Obat Antiretroviral Dan Kerusakan Hati
Obat Antiretroviral Dan Kerusakan Hati
Oleh: Vincent Soriano; Massimo Puoti; Pilar Garcia-Gasc; Juergen K Rockstroh; Yves
Benhamou; Pablo Barreiro; Barbara McGovern; 9 Januari 2008
Pengantar
Kerusakan hati terkait obat antiretroviral (antiretroviral drug-related liver injury/ARLI) adalah
penyebab umum morbiditas, mortalitas dan penghentian terapi oleh pasien terinfeksi HIV.1
Pencegahan dan penatalaksanaan ARLI muncul sebagai masalah besar di antara pasien terinfeksi
HIV dalam era terapi antiretroviral (ART).2 Hampir semua obat antiretroviral (ARV) yang
disetujui dikaitkan dengan peningkatan enzim hati, walau obat terentu dapat menyebabkan
kerusakan hati lebih sering dibandingkan yang lain. Tambahan, penyakit bersamaan tertentu,
misalnya infeksi kronis dengan virus hepatitis B (HBV) atau C (HCV), dapat meningkatkan
kemungkinan pasien mengalami ARLI.3 Beberapa mekanisme utama ARLI digambarkan,
termasuk kerusakan metabolis host-mediated, reaksi hiperpeka, toksisitas mitokondria, dan
fenomena pemulihan kekebalan. Penatalaksanaan ARLI harus tergantung pada beratnya secara
klinis dan mekanisme patogenis yang mendasarinya. Dalam artikel ini, kami menganjurkan
pengunaan standar universal untuk mendefinisikan kerusakan hati agar dapat dilakukan
pembandingan antara penelitian berikut. Mekanisme baru untuk hepatotoksisitas juga dibahas
serta tindakan pencegahan untuk menghindari mulainya ARLI.
Definisi kerusakan hati terkait ARV
ARLI didefinisikan oleh peningkatan pada enzim hati dalam serum, dengan alanine
aminotransferase (ALT) yang umumnya lebih tinggi dibandingkan aspartate aminotransferase
(AST). Sampai saat ini, ada perbedaan yang luas dalam kriteria yang dipakai dalam penelitian
klinis untuk menggolongkan beratnya hepatotiksisitas. Beberapa penelitian memakai parameter
ALT minimal dua kali batas atas nilai normal (BANN)4 sementara yang lain memakai ambang
mutlak (misalnya > 100IU/ml), tidak peduli tes fungsi hati pada awal.5 Relevansi klinis
peningkatan ini tidak jelas.
Baru-baru ini, AIDS Clinical Trials Group (ACTG) mendefinisikan skema penilaian berdasarkan
kepekatan aminotransferase dalam serum pasien pada awal. Contohnya, pada pasien dengan
ALT atau AST yang normal sebelum terapi, kerusakan hati dinilai sedang atau berat berdasarkan
peningkatan lima kali lipat pada ALT atau sepuluh kali lipat pada AST.6 Pada pasien dengan
enzim hati yang abnormal sebelum terapi, peningkatan lebih dari 3,5 kali lipat pada ALT atau
AST dianggap menandai hepatotoksisitas sedang sementara peningkatan lima kali lipat pada
enzim tersebut dianggap menandai hepatotoksisitas berat.7
Abnormalitas pada tes fungsi hati perlu tafsiran secara hati-hati. Dari satu sisi, beberapa ARV
(mis. nevirapine dan kurang sering efavirenz) meningkatkan transpeptidase gamma-glutamil
dalam serum. Hasil laboratorium ini sering disalah tafsir sebagai tanda kerusakan hati;
sebetulnya peningkatan einzim ini secara sendiri menandai induksi enzim. Demikian pula,
hiperbilirubinemia sendiri tidak boleh disamakan dengan kerusakan hati, karena
hiperbilirubinemia tidak langsung dapat disebabkan oleh ARV, misalnya indinavir atau
atazanavir;8-10 risiko ini ditingkatkan pada pasien dengan sindrom Gilbert (sebuah kelainan
genetik) yang mendasari (Gambar 1). Dari sisi lain, kerusakan hati akibat obat yang dikaitkan
dengan peningkatan pada bilirubin langsung dan ikterus klinis meramalkan hasil klinis yang
buruk. Profil kolestatik harus dipertimbangkan hanya bila ada peningkatan terkait dalam alkalin
fosfatas dalam serum bersamaan dengan bilirubin.
