One comment
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan
jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah
sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini
merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km
dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia. Di Indonesia
sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di
daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung,
dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya,
telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852.
Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan
Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung
sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau
Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya
mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa
Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang
Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas
321.577 ha. Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen
sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation,
menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah
smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang
Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial
berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Hal
krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum
diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada
akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu
penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas
penambangan illegal. Pemberian ijin tambang inkonvesional (TI) di Bangka Belitung telah
mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat terjadinya penyeludupan, serta mengancam
terkurasnya ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin
mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua
perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini
pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat
rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.
Mestinya, pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan
lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara.
Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan
melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007, melalui
penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari
penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun. Kerugian Negara Akibat Penyelundupan
Timah Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006 melaporkan, nilai
penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per bulan.
Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada akhir 2005,
pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar.
Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang
rakyat (TI). Awalnya, penambang mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang
timahnya ke PT Timah. Namun, godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat
penjualan timah ke PT Timah menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi
Daerah disahkan dan Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April
1999 menyatakan timah dikategorikan sebagai barang bebas. Pemda Bangka Belitung
kemudian menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda
No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis,
Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya. Semua
peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol
pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah, Dwi Agus, menyatakan
kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT Timah. Sebab, ujar Dwi, muncul
saingan usaha.
Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga
meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang dilakukan
mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan royalti dan
pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah meliputi dana
reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar oleh penambang liar.
Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan Oktober 2006, harga logam
timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam timah di London Metal Exchange
(LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga
sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan
pasokan, karena Indonesia (PT Timah Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara
negara-negara pemasok logam timah lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak
mempunyai kemampuan produksi yang besar. Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007,
Thobrani Alwi, sebelumnya PT Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007,
PT Timah hanya mengirim 3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia
masih banyak sekitar 9.000 hingga 10.000 ton. Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu
mempengaruhi harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal.
pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand mulai
minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan customercustomer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya pemain-pemain
pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa menjadi price maker.
Diharapkan ke depan, Indonesia dapat memegang harga timah dunia, bila perlu Kualalumpur
Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini, pindah ke Jakarta atau Bangka
menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market. Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia
mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton
secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari
Indonesia. Oleh karena itu, ke depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor
sesuai peraturan. Dengan harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih
besar. Selain pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi
timah pada industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat.
Kemudian, kalangan industri mulai memerhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.
Pendapatan PT Timah Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliyun,
pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542 Triliyun
atau sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah sekitar Rp. 4,
076 Triliyun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT Timah memang terus
mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden yang diterima negara pun
meningkat. Tabel 1. Produksi Timah Indonesia Sumber: PT Timah Tbk. Tabel 1 di atas
memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT
Timah, Indonesia pun memperoleh pendapatan yang terus meningkat. Khusus 2006, 2007, dan
2008 keuntungan bersih PT Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp
2 triliun.
Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak ekonomi
dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara mendapat manfaat
yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat. Namun di sisi lain, aktivitas
penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi. Transaksi
penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan (Kejati Babel, 2006).
Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara. Artinya, negara dirugikan
Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus menipis akibat aktivitas
penambangan ilegal merajalela. Sementara itu, faktor harga akan selalu mempengaruhi
pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk sebagai kas negara. Harga
tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$ 25.500/ton dan terendah adalah US
10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat
27 % dari harga rata-rata logam timah dunia tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton
Menurunnya harga logam timah pada triwulan keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis
ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak
analis, harga timah tahun 2009 akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun
dibandingkan tahun 2008 (Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus
membaik seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan
terus meningkat. Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional Berdasarkan informasi dari
US Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah
sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000
ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan mampu
bertahan sekitar 10 - 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 2019. Pada harga rata-rata US$
20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke depan), sumber daya
timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18 miliar atau sekitar Rp 190
triliun.
Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi ekonomi
tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB,
pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel. Ketersediaan
timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan pemerintah pusat, khususnya
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat.
Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang berlangsung 45 tahun belakangan ini,
berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat
produksi timah lambat laun pasti menurun. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan
keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan
timah habis. Jika industri timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak
tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti
bertambah.
Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan
produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus menggunakannya untuk
mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas
maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun
Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang
dalam negeri. Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan
pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah
ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk mengembalikan eksplorasi hanya
kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi
persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional. Penegakan hukum dan
penerapan sanksi juga sangat penting untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam
industri timah nasional. Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di
dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir
timah nomor satu di dunia, lebih dari 90% produksinya diekpor ke manca negara.
Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebut sebagai negara yang masih memiliki
kandungan timah berlimpah.
Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk
kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah
melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60
ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar
71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara, terutama
dalam bentuk royalti dan pajak.
Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti
Malaysia, Thailand, Singapura, dan Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah
yang mestinya segara mendapatkan solusi. Permasalahan tersebut antara lain adalah belum
optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak
konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi
asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat.
Banyak dampak negatif yang timbul akibat kesalahan dan penyelewengan pengelolaan
tambang timah. Sekitar 40% produksi timah nasional setiap tahun diseludupkan. Negara
kehilangan pendapatan, hanya dari royalty (besarnya 2% harga jual timah), sekitar US$ 9,5 juta
per tahun. Belum lagi kerugian akibat penggelapan pajak, yang jumlahnya pasti jauh lebih
besar! Sudah bertahun-tahun sejak larangan ekspor biji timah dikeluarkan pada 31 Januari
2002 yang lalu, smelter Singapura negara yang tidak punya tambang timah terus
memroduksi timah lebih dari 25.000 ton/tahun.
Smelter di Malaysia dan Thailand juga menadah timah seludupan dari Indonesia. Dalam tiga
tahun terakhir, hasil tambang timah Malaysia dan Thailand hanya sekitar 3000-5000 ton/tahun.
Namun, smelter mereka bisa memproduksi batangan timah 25.000-35.000 ton/tahun. Hal ini
terjadi tentu karena adanya penyeludupan dari Babel! Berdasarkan rilis Commodity Research
Unit (CRU), sejak tahun 2000-2008 timah Indonesia yang masuk pasar internasional tanpa
dilaporkan secara resmi, ilegal/diseludupkan, mencapai 266.000 ton. Jika diasumsikan harga
rata-rata timah US 14,000/ton dan kurs US$/Rp = 12.000 maka kehilangan negara dari royalty
yang besarnya hanya 2% dari harga jual, sudah mencapai Rp 1 triliun. Apalagi jika kerugian
negara dari pajak (minimal 25% harga jual) diperhitungkan, kerugian negara bisa lebih dari Rp
13 triliun! Kerugian ini belum memperhitungkan berbagai kehilangan kesempatan dalam seluruh
lingkup kegiatan bisnis industri timah akibat penyeludupan.
Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil
tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat
menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan
timah, dan pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya
berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.
Dengan total cadangan yang terbatas sekitar 900.000 ton, timah Indonesia diperkirakan hanya
akan bertahan 12 tahun kedepan, atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan.
Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan
dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang
sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah terlihat belum optimal mengatur mekanisme
penambangan timah.
Hingga 2009, penyelundupan timah masih marak terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan
sanksi terhadap para pelaku penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk
mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian
memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik. Bahkan, tercatat
sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui konsorsium yang
beranggotakan banyak perusahaan.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartanto, terdapat 6.507 usaha pengelolaan timah di
Bangka dan Belitung. Tercatat 199 pertambangan dilengkapi izin, sedangkan 6.308 usaha
lainnya ilegal. Merebaknya penambangan dan pemasaran timah ilegal karena pimpinan daerah,
seperti bupati memiliki otoritas memberi izin usaha pertambangan. Lokasi pertambangan PT
Timah yang dianggap tidak ekonomis kemudian dialihkan ke kontraktor lokal, yaitu PT Tambang
Karya.
Hal ini menyebabkan kerusakan lahan dan hutan. Penambangan ilegal terjadi pada 30 persen
luas hutan di provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan pencemaran air, lahan tandus,
abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Di sisi lain, kini PT Timah, sahamnya tak lagi
sepenuhnya dimiliki pemerintah. Sebanyak 35 persen milik swasta dan 65 persen lainnya masih
dikuasai pemerintah.
Pihak swasta memiliki kewenangan untuk usaha-usaha pertambangan yang juga memiliki izin
smelter, mempunyai kewenangan untuk peleburan dan pemurnian, memiliki izin ekspor dan
juga tentu mendapatkan keuntungan. Keuntungan swasta, seratus persen tentu menjadi milik
swasta seluruhnya. Dan kepemilikan PT Timah seperti di atas membuat seolah-olah sudah
tidak ada bedanya lagi status antara BUMN dengan swasta. Jadi sudah tidak ada sama sekali
perlindungan terhadap aset negara.
