari
masyarakat agar mereka dapat menyesuaikan diri dan menyatu dalam masyarakat. Tingginya angka
rehospitalisasi merupakan tanda kegagalan dalam sistem masyarakat. Penderita kronis di dalam
masyarakat membutuhkan dukungan hidup yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama.
Beberapa penderita tetap dapat mengalami kekambuhan meskipun mereka mendapatkan pelayanan
pasca rawat (after care services) pada instansi-instansi. Lin dkk (1982) melaporkan bahwa 36% dari
penderita skizofrenia yang tinggal di panti setelah perawatan di RS tetap mengalami kekambuhan,
(Porkony dkk, 1993).

Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan
Kekambuhan Skizofrenia

Sullivan mengemukakan teori psikodinamika skizofrenia berdasarkan perjalanan-perjalanan
klinik, di mana pusat dari psikopatologinya adalah gangguan kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain. Lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam proses terjadinya skizofrenia.
Pernyataan ini juga berlaku sebaliknya, lingkungan, terutama keluarga memegang peran penting dalam
proses penyembuhan skizofrenia. Sebab, dikatakan oleh Sullivan bahwa skizofrenia merupakan hasil dari
kumpulan pengalaman-pengalaman traumatis dalam hubungannya dengan lingkungan selama masa
perkembangan individu (Kaplan dan Sadock, 2003).
Titik berat penelitian-penelitian tentang dukungan sosial keluarga dan gangguan psikotik
terutama skizofrenia adalah pada efek yang menghapuskan hubungan traumatik sendiri seperti
pernyataan emosi, rasa kebersamaan yang semu, mencari kambing hitam dan keterikatan ganda. Aspek-
aspek dukungan sosial keluarga terdiri dari empat aspek yaitu aspek informatif, aspek emosional dan
aspek penilaian atau penghargaan serta aspek instrumental, sebagaimana yang dikatakan oleh House
dan Kahn (1995) tersebut di atas di titik beratkan pada besar dan padatnya jaringan kerja sosial,
misalnya hubungan dengan keluarga dan sifat-sifat hubungan sebelumnya, (Breier & Strauss, 1994).
Hal ini menunjukkan bahwa kuat lemahnya dukungan sosial keluarga terhadap penderita
berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan skizofrenia. Semakin kuat dukungan sosial keluarga terhadap
penderita memungkinkan semakin cepat tingkat kesembuhan skizofrenia. Sebaliknya semakin lemah
dukungan sosial keluarga terhadap penderita memungkinkan semakin lama tingkat kesembuhan
skizofrenia. Demikian juga halnya dengan kekambuhan skizofrenia, terkait dengan kuat lemahnya
dukungan sosial keluarga.
Didapatkan 12 fungsi hubungan sosial dan 2 fase kebutuhan sosial yang penting selama periode
penyembuhan (Breier & Strauss, 1994). Fungsi-fungsi yang menolong dalam hubungan sosial tersebut
adalah 1) ventilasi, 2) tes realita, untuk menilai kemampuan penderita di dalam membedakan realita, 3)
macam dukungan sosial terutama keluarga, 4) persetujuan dan perpaduan sosial terutama keluarga dan
lingkungan dekatnya, di mana penderita ingin diterima kembali dalam lingkungan sosialnya dan
mengharapkan hubungan dengan orang-orang yang dikenalnya sebelum ia masuk RS, 6) motivasi, 7)
pembentukan, di mana penderita mencontoh tingkah laku orang lain untuk meningkatkan fungsi
sosialnya, 8) pengawasan gejala, 9) pemecahan masalah, 10) pengertian yang empatik, 11) saling
memberi dan menerima, 12) insight.
Fase kebutuhan sosial adalah 1) fase penyembuhan, penderita sangat membutuhkan perhatian
dari keluarganya karena tidak dapat mandiri, fungsi hubungan sosial yang digunakan di sini adalah
macam dukungan dan ventilasi, 2) fase pembentukan kembali, fungsi hubungan sosial yang digunakan
adalah motivasi, saling memberi dan menerima, pengawasan gejala. 12 fungsi hubungan sosial dan 2
fase kebutuhan sosial yang penting selama periode penyembuhan (Breier dan Strauss, 1994) tersebut
sangat erat kaitannya dengan dukungan sosial keluarga.
Pemberian obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi obat-obatan tersebut
tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan keterampilan meskipun dapat memperbaiki kualitas
hidup penderita melalui penekanan gejala-gejala. Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial hanya
mungkin didapat penderita melalui dukungan sosial keluarga. Dari penelitian didapat bahwa 45%
penderita skizofrenia yang mendapat pengobatan antipsikotik akan mengalami kekambuhan dalam waktu
1 tahun pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi plasebo 70% kambuh, (Kaplan dan Sadock ,
2003).
Hal ini berarti pengobatan skizofrenia harus dilakukan dengan cara interaksi multidimensional.
Gejala-gejala dan ketidakmampuan sosial serta ketidakmampuan individual yang di tunjukkan merupakan
hasil dari benturan-benturan yang dialami dalam kehidupan. Angka kekambuhan dalam waktu 1 tahun
pasca rawat pada penderita skizofrenia yang mendapat latihan keterampilan sosial adalah 20%,
penderita yang mendapat pengobatan antipsikotik 41% dan 19% penderita yang pada keluarga diberikan
psikoedukasi. Penderita yang mendapat latihan keterampilan sosial, obat antipsikotik dan psikoedukasi
keluarga dilaporkan tidak ada yang kambuh, (Kaplan dan Sadock, 2003).

Anda mungkin juga menyukai