Gambar 1. Kaitan antara metabolisme bilirubin, genotipe Gilbert dan penggunaan atazanavir
(ATV) atau indinavir (IDV)
Aminotransferase yang meningkat juga harus ditafsirkan dalam konteks klinisnya. Contohnya,
enzim hati yang tinggi pada pasien dengan infeksi HBV kronis tidak tentu menandai kerusakan
akibat obat melainkan flare (naik-turun secara mendadak) hati terkait HBV, yang sering terjadi
selama perjalanan alami penyakit tersebut.
Relevansi klinis
Dengan penggunaan ART secara luas dan ketersediaan ARV baru, ARLI menarik perhatian
khusus akibat dampak negatif pada hasil klinis. Hepatotoksisistas terkait obat juga merancang
beban ekonomis pada anggaran kesehatan yang sudah kewalahan, karena kunjungan tambahan
dan rawat inap pada rumah sakit sering dibutuhkan untuk perawatan dan penatalaksanaan pasien
yang sesuai.1 Lagi pula penghentian ARV menghambat penekanan HIV secara terus-menerus.
Beratnya ARLI dapat berkisar dari ketiadaan gejala sampai dekompensasi hati, dan hasil dapat
berkisar dari pemulihan sendiri sampai kegagalan hati dan kematian.11,12 Pada satu penelitian,
hepatotoksisitas berat dengan nekrosis hati akut ditemukan pada 2% pasien terinfeksi HIV yang
meninggal karena penyakit hati. Lagi pula, dalam sebuah kohort ACTG yang baru terdiri dari
hampir 3.000 pasien yang mulai ART, dampak buruk grade 4 yang paling umum adalah terkait
hati; risiko ini meningkat pada pasien dengan hepatitis virus kronis yang mendasari.13
Untungnya, mayoritas besar peristiwa ARLI tanpa gejala, dan kebanyakan peningkatan ALT
pulih sendiri, seperti digambarkan untuk banyak obat lain, kemungkinan melalui proses yang
disebut penyesuaian (adaptation).14 Namun, pada minoritas, kerusakan hati terkait obat dapat
jelas dan menimbulkan dampak yang berat. Oleh karena itu, adalah sangat penting agar dokter
memahami faktor risiko terkait hasil yang buruk dan mekanisme patogenis penyakit.
Penggunaan ekstasi dan kokain juga dapat menyebabkan hepatitis akut. Yang menarik,
kerusakan hati tampaknya tidak terpengaruh oleh takaran dan juga tidak terkait dengan lamanya
pajanan ekstasi,31,32 sementara kokain mungkin menyebabkan hepatotoksisitas melalui metabolit
oksidatif toksik, yang memicu kerusakan pada mitokondria.33,34
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan hati meningkat pada mereka dengan
peningkatan aminotransferase sebelum mulai ART.16,18-20 Faktor risiko lain terkait ARLI
termasuk usia yang lebih tua,3 perempuan,20,35 pajanan pertama pada ART21 dan peningkatan
yang bermakna pada CD4 setelah mulai ART.7,36 Baru-baru ini, kaitan antara keberadaan fibrosis
hati stadium lanjut dan risiko ARLI yang lebih tinggi dilaporkan.37 Mekanisme untuk
pengamatan ini tidak jelas, tetapi mungkin adalah dampak dari penguraian hati yang terpengaruh,
yang mengakibatkan pajanan berlebihan pada obat dalam pasien dengan sirosis.38
Toksisitas mitokondria
Pemulihan kekebalan
Reaksi hiperpeka dilaporkan dengan nevirapine, abacavir dan kurang sering dengan amprenavir,
baik pada pasien terinfeksi HIV maupun pada orang yang menerima profilaksis pascapajanan
(PPP).48 Reaksi obat yang dipicu oleh kekebalan dapat melibatkan pembentukan neoantigen,
terbentuk oleh pengikatan kovalen antara protein hati dan metabolit obat reaktif.41,49
Toksisitas mitokondria