Negara tidak lagi sepenuhnya melindungi badan usaha yang mewakilinya, pun tidak lagi
melindungi aset negara yang dikandung di dalam wilayahnya itu. Sehingga, timah yang naik
dari dalam ke atas tanah di Bangka Belitung seolah sudah tidak dimiliki lagi oleh negara.
Penguasaan negara dan pengelolaan negara terhadap timah dipertanyakan. Jika negara
memang ingin kembali melindungi asetnya, mestinya ekspor balok timah murni tidak dilakukan
oleh pengusaha swasta. Balok timah murni merupakan logam dasar, belum merupakan
produksi yang dihasilkan melalui industri. Oleh karena itu, ekspor logam dasar itu harus
dikendalikan negara melalui BUMN yaitu PT Timah. Selain logam dasar itu, seperti solder dan
tin chemical, pemerintah mungkin bisa saja memberikan izin kepada pihak swasta untuk
mengekspornya.
Selain itu, PT Timah sebagai wakil negara harus membuka kesempatan seluas-luasnya di
Untuk memenuhi kebutuhan kuota produksi, PT Timah selain melakukan penambangan sendiri,
sebagian lagi melalui mitra kerja Tambang Karya (TK) yang masih aktif lebih kurang 40 %.
Sedangkan sisanya sudah menghentikan kegiatannya. Hal ini mengakibatkan pasokan bijih
timah, termasuk yang ditambang sendiri oleh PT Timah, tidak lagi dapat memenuhi target
produksi yang telah ditentukan. PT Timah terancam tidak dapat memenuhi kontrak penjualan
dengan para buyers di pasar internasional.
Untuk mengatasi hal tersebut PT Timah mengeluarkan beberapa kebijakan:
1. Mengeluarkan Surat Ijin Produksi (SIP) kepada mitra kerjanya untuk menerima bijih timah
serta mengkoordinir kegiatan pendulangan oleh masyarakat.
2. PT Timah mengeluarkan lagi Surat Ijin mengumpulkan pembeli kepada beberapa sub mitra
kerjanya untuk bertindak sebagai koordinator pengumpul/pembeli bijih timah hasil pendulangan
masyarakat.
3. Setiap mitra kerja PT Tambang Timah diberikan terget minimal bijih timah yang harus
dipasok ke PT Tambang Timah per bulan.
Kebijakan ini mengakibatkan munculnya Tambang Inkonvensional (TI). Para mitra PT Timah
lebih banyak menampung hasil produksi TI daripada dengan produksi sendiri. Karena banyak
mitra kerja yang menampung hasil produksi TI dengan harga yang relatif tinggi, akibatnya
memicu makin maraknya usaha penambangan yang dikelola oleh masyarakat (TI).
Pemerintah Daerah Bangka Belitung, dengan kewenangan otonomi yang dimiliki mengeluarkan
Perda No. 6 Tahun 2001 tentang pertambangan umum, membuka kesempatan bagi
masyarakat Bangka mengeksploitasi timah ini secara bebas. Dampak kebijakan tersebut
menyebabkan tambang inkonvensional semakin marak kemudian memicu penyelundupan.
Selain itu, hasil tambang inkonvensional milik rakyat dibeli dengan harga lebih murah sehingga
rakyat tetap berada dalam kemiskinan.
Sejumlah smelter atau perusahaan pengolahan bijih timah di Bangka Belitung, menadah timah
ilegal dari penambang tanpa izin. Jika penambang tanpa izin marak, tentunya hasil bijih timah
yang dihasilkan ada yang menampung yaitu smelter. Logikanya, tidak mungkin pedagang
pengumpul lada di pasar yang membeli timah. Bisnis timah ilegal di Babel bagaikan mata rantai
saling menguatkan dan menguntungkan. Sehingga sulit memutus mata rantai itu, sepanjang
tidak ada komitmen pemerintah pusat dan daerah, termasuk aparat kepolisian dan TNI.
Sebagian smelter tentu untung bisa menadah timah ilegal dari hasil tambang inkonvensional
(TI) milik rakyat. Sebab mereka membeli dengan harga murah kemudian dijual dengan harga
tinggi. Sementara, masyarakat juga tergiur oleh penghasilan timah yang cukup tinggi ketimbang
penghasilan lain dari bertani lada, karet, dan sawit. Mereka juga mudah menjual hasil bijih
timahnya kepada kolektor lalu dilepas ke smelter. Praktik ini, telah lama terjadi namun
fungsi ekosistem hutan, sesungguhnya hal ini adalah untuk keberlanjutan manusia itu sendiri.
