Hermin Prihartini
Instalasi Rawat Intensif
RSMS- Purwokerto
SHOCK adalah suatu keadaan yang ditandai dengan gagalnya sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi sel yang adekuat sebagai akibat menurunnya
pengangkutan oksigen dan nutrien lain ke jaringan.
Fisiologi sirkulasi darah memerlukan 3 unsur yang bekerja optimal yaitu
(1) jantung sebagai pompa yang mengalirkan
(2) volume darah sebagai cairan yang dipompa melalui
(3) pembuluh darah sebagai "pipa" yang mengalirkan ke seluruh bagian tubuh /
jaringan.
Jika volume darah cukup (normo-volemia), jantung bekerja baik (cardiac output
normal) dan pembuluh darah dalam tonus normal (tidak vasodilatasi, tidak
vasokonstriksi) maka aliran darah akan mencapai jaringan dengan baik (perfusi
normal) dan membawa cukup oksigen (normo-oksia).
Klasifikasi (Shoemaker)
Shock hipovolemik : volume darah yang beredar berkurang secara absolut
(hipo-volemia). Maka, sekalipun unsur yang lain tetap baik, cardiac output akan
berkurang. Juga walaupun unsur yang lain berkompensasi (jantung berdenyut
lebih cepat, pembuluh darah vasokonstriksi). Masalah baru selesai jika volume
diisi kembali sarnpai normal.
Shock kardiogenik : jantung bekerja kurang baik (kontraksi otot kurang baik,
katup bekerja kurang baik denyut terlalu cepat atau terlalu lambat, irama jantung
bukan berasal dari SA node). Payah jantung adalah salah satu bentuk shock
untuk mengatasi
penurunan cardiac output, misalnya dengan retensi Natrium dan air untuk
meningkatkan pre-load. Dengan pre-load lebih tinggi, otot miokard yang sakit
dan lemah akan dapat menghasilkan cardiac output lebih tinggi. Tetapi sampai
suatu saat, koreIasi ini berbalik menjadi depresi (counter-productive) dan terjadi
edema jaringan, hepatomegali atau edema paru. Umumnya pembuluh darah
juga mengalami vasokonstriksi.
Shock distributif : terjadi salah aturan pembagian aliran darah. Salah aturan
dapat disebabkan vasodilatasi berlebihan akibat reaksi anafilaksis sehingga
darah berkumpul berlebihan di perifer. Vasodilatasi juga dapat disebabkan oleh
cedera medula spinalis (lesio transversa) misalnya pada cedera tulang leher.
Shunting arteriovenous di tingkat kapiler dan pre-kapiler pada sepsis dan
endotoxin shock menyebabkan jaringan tidak mendapat aliran darah dan supply
oksigen yang memadai.
Shock obstruktif : disebabkan sumbatan pada aliran darah ke atau dari jantung,
misalnya tension pneumothorax, tamponade pericard atau thrombo-emboli yang
besar.
A.
Definisi Cardiac output adalah volume darah per menit yang dipompa oleh
jantung, dan ditentukan oleh hasil detak jantung dan stroke volume. Stroke
volume atau jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi jantung, secara
klasik ditentukan dengan (1) preload , (2) kontraksi miokard, dan (3) afterload.
Preload berarti volume pengembalian darah ke jantung dan ditentukan oleh
pengisian vena, keadaan volume darah, dan perbedaan antara tekanan sistemik
vena rata-rata dan tekanan atrial kanan. Perbedaan tekanan ini menentukan
aliran vena. Sistem vena dapat dianggap sebagai tempat penampungan atau
sistem kapasitans dimana volume darah dapat dibagi dalam dua komponen.
Komponen pertama yaitu volume darah yang tetap tinggal di dalam tempat
penampungan (sirkuit kapasitans) bila tekanan di dalara sisternnya nol, dan tidak
menyumbang kepada tekanan vena sistemik rata-rata.
