Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KEPANITERAAN KEDOKTERAN KELUARGA

COMMUNITY HEALTH ANALYSIS


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DEMAM BERDARAH DI DESA TUNJUNG WILAYAH KERJA
PUSKESMAS JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS

Disusun Oleh:
R. Caesar R. P. W.

G4A013001

Selly Marchella Prestika

G4A013015

Pembimbing;
Dr. Madya Ardi Wicaksana, M.Si

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
2014

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KEPANITERAAN KEDOKTERAN KELUARGA
COMMUNITY HEALTH ANALYSIS
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DEMAM BERDARAH DI DESA TUNJUNG WILAYAH KERJA
PUSKESMAS JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat dari


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas /
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh:
R. CAESAR R. P. W.

G4A013001

SELLY MARCHELLA P

G4A013015

Telah dipresentasikan dan disetujui


Tanggal .
Preseptor Lapangan

dr. Anwar Hudiono


NIP. NIP.19821224.201001.1.022

Preseptor Fakultas

dr. Madya Ardi Wicaksana, M.Si


NIP. 19810511.201012.1003

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puskesmas adalah penanggung jawab penyelenggara upaya
kesehatan untuk jenjang tingkat pertama, sebagai unit pelaksana teknis
dinas

kesehatan

kabupaten/

kota

yang

bertanggung

jawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.


Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan memegang peranan
yang penting karena fungsi dari puskesmas, yaitu mengembangkan dan
membina kesehatan masyarakat serta menyelenggarakan pelayanan
kesehatan terdepan dan terdekat dengan masyarakat dalam bentuk kegiatan
pokok yang menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya (Kepmenkes No.
128, 2004).
Visi

pembangunan

kesehatan

yang

diselenggarakan

oleh

Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya


Indonesia sehat. Misi pembanguan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembanguan kesehatan
nasional, yaitu: menggerakan pembangunan berwawasan kesehatan di
wilayah kerjanya; mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan
masyarakat di wilayah kerjanya; memelihara dan meningkatkan mutu,
pemerataan,

dan

keterjangkauan

pelayanan

kesehatan

yang

diselenggarakan puskesmas; memelihara dan meningkatkan kesehatan


perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Kepmenkes
No. 128, 2004).
Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar pada masyarakat,
dalam pelaksanaan kegiatannya dijalankan dalam bentuk 6 program pokok
Puskesmas. Program pokok Pusekemas tersebut meliputi promosi
kesehatan, kesehatan lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak-Keluarga
Berencana, gizi, pemberantasan penyakit menular dan pengobatan.
Program pemberantasan penyakit menular mencakup pemberantasan
terhadap penyakit-penyakit menular seperti demam berdarah dengue,
malaria, tuberkulosis paru, diare dan ISPA.

Demam Berdarah Dengue (DBD) yang biasa disebut Dengue


Haemorrahagic Fever (DHF) merupakan salah satu dari beberapa
penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di negara berkembang.
Pada tahun 1968 penyakit DBD pertama kali muncul di Indonesia yaitu di
Surabaya, hingga kini DBD masih menjadi masalah klasik dengan
kejadian yang muncul setiap tahun terutama pada awal musim penghujan.
Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan yang berakibat pada
kerugian material serta moral berupa biaya rumah sakit dan pengobatan
pasien, kehilangan produktivitas kerja bagi penderita, kehilangan
wisatawan akibat pemberitaan buruk terhadap daerah kejadian dan
kehilangan nyawa. Indonesia pada tahun 2005 pernah mengalami kasus
terbesar (53%) DBD di Asia Tenggara yaitu 95.270 kasus dan kematian
1.298 orang (CFR = 1,36 %). Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi
17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004 (Soegijanto, 2006;
Hartinah, 2006; Depkes RI, 2005).
Demam Berdarah Dengue berat atau DBD yang disertai renjatan
masih merupakan salah satu sebab kematian pada anak sekalipun penyakit
ini sudah dikenal di Indonesia lebih dari 20 tahun. Sampai saat ini, dari
sekian banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian ialah kesukaran
menduga penderita DBD mana yang akan mengalami renjatan atau
renjatan berulang dan berakhir dengan kematian (Sugianto dan Samsi,
2002).
Puskesmas Jatilawang merupakan salah satu penyelenggara upaya
kesehatan untuk jenjang tingkat pertama yang berada di kabupaten
Banyumas. Puskesmas Jatilawang juga menjalankan 6 program pokok
Puskesmas. Salah satu permasalahan dalam program pemberantasan
penyakit menular (P2M) adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Berdasarkan data yang dihimpun petugas surveillance selama tahun 2013
ditemukan 18 kasus DBD, kasus terbanyak di desa Tunjung dengan 6
kasus yang terkena demam berdarah.
Kejadian DBD dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu,
dengan mengetahui faktor-faktor yang memiliki peran dominan terhadap

kejadian DBD, angka kejadian DBD diharapkan dapat diturunkan melalui


upaya promotif dan preventif.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
`

Melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demam


berdarah di Desa Tunjung Wilayah Kerja Puskesmas Jatilawang,
Kabupaten Banyumas.
2. Tujuan khusus
a.Mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demam
berdarah di Desa Tunjung Wilayah Kerja Puskesmas Jatilawang
Kabupaten Banyumas.
b. Mencari faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap
kejadian demam berdarah di Desa Tunjung Wilayah Kerja
Puskesmas Jatilawang Kabupaten Banyumas.
c.Mencari alternatif pemecahan masalah terhadap kejadian demam
berdarah di Desa Tunjung Wilayah Kerja Puskesmas Jatilawang
Kabupaten Banyumas.
d. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah kejadian demam
berdarah di Desa Tunjung Wilayah Kerja Puskesmas Jatilawang,
Kabupaten Banyumas.
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Menambah

khasanah

ilmu

pengetahuan

di

bidang

kesehatan

lingkungan.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan untuk tindakan preventif atau pencegahan terhadap
kejadian demam berdarah.
3. Manfaat bagi masyarakat
Sebagai pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman kepada
masyarakat tentang demam berdarah.

II.

ANALISIS SITUASI

I. GAMBARAN UMUM
A. Keadaan Geografi
Kecamatan Jatilawang merupakan salah satu bagian wilayah kabupaten
Banyumas dengan luas wilayah kurang lebih 43,23 km2 dan berada pada
ketinggian 25-75 m dari permukaan laut dengan curah hujan 2.650
mm/tahun dengan batas wilayah sebagai berikut :
-Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Purwojati
-Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Wangon
-Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Cilacap
-Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Rawalo
Kecamatan Jatilawang terdiri dari 11 desa, 32 dusun, 56 RW dan 351 RT.
Desa terluas adalah desa Tunjung yaitu 8,32 km 2 dan desa tersempit adalah
Margasana dengan luas 1,83 km2. Bila dilihat dari jaraknya maka desa
Gunungwetan adalah desa terjauh dengan jarak 5 km dari pusat kota
Jatilawang dan desa Tunjung merupakan desa terdekat dengan jarak 0,15
km.
Sebagian besar tanah pada Kecamatan Jatilawang dimanfaatkan sebagai
tanah sawah dengan rincian:
- Tanah sawah

: 1.637 Ha

- Tanah pekarangan

: 591.02 Ha

- Tanah kebun

: 1.565 Ha

- Kolam

: 9 Ha

- Hutan negara

: 433 Ha

- Perkebunan rakyat

: 227 Ha

B. Keadaan Demografi
1. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk di kecamatan Jatilawang sesuai data pada tahun 2013
adalah 64.389 jiwa yang terdiri dari laki-laki 32.209 jiwa (50,02%) dan
perempuan 32.180 jiwa (49,89%) dengan jumlah kepala keluarga (KK)
sebanyak 18.215 KK dan sex ratio sebesar 0,995.
Untuk jumlah penduduk terbanyak yaitu desa Tinggarjaya yaitu sebesar
10.759 jiwa atau sebesar 16,71% dari keseluruhan jumlah penduduk
Kecamatan Jatilawang, sedangkan desa Margasana merupakan desa
dengan jumlah penduduk terkecil yaitu 2.370 atau hanya sebesar
3,68%.
2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
Jumlah penduduk menurut golongan umur di Kecamatan Jatilawang
dibagi menjadi 16 kelompok umur dengan variasi yang tidak begitu
besar. Penduduk terbnayak ada di kelompok umur 10-14 tahun yaitu
sebesar 5.778 jiwa atau sebesar 9,91% dan sebagian besar penduduk
berada pada usia produktif, hal ini merupakan aset sumber daya
manusia yang besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
Kelompok
umur
04
59
10 14
15 19
20 24
25 29
30 34
35 39
40 44
45 49
50 54
55 59
60 64

