Motor Asinkron
Motor Asinkron
berputar seiring dengan perubahan arus di belitan tiga fasa. Peristiwa ini dikenal sebagai
medan putar pada mesin asinkron.
1.1
c
c1
0
b1
a1
- 180 -135
b
b).
ic
ia
45
t2
90
135
180
ic
t3
t4
ic
ic
ia
ib
ia
ib
ia
ib
c
tot
a
b
tot
t2
b
tot
t1
ib
t1
ic
ib
-45
ia
- 1.1
a).
- 90
tot
t3
t4
f1 =
p ns
120 f1
Hz atau n s =
rpm
120
p
(1)
dengan f1 adalah frekuensi tegangan stator, ns adalah kecepatan perputaran medan putar yang
kita sebut perputaran sinkron. Jumlah kutub p ditentukan oleh susunan belitan stator. Pada
belitan stator seperti pada contoh konstruksi mesin pada Gb.1. jumlah kutub adalah 2,
sehingga jika frekuensi tegangan 50Hz maka perputaran sinkron adalah 3000 rpm. Untuk
mempuat jumlah kutub menjadi 4, belitan stator disusun seperti pada stator mesin sinkron
pada Gb.1.
Selanjutnya medan magnetik berputar yang ditimbulkan oleh stator akan mengimbaskan
tegangan pada konduktor rotor. Karena konduktor rotor merupakan rangkaian tertutup, maka
akan mengalir arus yang kemudian berinteraksi dengan medan magnetik yang berputar dan
timbullah gaya sesuai dengan hukum Ampere. Dengan gaya inilah terbangun torka yang
akan membuat rotor berputar
2 Sudaryatno Sudirham, Motor Asinkron
dengan kecepatan perutaran n. Perhatikanlah bahwa untuk terjadi torka, harus ada arus
mengalir di konduktor rotor dan untuk itu harus ada tegangan imbas pada konduktor rotor.
Agar terjadi tegangan imbas, maka kecepatan perputaran rotor n harus lebih kecil dari
kecepatan perputaran medan magnetik (yaitu kecepatan perputaran sinkron ns) sebab jika
kecepatannya sama tidak akan ada fluksi yang terpotong oleh konduktor. Dengan kata lain
harus terjadi beda kecepatan antara rotor dengan medan putar, atau terjadi slip yang besarnya
adalah :
s=
ns n
ns
(2)
E1 = 4,44 f 1 K w1 m
(3)
p ns
= frekuensi tegangan stator, m adalah
120
fluksi maksimum di celah udara, 1 adalah jumlah lilitan belitan stator.
dengan Kw1 adalah faktor belitan stator,
f =
Jika belitan rotor terbuka dan rotor tidak berputar, maka tegangan imbas pada belitan rotor
adalah
E 2 = 4,44 f 2 K w2 m
(4)
p ns
= frekuensi tegangan stator (karena rotor
120
tidak berputar), m adalah fluksi maksimum di celah udara sama dengan fluksi yang
mengibaskan tegangan pada belitan stator, 2 adalah jumlah lilitan belitan rotor.
dengan Kw2 adalah faktor belitan rotor, f =
Jika rotor dibiarkan berputar dengan kecepatan perputaran n maka terdapat slip seperti
ditunjukkan oleh (2). Frekuensi tegangan imbas pada rotor menjadi
f2 =
p ( n s n) p s n s
=
= s f Hz
120
120
(5)
Jadi frekuensi tegangan rotor diperoleh dengan mengalikan frekuensi stator dengan slip s;
oleh karena itu ia sering disebut frekuensi slip. Tegangan imbas pada belitan rotor dalam
keadaan berputar menjadi
E 22 = sE 2
(6)
Jika rotor tak berputar (belitan rotor terbuka), maka dari (5) dan (6) kita peroleh
K
E1
= 1 w1 = a
E 2 2 K w2
(7)
ns =
120 f 120 50
=
= 1500 rpm
p
4
n2 =
(d) Relatif terhadap stator, kecepatan perputaran medan rotor harus sama dengan
kecepatan perputaran medan stator, yaitu kecepatan sinkron 1500 rpm.
