Reformasi Perencanaan Tata Ruang Kota
Reformasi Perencanaan Tata Ruang Kota
9 11 September 2004
Oleh:
Sunardi 2
Pendahuluan
Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai
wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan
senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan
kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika serta
kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di sekitarnya.
Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah
dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di
balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak
sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik dan psikhis)
masyarakat.
Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir-banjir
lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel
yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan
yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di
samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak
terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai
penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah
perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi: (a) penurunan persentase rumah
tangga terhadap rasa aman dari tindak kejahatan; (b) peningkatan jumlah pengangguran
dan jumlah kriminalitas oleh kelompok pemuda. Keadaan yang demikian ini semakin
meningkat pada akhir-akhir ini, terutama disebabkan oleh kondisi perekonomian
nasional yang semakin terpuruk, yang berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan
kerja (PHK), perkelahian antar kelompok preman, dan terhentinya pelaksanaan proyekproyek besar.
Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di
negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan
pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju
urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi
perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir perkotaan. Keadaan
seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban
masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut
tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk miskin di daerah perkotaan.
1
Opini dalam Harian RADAR BANYUMAS, Jumat Wage 12 April 2001 sebagai bahan diskusi dalam Temu Alumni MPKD
UGM Yogyakarta, 10 - 11 September 2004
2
Dosen FT UNWIKU Purwokerto, Alumni MPKD UGM Yogyakarta Angkatan I tahun 1994
Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM
9 11 September 2004
Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM
9 11 September 2004
rencana tata ruang kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah
selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur
masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana
tata ruang kota.
Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah
tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan
peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan, sampai dengan
implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan
dasarnya.
Workshop dan Temu Alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM
9 11 September 2004
Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan
tata ruang kota antara lain:
1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi
perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat,
diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan akan meningkat.
Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat, demi
terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa
lebih mahal. Namun lebih mahal lagi perencanaan yang tidak efektif maupun
pembangunan yang tanpa perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan
pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan
memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan
rencana sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.
2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down
merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali
propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasikan di dalam
ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam
seminar, seperti: Kepala Kelurahan / Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang
berwawasan terhadap perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai
kepanjangan tangan pemerintah.
3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning.
Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka panjang
bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika masyarakat
yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya perencanaan tersebut
tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Perencanaan sektoral merupakan
perencanaan terhadap sektor-sektor yang benar-benar dibutuhkan masyarakat
dalam waktu mendesak.
4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu
sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota. Komisi
Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat) kiranya perlu
diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa permasalahan perkotaan
merupakan permasalahan yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan
ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya,
hukum dan lain sebagainya.
5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang
khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan
perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang oleh UUPA
dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan Eko Budihardjo).
Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land
Readjustment perlu ditingkatkan.
6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah
ditetapkan men-jadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan
implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program kegiatan
pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan Bappeda.