Laki-laki
2.547
2.633
2.974
2.421
1.366
1.542
1.912
2.052
2.120
2.026
1.838
1.757
1.154

Perempuan
2.495
2.519
2.804
2.035
1.452
1.840
2.290
2.341
2.290
2.257
1.886
1.579
1.105

Jumlah
5.042
5.152
5.778
4.456
2.818
3.382
4.004
4.393
4.410
4.283
3.724
3.336
2.259

65 69
70 74

961
981
1.942
690
744
1.434
> 75
904
976
1.880
J U M L A H 28.897
29.396
58.293
Sumber : Jatilawang Dalam Angka Tahun 2013
3. Kepadatan Penduduk
Kepadatan Penduduk di Kecamatan Jatilawang pada tahun 2013
sebesar 1.210,40 jiwa/km2. Desa terpadat adalah Desa Tinggarjaya
(1.889,70 jiwa/km2) dan desa Karanglewas merupakan desa dengan
kepadatan penduduk terendah (461,55 jiwa/km2)
C. Sosial Ekonomi Dan Budaya
1. Agama
Sebagian besar masyarakat jatilawang adalah pemeluk agama
islam yaitu sebesar 57.837 orang (99,22%), sisanya adalah pemeluk
agama Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Agama di Kecamatan Jatilawang
Tahun 2013
Jumlah
No
Agama
Pemeluk
1
Islam
57.837
2
Katolik
171
3
Protestan
176
4
Budha
9
5
Hindu
0
Sumber : Kecamatan Jatilawang dalam Aangka Tahun 2013

Persentase
%
99,39
0,0029
0,030
0,000154
0

2. Mata Pencaharian Penduduk


Sebagian besar penduduk Kecamatan Jatilawang adalah petani
baik petani sendiri maupun hanya sebagai buruh tani yaitu sebanyak
16.722 orang (55,74%) sedangkan mata pencaharian yang lain adalah
sebagai pengusaha, buruh industri, buruh bangunan, pedagang,

pengangkutan, PNS dan ABRI, yang paling sedikit adalah sebagai


nelayan yaitu 10 orang.
3. Pendidikan Penduduk
Berdasarkan data tahun 2012, pendidikan penduduk Kecamatan
Jatilawang paling banyak adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Kecamatan
Jatilawang
Tahun 2013
No
Tingkat Pendidikan
jumlah penduduk
1
Tidak/Belum tamat SD
16.548
2
SD/MI
22.022
3
SLTP/MTS
6.787
4
SLTA/MA
7.269
5
Akademi/Universitas
625
Sumber: kecamatan Jatilawang dalam Angka tahun 2013

4. Petugas kesehatan
Jumlah tenaga puskesmas Jatilawang pada tahun 2013 berjumlah
56 orang dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 3.4 Jenis Ketenagaan di Puskesmas Jatilawang Tahun 2013
Jenis
No. Tenaga

PNS

PTT

Honor
Daerah

Honor
Puskes
mas

Jml Ket.

1.

Dokter Umum

2 S1

2.

Dokter Gigi

1 S1

3.

Perawat Umum

11

2 SPK,
9 AKPER

4.

Perawat Gigi

DIII

5.

Bidan

10

14

24

DI,

16

DIII, 2 DIV
6.

Pelaksana Farmasi

DIII

7.

Pelaksana Gizi

DIII

8.

Pelaksana Kesling

SPPH

9.

Pelaksana Promkes

SKM

10 Pranata

SMA

11

1 S2, 2 SMA

12 TU

1 S1, 1 SMA

13 Bendahara

1 S1, 3 SMA

Laboratorium

Tenaga
14 lain

kesehatan

1 SD
-

Cleaning Service
JUMLAH
32
14
Sumber : Profil Puskesmas Jatilawang 2013

10

56

2 SMA

Tabel 3.4 menunjukkan bahwa ketenagaan yang terdapat di


puksesmas Jatilawang berjumlah 56 orang yang terdiri dari dokter
umum 2 orang, dokter gigi 1 orang, perawat umum 11 orang, perawat
gigi 1 orang, bidan 24 orang, apoteker 1 orang, pelaksan gizi 1 orang,
pelaksana kesling 1 orang, pelaksana promkes 1 orang, pranata
laboratorium 1 orang, bagian tata usaha 3 orang, bendahara 2 orang,
tenaga kesehatan lain 5 orang, dan cleaning service 2 orang. Puskesmas
Jatilawang tidak memiliki analis, pekarya kesehatan, dan juru
imunisasi.

Seperti halnya puskesmas lainnya, puskesmas Jatilawang juga


memiliki program kerja sebagai berikut:
a.

Program Umum (Basic Six) yaitu Promosi Kesehatan, KIA/KB,


Perbaikan Gizi, Kesehatan Lingkungan, P2M, dan Pengobatan)

b.

Program Pengembangan (meliputi konsultasi gigi, laboraturium


dan klinik sanitasi)

c.

Puskesmas dengan Tempat Perawatan (Puskesmas DTP)

II. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat


Permasalahan kesehatan yang ada di kecamatan Jatilawang dapat
dilihat dari terpenuhi atau tidaknya target dari setiap program yang telah
disepakati dengan mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Terdapat 18 masalah di puskesmas Jatilawang yang pencapaian program
kesehatan belum mencapai standar pelayanan minimal (SPM), antara lain
Deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah; Pelayanan KB;
Pelayanan kesehatan kerja; Balita ditimbang; balita yang berat badannya
(B/D); Ibu hamil mendapat tablet Fe; kecamatan bebas rawan gizi; TB paru
positif; Pneumonia balita; rumah sehat pedesaan; pemanfaatan jamban;
Rumah yang memiliki SPAL; Pelayanan higiene sanitasi ditempat umum;
pemberian ASI esklusif; pemenuhan garam beryodium; posyandu purnama;
Penyuluhan P3NAPZA / P3 Narkoba; Ketersediaan Obat sesuai Kebutuhan.
Persentase angka cakupan kesehatan deteksi dini tumbuh kembang
anak balita dan pra sekolah didapatkan sebesar 58,9% dan target nilai SPM
tahun 2013, yaitu sebesar 95%. Kriteria tersebut termasuk dalam program
pelayananan kesehatan anak pra sekolah dan usia sekolah yang masih belum
mencapai target SPM.
Program peserta KB aktif termasuk dalam pelayanan keluarga
berencana. Akan tetapi, program peserta KB aktif di kecamatan Jatilawang
masih belum memenuhi SPM tahun 2013 sebesar 80%, yaitu hanya berkisar
sebesar 72,70%.
Persentase pelayanan kesehatan kerja pada pekerja formal sebesar
24,99 % dan masih jauh dari target SPM 2010 yaitu 80%. Program ini masih

belum memenuhi target SPM dikarenakan sebagian besar para pekerja formal
lebih memilih untuk mencari pertolongan langsung ke Rumah Sakit dari pada
ke Puskesmas.
Persentase balita yang ditimbang sebesar 65,32% dan masih belum
memenuhi SPM 2010 80%. Presentase balita yang berat badannya (N/D)
sebesar 65,5% dan masih belum memenuhi SPM 2010 80%. Kedua hal
tersebut termasuk dalam program pemantauan tumbuh balita. Persentase ibu
hamil yang mendapat tablet Fe 63,34% dan masih belum memenuhi SPM
2010 90%. hal tersebut termasuk dalam program pelayanan gizi.
Presentase kecamatan bebas rawan gizi 54,5% dan hal ini masih jauh
dari target pemenuhan target SPM 2010 yaitu sebesar 80%. Hal tersebut
termasuk

dalam

penyelenggaraan

penyelidikan

epidemiologi

dan

penaggulangan kejadian luar biasa (KLB) dan gizi buruk


Kasus TB paru positif sebesar 65% dan masih belum memenuhi SPM
tahun 2010 sebesar 70%. Hal ini termasuk dalam program pencegahan dan
pemberantasan penyakit TB paru. Kasus pneumonia balita yang ditemukan
sebesar 2,2% dan masih belum memenuhi SPM 2010 tahun 100%. Hal ini
disebabkan