(e) Karena kecepatan perputaran medan rotor sama dengan kecepatan perputaran
medan stator, kecepatan perputaran relatifnya adalah 0.
2. Rangkaian Ekivalen
Rangkaian ekivalen yang akan kita pelajari adalah rangkaian ekivalen per fasa.
Rangkaian Ekivalen Stator. Jika resistansi belitan primer per fasa adalah R1 dan
reaktansinya adalah X1, sedangkan rugi-rugi inti dinyatakan dengan rangkaian paralel suatu
resistansi Rc dan reaktansi X seperti halnya pada transformator. Jika V1 adalah tegangan
masuk per fasa pada belitan stator motor dan E1 adalah tegangan imbas pada belitan stator
oleh medan putar seperti diberikan oleh (3), maka kita akan mendapatkan hubungan fasor
V1 = I1 (R1 + jX 1 ) + E1
(8)
Fasor-fasor tegangan dan arus serta reaktansi pada persamaan (8) ini adalah pada frekuensi
sinkron s = 2 f1. Rangkaian ekivalen stator menjadi seperti pada Gb.4. yang mirip
yang pada
rangkaian primer transformator. Perbedaan terletak pada besarnya If
transformator berkisar antara 2 5 persen dari arus nominal, sedangkan pada motor asinkron
arus ini antara 25 40 persen arus nominal, tergantung dari besarnya motor.
I1
R1
V1
If
jX1
Ic
Rc
I E
1
jXc
B
I 22 =
E 22
(R22 + jX 22 )
(9)
Perhatikanlah bahwa fasor-fasor tegangan dan arus serta nilai reaktansi pada persamaan (9)
ini adalah pada frekuensi rotor 2 = 2 f2 , berbeda dengan persamaan fasor (8). Kita
gambarkan rangkaian untuk persamaan (9) ini seperti pada Gb.5.a.
I22
A
I2
R22
jX22
R2
jsX2
sE2
E22
B
B
a)
b)
I2
I2
A
E2
R2
s
jX2
E2
R2
jX2
R2
B
c)
1 s
s
d)
X 22 = 2 L2 = s1 L2 = sX 2
(10)
Di sini kita mendefinisikan reaktansi rotor dengan frekuensi sinkron X 2 = 1L2 . Karena
Resistansi tidak tergantung frekuensi, kita nyatakan resistansi rotor sebagai R2 = R22. Dengan
demikian maka arus rotor menjadi
I2 =
sE 2
R2 + jsX 2
(11)
Persamaan fasor tegangan dan arus rotor (11) sekarang ini adalah pada frekuensi sinkron dan
persamaan ini adalah dari rangkaian yang terlihat pada Gb.5.b. Tegangan pada terminal rotor
AB adalah tegangan karena ada slip yang besarnya adalah sE2. Dari rangkaian ini kita dapat
menghitung besarnya daya nyata yang diserap rotor per fasa, yaitu
Pcr = I 22 R2
(12)
Jika pembilang dan penyebut pada persamaan (11) kita bagi dengan s kita akan mendapatkan
I2 =
E2
R2
+ jX 2
s
(13)
Langkah matematis ini tidak akan mengubah nilai I2 dan rangkaian dari persamaan ini
adalah seperti pada Gb.5.c. Walaupun demikian ada perbedaan penafsiran secara fisik.
Tegangan pada terminal rotor AB sekarang adalah tegangan imbas pada belitan rotor dalam
keadaan rotor tidak berputar dengan nilai seperti diberikan oleh (14) dan bukan tegangan
karena ada slip. Jika pada Gb.5.b. kita mempunyai rangkaian riil rotor dengan resistansi
konstan R dan tegangan terminal rotor yang tergantung dari slip, maka pada Gb.5.c. kita
mempunyai rangkaian ekivalen rotor dengan tegangan terminal rotor tertentu dan resistansi
yang tergantung dari slip. Tegangan terminal rotor pada keadaan terakhir ini kita sebut
tegangan celah udara pada terminal rotor dan daya yang diserap rotor kita sebut daya celah
6
udara, yaitu :
Pg = I 22
R2
s
(14)
Daya ini jauh lebih besar dari Pcr pada (12). Pada mesin besar nilai s adalah sekitar 0,02
sehingga Pg sekitar 50 kali Pcr. Perbedaan antara (14) dan (12) terjadi karena kita beralih dari
tegangan rotor riil yang berupa tegangan slip ke tegangan rotor dengan frekuensi sinkron.