Beberapa pakar mengungkapkan bahwa ekosistem hutan memiliki kemampuan suksesi
sehingga tidak menjadi masalah mengeksploitasi hutan. Hal ini sebenarnya keliru, sebab ketika
hutan dieksploitasi hingga habis maka hutan kehilangan fungsi ekologinya sebagai pengatur/
ecological regulatory (siklus hidrologi, siklus nutrien, rantai makanan); fungsi pemelihara/
ecological maintaning (mencegah erosi, abrasi) dan fungsi pemulihan/ecological recovery
(menyerap emisi karbon). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka seketika hutan tidak
memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem alam dan
berpotensi menimbulkan bencana alam. Selain itu, proses suksesi hutan dan pertumbuhan
sebuah pohon membutuhkan waktu puluhan tahun.
Aktivitas tambang inkonvensional di Bangka Belitung semakin marak berdampak pada
kerusakan ekosistem. Sebab, obyek penambangan hampir mencakup ke segala aspek
ekosistem alam, yaitu wilayah darat dan laut Bangka. Objek penambangan terutama di dalam
ruang lingkup kerja wilayah hutan konservasi yang menjadi sasaran pertambangan warga
Bangka, membuat area hutan di pulau Bangka semakin terancam keberadaannya. Ini
menambah permasalahan global pembalakan liar hutan Bangka.
Beberapa penambang inkonvensional bahkan telah menggunduli area hutan, diantaranya hutan
fungsi khusus, hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi atau reklamasi eks tambang
timah hingga hutan magrove. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membuka lahan
pertambangan timah. Para penambang inkonvensional membuka lahan pertambangan dengan
cara membabat, membakar, kemudian menggunduli area hutan, guna kepentingan eksploitasi.
Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi area pertambangan telah menghilangkan
fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai
makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity
patterns), daur nutrien (nutrien cycles) dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/
cybernetics). Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak pada ketidakseimbangan sistem
alam.
Akibatnya, Bangka Belitung mengalami kekeringan ketika musim kemarau, hasil pertanian
mereka pun menurun. Apalagi banyak petani yang beralih profesi menjadi penambang
sehingga lahan pertanian pun terbengkalai. Hilangnya ekosistem hutan mengakibatkan
beberapa kawasan tererosi dan sungai-sungai pun mengalami abrasi. Karena terjadi
sedimentasi yang tinggi, terkadang sungai meluap ketika musim hujan. Terlebih lagi, tailing
yang dibuang ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa
biota perairan.
Masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan sumberdaya sungai seperti sebelumnya, misalnya
untuk memancing, rekreasi, atau pun sebagai sumber air permukaan. Pada musim hujan,
kolong-kolong bekas galian tambang akan terisi air namun menjadi kering dan gersang pada
musim kemarau. Hal ini karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air
(catchment area). Hilangnya ekosistem hutan juga membawa dampak pada degradasi lahan,
termasuk lahan pertanian.
Dampaknya, hasil pertanian, hasil kebun petani pun menurun. Jika hasil pertanian yang
dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa
harus membelinya di luar. Hal ini tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil
pertanian yang relatif lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung
saat ini juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk mereklamasi
atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali berproduksi. Kekeringan,
banjir, serta penurunan hasil pertanian adalah bagian dari dampak karena penambang tidak
melestarikan fungsi hutan lindung.
Akhiri Kerakusan
Kita sebagai bangsa hendaknya merasa prihatin, malu dan sekaligus terhina harga dirinya
menyaksikan negara-negara tetangga menadah barang seludupan, mengendalikan harga timah
dan melecehkan hukum negara, serta menikmati keuntungan sangat besar dari pencurian
kekayaan alam kita. Di sisi lain, kita mengerti bahwa semua ironi ini sebagian besar berpangkal
dari kesalahan kita sendiri, terutama para oknum investor, cukong-cukong dan oknum
penguasa serta oknum aparat pertahanan dan keamanan. Umumnya mereka bermental KKN,
manipulatif, konspiratif, dan rakus akan kekayaan dan kekuasaan.