karena penemuan penderita yang hanya menunggu pasien

berobat ke puskesmas. Kasus ini termasuk dalam program pencegahan dan


pemberantasan penyakit ISPA.
Persentase rumah sehat pedesaan sebesar 60,95 % dan belum
memenuhi SPM 2010 sebesar 65 %. Presentase pemanfaatan jamban oleh
penduduk sebesar 84,88 % dari target SPM 2010 sebesar 88 %, sedangkan
rumah yang memiliki SPAL sebesar 40,37% dan belum memenuhi SPM 2010
sebesar 85%. Sedangkan untuk pelayanan hygiene sanitasi ditempat umum
61% dan belum memenuhi SPM 2010 sebesar 80%.Hal tersebut termasuk
dalam program pelayanan keehatan lingkungan dan sanitasi dasar.
Persentase bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 67,12 %, hal
ini belum memenuhi target SPM 2010 sebesar 80 %, selain itu presentasi desa
dengan garam beryodium baik sebesar 66,6 % masih di bawah target SPM
2010 sebesar 90 %. Sedangkan penyelenggaraan Posyandu Purnama baru
mencapai 38,3 % dari target SPM 2010 sebesar 40 %. Ketiga hal ini termasuk

dalam program penyuluhan perilaku sehat pada penyelenggaraan promosi


kesehatan.
Upaya Penyuluhan P3NAPZA / P3 Narkoba oleh petugas Kesehatan
baru mencapai 4,47% dari target SPM 2010 sebesar 30 %, program ini
terkendala oleh karena terbatasnya petugas penyuluhan kesehatan. Hal ini
termasuk dalam program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika psikotropika dan zat adiktif (P3 NAPZA)
ketersediaan obat sesuai kebutuhan sebesar 75,75% belum memenuhi
target SPM sebesar 90%, dan hal ini termasuk dalam program pelayanan
penyediaan obat dan perbekalan kesehatan.

III.

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH


Daftar Permasalahan Kesehatan
10 Besar Penyakit Puskesmas Jatilawang (Berdasar Data Sekunder)
No.
Penyakit
Jumlah
Presentase
1
ISPA
3107
44,98%
2
Myalgia
1361
19.7%
3
Cephalgia
688
9,96%
4
Faringitis
504
7,29%
5
Hipertensi
422
6,10%
6
Diare
393
5,69%
7
Typhoid
339
4,90%
8
Asma
54
0,78%

9
10
I.

TB
DB
Jumlah

21
18
6907

0,30%
0,26%
100%

Penentuan Prioritas Masalah


Penentuan prioritas masalah di Puskesmas Jatilawang dilakukan
menggunakan metode Hanlon Kuantitatif. Kriteria yang digunakan dalam
penetapan prioritas masalah menggunakan metode Hanlon kuantitatif
diantaranya:
1. Kelompok kriteria A: besarnya masalah
2. Kelompok kriteria B: kegawatan masalah
3. Kelompok kriteria C: kemudahan dalam penanggulangan
4. Kelompok kriteria D: faktor PEARL (Property, Economic, Acceptability,
Resources availability, and Legality).
Perincian penentuan prioritas masalah menggunakan metode Hanlon
Kuantitatif dari masing masing kriteria adalah sebagai berikut:
1. Kriteria A
Kriteria A digunakan untuk menentukan besarnya masalah dan
diukur dari jumlah penduduk yang terkena efek langsung.

Tabel 3.3. Nilai Kriteria A metode Hanlon Kuantitatif


Besarnya Masalah Berdasar Presentase
0-20% 21416181Masalah Kesehatan
(1)
40%
60%
80%
100%
(2)
(3)
(4)
(5)
ISPA
X
Myalgia
X
Cephalgia
X
Faringitis
X
Hipertensi
X
Diare
X

Nilai
3
1
1
1
1
1

Typhoid
Asma
TB
DB

X
X
X
X

1
1
1
1

2. Kriteria B
Kriteria B digunakan untuk menentukan kegawatan masalah. Skor
yang digunakan adalah 1 untuk yang paling ringan sampai skor 5 untuk
masalah yang paling gawat. Dari diskusi kelompok, didapatkan nilai
kriteria B untuk masing-masing masalah kesehatan.
Tabel 3.4. Nilai Kriteria B metode Hanlon Kuantitatif
Masalah Kesehatan
Severity
Tingkat Biaya yang Nilai
Urgensi Dikeluarkan
ISPA
2
2
2
2
Myalgia
1
2
1
1,67
Cephalgia
2
1
1
1,33
Faringitis
1
2
1
1,33
Hipertensi
2
2
1
1,67
Diare
5
5
5
5
Typhoid
3
2
3
2,67
Asma
5
6
2
4,33
TB
2
2
3
2,33
DB
8
6
5
6,3
3. Kriteria C
Kriteria

digunakan

untuk

menilai

kemudahan

dalam

penanggulangan masalah, maka dinilai apakah sumber daya dan teknologi


yang ada dapat menyelesaikan masalah. Skor yang digunakan dari skala 1
sampai 5. Semakin sulit penanggulangan, skor yang diberikan semakin
kecil.
Tabel 3.5. Nilai Kriteria C metode Hanlon Kuantitatif
Masalah Kesehatan
Nilai
ISPA
6
Myalgia
7
Cephalgia
6
Faringitis
6
Hipertensi
5
Diare
8
Typhoid
5
Asma
7
TB
5
DB
10

4. Kriteria D (Faktor PEARL)


Kriteria D terdiri dari beberapa faktor yang saling menentukan
dapat tidaknya suatu program dilaksanakan. Faktor faktor tersebut
adalah:
A. Kesesuaian (Propriety)
B. Murah (Economic)
C. Dapat diterima (Acceptability)
D. Tersedianya sumber daya (Resources Availability)
E. Legalitas terjamin (Legality)
Dari diskusi kelompok, didapatkan nilai PEARL untuk masingmasing permasalahan kesehatan adalah:
Tabel 3.6. Nilai Kriteria D metode Hanlon Kuantitatif
Masalah Kesehatan
P
E
A
R
L
ISPA
Myalgia
Cephalgia
Faringitis
Hipertensi
Diare
Typhoid
Asma
TB
DB

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

Hasil
Perkalian
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

5. Penetapan nilai
Setelah kriteria kriteria A, B, C dan D didapatkan kemudian nilai
tersebut dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :
Nilai Prioritas Dasar (NPD) = (A + B) C
Nilai Prioritas Total (NPT)

= (A + B) C x D

Tabel 3.7. Nilai Prioritas Dasar (NPD) dan Nilai Prioritas Total (NPT)
Masalah Kesehatan
A B
C NPD D NPT Prioritas
ISPA
3
2 3,8
30 1
30
4
Myalgia
1 1,67 6 18,69 1 18,69
5

Cephalgia
Faringitis
Hipertensi
Diare
Typhoid
Asma
TB
DB

1
1
1
1
1
1
1
1

1,33
1,33
1,67
5
2,67
4,33
2,33
6,3

7
6
6
8
10
5
7
10

13,98
13,98
13,35
48
18,35
37,31
16,65
73

1
1
1
1
1
1
1
1

13,98
13,98
13,35
48
18,35
37,31
16,65
73

8
9
10
2
6
3
7
1

Berdasarkan hasil pemilihan prioritas masalah dengan menggunakan metode


Hanlon Kuantitatif didapatkan permasalahan DB, Diare, Asma menempati
priorotas masalah 1, 2, dan 3. Kelompok ini akan membahas permasalahan DB.

IV. KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH


A. Dasar Teori
1. Demam Berdarah Dengue
a. Definisi
DBD atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue

yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus yang

merupakan vektor virus dengue. Kedua nyamuk ini ada hampir di


seluruh pelosok di Indonesia, kecuali tempat-tempat dengan
ketinggian 1000 m di atas permukaan air laut. Berikut adalah
gambar vektor DBD (Fatih, 2005).

Gambar 2.1 Vektor DBD Aedes aegypti


Sumber: Prianto, 1995
Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan penyakit
demam berdarah, adalah sebagai berikut (Wantikirmanti, 2007):
a.