Daya nyata Pg tidak hanya mencakup daya hilang pada resistansi belitan saja tetapi
mencakup daya mekanis dari motor. Daya mekanis dari rotor ini sendiri mencakup daya
keluaran dari poros motor untuk memutar beban ditambah daya untuk mengatasi rugi-rugi
rotasi yaitu rugi-rugi akibat adanya gesekan dan angin. Oleh karena itu daya Pg kita sebut
daya celah udara artinya daya yang dialihkan dari stator ke rotor melalui celah udara yang
meliputi daya hilang pada belitan rotor (rugi tembaga rotor) dan daya mekanis rotor. Dua
komponen daya ini dapat kita pisahkan jika kita menuliskan
R2
1 s
= R2 + R2
s
s
(15)
Suku pertama (15) akan memberikan daya hilang di belitan rotor (per fasa) Pcr = I 22 R2 dan
suku kedua memberikan daya keluaran mekanik ekivalen
1 s
Pm = I 22 R2
(16)
Dengan cara ini kita akan mempunyai rangkaian ekivalen rotor seperti pada Gb.5.d.
Rangkaian Ekivalen Lengkap. Kita menginginkan satu rangkaian ekivalen untuk mesin
asinkron yang meliputi stator dan rotor. Agar dapat menghubungkan rangkaian rotor dengan
rangkaian stator, kita harus melihat tegangan rotor E2 dari sisi stator dengan memanfaatkan
(16) yang memberikan E1 = aE 2 . Jika E2 pada Gb.5.d. kita ganti dengan E1 = aE 2 , yaitu
tegangan rotor dilihat dari sisi stator, maka arus rotor dan semua parameter rotor harus pula
dilihat dari sisi stator menjadi I '2 , R2'
dan
X 2' . Dengan demikian kita dapat
menghubungkan terminal rotor AB ke terminal AB dari rangkaian stator pada Gb.4. dan
mendapatkan rangkaian ekivalen lengkap seperti terlihat pada Gb.6.
I1
A
R1
V1
jX1
Rc
I '2
If
R2'
jXc
jX 2'
R2'
1 s
s
R2'
, yang digunakan
s
untuk
1 s
memberikan daya mekanis rotor Pm = ( I 2' ) 2 R2'
, yang terdiri dari :
s
daya untuk mengatasi rugi rotasi (gesekan dan angin) : Protasi
daya keluaran di poros rotor : Po.
Po = Pm Protasi
Pm = Pg Pcr
Rangkaian Ekivalen Pendekatan. Dalam melakukan analisis motor asinkron kita sering
menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan yang lebih sederhana seperti pada Gb.7. Dalam
rangkaian ini rugi-rugi tembaga stator dan rotor disatukan menjadi ( I 2' ) 2 Re . Bagaimana Re
dan Xe ditentukan akan kita bahas berikut ini.
jX e = jX1 + jX 2'
I1
If
V1 R
c
Re = R1 + R2'
jXc
R2'
1 s
s
Perhatikan bahwa kita mengambil tegangan fasa-netral dalam rangkaian ekivalen ini.
jX e = jX1 + jX 2'
I0
Re = R1 + R2'
Vfn
Ze =
Vd
(17)
Id 3
X e == Z e2 Re2 = X 1 + X 2'
Jika kita menggunakan rangkaian ekivalen pendekatan, pemisahan antara X1 dan X2 tidak
diperlukan dan kita langsung memanfaatkan Xe.
COTOH-2 : Daya keluaran pada poros rotor motor asinkron tiga fasa 50 Hz adalah 75 kW.
