KELOMPOK IX
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien berusia 62 tahun datang kerumah sakit dengan karsinoma kolon yang
telah terminal. Pasien masih cukup sadar berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar
posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini ia juga memiliki
pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan
bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampak hanya
memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia
mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja( tanpa antibiotika, tanpa peralatan
ICU, dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia
menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.
BAB III
PEMBAHASAN
ASPEK HUKUM
Permasalahan dalam kasus ini juga dibahas dalam Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran,
dalam Bab IV: Ketentuan pada Situasi Khusus. Dijelaskan pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 14
1. Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life
support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat
pasien.
2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat
penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan kedokteran tidak diperlukan.
Hal mengenai Penolakan Tindakan Kedokteran juga dijelaskan pada Bab V, dengan
pasal sebagai berikut:
Pasal 16
1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga
terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1)
harus dilakukan secara tertulis.
3. Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menjadi tanggung jawab pasien.
4. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
memutuskan hubungan dokter dan pasien.
4
Pasal 53 UU Kesehatan
2. tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standart profesi dan menghormati pasien.
Pasal 2
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasikan oleh orang-orang yang tersebut
dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih
tinggi dari pada peraturan perundang-undangan ini menentukan lain
Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah :
-
DAMPAK HUKUM
1. Pasal 54 UU Kesehatan
Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
2. Pasal 13. Permenkes 585/MenKes/Per/IX/1989
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari
pasien/keluarganya dapat dikenakan sanksi administrative berupa pencabutan surat
izin praktek.
3. Pasal 344 KUHP
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama 12
tahun.
STATUS PASIEN
Nama
: Tri Ningsih
Jenis kelamin
: Perempuan
Usia
: 62 tahun
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
ANAMNESIS
Berdasarkan hasil anamnesis diketahuai bahwa pasien mengalami nyeri saat BAB
disertai sembelit dan keluarnya darah serta lendir saat BAB. Keluhan ini dirasakan pasien
sejak beberapa tahun yang lalu dan semakin memberat. Pasien ini jug mengalami penurunan
berat badan yang cukup signifikan. Pasien mengaku kakak yang meninggal juga menderita
kanker.
7
PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
Kesan sakit
: sakit berat
Tingkat kesadaran
: compos mentis
Status gizi
: buruk( didapatkan kulit kering dan kasar, lemak subkutan tidak ada,
tulang-tulang menonjol dan rambut yang rontok)
Cara berjalan
B. Tanda Vital
Suhu
: 36,9 0C
Tekanan darah
: 150/80 mmHg
Nadi
: 76x/menit
Pernafasan
: 18x/menit
C. Status Generalis
Ditemukan tanda ikterik yaitu Sklera ikterik merata dan warna wajah ikterik.
D. Status Lokalis
Regio Abdomen:
Didapatkan teraba massa di abdomen kuadran kanan bawah, ukuran 10x8x5 cm3, konsistensi
lunak, mobile, permukaan rata dan licin, nyeri tekan (+), batas tegas. Ditemukan pula
pembesaran hepar (hepatomegali)
PEMERIKSAAAN PENUNJANG
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
Penanganan yang kita anjurkan adalah terapi paliatif karena pasien telah memasuki
stadium terminal
1. Menghilangkan Nyeri
Analgesik diberikan sesuai resep. Lingkungan dibuat kondusif untuk relaksasi
dengan meredupkan lampu, mematikan televisi atau radio, dan membatasi
pengunjung dan telepon bila diinginkan oleh pasien. Tindakan kenyamanan tambahan
ditawarkan : Perubahan posisi, gosokan punggung, dan teknik relaksasi.
2. Meningkatkan Toleransi Aktivitas
Toleransi aktivitas pasien dikaji. Aktivitas diubah dan dijadwalkan untuk
memungkinkan periode tirah baring yang adekuat dalam upaya untuk menurunkan
keletihan pasien.