Komponen kedua yang lebih penting, mewakili volume vena yang menyumbang
pada tekanan vena sistemik rata-rata. Hampir 70% dari seluruh volume darah
diperkirakan berada di dalam sirkuit vena. Hubungan antara volume darah vena
dan tekanan vena penting untuk diperhatikan, karena kenaikan tekanan inilah
yang mengakibatkan terjadinya arus vena dan karena itu mendorong volume
pengembalian darah vena ke jantung. Kehilangan darah mengakibatkan
komponen kedua ini kehabisan darah vena, mengurangi tekanan vena, dan
akibatnya adalah mengurangi pengembalian darah vena ke jantung.
Volume darah vena yang dikembalikan ke jantung menentukan panjang serabut
otot miokard setelah pengisian ventiikel pada akhir-diastol. Panjang serabut otot
berhubungan dengan sifat-sifat kontraktilitas otot miokard menunit Hukum
Starling. Kontraktilitas miokard adalah pompa yang menjalankan sistem ini.
Afterload (beban sesudahnya) adalah tahanan pembuluh darah sistemik (perifer)
atau, dengan kata lain, tahanan terhadap arus darah ke perifer.
B.
endorpin, dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-sitokin lain. Substansi ini
berdampak besar pada micro-sirkulasi dan permeabilitas pembuluh-darah.
Pada shock perdarahan yang masih dini, mekanisma kompensasi sedikit
mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume
darah di dalam sistem vena, hal mana tidak banyak membantu memperbaiki
tekanan vena sistemik. Cara yang paling efektif untuk memulihkan cardiac output
dan perfusi organ adalah dengan memulihkan pengembalian darah (venous
return) ke batas normal dengan memperbaiki volumenya.
Pada tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak
mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik
normal dan produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan
berpindah ke metabolisme anaerobik, hal mana mengakibatkan pembentukan
asam
laktat
dan
berkembangnya
asidosis
metabolik.
Bila
shocknya
tidak
memadai,
maka
membran
sel
tidak
dapat
lagi
interstisial , yang disebabkan oleh ''cedera reperfusi" pada membran kapilerinterstisial. Akibatnya, untuk resusitasi mungkin diperlukan volume cairan yang
lebih besar daripada yang diantisipasi semula.
Penatalaksanaan awal dari shock diarahkan kepada pemulihan perfusi seluler
dan organ dengan darah yang dioksigenasi dengan adekuat. Dalam shock
hemoragik hal ini berarti menambah preload atau memulihkan secara adekuat
volume darah yang beredar dan bukan hanya mengembalikan tekanan darah
dan denyut nadi penderita menjadi normal. Vasopressor merupakan kontraindikasi pada terapi shock hemoragik. Perlu dilakukan monitoring teratur dari
indikator-indikator perfusi penderita, agar dapat dilakukan evaluasi respon
terhadap terapi dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau keadaannya
memburuk.
Kebanyakan penderita trauma dengan shock hipovolernik memerlukan intervensi
pembedahan untuk mengatasi keadaan shock. Karena itu, adanya shock pada
penderita trauma menuntut keterlibatan ahli bedah dengan segera.
PENILAIAN AWAL PENDERITA
Mengenal Shock
Shock karena gangguan sirkulasi yang berat, yang ditandai oleh perfusi yang
tidak adekuat pada kulit, ginjal dan sistem syaraf pusat mudah untuk dikenali.
Namun, setelah dipastikan airway dan ventilasi adekuat, maka sangatlah penting
melakukan evaluasi dengan teliti atas status sirkulasi penderita agar dapat
secara dini mengidentifikasi manifestasi shock termasuk takhikardia dan
vasokonstriksi kulit (cutaneous vasoconstriction).