Rugi-rugi rotasi adalah 900 W; rugi-rugi inti stator adalah 4200 W; rugi-rugi tembaga
stator adalah 2700 W. Arus rotor dilihat dari sisi stator adalah 100 A.. Hitunglah
efisiensi motor jika diketahui slip s = 3,75%.
Penyelesaian:
Dari rangkaian ekivalen, daya mekanik ekivalen adalah
1 s
Pm = ( I 2' ) 2 R2'
.
s
Pm dalam formulasi ini meliputi daya keluaran pada poros rotor dan rugi rotasi. Daya
keluaran 75 kW yang diketahui, adalah daya keluaran pada poros rotor sedangkan rugi
rotasi diketahui 900 W sehingga
Pm = 75000 + 900 = 75900 W
dan rugi-rugi tembaga rotor adalah
Pm s 75900 0,0375
=
= 2957 W
1 s
1 0,0375
Pkeluaran
75000
100% =
100%
Pkeluaran + rugi rugi
75000 + 4200 + 2700 + 900 + 2957
= 87,45%
COTOH-3 : Uji rotor diam pada sebuah motor asinkron tiga fasa rotor belitan, 200 HP,
380 V, hubungan Y, memberikan data berikut: daya masuk Pd = 10 kW, arus saluran Id =
250 A, Vd = 65 Vdan pengukuran resistansi belitan rotor memberikan hasil R1 = 0,02
per fasa. Tentukan resistansi rotor dilihat di stator.
Penyelesaian :
Menurut (17) kita dapat menghitung
Pd
Re =
3I d2
10000
3 (250) 2
Re =
Pd
3( I d )
950
3 (30) 2
jX e = j 3,14
If
Re = 0,35
jXc
0,2
1 s
s
= 0,35 ;
Vd
3 Id
57
3 30
2
2
2
2
= 1,1 ; X e = Z e Re = (1,1) (0,35) = 3,14
b). Pada uji beban nol, arus rotor cukup kecil untuk diabaikan; jadi arus yang mengalir
pada uji beban nol dapat dianggap arus eksitasi If .
Daya pada uji beban nol P0 = 670 = V0 I f cos 3
cos =
670
220 3 9,2
= 0,19 lagging.
10
COTOH-5 : Motor pada Contoh-3. dikopel dengan suatu beban mekanik, dan pengukuran
pada belitan stator memberikan data : daya masuk 9150 W, arus 28 A, faktor daya 0,82.
Tentukanlah : (a) arus rotor dilihat dari sisi stator; (b) daya mekanis rotor; (c) slip yang
terjadi; (d) efisiensi motor pada pembebanan tersebut jika diketahui rugi rotasi 500 W.
Penyelesaian :
a). Menggunakan tegangan masukan sebagai referensi, dari data pengukuran dapat kita
ketahui fasor arus stator, yaitu: I1 = 28 35 o . Arus rotor dilihat dari sisi stator
adalah :
I '2 = I 1 I f = 28 35 o 9,2 79 o
= 28(0,82 j 0,57 ) 9,2(0,19 j 0,98) = 21,2 j 6,94 = 22,3 18 o A
b). Daya mekanik rotor adalah :
s=
3 ( I 2' ) 2 R2'
.
s
3( I 2' ) 2 R2'
3 22,3 2 0,2
=
= 0,0365 atau 3,65 %
Pg
9150 632 3 28 2 0,15
I 2' =
(R
V1
) + (X
2
R2'
(19)
2
X 2'
Ta =
Pg
s
( )
1
3 I 2'
s
R2'
1
=
s
s
(R
'
1 + R2
3V12 R2'
) + (X
2
'
1 + X2
(20)
11
Pada saat s = 1 impedansi sangat rendah sehingga arus menjadi besar. Oleh karena itu pada
waktu pengasutan tegangan direduksi dengan menggunakan cara-cara tertentu untuk
membatasinya arus. Sudah barang tentu penurunan tegangan ini akan memperkecil torka
asut. Persamaan (20) menunjukkan bahwa jika tegangan dturunkan setengahnya, torka asut
akan turun menjadi seperempatnya.