Mitokondria memainkan peranan dalam pembuatan tenaga serta metabolisme glukosa dan
lemak, tetapi mitokondria juga adalah sumber utama jenis oksigen reaktif, yang dapat
menyebabkan kematian sel. Contoh yang paling buruk mengenai kerusakan mitokondria yang
berat terjadi dengan penggunaan analog nukleosida fialuridin untuk mengobati HBV. Selama
fase awal penelitian, beberapa peserta mengembangkan asidosis laktik dan kegagalan hati.50
Mengobati HIV dengan NRTI juga dapat mengakibatkan toksisitas mitokondria setelah pajanan
jangka panjang. Golongan ARV ini menghambat secara selektif polimerase-gamma DNA, yang
bertanggung jawab untuk replikasi DNA mitokondria. Fungsi mitokondria yang dikurangi dapat
mengakibatkan penurunan pada fosforilasi oksidatif, dan hal ini dalam giliran dapat
mengakibatkan kelainan dalam metabolisme piruvat dan pengumpulan laktat.51
Spektrum toksisitas mitokondria oleh obat NRTI berkisar dari gejala tidak spesifik sampai
asidosis laktik dengan kegagalan hati fulminan.52,53 Pada awal, pasien mungkin mengeluh
kelelahan, perut kembung, anoreksia, dan kehilangan berat badan. Sindrom asidosis laktik
ditunjukkan sebagai mual, muntah dan nyeri pada perut, yang berlanjut cepat menjadi takipnea
(napas berat) dengan asidosis berat. Tes fungsi hati mungkin sedikit meningkat dalam rangkaian
ini, sering dengan AST lebih tinggi daripada ALT.54 Diagnosis sindrom ini terlambat umumnya
mengakibatkan kematian pasien.55
Keberadaan infeksi HCV kronis, yang cukup sering pada pasien terinfeksi HIV, dapat
meningkatkan kerentanan pasien terhadap stres dan kerusakan mitokondria terkait ARV.56
Protein HCV core menyebabkan kerusakan mitokondria, mengakibatkan pembuatan jenis
oksigen reaktif yang berlebihan.57-59 Hal ini mengakibatkan stres oksidatif, yang diperkuat oleh
keberadaan faktor nekrosis tumor, alkohol atau analog nukleosida. Kemudian, pajanan pada
analog nukleosida apa pun, untuk mengobati HIV (mis. ddI) atau untuk HCV (mis. ribavirin)
dapat memperburuk lagi toksisitas mitokondria.60
Fenomena pemulihan kekebalan
ARLI terkait pemulihan sel CD4 terpicu oleh ART dianggap disebabkan oleh fenomena
pemulihan kekebalan, terutama dalam rangakain HBV kronis dan kadang kala pada pasien
dengan HCV kronis.
Hepatitis B. Kekebalan dipicu oleh sel memainkan peranan pusat dalam patogenisis HBV
kronis.61 Contohnya, pada pasien koinfeksi HIV/HBV dengan tekakan kekebalan lanjut, replikasi
HBV umumnya meningkat tetapi radang hati terkait HBV menurun dan tingkat transaminase
menurun.62 Sebaliknya, bila ART dimulai, kekebalan selular yang membaik dapat
mengakibatkan flare pada enzim hati63 dan serokonversi secara spontan,64 walau obat anti-HBV
yang aktif apa pun tidak dipakai.65 Flare enzim hati pada pasien koinfeksi HIV/HBV yang
memakai ART harus ditafsir dengan hati-hati, dengan penilaian bersamaan viral load HBV, agar
menentukan penyebab secara benar. Peningkatan pada enzim hati di pasien koinfeksi HIV/HBV
setelah permulaan ART dapat disebabkan oleh (i) kerusakan hati yang langsung terkait obat; (ii)
pemulihan kekebalan pada pasien HBsAg-positif; (iii) serokonversi pada pasien HBeAg-positif
dan/atau HBsAg-positif; (iv) reaktivasi HBV pada pembawa inaktif dan kadang kala pada orang
dengan infeksi HBV yang sembuh.