Badannya kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih.

b.

Hidup di dalam dan di sekitar rumah.

c.

Menggigit atau menghisap darah pada siang hari.

d.

Senang hinggap pada pakaian yang digantung dalam


kamar

e.

Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam


dan di sekitar rumah, seperti : di bak mandi, tempayan, vas
bunga, tempat minum burung, di perangkap semut, tempurung
kelapa dan di barang-barang bekas yang dapat terisi air hujan.
Aedes aegypti merupakan vektor yang paling penting dalam

penyebaran penyakit demam berdarah dengue, seseorang yang


menderita penyakit DBD dalam darahnya mengandung virus
dengue. Virus dengue sudah mulai terdapat dalam darah (viremia)
satu sampai dua hari sebelum penderita demam (Hayani, 2006).

Penyebab penyakit ini adalah virus dengue, virus ini


termasuk kelompok arthopode borne virus, famili Togaviridae dan
termasuk genus Flavivirus dengue terbagi empat macam yaitu:
1. Dengue 1, diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
2. Dengue 2, diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3, diisolasi oleh Sather.
4. Dengue 4, diisolasi oleh Sather.
Keempat serotipe ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan
bahwa serotipe DEN-3 sering menimbulkan wabah. (Kristina,
2008).
b. Prevalensi DBD
Penyakit demam berdarah atau demam dengue sudah dikenal
sejak abad ke XVII, terutama di daerah tropis dan subtropis.
Semula demam berdarah tidak dianggap sebagai penyakit yang
berbahaya bagi masyarakat. Penyakit ini pada waktu itu hanya
disebut sebagai penyakit demam lima hari (panas vander scheer).
Kemudian setelah tahun 1954 rupanya virus dengue telah berubah
sifat (mutasi) menjadi virus dengue yang ganas. Saat itu di Filipina
penyakit demam berdarah ini menelan banyak korban. Pada tahun
1958 penyakit yang sama menyebar ke Vietnam Utara, ke
Thailand, India dan ke Indonesia. Berikutnya pada tahun 1971
penyebaran penyakit demam berdarah meluas ke benua Pasifik
Barat seperti : Melanesia, Polinesia, Papua Nugini, Kakedonia
Baru, Gilbert dan Elicrw, Fuji serta New Island. Sehingga hampir
semua daerah tropis dan subtropis pernah terserang penyakit
demam berdarah atau demam dengue, dan pada saat itu pula virus
dengue termasuk virus yang ganas, yang perlu ditangani lebih
serius (Fatih, 2005).
Di Indonesia penyakit ini pertama kali ditemukan di
Surabaya pada tahun 1968 menyusul wabah demam bedarah. Saat
itu terdapat 58 kasus dengan 24 anak meninggal, dan pada

akhirnya penyakit demam berdarah menyebar ke seluruh pelosok


Indonesia. (Hartinah, 2006).

Gambar 2.2 Penyebaran DBD di Berbagai Belahan Dunia


Sumber: WHO, 2006
Tahun 1998, merupakan tahun saat angka kejadian penyakit
DBD tertinggi di Indonesia dengan angka kesakitan (Incidence
Rate = IR) sebesar 35,19 per 100.000 penduduk. Artinya setiap
100.000 penduduk ditemukan 35 orang terinfeksi DBD dan angka
kematian (Case Fatality Rate = CFR) sebesar 2%. Artinya dari 35
orang penderita maka 2%-nya atau 1 orang meninggal dunia. Dan
di tahun 2005 Indonesia pernah mengalami kasus terbesar (53%)
DBD di Asia Tenggara yaitu 95.270 kasus dan kematian 1.298
orang (CFR = 1,36 %). Jumlah kasus tersebut meningkat menjadi
17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. (Soegijanto, 2006;
WHO, 2006).
c. Penularan Penyakit DBD
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor pembawa virus
dengue. Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti yang membawa virus dengue. Nyamuk Aedes aegypti
berasal dari Brazil dan ethiopia dan sering mengigit manusia pada
pagi hari pukul 08.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00.
Aedes aegypti merupakan vektor utama dari penyakit DBD karena
nyamuk Aedes aegypti hidup disekitar rumah (Soegijanto, 2006).
i.

Morfologi

Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes


aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu telur, larva, pupa,
dan dewasa. Karena memiliki 4 tahap masa pertumbuhan dan
perkembangan

sehingga

Aedes

aegypti

termasuk

metamorfosis sempurna (Soegijanto, 2006).


ii.

Telur
Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval
memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan
polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan diletakan satu
persatu pada benda yang terapung atau dinding bagian dalam
tempat penampungan air (TPA) yang berbatas langsung
dengan permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang
dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA, sedangkan
15% lainnya jatuh ke permukaan air (Dirjen P2M dan PL
Depkes RI, 2004).

iii.

Larva
Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang
tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana tersusun bilateral dan
simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya
mengalami 4 kali pergantian kulit. Larva instar I, tubuhnya
sangat kecil, warna trasparan, panjang 1-2 mm, duri-duri pada
dada belum begitu jelas, dan coron pernapasan belum
menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9
mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah
berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian
kepala, dada dan perut (Gandahusada, 1998).
Dibagian kepala terdapat sepasang mata majemuk,
sepasang antena tanapa duri-duri dan alat-alat mulut tipe
pengunyah. Bagian dada tampak paling besar dan terdapat
bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut
ke-8, ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan.

Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah,


bersifat fototaksis negative dan waktu istirahat membentuk
sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air
(Nurjazuli, 1998; Gandahusada, 1998).
iv.

Pupa
Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok,
dengan bagian kepala-dada lebih besar dari pada bagian perut,
sehingga tampak seperti tanda baca koma. Pulpa adalah
bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila
dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar
dengan bidang permukaan air (Soegijanto, 2006).

v.

Dewasa
Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga
bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala
terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu.
Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap dan
termasuk lebih menyukai manusia, sedangkan nyamuk jantan
bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus
kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan
tumbuhan. Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose,
sedangkan nyamuk jantan tipe plumose (Dirjen P2M dan PL
Depkes RI, 2004)
Dada nyamuk ini tersusun dari 3 ruas; porothorax,
mesothorax, dan metathorax. Setiap ruas dada ada sepasang
kaki yang terdiri dari femur, tibia, dan tarsus. Pada ruas-ruas
kaki ada gelang-gelang putih, tapi bagian belakang tidak ada
gelang-gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang
sayap tanpa noda hitam. Bagian punggung ada gambaran
garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan
dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti
berupa sepasang lengkung putih pada tepi dan sepasang garis
submedian di tengah (Santoso, 1997)

vi.

Siklus hidup
Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu
20-40C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari.
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu, temperatur, tempat, keadaan air,
dan kandungan makanan yang ada ditempat perindukan. Pada
kondisi optimal, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu
4-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam
waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur,
larva, pupa sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 714 hari (Dirjen P2M dan PL Depkes RI, 2004).

vii.

Masa penularan DBD


Masa penularan penyakit DBD biasanya terjadi di
sekitar musim hujan. Namun masing-masing daerah pola
musiman ini berbeda-beda, bahkan untuk wilayah yang sama
musim penularan dapat berbeda dari tahun ketahun. Kadangkadang pada awal atau akhir musim hujan, atau kadangkadang sesudah musim hujan. Yang jelas penyakit ini dapat
datang sewaktu-waktu. Oleh karena itu masyarakat harus
selalu waspada terhadap tanda-tanda penyakit demam
berdarah (Soegijanto, 2006).