Kalau hanya mengandalkan tekanan darah sistolik sebagai tanda shock, maka
akan timbul keterlambatan dalam mengetahui status shock. Mekanisma
kompensasi dapat mencegah penurunan tekanan darah sistolik walaupun sudah
sampai 30% dari volume darah penderita yang hilang. Perhatian khusus harus
diarahkan kepada denyut nadi, laju pemapasan. perfusi kulit. dan tekanan nadi
(perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolik). Takhikardia dan vasokonstriksi
kulit merupakan respon fisiologis yang biasa dan dini terhadap kehilangan
volume pada kebanyakan orang dewasa. Maka, setiap penderita trauma yang
dingin dan takhikardia dianggap mengalami shock sampai terbukti sebaliknya.
Kadang-kadang, detak jantung yang normal, atau bahkan bradikardia, dapat
ditemukan pada hipovolemia akut. Dalam keadaan ini harus dipantau dengan
indikator perfusi yang lain.
Detak jantung normal berubah sesuai dengan usia. Penderita dinyatakan
takhikardia bila detak jantung lebih dari 160 pada bayi, 140 pada anak usia
sebelum sekolah, 120 pada anak usia sekolah sampai masa pubertas, dan 100
pada orang dewasa. Penderita yang berusia lanjut mungkin tidak menunjukkan
takhikardia karena terbatasnya respon jantung terhadap stimulasi katecholamin
atau penggunaan obat-obatan seperti beta-bloker adrenergis. Kemampuan
untuk mempercepat detak jantung mungkin juga terbatas karena ada pacemaker
(alat pacu jantung). Tekanan nadi yang mengecil menandakan kehilangan darah
yang cukup banyak dan adanya mekanisme kompensasi.
Penggunaan hematokrit atau konsentrasi hemoglobin tidak dapat diandalkan
untuk menduga kehilangan darah akut, dan tidak cocok untuk diagnosis shock.
Kehilangan darah banyak secara akut hanya akan mengakibatkan pengurangan
yang minimal dalam hematokrit atau konsentrasi hemoglobin. Dengan demikian,
hematokrit yang sangat rendah yang diperoleh tidak lama setelah cedera,
menandakan kehilangan darah banyak atau anemia yang telah ada sebelumnya,
sedangkan hematokrit yang normal dapat ditemukan walaupun kehilangan darah
cukup banyak.
Diferensiasi Klinis dari Etiologi Shock
Shock pada penderita trauma dapat diklasifikasi sebagai perdarahan atau bukan
akibat perdarahan. Penderita yang cedera di atas diafragma dapat
memperlihatkan tanda perfusi organ yang tidak adekuat karena kinerja jantung
yang tidak baik dari trauma tumpul miokard atau dari tension pneumotorax yang
mengakibatkan pengembalian darah yang tidak cukup (preload).
Pada fase awal, maka penentuan etiologi shock tergantung pada anamnesis
yang tepat dan pemeriksaan jasmani yang teliti. Melakukan tes tambahan ,
seperti tekanan vena sentral ( Central venous pressure ), pemasangan kateter di
arteri pulmonalis, foto toraks dan pelvis, dan ultrasonografi dapat membantu
diagnosis shock, namun tidak boleh mengakibatkan tertundanya penggantian
volume.
Shock hemoragik (hemorrhagic)
Perdarahan (hemorrhage) adalah penyebab shock yang paling umum setelah
trauma, dan hampir semua penderita dengan trauma multipel ada komponen
hipovolemia. Sebagai tambahan, hampir semua keadaan shock yang bukan
disebabkan perdarahan memberi respon sedikit atau singkat terhadap resusitasi
cairan. Karena itu, bila terdapat tanda-tanda shock, maka shock itu dianggap
disebabkan karena hipovolemia. Namun, dalam melakukan terapi, harus
diketahui bahwa sejumlah kecil penderita mempunyai etiologi shock yang lain
(misalnya, penderita mungkin mempunyai kondisi sekunder seperti tamponade
jantung, cedera saraf tulang belakang, atau trauma tumpul jantung yang akan
merumitkan shock hipovolemia itu).
