Jadi
dokter itu menyenangkan, bisa membantu banyak orang. Setiap guru sekolah
menanyakan tentang cita-cita, pasti aku akan berteriak lantang, Jadi dokter, Bu !
Aku tidak tahu kapan aku mulai bercita-cita menjadi dokter. Yang kutahu, aku sangat
suka melihat warna putih rumah sakit, seprainya yang selalu baru tiap hari, susternya
yang cantik, dan bau obat yang membuatku pusing tapi terasa nikmat. Jika ayahku
mengajakku pergi ke rumah sakit tempat ia bekerja, aku tak kan bisa melepas senyum
dari bibirku.
Aku selalu ingat ayah berkata, Kau harus punya impian.
Kenapa ? tanyaku.
Ayahku tersenyum dan balik bertanya, Kau suka kejar-kejaran ?
Dengan rasa bingung kujawab, Suka sekali, Ayah!
Nah, mimpi itu harus ada untuk kau kejar, terang Ayah.
Mimpi untuk dikejar? Apa harus begitu? Kenapa kejar-kejaran? Banyak pertanyaan
menjejali pikiranku. Saat itu aku masih TK kecil, belum begitu mengerti nasihat ayah.
Tapi sekarang aku sudah dibangku kelas 3 SD. Aku sudah mengerti, maksud Ayah aku
harus bisa jadi dokter apapun yang terjadi, karena itu impianku. Kalau ada orang yang
menghalang-halangi, maka orang itu akan kukejar sampai dapat. Pasti begitu maksud
Ayah. Aku yakin! Apapun dan siapapun tak akan menghalangiku jadi dokter.
Aku ingin jadi dokter!! Aku berteriak kencang sekali di kebun belakang.
Dimas, kenapa teriak-teriak? tanya Ibu dari dalam.
Ibu mau ke mana? Kulihat ibuku rapi sekali.
Mau ke rumah sakit, imunisasi Adik.
Aku ikut!
Memang harus ikut, nanti kita ketemu Ayah di sana.
Asyik!!! sorakku girang.
Ayahku di Rumah Sakit. Bukan sebagai dokter tapi sebagai peramu obat atau
apo..tek..ker, ya! Apoteker! Jadi semua orang di rumah sakit tahu kenal dengan ayahku.
Setidaknya menurutku.
**********
Cat rumah sakit putih bersih. Aku duduk di ruang tunggu bersama Ibu dan adikku. Di
sana banyak anak kecil seumuran adikku. Mungkin mau imunisasi juga. Kulihat seorang
dokter muda memasuki ruangan di sebelah ruang tunggu. Kubaca tulisan yang
ditempelkan di pintunya, RUANG IMUNISASI. Hey! Sepertinya Ayah juga di dalam!
Ibu, Dimas ketemu Ayah dulu, ya?
mereka
berbincang-bincang
lagi.
Sepertinya
membicarakan
hal
penting.
Kutinggalkan mereka demi mengamati seluruh ruangan imunisasi. Wah, banyak obat
yang keren dan suntikan yang berwarna-warni. Pasti untuk imunisasi. Imunisasi?
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa itu imunisasi.
Pandanganku beralih pada meja kerja di ujung ruangan. Sebuah kursi empuk bertengger
di belakangnya. Sepertinya sangat empuk untuk diduduki. Aku berjalan mendekat.
Kupandangi meja yang mengagumkan itu. Di atasnya ada setumpuk kertas-kertas yang
disusun rapi, sebuah buku yang besar sekali, pulpen, dan segelas air putih. Perlahan
kudekati kursi, kubayangkan aku duduk di sana, dengan senyuman ramah orang-orang
mengadukan keluhan padaku, dan aku membantu menyelesaikannya. Ahpasti
menyenangkan sekali. Mataku bertumbuk pada sebuah suntikan di antara suntikan
berwarna-warni. Suntikan itu terlihat lebih ramping daripada yang lainnya. Ia terlihat
menawan tapi sedikit menakutkan dengan jarum yang tajam dan cairan bening di
dalamnya.
Tiba-tiba ide cemerlang terbersit di pikiranku. Kalau mau jadi dokter, harus bisa pegang
suntikan! Ya, harus! Senyumku menyeringai licik. Kuambil satu suntukan berisi cairan
bening itu. Kupegang seperti memegang tongkat. Entah darimana ide gila ini datang.
Gila? Bukan! Ini ide hebat, hebat sekali! Dadaku berdegup kencang, keringatku keluar
malu-malu karena udara dingin. Aku seperti baru saja memulai petualangan
menegangkan. Aku deg-degan! Seketika hatiku berteriak, Ayo!!! Sontak ku berlari ke
arah ayahku yang sedang berdiri membelakangiku. Dekat dekat semakin dekat
dan
Uaoww!!!! Ayah berteriak. Kutangkap roman kesakitan dan kaget setengah mati dari
wajah ayahku.
Apa yang kulakukan? Aku berhasil, berhasil menyuntik Ayah. Lihat, suntikan itu masih
menancap di pantat ayah! Tapi sayang, cairan putihnya tak mau masuk ke pantat ayah.
Aku belum bisa caranya. Aku akan berlatih lagi. Tapi aku kasihan melihat Ayah, apa
Ayah menderita?
Apa yang kau lakukan? bentak Ayah sambil mencabut suntikan itu. Beliau meringis
kesakitan sambil mengelus pantatnya. Kulihat celana dinasnya yang putih ada setitik
noda darah. Entah kapan datang, Ibu sudah berdiri di belakang Ayah.
Ayahku mengangkatku seperti menjinjing tas. Ibuku mengikuti di belakang bersama
adikku. Sepintas masih kulihat Ayah mengelus-elus bekas suntikan yang kubuat. Pasti
tak percaya kalau aku yang melakukannya. Ayah takjub kurasa. Ketika melewati
koridor, orang-orang memandangku dengan pandangan yang sulit kuartikan. Seperti
tatapan Ibu saat aku jatuh dari sepeda. Apa yang mereka pikirkan? Kenapa