d. Tanda dan Gejala DBD


Mengingat banyak jiwa yang telah terenggut oleh penyakit
ini, maka selayaknya kita harus mewaspadainya gejala DBD.
Gejala awal DBD mirip dengan penyakit infeksi yaitu deman
tinggi antara 38,50C 40oC. Demam itu disebabkan oleh reaksi tubuh
terhadap virus yang masuk. Suhu tinggi itu terus berlanjut hingga
hari 2-7 dan muncul gejala seperti nyeri tulang, meriang, loyo,
pusing, tidak nafsu makan, muntah, dan kembung (Fatih, 2005).
Pada hari-hari pertama sakit, tanda-tanda penyakit demam
berdarah sangat sulit dibedakan dengan influenza atau penyakit
infeksi virus lain. Sering kali hanya ada demam atau panas saja

yang timbul secara mendadak, badan lemah, lesu, kadang-kadang


ada bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk. Untuk
membedakan dapat dilakukan dengan cara merenggangkan kulit di
sekitar bintik merah tersebut. Jika bintik merah tidak hilang dengan
peregangan kulit, hal ini merupakan salah satu tanda penyakit
demam berdarah (Kristina, 2004).
Akibat infeksi virus dengue dapat menimbulkan bermacammacam gejala seperti di bawah ini (WHO, 2006) :
1. Asymtomatis.
2. Mild Undifferentiated Febrile Illnes.
3. Dengue Fever ( demam dengue ).
4. Dengue haemorrhagic Fever ( DHF-DBD ).
5. Dengue Shock Syndrome ( DSS )
Sebagian besar penderita akan sembuh tanpa obat-obat
khusus. Tetapi pada sebagian penderita, bisa bertambah parah yaitu
jika terjadi perdarahan di semua jaringan tubuh. Perdarahan ini bisa
tampak dari luar berupa perdarahan dari mulut, hidung, atau
bahkan muntah darah dan berak darah. Tetapi kadang-kadang
pendarahan ini tidak tampak bila perdarahannya terjadi pada alatalat dalam tubuh seperti otak, limpa dan ginjal. Proses menjadi
parah ini berlangsung cepat, bisa dalam beberapa jam atau
beberapa hari. Kemudian bisa menimbulkan shock dan kematian.
Keadaan kritis ini biasanya terjadi pada hari ke 3 sampai hari ke 5
sakit, atau bisa lebih awal. Sayangnya sampai saat ini belum
ditemukan cara pemeriksaan yang bisa mendeteksi kapan menjadi
parah. Oleh karena itu pada dasarnya semua penderita penyakit
demam berdarah dengue perlu dirawat inap, agar dapat diobservasi
dan pemeriksaan laboratorium secara teratur, dengan maksud bila
terjadi keadaan memburuk dapat segera diberikan tindakan
pertolongan yang diperlukan. Karena sifatnya yang akut inilah,
maka jika terdapat tanda-tanda penyakit demam berdarah,

masyarakat diharapkan untuk memeriksakan kepada dokter, rumah


sakit atau puskesmas (Kristina, 2004).
Adakalanya

pembuluh

darah

pecah

sehingga

terjadi

perdarahan di hidung (mimisan). Bila hal tersebut tidak segera


ditanggapi penderita akan mengalami shock. Selanjutnya laju
pernafasannya menjadi cepat, denyut nadi melemah, kaki dan
tangan dingin, bibir dan kuku berwarna kebiruan, volume air seni
berkurang dan pingsan. Pada keadaan seperti ini penderita harus
langsung dibawa ke rumah sakit. Virus demam berdarah
menyerang sel, kemungkinan sel trombosit, sel darah yang
mencegah pembekuan darah. Virus menyebabkan umur trombosit
menjadi pendek, selain itu juga menekan produksi trombosit yang
ada di sumsum tulang, sehingga jumlah trombosit yang seharusnya
150 ribu-500 ribu ml menjadi berkurang. Penurunan jumlah
trombosit ini biasa terjadi pada hari keempat hingga kelima dan
berlangsung selama 3-4 hari (WHO, 2006).
e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyebaran Penyakit
DBD
Angka kasus DBD tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit
DBD, antara lain faktor pejamu, lingkungan dan agen. Faktor
pejamu seperti kerentanan dan respon imun. Faktor lingkungan
yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah
hujan, angin, kelembaban, musim) dan kondisi demografis
(kepadatan, morbilitas, perilaku, sosial ekonomi). Agen yang
ditularkan melalui vektor pembawa virus dengue, meliputi
perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor
di lingkungan, transportasi vektor dari tempat satu ketempat lain
(Wantikirmanti dan Amirudin, 2007; Fathi, 2005).
Seperti diketahui bahwa penyakit DBD disebabkan oleh
virus dengue. Dewasa ini dikenal 4 tipe virus dengue di Indonesia,

yaitu virus dengue type 1, 2, 3, dan 4. Menurut teori infeksi


sekunder, seseorang yang hanya terkena infeksi satu macam virus
dengue saja tidak akan jatuh sakit, kecuali hanya merasa demam
ringan. Namun bila orang tersebut terinfeksi oleh 2 macam virus
dengue, barulah yang bersangkutan akan menderita sakit DBD
(Hartinah, 2006).
Penyebaran berbagai tipe virus dengue ini dari suatu
wilayah ke wilayah lain dibawa oleh orang-orang yang terinfeksi
virus dengue yang berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat
yang lain. Di tempat yang baru melalui gigitan nyamuk penular
DBD seperti Aedes aegypty dan Aedes albopictus menyebarkannya
kepada orang lain di sekitarnya. Penyebaran virus akan mudah
terjadi di daerah yang padat penduduknya (Hayani, 2006).
Menurut Ditjen PPM-PLP, 255 daerah tingkat II dari 301
daerah tingkat II yang ada di Indonesia, sudah terjangkit DBD.
Dalam hal ini 84,7% daerah tingkat II di seluruh Indonesia telah
menjadi daerah penyebaran virus DBD (Soegijanto, 2006).
2. Kebijakan Program Pemberantasan DBD di Indonesia
a. Dasar Kebijakan
Mengingat vaksin belum tersedia, maka pemberantasan
DBD dilakukan dengan memberantas vektornya. Cara tepat untuk
memberantas Aedes aegypti adalah pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) oleh masyarakat, karena itu diperlukan penyuluhan dan
penggerakan PSN melalui kerja sama lintas program dan sektoral
dalam kordinasi kepala wilayah daerah. Keberhasilan upaya PSN
ini memerlukan waktu yang cukup lama karena erat kaitannya
dengan perilaku masyarakat. Sementara penyakit DBD cenderung
menyebar luas, insiden meningkat disertai kematian, oleh karena
itu digunakan insektisida untuk membatasi penyebaran penyakit
dan mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) (Hartinah, 2006).
b. Kebijaksanaan pelaksanaan

1. penyuluhan dilaksanakan melalui berbagai jalur komunikasi dan


informasi kepada masyarakat oleh petugas/ pejabat kesehatan
dan sektor terkait, pemuka masyarakat dan orang yang
mengetahui tentang penyakit demam berdarah dengue.
2. Upaya pencegahan DBD di tingkat desa/kelurahan dilaksanakan
secara swadaya dan dikoordinasi oleh Pokja DBD/ LKMD.
3. Pembinaan pelaksanaannya dilakukan oleh Pokjanal DBD/Tim
pembina LKMD di tiap tingkat adminitrasi pemerintah.
4. Setiap kasus DBD dilaporkan kepada puskesmas untuk
dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penaggulangan
seperlunya.
5. Di desa endemis dilakukan penyemprotan dan abatisasi selektif
untuk membatasi penularan dan pencegahan KLB.
c. Tujuan dan sasaran serta pokok-pokok kegiatan
1. Mencegah dan membatasi KLB.
2. Membatasi angka kesakitan (Insidens < 10 per 100.000).
3. Menurunkan angka kematian (CFR < 2,5 %).
4. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam PSN sehingga
ABJ dikecamatan endemis > 95 %.
5. Penemuan dan pengobatan penderita.
6. Kewaspadaan terhadap KLB.
7. Pemeriksaan intensif di kecamatan endemis.
8. Penyemprotan massal sebelum musim penularan dan abatisasi
selektif di desa/ Kelurahan endemis.
9. Penyuluhan melalui media massa.
10. Pelatihan tenaga termasuk Pokjanal DBD dan kader.
11. Bimbingan teknis, pemantauan dan penelitian.
d. Sasaran dan tujuan program DBD pelita VI.
Sasaran dan tujuan program pembernatasan penyakit DBD
secara nasional pada akhir pelita VI ( pada tahun 1999 ) adalah
menurun angka kesakitan DBD hingga mencapai 10 per 100.000
penduduk dengan angka kematian 2 %. Khusus untuk daerah

endemis DBD adalah 3 per 100.000 penduduk dengan angka


kematian kurang dari 2, 5 % kondisi angka kesakitan DBD pada
akhir pelita V (tahun 1993) yang telah berhasil dicapai program
pemberantasan penyakit DBD adalah sebesar 9, 17 per 100.000
penduduk dengan angka kematian sebesar 2, 4 % (Hartinah, 2006).
3. Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD
Belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD dan belum
ada obat-obatan khusus untuk penyembuhannya, dengan demikian
pengendalian DBD tergantung pada pemberantasan nyamuk Aedes
aegypti. Program pemberantasan penyakit DBD di berbagai negara
umumya belum berhasil, karena masih tergantung pada penyemprotan
insektisida

untuk

membunuh

nyamuk

dewasa.