Shock non-hemoragik
Shock kardiogenik
Disfungsi miokardial dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade
jantuntg, emboli udara, atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan
dengan cedera penderita. Bila mekanisme cedera pada toraks merupakan
deselerasi, harus dicurigai cedera tumpul jantung (blunt). Semua penderita
dengan trauma tumpul toraks memerlukan pemantauan EKG terus-menerus
untuk mengetahui pola cedera dan disritmia. Isoenzyme-CPK dan pemeriksaan
isotop spesifik jarang dipakai dalam menegakkan diagnosis atau mengelola
penderita di bagian gawat-darurat. Ekhokardiografi dapat dipergunakan dalam
menemukan diagnosis dari tamponade atau ruptur dari katup jantung, tetapi tidak
praktis dan jarang dapat langsung digunakan di UGD. Cedera tumpul jantung
mungkin merupakan suatu indikasi pemasangan tekanan vena sentral ( CVP )
secara dini agar dapat memandu resusitasi cairan dalam situasi ini.
Tamponade jantung merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada
trauma tembus toraks, tetapi dapat terjadi juga pada trauma tumpul toraks.
Takhikardia, bunyi jantung yang teredam, pelebaran dan penonjolan vena-vena
dileher dengan hipotensi yang tidak dapat diatasi dengan terapi cairan
menandakan tamponade jantung. Tidak adanya penemuan klasik di atas tidak
menyingkirkan diagnosis ini. Tension pneumotoraks bisa mirip tamponade
jantung, namun bedanya tidak ada bunyi nafas dan pada perkusi hipersonor di
bagian hemitoraks yang terkena. Untuk sementara kedua kondisi yang
mengancam nyawa ini dapat diatasi dengan menusukkan jarum ke ruang pleura
dalam kasus tension pneumotoraks atau ke dalam kantong perikardial untuk
tamponade jantung.
Shock neurogenik
Cedera intrakranial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan shock. Adanya shock
pada seorang penderita dengan cedera kepala harus dicari penyebab shock
yang lain. Cedera syaraf tulang belakang mungkin mengakibakan hipotensi
karena hilangnya tonus simpatis kapiler. Ingat, kehilangan tonus simpatis pada
kapiler memperberat. efek fisiologis dari hipvolemia, dan hipovolemia
memperberat efek-efek fisiologis denervasi sympatis. Gambaran klasik dari
shock neurogenik adalah hipotensi tanpa takhikardia atau vasokonstriksi kulit.
Tekanan nadi yang mengecil tidak terlihat dalam shock neurogenik. Penderita
yang menderita cedera tulang belakang seringkali mengalami trauma di daerah
tubuh lainnya. Karena itu, penderita yang diduga atau diketahui punya shock
diarahkan pada respon terhadap terapi semula dan bukan dengan hanya
mengandalkan klasifikasi awal saja. Sistem klasifikasi ini berguna untuk
memastikan tanda-tanda dini dan patofisiologi keadaan shock.
Perdarahan Kelas I dicontohkan dengan seseorang yang menyumbang satu unit
darah. Kelas II adalah perdarahan tanpa komplikasi, namun resusitasi cairan
kristaloid diperlukan. Kelas III adalah keadaan perdarahan dengan komplikasi
dimana harus diberikan infus kristaloid dan mungkin penggantian darah.
Perdarahan Kelas IV harus dianggap sebagai kejadian preterminal, dan kalau
tidak diambil tindakan yang sangat agresif, penderita akan meninggal dalam
beberapa menit. Beberapa faktor akan sangat mengganggu penilaian respon
hemodinamis terhadap perdarahan. Faktor-faktor ini mehputi (1) usia penderita;
(2) parahnya cedera, dengan perhatian khusus bagi jenis dan lokasi anatomis
cederanya; (3) rentang waktu antara cedera dan permulaan terapi; (4) terapi
cairan pra-rumahsakit dan (5) obat-obat yang sebelumnya sudah diberikan
karena ada penyakit kronis.