Keserakahan para eksekutif keuangan dan bank serta pemilik modal merupakan penyebab
utama terjadinya krisis keuangan global saat ini. Akibat kerakusan mereka, ratusan juta orang
menjadi miskin atau bertambah miskin, puluhan juta orang kehilangan pekerjaan, ribuan
perusahaan bangkrut, dunia kehilangan dana sekitar US$ 10 triliun, atau uang yang lenyap di
bursa saham mencapai US$ 50 triliun! Daya rusak orang-orang serakah begitu besar sehingga
merusak tatanan ekonomi dunia, merugikan keuangan negara dan menyengsarakan demikian
banyak orang.
Demikian pula yang terjadi di Babel. Prilaku serakah oknum-oknum investor dan pejabat telah
merugikan negara puluhan trilun rupiah, menyengsarakan rakyat, merusak lingkungan, dan
bahkan menjadikan negara terhina, tidak berdaulat, tidak punya harga diri di hadapan negaranegara lain. Apakah pemerintah memang sudah tidak berdaya dan akan terus membiarkan
semua ini terus berlangsung? Apakah memang kita masih pantas berharap kepada
pemerintah? Belajar dari krisis keuangan global yang masih berlangsung saat ini, kita
menginginkan pembenahan industri timah secara seksama segera diwujudkan, terutama
melalui operasionalisasi UU Minerba No.4/2009 dalam bentuk sejumlah PP yang sejalan
dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
menyimpan potensi ekonomi sekitar US$ 12,60 miliar atau sekitar Rp 130 triliun. Belum lagi jika
multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi tambang timah Babel
menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan
daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel.
Sangat disayangkan bahwa berbagai masalah dan penyelewengan, termasuk kerakusan, terus
melingkupi industri timah kita. Sehingga potensi ekonomi yang demikian besar tidak
termanfaatkan secara optimal. Masalah dan salah urus industri timah antara lain disebabkan
berbagai oknum yang ada di pusat dan daerah, termasuk luar negeri. Sebagaimana terjadi
pada hampir seluruh jenis sumber daya alam, pengusaha dan cukong, domestik atau asing,
yang ber-KKN dengan oknum pejabat merupakan modus yang akut dan terus berlangsung
tanpa kendali. Menggerogoti kekayaan sumber daya timah nasional. Hal ini sangat mendesak
untuk diadvokasi dan diakhiri.
Advokasi terhadap permasalahan pertambangan timah Bangka Belitung telah kerap kali
dilakukan. Berbagai diskusi dan seminar yang menghasilkan sejumlah rekomendasi dan
tuntutan sudah sering dilakukan. Sejumlah Anggota DPD, Rektor, LSM, pengurus Ormas, tokoh
masyarakat, dan mahasiswa, telah pula meyampaikan sikap dan tuntutan melalui Surat
Terbuka kepada Presiden RI, SBY. Namun, berbagai penyelewengan menyangkut
pertambangan timah Babel terus berlangsung.
Memang diakui bahwa jika hanya mengharap kepada lembaga-lembaga resmi yang ada, baik
itu kepada jajaran eksekutif, legislatif maupun yudikatif, apakah yang di pusat, apalagi di
daerah, perbaikan yang diinginkan tampaknya sulit terwujud. Melalui tulisan ini kami berharap
ada tambahan dukungan dan partisipasi dari masyarakat, terutama para pakar, tokoh, LSM,
akademisi, pemuda dan mahasiswa untuk bergabung melanjutkan advokasi, demi tuntutan dan
perbaikan yang dicita-citakan
1.
owie logan4 Oktober 2012 02:39
coba check lagi brp prosen produksi timah penambang ilegal dibandingkan penambang besar
legal seperti PT Kobatin setahu saya yg ilegal hanya 10 % saja...kalo dikatakan rendahnya
kesejahteraan masyarakat dan kerusakan lingkungan..disebabkan oleh yg 10% itu...???? come on
guys..
so..coba
rangkul
lagi
mereka..yg
ilegal..biar
jadi
legal..
toh mereka rakyat kita - saudara kita juga..oke...saya adalah pemerhati yg nun jauh disana..kal
bar..bergerak
di
perkebunan
sawit..saya
belum
pernah
ke
bangka...salam.
Balas
Next Posts
Previous Posts
REKAMAN
Archives
o
o
o
2012 (83)
November (1)
Oktober (63)
September (16)
Sep 29 (5)
Sep 25 (3)
Sep 13 (1)
Sep 12 (1)
Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka...
Sep 08 (1)
Sep 07 (1)
Sep 04 (4)
Agustus (3)
2010 (1)
PENGIKUT