Penyemprotan

membutuhkan pengoperasian yang khusus dan membutuhkan biaya


yang tinggi. Tindakan pencegahan dan pemberantasan akan lebih
efektif bila dilakukan dengan pemberantasan sumber larva, Dalam hal
ini perlu pendekatan yang terpadu terhadap pengendalian nyamuk
dengan menggunakan semua metode yang tepat (lingkungan, biologi
dan kimiawi) yang murah, aman dan ramah lingkungan. Upaya-upaya
ini antara lain dengan pengelolaan lingkungan, perlindungan diri,
pengendalian biologis dan pengendalian secara kimia (Soegijanto,
2006).
Untuk memberantas penyakit DBD secara tuntas, keadaan yang
diharapkan adalah pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah
dengue dilaksanakan oleh seluruh masyarakat baik di rumah maupun
tempat umum termasuk sekolah, secara terus menerus melalui kegiatan
seperti menguras/mengganti air sekurang kurangnya sekali seminggu
atau menutup rapat tempat penampungan air untuk keperluan seharihari, drum, tempayan, dan lain-lain. Bagi tempat penampungan air
yang tidak dapat dikuras atau ditutup rapat dapat digunakan bubuk
abate yang dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh jentik nyamuk
tersebut. Berikut adalah gambar jentik nyamuk Aedes aegypti yang
bisa dijumpai pada bak-bak penampungan air (Wantikirmanti, 2007).

Gambar 2.3. Jentik Nyamuk Aedes aegypti


Sumber: Prianto, 1995
Dalam mencegah sarang nyamuk dapat juga dengan cara
mengubur atau menyingkirkan barang-barang yang dapat menjadi
tempat tertampungnya air, seperti ban bekas, vas bunga, pot tanaman
air, tempat minum burung, dan lain-lain serta memelihara kebersihan
lingkungan pada umumnya secara terus-menerus. Berikut adalah
gambar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Soegijanto,
2006).

Gambar 2.4. Gerakan PSN


Sumber: Depkes RI, 2005

Penyemprotan insektisida hanya memberantas nyamuk dewasa,


oleh karena itu perlu dilakukan usaha seperti disebut di atas upaya
penyakit demam berdarah dengue dapat dicegah sebelum terjadi
wabah. Selain yang disebutkan di atas penyuluhan mengenai demam
berdarah juga dapat disampaikan melalui media massa sehingga untuk
disampaikan kepada masyarakat bisa lebih cepat dimengerti. Karena
dengan penyuluhan tersebut bisa diperagakan dengan memberikan
contoh-contoh secara langsung. Begitu juga pengetahuan tentang
demam berdarah juga diberikan kepada murid-murid sekolah dasar dan
pramuka serta pada pertemuan-pertemuan kelompok masyarakat pada
berbagai kesempatan. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa untuk
memberantas penularan demam berdarah secara tuntas yang paling
penting adalah usaha-usaha masyarakat sendiri dalam memelihara
kebersihan lingkungan rumah, tempat kerja dan tempat-tempat umum
agar bebas dari nyamuk penular demam berdarah (Kristina, 2004).
4. Penyuluhan kesehatan
Komunikasi adalah kegiatan manusia untuk berhubungan
antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengertian lain komunikasi
adalah memberitahu atau menyebarkan informasi, berita, pesan,
pengetahuan, pikiran-pikiran, nilai-nilai dengan maksud untuk
menggugah partisipasi agar hal-hal yang diberikan menjadi milik
bersama. Salah satu bentuk komunikasi adalah penyuluhan, khususnya
penyuluhan kesehatan (Makmuroch, 1999).
Penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk
mengubah

kesadaran

dan

perilaku

(pengetahuan,

sikap

dan

keterampilan). Manusia ke arah yang lebih baik dan sejahtera (Slamet,


2001).
Munurut Azwar (1997) Penyuluhan merupakan salah satu
bentuk komunikasi kelompok (Grouo Communication). Selain itu
komunikasi kelompok dapat juga dalam bentuk forum, rapat, seminar,
ceramah dan kuliah. Komunikasi kelompok adalah komunikasi antara
seseorang atau komunikator dengan sejumlah orang atau komunikan

yang berkumpul bersama-sama dalam bentuk kelompok. Komunikasi


bersifat formal, terorganisir dan terlembaga yang terjadi pada sejumlah
orang

yang

mempunyai

kesatuan

psikologis,

interaksi

dan

semacamnya. Selain komunikasi kelompok terdapat juga Personal


Communication, Group Communication, dan Mass Communication.
Dalam merubah masyarakat agar condong atau mengadopsi
perilaku kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara
persuasif, himbawan, ajakan, memberikan informasi, memberikan
kesadaran dan sebagainya melalui kegiatan penyuluhan kesehatan.
Dampak yang timbul dari penyuluhan kesehatan tidak bisa langsung
dilihat secara langsung dalam waktu yang singkat, namun demikian
apabila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat sasaran
penyuluhan maka akan dapat bertahan lama bahkan dilakukan seumur
hidup. Dalam hal ini penyuluhan kesehatan dapat dikatakan sebagai
usaha untuk memberikan pemahaman pada diri seseorang yang
selanjutnya mengupayakan perilaku baik individu, kelompok atau
masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
5. Media penyampaian informasi
Dalam menyampaikan informasi maka dibutuhkan media
penyampaian informasi. Bentuk-bentuk penyampaian pesan dan
informasi dalam komunikasi massa antara lain (Effendy, 2002);
a. Media pers atau brosur yang dapat berupa media cetak seperti
brosur, surat kabar dan majalah.
b. Media Film
c. Media Radio
d. Media Televisi
e. Selain penyampaian penyuluhan yang dilakukan secara langsung
dengan menggunakan LCD, penyuluhan pada penelitian ini juga
menggunakan media penyampaian informasi brosur. Media brosur
yang

digunakan

adalah

leaflet

yang

merangkum

materi

pemberantasan sarang nyamuk yang disampaikan oleh penyuluh.

B. Skema Kerangka Konseptual dari Faktor Penyebab Masalah


Agen
1. Jentik nyamuk

Host
1. Status gizi
2. Status sosial
ekonomi
3. Pengetahuan

Demam Berdarah

Lingkungan
1. Kepadatan
penduduk
2. Tempat perindukan
Jentik Nyamuk

C. Hipotesis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demam berdarah antara lain
agen (jentik nyamuk), host (status gizi, status sosial ekonomi,
pengetahuan) dan lingkungan (kepadatan penduduk, tempat perindukan
jentik nyamuk).

V. METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian adalah observasional dengan
pendekatan case control. Pada desain penelitian ini, penelitian dimulai
dengan mengidentifikasi pasien dengan efek atau penyakit tertentu (yang
disebut kasus) dan kelompok tanpa efek (disebut sebagai kontrol),
kemudian secara retrospektif diteliti faktor risiko yang dapat menerangkan
mengapa kasus terkena efek sedangkan kontrol tidak (Sastroasmoro, 2002)
B. Ruang Lingkup Kerja
Ruang lingkup kerja dilakukan di Tunjung Wilayah Kerja
Puskesmas Jatilawang, Kabupaten Banyumas.

C. Populasi

dan

Sampel

(Perhitungan

Besar

Sampel,

Teknik

Pengambilan Sampel, Kriteria Inklusi dan Ekslusi)


Populasi adalah sekelompok orang, kejadian atau benda yang
dijadikan objek penelitian (Hasan, 2002). Populasi target yang digunakan
adalah penduduk yang tinggal di Desa Tunjung Wilayah Kerja Puskesmas
Jatilawang Kabupaten Banyumas. Kelompok kasus dalam penelitian ini
adalah penderita demam berdarah pada periode Januari tahun 2013 sampai
dengan bulan Agustus 2014 yang tercatat

berada di wilayah kerja

Puskesmas Jatilawang. Jumlah kelompok kasus adalah sebanyak 6 kasus


yang berada di Desa Tunjung. Kelompok kontrol dalam penelitian ini
adalah tetangga pasien dalam radius 10 meter dari rumah sampel
kelompok kasus sejumlah 6.
D. Faktor Yang Diteliti (Variabel Penelitian)
1.