Berbahaya untuk menunggu sampai tanda-tanda shock jelas, dan baru setelah
itu mulai pemulihan volume dengan agresif. Resusitasi cairan harus dimulai bila
tanda-tanda dan gejala kehilangan darah nampak atau diduga, bukan bila
tekanan darah menurun atau sudah tidak terdeteksi.
1.Perdarahan Kelas I - Kehiiangan Volume Darah sampai 15%
Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi, akan terjadi takhikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti
dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pemafasaan. Untuk penderita
yang dalam keadaan sehat, iumlah kehilangan darah. ini tidak perlu diganti.
Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan
volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab
lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis.
Penggantian cairan primer akan memperbaiki keadaan sirkulasi.
2.Perdarahan Kelas II - Kehiiangan volume darah 15% sampai 30%
Pada seorang laki-laki 70 kg., kehilangan volume ini berjumlah 750 sampai 1500
ml darah. Gejala-gejala klinis termasuk takhikardi (denyut jantung lebih dari 100
pada orang dewasa), takhypnu, dan penurunan tekanan nadi. Penurunan
tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam komponen
diastolik karena bertambahnya katekholamin yang beredar. Zat Inotropic ini
menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh-darah perifer.
Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada shock yang dini karena itu penting
untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan sistolik.
Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat kehilangan darah
ini meliputi perubahan sistem. syaraf sentral yang tidak jelas (subtle) seperti
Pada pasien trauma ganda berat shock terjadi akibat banyak faktor:
1. Perdarahan
2. Obstruksi peredaran darah (tension pneumothorax, pericardia! effusion,
tamponade jantung)
3. Kerusakan miokard, anatomis karena trauma maupun fungsional sekunder
akibat dari hipoksia. Kerusakan medula spinalis (spinal shock atau neurogenic
shock)
perfusi jaringan yang buruk karena aliran darah menjadi rendah atau distribusi
menjadi kacau. Hal ini lebih lanjut mengakibatkan kegagalan sistem transport
oksigen dan nutriens ke jaringan (Collins, 1996).
Pada fase awal shock, penurunan aliran darah (perfusi) ke organ-organ vital
ditandai hipotensi (penurunan tekanan darah). Perlu dimengerti bahwa hipotensi
adalah refleksi (perubahan sekunder) dari hipovolemia. Makin berat derajat
hipovolemia, makin berat derajat hipotensinya.
Agar cardiac output cukup maka venous return yaitu darah yang kembali ke
atrium harus cukup [normo-volemia], kontraksi miokard baik, irama denyut teratur
60-100 per menit dan pembuluh arteria tidak vasokonstriksi. Jika Cardiac Output
(CO) baik, maka perfusi juga baik. Jika keadaan ini disertai TPR (total peripheral
resistance) yang baik, tekanan darah akan "normal". Jika CO rendah, maka
perfusi juga jelek. Jika pada saat ini TPR tidak meningkat, tekanan darah terukur
rendah/hipotensi.Tetapi jika TPR meningkat (karena pemberian obat vasopresor)
maka tekanan darah menjadi "normal" semu (false high). Penurunan tekanan
darah pada shock hipovolemik sering sampai jauh dibawah 100 mmHg. Guyton
menekankan masalah shock pada penurunan curah jantung sebagai penyebab
aliran darah (perfusi) yang tidak memadai. Jaringan menjadi rusak karena tidak
mendapat oksigen yang cukup untuk metabolisme aerobik.
Shock hipovolemik menyebabkan perubahan-perubahan :
a. Vasokonstriksi organ sekunder(viscera,otot, kulit) untuk menyelamatkan organ
primer(otak,jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, sehingga terjadi metabolisme
anaerobik dengan produk asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis.
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organorgan primer dan sekunder sehingga terjadi kerusakan meluas.