Hepatitis C. Konsep pemulihan kekebalan terkait HCV pertama diangkat pada 1998 saat
dilaporkan bahwa tiga pasien mengembangkan peningkatan pada enzim hati dan mendapatkan
antibodi HCV kembali setelah permulaan ART.66 Namun tanggapan antibodi terhadap HCV
belum tentu berkorelasi dengan pemulihan fungsi kekebalan selular, dan pemulaan ART tidak
memastikan pemulihan tanggapan sel-T khusus HCV.67 Lagi pula peranan yang dimainkan oleh
kekebalan selular dalam patogenisis HCV kronis tidak sejelas seperti dengan HBV.61 Akhirnya,
hasil bertentangan dilaporkan mengenai apakah peningkatan mutlak dalam jumlah sel CD4
berkorelasi dengan flare pada transaminase.7,19,68,69 Walau pemulihan kekebalan tetap dianggap
teori yang menarik, dan tentu dapat mejelaskan peristiwa klinis dalam subkelompok pasien HIV
dengan HCV,70,71 dibutuhkan lebih banyak bukti sebelum kesimpulan dapat diambil.
Mekanisme baru yang mungkin untuk kerusakan terkait ARV: steatosis hati
Pasien terinfeksi HIV berisiko steatosis hati, yang dapat memainkan peranan yang penting dalam
mempermudah kerusakan hati. Resistansi insulin, hiperlipidemia, dan adipositi viskeral adalah
kelainan metabolik dan morfologik yang dikaitkan secara intrinsik pada pengembangan steatosis
hati pada masyarakat umum.72 Kelainan metabolik dan morfologik yang sama berada secara
bersamaan dalam cukup banyak pasien terinfeksi HIV, dan diketahui sebagai sindrom
lipodistrofi.73 Beberapa penelitian sudah menemukan bahwa prevalensi steatosis hati adalah
tinggi di pasien terinfeksi HIV, terutama mereka dengan HCV kronis dan/atau memakai NRTI
dengan profil toksisitas mitokondria yang tinggi.74,75
Hubungan epidemiologis ini penting karena adalah sangat mungkin bahwa hati berlemak dapat
memainkan peranan yang penting pada ARLI. Steatosis hati membuat substrat untuk peroksidasi
lipid; hal ini menghasilkan pembentukan basal jenis oksigen reaktif yang mungkin merusak,
yang dapat mengakibatkan kerusakan hati.30 Stres oksidatif terjadi waktu ada ketidakseimbangan
antara pembuatan jenis oksigen reaktif yang meningkat dan pertahanan antioksidan yang
berkurang, misalnya glutation, yang mencegah kerusakan akibat radikal oksigen ini.76 Bila
antioksidan dikurangi, jenis oksigen reaktif yang berlebihan dapat merusak DNA mitokondria
dan mengoksidasikan lemak, menyebabkan lingkaran peroksidasi lipid yang meningkat, stres
oksidatif dan kerusakan sel hati terus-menerus.77
Pengamatan in-vitro ini didukung oleh data histologis yang menunjukkan keberadaan tingkat
steatosis ringan sampai sedang pada pasien yang mengalami ARLI.54,68,78 Lagi pula, infeksi HCV
genotipe 3, yang memicu steatosis hati melalui efek sitopatik yang dipicu oleh virus, dikaitkan
dengan risiko ARLI yang lebih tinggi.23-25 Penelitian ini memberi kesan bahwa steatosis hati
sendiri dapat menjadi faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadi toksisitas terkait obat.
Perananan steatosis dalam kerusakan hati akan menjadi bidang penting untuk penelitian ke
depan.
Walau uji coba pendaftaran pada nevirapine dan efavirenz menunjukkan profil toksisitas yang
dapat diterima, laporan setelah obat dipasarkan mengenai ARLI berat terkait nevirapine menarik
perhatian pada obat ini. Dua pola kerusakan akibat penggunaan nevirapine yang berbeda telah
muncul: reaksi hiperpeka dan toksisitas langsung terkait obat.87
Reaksi hiperpeka. Pada pasien pengguna nevirapine, kejadian keseluruhan peristiwa bergejala
yang melibatkan enzim hati adalah kurang lebih 5%.44,88 Namun, toksisitas hati yang berat, yang
terjadi dengan latensi awal, dilaporkan pada orang terinfeksi HIV dan orang HIV-seronegatif.