Variabel Terikat
Kejadian demam berdarah

2.

Variabel Bebas
Variabel yang diteliti meliputi agen (jentik nyamuk), host (status gizi,
status sosial ekonomi, pengetahuan) dan lingkungan (kepadatan
penduduk, tempat perindukan jentik nyamuk).

E. Definisi Operasional
1.

Kejadian demam berdarah


Kejadian demam berdarah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pernah atau tidaknya anggota keluarga responden menderita demam
berdarah yang dibutikan dengan surat keterangan yang tercatat di
Puskesmas Jatilawang. Skala dalam penelitian ini adalah nominal.

2.

Jentik nyamuk
Jentik nyamuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ada
tidaknya jentik nyamuk di rumah responden. Jawaban responden
dikategorikan menjadi dua yaitu ada dan tidak. Skala yang digunakan
adalah nominal.

3.

Status gizi

Status gizi dilihat dari indeks massa tubuh (IMT) dengan


menggunakan rumus:
BB (kg) /TB2 (m2)
Kategori yang digunakan adalah:
Baik

: 18,5-25 kg/m2

Buruk : < 18,5 kg/m2 atau > 25 kg/m2


4.

Status sosial ekonomi


Status sosial ekonomi dilihat dari pendapatan keluarga dalam satu
bulan. Kategori yang digunakan adalah:

5.

Baik

: upah minimum regional

Buruk

: < upah minimum regional

Pengetahuan
Kemampuan pengetahuan mengenai penyakit demam berdarah untuk
menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan yang meliputi
definisi, penyebab penyakit, ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti, gejala
DBD, pencegahan dan peventif terhadap penyakit DBD, termasuk
pengetahuan tentang gerakan 3M (Hayani, 2006). Setiap soal apabila
jawaban benar diberi skor 1 dan bila salah diberi skor 0. Nilai total
maksimal adalah 18 dan nilai minimal adalah 0. Kemudian nilai akan
dikategorikan menjadi:
Baik

:9

Buruk

:<9

Skala yang digunakan adalah nominal.


6.

Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk adalah jumlah rata-rata penduduk yang
mendiami suatu wilayah administratif atau politis tertentu, biasanya
dinyatakan dalam jiwa/Km2. Kepadatan penduduk diperoleh dengan
rumus :
Kepadatan penduduk = jumlah penduduk (jiwa) / luas wilayah (km2)
Jumlah kepadatan di wilayah Puskesmas Jatilawang sebesar 64.389
jiwa/km2. Kategori yang digunakan adalah:
Padat

: kepadatan penduduk > kepadatan penduduk di

Tidak padat

wilayah Puskesmas Jatilawang


: kepadatan penduduk < kepadatan penduduk di
wilayah Puskesmas Jatilawang

Skala yang digunakan adalah nominal.


7.

Tempat perindukan jentik nyamuk


Tempat perindukan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ada
atau tidaknya tempat perindukan nyamuk seperti kaleng, pot dan
drum dan barang atau tempat yang berisi air bersih. Kategori yang
digunakan adalah ada dan tidak ada tempat perindukan. Skala yang
digunakan adalah skala nominal.

F. Instrumen Pengambilan Data (Kuesioner)


1. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpul data yang digunakan adalah kuesioner dengan
pertanyaan terbuka dan tertutup dan meteran untuk mengukur tinggi
badan. Kuesioner berisi tentang pertanyaan-pertanyaan seputar
pengetahuan tentang demam berdarah.
2. Cara Pengumpulan Data
Sebelum pengambilan data, responden diminta persetujuannya
untuk menjadi responden penelitian dengan menandatangani informed
consent. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
kuesioner terbuka dan tertutup yaitu dalam menjawab pertanyaan
responden diminta memilih jawaban yang telah disediakan. Status gizi
ditentukan dengan menanyakan berat badan dan pengukuran tinggi
badan saat observasi. Baik tidaknya lingkungan fisik responden
ditentukan saat observasi.
G. Rencana Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran
masing-masing variabel, ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi

frekuensi

untuk

mengetahui

variasinya

serta

besar

proporsi

penyebarannya.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mendapatkan informasi
tentang hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat yang
terdapat dalam hipotesis penelitian. Uji statistik yang digunakan adalah
Chi square sesuai dengan skala dari variabel penelitian.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah regresi logistik. Tujuan analisis multivariat adalah untuk
mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap variabel terikat.

VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.

Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Responden
Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 di desa Tunjung
yang menjadi cakupan wilayah kerja Puskesmas Jatilawang. Responden
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita yang terkena demam
berdarah dan tidak pernah menderita sakit demam berdarah dengue,
masing-masing sebanyak 6 orang.
Gambaran umum responden dimaksudkan untuk mengetahui dengan
jelas karakteristik dan identitas dari responden penelitian. Jumlah sampel
telah ditetapkan sebelumnya yaitu sebanyak 12 responden. Dari hasil
penelitian diperoleh gambaran karakteristik responden berdasarkan
pendapatan yang dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan

Pendapatan
Baik
Buruk
Total
Tabel

6.1.

Frekuensi
20 orang
22 orang
42 orang
menunjukkan

bahwa

Persentase
47.6%
52.4%
100%
sebagian

besar

responden

mempunyai pendapatan yang di bawah upah minimum regional (UMR)


Kabupaten Banyumas. Responden yang memiliki pendapatan di bawah
UMR adalah 22 orang atau 52,4%, sedangkan yang memiliki pendapatan
sama dengan atau di atas UMR adalah 22 orang atau 47,6%.
Tabel 6.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh
Frekuensi
Persentase
Baik
34 orang
81%
Buruk
8 orang
19%
Total
42 orang
100%
Tabel

6.2.

menunjukkan

bahwa

sebagian

besar

responden

mempunyai indeks massa tubuh yang baik. Responden yang memiliki


indeks massa tubuh normal adalah 34 orang atau 81%, sedangkan yang
memiliki indeks massa tubuh di atas normal atau di bawah normal adalah
8 orang atau 19%.
2. Deskripsi Variabel
Dalam setiap item kuesioner faktor risiko penyakit demam berdarah
dengue didapatkan hasil deskripsi frekuensi tiap variabel penelitian
sebagai berikut:
Tabel 6.3. Distribusi dan Frekuensi Pengetahuan Responden
Pengetahuan
Frekuensi
Persentase
Baik
16 orang
38,1%
Buruk
26 orang
61,9%
Total
42 orang
100%
Tabel

6.3.

menunjukkan

bahwa

sebagian

besar

responden

mempunyai pengetahuan tentang demam berdarah dengue yang buruk.


Responden yang memiliki pengetahuan yang buruk tentang demam
berdarah dengue adalah 26 orang atau 61,9%, sedangkan yang memiliki

pengetahuan yang baik tentang demam berdarah dengue adalah 16 orang


atau 38,1%.
Tabel 6.7. Distribusi dan Frekuensi Kepadatan
Kepadatan
Frekuensi
penduduk
Padat
7 orang
Tidak Padat
35 orang
Total
42 orang

Persentase
16,7%
83,3%
100%

Tabel 6.7. menunjukkan bahwa sebagian besar responden


bertempat tinggal di daerah yang tidak padat. Responden yang bertempat
tinggal di daerah tidak padat penduduk sebanyak 35 orang atau 83,3%,
sedangkan yang bertempat tinggal di daerah padat penduduk adalah 7
orang atau 16,7%.