Perfusi normal dapat mencukupi kebutuhan oksigen untuk metabolisme aerobik
di
jaringan
dan
membawa
pergi
sampah
metabolisme.
Perdarahan
normal
menggunakan
80%
dari
Cardiac
Output.
Aliran
ini
dikurangi/tidak ada pada waktu shock. Ginjal normal menghasilkan urine > 0.5
ml/kg/jam. Pada waktu shock, tanda dini yang mudah dilihat adalah produksi
urine yang berkurang dan urine menjadi pekat. Bila shock berlangsung lama,
hormon ADH dan Aldosteron meningkatdan ini dapat menyebabkan oliguria terus
berlangsung meskipun hipovolemia sudah dikoreksi. Keringat dingin pada pasien
shock adalah tanda aktifitas simpato-adrenal berlebihan.
SHOCK MENGGANGGU TRANSPORT OKSIGEN
Gangguan oksigenasi menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam darah
(hipoksemia) yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan
(hipoksia). Atas penyebabnya, dibedakan 4 jenis hipoksia :
a) hipoksia-hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
b) hipoksia-stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
c) hipoksia-anemik : anemia
d) hipoksia-histotoksik : gangguan penggunaan oksigen dalam sel (sepsis). Pada
shock perdarahan terjadi gabungan hipoksia stagnan dan hipoksia anemik.
TERAPI SHOCK HIPOVOLEMIK
Dari uraian diatas mulai jelas bahwa meskipun hasil akhimya yang terjadi adalah
hipoksia seluter, terapi definitif yang diberikan adalah BUKAN memberi O2.
bikarbonat
menurun.
Terapi
pemberian
Natrium-bikarbonat
Untuk
mengatasi
gangguan
yang
sudah
melewati
batas
pengetahuan
tentang
transport
oksigen,
keseimbangan
a. Bila sirkulasi sudah baik meski infus belum mencapai jumlah yang diduga
semula, infus dilambatkan.
b. Bila sirkulasi belum membaik meskipun jumlah infus sudah mencapai
perhitungan semula, tambahkan cairan lagi atau berikan transfusi,
c. Untuk masa pasca bedah/pasca trauma, biasanya Hb diusahakan 8-10gm/dl.
d. Selain pemeriksaan tekanan darah, nadi dan perfusi, perlu auskuttasi paru
bagian bawah belakang untuk mencari adanya soft moist rales yang
merupakan tanda adanya penyulit edema paru.
e. Balans cairan harus diikuti dengan hati-hati agar edema interstitial yang
mungkin terjadi dapat dikeluarkan lebih cepat dengan furosemid (Lasix) 20-40
i.v.
Dalam keadaan darurat dimana diperlukan transfusi tetapi darah donor yang
sama golongan dengan darah pasien tidak tersedia, dapat diberikan darah
golongan O. atau lebih baik Packed Red Cel O. Semua golongan darah pasien
dapat menerima donor golongan darah O tanpa terjadi reaksi transfusi. sebab
reaksi mayor (-), hanya reaksi minor yang (+) dan ini tidak berbahaya.
Jika pasien sudah mendapat ganti golongan O lebih dari 4 unit, maka transfusi
selanjutnya harus tetap menggunakan darah O. Transfusi boleh menggunakan
darah golongan aslinya sesudah lewat 14 hari kemudian, yaitu pada waktu titer
antibodi sudah turun lagi.
Plasma Expander/ Substitutes seperti HES, gelatin dan dextran dapat
mempercepat naiknya tekanan darah karena molekul dan air yang dibawanya
tinggal lama intravaskuler. Khusus untuk Dextran yang dapat mengganggu reaksi
silang golongan darah maka sample darah pasien untuk reaksi silang harus
diambil dulu sebelum Dextran diberikan. Jangan memberikan Dextran > 1.2
gm /kg BB (1000 ml larutan 6 % bagi pasien 50 kg) karena dapat mengganggu
agregasi trornbosit hingga mengganggu pembekuan darah.