Peringatan agar nevirapine tidak dipakai dalam PPP dikeluarkan setelah beberapa orang
mengembangkan kegagalan hati yang membutuhkan pencangkokokan hati.89 Pada uji coba
pengobatan HIV yang menilai kemanjuran dan keamanan emtricabine, kejadian hepatotoksisitas
yang lebih tinggi diamati pada pasien dalam kelompok yang diberi nevirapine dibandingkan
dalam kelompok yang diberi efavirenz.90 Hepatotoksisitas paling sering terjadi pada perempuan
berkulit hitam, sering berhubungan dengan ruam dan demam, dan sesuai dengan reaksi hiperpeka
obat. Analisis lanjutan mengungkapkan bahwa kejadian ini tampaknya terkait dengan
penggunaan nevirapine pada perempuan dengan jumlah CD4 di atas 250, menekankan
pentingnya kekebalan induk dan perkenalan neoatigen pada reaksi hiperpeka.91
Sesudah itu, Boehringer-Ingelheim mengeluarkan peringatan mengenai risko toksisitas hati yang
berat, pada beberapa kasus dengan hasil fatal, dan saat ini menganjurkan penggunaan nevirapine
hanya [dimulai] pada perempuan dengan jumlah CD4 di bawah 250 dan pada laki-laki dengan
jumlah CD4 di bawah 400. Yang menarik, sebuah penelitian baru menyangkal peranan kesehatan
kekebalan sebagai faktor risiko untuk toksisitas nevirapine.92
Faktor risiko lain untuk hepatotoksisitas terkait nevirapine termasuk indeks massa tubuh yang
rendah93 dan genetik induk; orang dengan latar belakang HLA-DRB1*0101 lebih mungkin
mengembangkan reaksi hiperpeka terkait nevirapine.94-96
Toksisitas idiosinkrasi terkait obat. Pada penelitian lain pola kerusakan oleh obat yang
berbeda dengan penggunaan nevirapine sudah muncul, dengan peningkatan enzim hati baru
terjadi lebih dari 16 minggu penggunaan terapi, sesuai dengan kerusakan hatil dipicu oleh induk
secara idiosinkrasi.35,36,97 Hepatotoksisitas yang mulai lambat ini dengan NNRTI adalah lebih
umum pada pasien dengan infeksi kronis HBV dan/atau HCV yang mendasari, seperti
digambarkan dengan banyak unsur ARV lain. Pada populasi pasien yang berbeda-beda terkait
prevalensi hepatitis virus kronis, kerusakan hati terkait NNRTI dapat berkisar dari 15%36 sampai
serendah 3%.98 Polimorfisme genetik spesifik dari enzim metabolisme dan pembawa obat juga
dapat meningkatkan risiko komplikasi ini.44,99
Harus disoroti bahwa hepatotoksisitas dengan nevirapine atau efavirenz tampaknya tidak
meningkatkan risiko perkembangan kerusakan hati bila terpajan pada NNRTI lain.100,101Tabel 4
merangkum penelitian utama yang menilai risiko dan prediktor hepatotoksisitas terkait NNRTI.