Tabel 6.9. Distribusi dan Frekuensi Jentik Nyamuk


Jentik Nyamuk
Frekuensi
Ada
13 orang
Tidak ada
29 orang
Total
42 orang

Persentase
31%
69%
100%

Tabel 6.9. menunjukkan bahwa sebagian besar tempat tinggal


responden tidak terdapat jentik nyamuk. Responden yang memiliki jentik
nyamuk di sekitar rumah sebanyak 13 orang atau 31%, sedangkan yang
memiliki jentik nyamuk adalah 31 orang atau 69%.
Tabel 6.10. Distribusi dan Frekuensi Pengetahuan Responden Tempat
Perindukan
Tempat Perindukan
Frekuensi
Persentase
Ada
35 orang
83,3%
Tidak ada
7 orang
16,7%
Total
42 orang
100%
Tabel 6.10. menunjukkan bahwa sebagian besar tempat tinggal
responden terdapat tempat perindukan nyamuk. Responden yang memiliki

tempat perindukan nyamuk di sekitar rumah sebanyak 35 orang atau


83,3%, sedangkan yang tidak memiliki tempat perindukan nyamuk adalah
7 orang atau 16,7%.
3. Analisis Bivariat
a.

Pengaruh Pendapatan terhadap Kejadian


Penyakit Demam Berdarah Dengue
Pengaruh pendapatan terhadap kejadian penyakit demam
berdarah dengue dengan menggunakan analisis chi-square dapat
dilihat pada Tabel 6.11.
Tabel 6.11. Tabel Silang Pendapatan Terhadap Kejadian Penyakit
Demam
Berdarah Dengue
Demam Berdarah
Total
Dengue
Ya
Tidak
buruk
12
8
20
Pendapatan
60%
40%
100%
baik
9
13
22
40,9%
59.1%
100%
Total
21
21
42
2
X =1.527
p = 0,217
Berdasarkan hasil uji chi-square pada analisis adanya pengaruh
pendapatan terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue
didapatkan nilai p = 0,217 atau probabilitas di atas 0,05.
Kesimpulannya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara
pendapatan terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue.

b.

Pengaruh

Indeks

Massa

Tubuh

(IMT)

terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue


Pengaruh Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap kejadian penyakit
demam berdarah dengue dengan menggunakan analisis Fisher's Exact
Test dapat dilihat pada Tabel 6.12.

Tabel 6.12. Tabel Silang IMT Terhadap Kejadian Demam Berdarah


Dengue
Demam Berdarah
Total
Dengue
Ya
Tidak
baik
17
17
34
IMT
50%
50%
100%
buruk
4
4
8
50%
50%
100%
Total
21
21
42
Fisher's Exact Test = 0,652
Berdasarkan hasil uji Fisher's Exact Test pada analisis adanya
pengaruh Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap kejadian penyakit
demam berdarah dengue didapatkan nilai Fisher's Exact Test = 0,652
atau probabilitas di atas 0,05. Kesimpulannya bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap
kejadian penyakit demam berdarah dengue.
c.

Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian


Penyakit Demam Berdarah Dengue
Pengaruh pengetahuan terhadap kejadian penyakit demam berdarah
dengue dengan menggunakan analisis chi-square dapat dilihat pada
Tabel 6.13.
Tabel 6.13. Tabel Silang Pengetahuan terhadap Kejadian Penyakit
demam
berdarah dengue
Demam Berdarah
Total
Dengue
Ya
Tidak
baik
1
15
16
Pengetahuan
6,3%
93,7%
100%
buruk
20
6
26
76,9%
23,1%
100%
Total
21
21
42
X2= 19.788 p= 0,000
Berdasarkan hasil uji chi-square pada analisis adanya pengaruh
pengetahuan terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue

didapatkan nilai p= 0,000 atau probabilitas di bawah 0,05.


Kesimpulannya

bahwa

ada

pengaruh

yang

signifikan

antara

penegtahuan terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue.

d.

Pengaruh Kepadatan Terhadap Kejadian


Penyakit Demam Berdarah Dengue
Pengaruh kepadatan penduduk terhadap kejadian penyakit demam
berdarah dengue dengan menggunakan analisis Fisher's Exact Test
dapat dilihat pada Tabel 6.17.
Tabel 6.17. Tabel Silang Sikap Terhadap Kejadian Penyakit Demam
Berdarah Dengue
Demam Berdarah
Total
Dengue
Ya
Tidak
Padat
4
3
7
Kepadatan
57,1%
42,9%
100%
Tidak padat
17
18
35
48.6%
51.4%
100%
Total
21
21
42
Fisher's Exact Test= 0,5
Berdasarkan hasil uji Fisher's Exact Test pada analisis adanya
pengaruh kepadatan penduduk terhadap kejadian penyakit demam
berdarah dengue didapatkan nilai Fisher's Exact Test= 0,5 atau
probabilitas di atas 0,05. Kesimpulannya bahwa tidak ada pengaruh
yang signifikan antara kepadatan penduduk terhadap kejadian penyakit
demam berdarah dengue.

e.

Pengaruh

Jentik

Nyamuk

Terhadap

Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue


Pengaruh keberadaan jentik nyamuk terhadap kejadian penyakit
demam berdarah dengue dengan menggunakan analisis chi-square
dapat dilihat pada Tabel 6.19.

Tabel 6.19. Tabel Silang Sikap Terhadap Kejadian Penyakit Demam


Berdarah Dengue
Demam Berdarah
Dengue
Ya
Tidak
4
9
30.8%
69.2%
17
12
58.6%
41.4%
21
21

Ada
Jentik nyamuk
Tidak ada
Total
X2= 2.785

Total

13
100%
29
100%
42

p= 0,095

Berdasarkan hasil uji chi-square pada analisis adanya pengaruh jentik


nyamuk terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue
didapatkan

nilai

p=

0,095

atau

probabilitas

di

atas

0,05.

Kesimpulannya bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara


jentik nyamuk terhadap kejadian penyakit demam berdarah dengue.
f.

Pengaruh

Tempat

Perindukan

Nyamuk

Terhadap Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue


Pengaruh keberadaan tempat perindukan nyamuk terhadap kejadian
penyakit demam berdarah dengue dengan menggunakan analisis
Fisher's Exact Test dapat dilihat pada Tabel 6.20.
Tabel 6.20. Tabel Silang Tempat Perindukan Nyamuk Terhadap
Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue

Ada
Tempat
perindukan
Tidak ada
Total
Fisher's Exact Test = 0,004

Demam Berdarah
Dengue
Ya
Tidak
21
14
60.0%
40%
0
0%
21

7
100%
21

Total

35
100%
7
100%
42

Berdasarkan hasil uji Fisher's Exact Test pada analisis adanya


pengaruh tempat perindukan terhadap kejadian penyakit demam
berdarah dengue didapatkan nilai Fisher's Exact Test = 0,004 atau
probabilitas di atas 0,05. Kesimpulannya bahwa tidak ada pengaruh
yang signifikan antara tempat perindukan terhadap kejadian
penyakit demam berdarah dengue.

4. Analisis Multivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan serta kontribusi
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen apabila
diuji bersamaan. Analisis multivariat dalam penelitian ini menggunakan
analisis regresi logistik berganda. Pada analisis multivariat digunakan nilai
B untuk menentukan faktor risiko mana yang paling berpengaruh. Makin
tinggi nilai B pada faktor risiko, maka makin percaya bahwa faktor risiko
tersebut merupakan penyebab timbulnya penyakit. Hasil dari analisis
tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.10.
Tabel 6.10. Analisis Regresi Logistik Berganda
Suspek TB

Lingkungan Fisik 4.865


PHBS
4.865
Status Gizi
4.865
Pengetahuan
16.364
Kontak dekat
4.865

Sig.

.
.
.
.001
.

Exp (B)

6.17E
1.000
.
.
.

95% Confidence Interfal for


Exp (B)
Lower
Upper
Bound
Bound
.000
.
1.000
1.000
.
.
.000
.
.
.

Berdasarkan analisis multivariat dari lima faktor risiko yang diteliti


hanya satu faktor risiko yang berpengaruh secara signifikan terhadap
terjadinya penyakit TB paru. Angka R square adalah 0,448. Hal ini berarti
44,8% dari variasi kejadian penyakit TB paru bisa dijelaskan oleh faktor
risiko tersebut dan sisanya 55,2% dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain.
Faktor risiko kurangnya pengetahuan tentang TB merupakan faktor
yang paling berpengaruh terhadap terjadinya penyakit TB paru
dibandingkan dengan faktor risiko lainnya yang diteliti. Hal tersebut dapat
dilihat dari nilai B yang paling besar (B = 16,364>4.865).

Anda mungkin juga menyukai