3. Mempertimbangkan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
PROGNOSIS
Ad vitam : ad malam
Ad sanationam : ad malam
Ad fungsionam : ad malam
Dari kasus didapatkan pasien dengan karsinoma terminal ini, minta untuk dibiarkan
meninggal dengan tenang tanpa alat-alat bantuan (letting die naturally) dan pasien hanya
ingin diberikan obat penghilang saja sehingga prognosis pasien menjadi semakin buruk
dibandingkan jika pasien mendapatkan pengobatan.
10
keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil dengan
melalui pertimbangan yang ketat.
Prosedur Terapi
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical Indication
Topik ini menjelaskan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk
mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau
dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmaleficence. Pertanyaan
etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan
kepada pasien pada doktrin informed consent.
2. Patient preferrence
Pada topik ini menjelaskan tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang
berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi
pertanyaan tentang
kompetensi pasien, sifat volunter sikap dan keputusan nya, pemahaman atas informasi, siapa
pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll.
3. Quality of life
Pada topik ini menjelaskan tentang tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga
atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa,siapa dan bagaimana melakukan penilaian
kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan
beneficence, non maleficence dan autonomy.
4. Contextual features
Pada topik ini dibahas seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan,
seperti keluarga,ekonomi,agama,budaya,kerahasiaan dan alokasi sumber daya dan faktor
hukum.
11
Pada pasien ini, setelah menjelaskan dan mempertimbangkan hal-hal diatas maka
pasien hanya diberi terapi supportif dan simptomatik saja. Sebelumnya pasien dan
keluarganya diberi terlebih dahulu informasi tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya. Apabila disetujui maka prosedur terapi ini dapat diputuskan.
Dalam kasus kali ini, yang menjadi permasalahan ialah seorang pasien dengan
karsinoma terminal ini, minta untuk dibiarkan meninggal dengan tenang tanpa alatalat bantuan (letting die naturally) dan pasien hanya ingin diberikan obat penghilang
nyeri saja maka pasien harus menandatangani surat penolakan tindakan medis. Ditinjau dari
aspek etika, hal tersebut sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi, di mana di satu sisi
perbuatan tersebut ialah tindakan amoral karena menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,
namun di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena bermaksud untuk tidak
memperpanjang penderitaan yang dialami oleh pasien.
12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ASPEK ETIKA
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik-buruk atau benar-salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Dua teori
etika yang banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi:
a) Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatannya itu sendiri. Teori ini lebih berdasar kepada ajaran agama, tradisi, dan
budaya.
b) Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasil
atau akibatnya. Ajaran ini lebih ke arah penalaran dan pembenaran kepada asas
manfaat.
Untuk dapat mencapai suatu keputusan etik, diperlukan 4 kaidah dasar moral dengan
beberapa rules di bawahnya. Kaidah-kaidah dasar moral tersebut antara lain:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonominya.
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan kepada kebaikan pasien, dalam hal ini tindakan tersebut lebih besar
manfaat daripada mudaratnya.
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap
maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Beberapa rules derivatnya antara lain:
a) Veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka).
b) Privacy (menghormati hak privasi pasien).
c) Confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien).
d) Fidelity (loyalitas dan promise-keeping).3
13
Dijelaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dalam pasal 7d, yang
berbunyi: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
Pada bagian penjelasan KODEKI pasal 7d tersebut, dijelaskan mengenai euthanasia
aktif dan pasif, di mana euthanasia aktif memang sudah jelas dilarang untuk diberlakukan di
Indonesia, sedangkan euthanasia pasif dikatakan masih berupa wilayah abu-abu. Berikut
adalah keterangan yang tertera dalam KODEKI mengenai euthanasia: Kita di Indonesia
sebagai umat yang beragama dan berfalsafah/berasaskan Pancasila percaya pada
kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang diciptakannya serta
penderitaan yang dibebankan kepada makhluknya mengandung makna dan maksud tertentu.
Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Dijelaskan pula bahwa pasal 7d tersebut mengacu pada Sumpah Dokter dan pada
Pancasila sila pertama. Berikut adalah pedoman bagi dokter jika dihadapkan pada keadaan di
mana seorang pasien telah menjelang akhir hayatnya, dan ketika ilmu dan teknologi
kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan:
1. Dalam keadaan di mana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat lagi
diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan pasien bukan lagi
ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan harus lebih ditujukan untuk
memperoleh kenyamanan dan meringankan penderitaan.
2. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya, tidak
dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun demikian
dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah ke fasilitas
lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut Kode Etik Kedokteran
Indonesia, seorang dokter harus tetap mengupayakan peringanan atas penderitaan pasien,
namun tidak diperbolehkan untuk mengakhiri nyawa sang pasien tersebut.
ASAS LEGALITAS
Dalam pertanggungjawaban pidana seorang dokter, harus mengacu pada asas dalam
hukum pidana, yaitu asas legalitas. Asas legalitas adalah asas yang mengacu kepada pasal 1
ayat (1) KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah
14
ada. Dalam hal ini, maksud dari asas legalitas ialah bahwa suatu perbuatan dalam dijatuhi
hukuman pidana hanya jika sebelumnya sudah dibuat peraturan yang mengatur mengenai hal
tersebut.
Terdapat beberapa unsur untuk menilai perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang
dokter terhadap pasiennya, yaitu antara lain:
1. Harus ada perbuatan atau tindakan dokter, bahwa kerugian atau penderitaan yang
dialami oleh pasien benar terjadi akibat perbuatan dokter yang secara nyata
melakukan tindak pidana.
2. Perbuatan dokter tersebut harus melawan hukum, dan harus dibuktikan bahwa
perbuatan tersebut melawan hukum dalam hubungan profesional dokter-pasien
(seperti tercantum dalam pasal 1320 KUHPer).
3. Perbuatan tersebut diancam pidana oleh undang-undang.
4. Perbuatan dilakukan oleh dokter yang mampu bertanggung jawab sebagai subjek
hukum.
5. Perbuatan dokter tersebut terjadi karena kesalahan, termasuk di dalamnya terdapat
unsur kesengajaan atau karena kelalaiannya sehingga menimbulkan kerugian atau
penderitaan bagi pasien. Jika kerugian tersebut dilakukan dalam upaya darurat
atau kritis untuk menolong menyelamatkan jiwa pasien, dokter tidak dapat
dipersalahkan.
REKAM MEDIS
A. PENGERTIAN
Kedokteran tidak. Ini menunjukan pengaturan rekam medis pada UU Praktik Kedokteran
lebih luas, berlaku baik untuk sarana kesehatan maupun di luar sarana kesehatan.
identitas pasien;
pemeriksaan fisik;
diagnosis/masalah;
tindakan/pengobatan;
identitas pasien;
pemeriksaan;
diagnosis/masalah;
tindakan/pengobatan;
medis dapat dikenakan sanksi etik oleh organisasi profesi yaitu Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG).4
INFORMED CONSENT
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
anatara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Dasar hukum dari informed consent tercantum jelas
pada Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran pasal 1 sampai dengan pasal 20 yang merupakan pengganti dari
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medik
pasal
sampai
dengan
pasal
15.
Pada
pasal
(1)
Permenkes
No
Informed elements terdiri dari 2 bagian yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Consent elements juga terdiri dari 2 bagian yaitu voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Dalam hal ini, consent dapat dinyatakan
(expressed) baik secara lisan maupun tertulis ataupun tidak dinyatakan (implied) yaitu
melalui tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Berikut adalah salah satu
contoh dari informed consent :
21
22
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus diatas, pasien menolak pemasakan alat-alat bantu dan hanya ingin diberi
obat penghilang nyeri walaupun dokter telah memberikan informasi dan menjelaskan sejelasjelasnya, namun pasien tetap menolak. Mengingat pasien adalah orang yang berkompeten dan
berpendidikan tinggi dan dia mengerti konsekuensinya. Dokter akhirnya hanya memberikan
terapi paliatif saja dengan mengacu pada prinsip etika kedokteran, yaitu menghormati hak
otonomi pasien.
23
DAFTAR PUSTAKA
24