PI
Fenomena ARLI menjadi lebih jelas setelah perkenalan obat PI. Angka hepatotoksisitas dari uji
coba pendaftaran berbagai PI berkisar 1-9,5%, tetapi hanya sedikit pasien mengalami hasil gawat
terkait hati.102 Dibandingkan dengan obat lain dalam golongannya, ritonavir takaran penuh
secara konsisten ditunjukkan sebagai lebih hepatotoksik,7,18,21 Namun penggunaan ritonavir
takaran rendah untuk memperkuat PI lain secara farmakokinetik tampaknya aman.103
Walau ada beberapa laporan kasus toksisitas terkait hati dengan indinavir, kasus ini berhubungan
dengan penyakit hati lanjut; pengurangan takaran dianjurkan untuk pasien sirosis. Beberapa
kasus hepatitis klinis dan dekompensasi hati, termasuk beberapa kematian, dikaitkan dengan
penggunaan tipranavir, terutama pada pasien dengan infeksi HCV kronis.104,105 Nelfinavir,
saquinavir, atazanavir, fosamprenavir, lopinavir dan darunavir dikaitkan dengan profil toksisitas
hati yang relatif lebih aman.106-113 Amprenavir kadang kala dikaitkan dengan reaksi hiperpeka
terkait obat tetapi hanya secara sporadis dengan hepatotoksisitas berat.114
Golongan ARV baru
Perkembangan klinis aplaviroc, sebuah antagonis CCR5, dihentikan pada 2005 setelah kejadian
hepatotoksisitas berat.115 Berbedanya, maraviroc dan vicriviroc tampaknya mempunyai profil
hepatotoksisitas yang lebih aman. Enfuvirtide, satu-satunya fusion inhibitor yang disetujui,
menunjukkan riwayat yang aman secara konsisten terkait toksisitas hati.116 Data mengenai
integrase inhibitor masih langka, tetapi sampai saat ini raltegravir tidak dikaitkan dengan
toksisitas hati yang bermakna.117
Penatalaksanaan terapeutik
Kapan sebaiknya ARV dihentikan?
Pengambilan keputusan klinis mengenai penghentian obat sering adalah main keseimbangan.
Menghentikan obat pada tanda pertama kerusakan ringan dapat mencegah dampak yang gawat.
Namun pendekatan ini dapat mengkorbankan terapi yang berpotensi penting untuk sejumlah
besar pasien. Tetapi meneruskan terapi dapat mengakibatkan hasil yang buruk. Untuk keamanan
pasien, beberapa asas penting harus ditekankan.
Hepatitis bergejala harus menarik perhatian yang jauh lebih tinggi dibandingkan
peningkatan transaminase tanpa gejala. Semakin lama pasien terus memakai obat setelah
hepatitis bergejala, semakin mungkin dia akan mengalami kerusakan hati yang berat.3
ARLI terkait dengan ikterus yang jelas dengan tingkat bilirubin langsung lebih tinggi
mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi.11,12 Obat harus langsung dihentikan.
Bila pasien mengeluh gejala sesuai dengan toksisitas mitokondria berhubungan dengan
peningkatan tingkat laktat, obat harus langsung dihentikan.
Bila pasien mengalami gejala yang menunjukkan hiperpeka obat, obat harus langsung
dihentikan; penggunaan ulang obat tersebut dapat fatal.
Obat harus langsung dihentikan bila ALT atau AST dalam plasma lebih dari sepuluh kali
BANN (grade 4), walau pasien tidak bergejala.79,118,119 Untuk pasien dengan penyakit hati
lanjut, penatalaksanaan yang lebih berhati-hati harus dilakukan untuk menghindari
dekompensasi hati.68
Perhatian khusus dibutuhkan untuk obat yang baru dipasarkan karena potensi
hepatotoksisitas mungkin belum diketahui pada uji coba klinis sebelum dipasarkan (mis.
darunavir).
Selalu mempertimbangkan penyebab lain untuk hepatitis termasuk hepatitis virus,
kolesistitis, infeksi oportunistik, serta penggunaan alkohol atau kokain.
Perbaikan pada transaminase secara spontan walau penggunaan obat diteruskan
Saat menilai toksisitas obat, peningkatan transaminase dalam serum yang rendah umumnya
dilihat dan sering membaik walau obat yang sama dipakai.120 Hal ini diamati dengan ARV,
terutama penggunaan PI.17,21 Berdasarkan data ini, beberapa penulis menganjurkan bahwa ART
mengandung PI tidak membutuhkan penyesuaian langsung tetapi hanya pemantauan secara
ketat.66 Harus ditekankan bahwa kebanyakan pasien ini mempunyai peningkatan pada
transaminase yang tidak bergejala.
Dampak kumulatif kerusakan terkait ARV
Satu aspek lain terkait ART yang membutuhkan jauh lebih banyak penelitian adalah masalah
kerusakan hati kumulatif, terutama akibat NRTI.85,86 Pada satu penelitian terhadap pasien dengan
hepatitis virus kronis yang dipastikan dengan biopsi, ARLI mengakibatkan peningkatan yang
bermakna pada skor nekroradang pada sampel histologis berulang.70 Berbeda dengan perhatian
ini, sebuah penelitian baru memberi kesan bahwa peningkatan enzim hati yang ringan tetapi
terus-menerus tampakanya tidak berdampak buruk.121 Namun implikasi jangka panjang dari
kerusakan hati kambuhan belum diketahui.
Peranan biopsi hati dalam ARLI
Sayangnya, biopsi hati sering tidak memberi tambahan yang bermakna pada penatalaksanaan
pasien atau penentuan penyebab.118 Kadang kali histologi dapat membantu bila eosinofil atau
granuloma ditemukan, yang memberi kesan hiperpeka.7,68 Bila toksisitas mitokondria diduga,
maka histologi dan mikroskopi elektron dapat membantu menentukan apakah ada steatosis
mikroveskular dan bukti kerusakan mitokondria.122
kerusakan hati, menghadapi faktor yang dapat diubah, dan mewaspadai tanda kerusakan obat
yang paling dini.
Arah ke depan
Beberapa prakarsa akan membantu mendorong kerja sama penelitian yang lebih baik,
pemahaman komprehensif patogenisis dan penatalaksanaan pasien secara lebih baik.
Farmakogenomik dapat memberi nilai yang lebih tinggi untuk meramalkan reaksi obat yang
tidak diinginkan; beberapa alat ini sudah tersedia untuk dipakai.132-134 Contohnya, penerapan tes
tipe HLA untuk alele HLA-B*5701 dapat mengurangi risiko hiperpeka abacavir secara
bermakna.135 Pengetahuan mengenai polimorfisme di isoenzim 2B6 di sitokrom P450 dapat
mengenal orang berisiko ketidaktahanan hati pada efavirenz.136,137 Tes tipe P-glikoprotein
dan/atau gen untuk UDP glukuronosiltransferase, serta pemantauan tingkat obat dalam plasma,
dapat memungkinan penyesuaian takaran dan oleh karena itu mengurangi hiperbilirubinemia
terkait atazanavir.138 Teknik yang saat ini diselidiki termasuk aktivasi sel mononulear di darah
perifer in-vitro terhadap sebuah obat atau metabolitnya sebagai alat untuk mengenal risiko.49
Biotanda serum juga sedang dikembangkan untuk membantu meramalkan reaksi idiosinkratis
hati.139
Peranan steatosis hati sebagai mekanisme untuk, dan faktor yang memungkinkan, ARLI harus
diselidiki. Prevalensi steatosis hati adalah tinggi di populasi pasien ini, dan keberadaannya
dipengaruhi oleh penggunaan analog nukleosida secara kronis, infeksi HCV genotipe 3 dan
kelainan metabolik seperti resistansi insulin.75 Bahkan interaksi yang ringan antara steatosis hati
dan kerusakan obat dapat mempunyai implikasi yang bermakna pada populasi pasien ini.
Ahkirnya, penggunaan definisi baku untuk ARLI dibutuhkan untuk memperbaiki pembandingan
antara penelitian. Ambang mutlak untuk peningkatan aminotransferase harus ditinggalkan dan
diganti dengan sistem mengukur perubahan kali lipat terhadap nilai awal pasien. Tambahan,
tingkat peningkatan adalah parameter yang penting, karena peningkatan pada ALT/AST yang
rendah dapat mencerminkan naik-turun hepatitis virus kronis atau penyesuaian obat. Oleh
karena itu, kami menganjurkan bahwa kebutuhan minimum perubahan lima kali lipat di atas nilai
awal yang normal atau perubahan 3,5 kali lipat di atas nilai awal yang abnormal agar dipakai
secara universal untuk menilai kerusakan terkait obat yang bermakna. Kami juga mengusulkan
bahwa ARLI sebaiknya dipertmbangkan bila dekompensasi hati terjadi, tidak memperhatikan
tingkakt ALT/AST; dalam rangakaian ini, tingkat ARV dan laktat dalam serum harus ditentukan.
Dengan pendekatan universal, perkembangan lanjut dapat dibuat dalam bidang penting
penelitian ini.