Torka maksimum. Torka ini penting diketahui, bahkan menjadi pertimbangan awal pada
waktu perancangan mesin dilakukan. Torka ini biasanya bernilai 2 sampai 3 kali torka
nominal dan merupakan kemampuan cadangan mesin. Kemampuan ini memungkinkan
motor melayani beban-beban puncak yang berlangsung beberapa saat saja. Perlu diingat
bahwa torka puncak ini tidak dapat diberikan secara kontinyu
sebab akan menyebabkan pemanasan yang akan merusak isolasi.
Karena torka sebanding dengan daya
celah udara Pg , maka torka maksimum
terjadi jika alih daya ke rotor mencapai
nilai maksimum. Dari rangkaian
ekivalen pendekatan Gb.9., teorema
alih daya maksimum mensyaratkan
If
R1
V1 R
c
R2'
akan
s
j ( X1 + X 2' )
I1
R2'
s
jXc
maksimum jika
R2'
= R12 + X 1 + X 2'
sm
atau s m =
R12
R2'
+ X1 +
(21)
2
X 2'
Persamaan (21) memperlihatkan bahwa sm dapat diperbesar dengan memperbesar R2' . Suatu
motor dapat dirancang agar torka asut mendekati torka maksimum dengan menyesuaikan
nilai resistansi rotor.
Arus rotor pada waktu terjadi alih daya maksimum adalah
V1
I '2 =
V1
'
R1 + R2 + X1 + X 2'
sm
V1
R1 + R12 + X1 + X 2'
) + 2(X
2
1+
X 2'
) + (X
2
1+
X 2'
(22)
( )
2 R 2'
1
1
3 I 2'
=
sm s
s
3 V12
(23)
2
2
'
2 R1 + R1 + X 1 + X 2
Persamaan (23) ini memperlihatkan bahwa torka maksimum tidak tergantung dari besarnya
resistansi rotor. Akan tetapi menurut (21) slip maksimum sm berbanding lurus dengan
resistansi rotor. Jadi mengubah resistansi rotor akan mengubah nilai slip yang akan
memberikan torka maksimum akan tetapi tidak mengubah besarnya torka maksimum itu
sendiri.
12
300
200
100
0
sm1
1
0
sm
slip
perputaran
0
ns
Aplikasi. Motor dibagi dalam beberapa katagori menurut karakteristik spesifiknya sesuai
dengan kemampuan dalam penggunaannya. Berikut ini data motor yang secara umum
digunakan, untuk keperluan memutar beban dengan kecepatan konstan dimana tidak
diperlukan torka asut yang terlalu tinggi. Beban-beban yang dapat dilayani misalnya kipas
angin, blower, alat-alat pertukangan kayu, pompa sentrifugal. Dalam keadaan tertentu
diperlukan pengasutan dengan tegangan yang direduksi dan jenis motor ini tidak boleh
dibebani lebih secara berkepanjangan karena akan terjadi pemanasan.
Pengendalian. Dalam pemakaian, kita harus memperhatikan pengendaliannya. Pengendalian
berfungsi untuk melakukan asut dan menghentikan motor secara benar, membalik
perputaran tanpa merusakkan motor, tidak mengganggu beban lain yang tersmbung pada
sistem pencatu yang sama. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam pengendalian
adalah : (a) pembatasan torka asut (agar beban tidak rusak); (b) pembatasan arus asut; (c)
proteksi terhadap pembebanan lebih; (d) proteksi terhadap penurunan tegangan; (e) proteksi
terhadap terputusnya salah satu fasa (yang dikenal dengan single phasing). Kita cukupkan
sampai di sini pembahasan kita mengenai motor asinkron. Pengetahuan lebih lanjut akan kita
peroleh pada pelajaran khusus mengenai mesin-mesin listrik.
Tabel-1. Motor Dalam Aplikasi
HP
0,5
sampai
200
jumlah
kutub
torka
asut %
torka
maks
2
4
6
8
10
12
14
16
150
150
135
125
120
115
110
105
sampai
250 %
tidak
kurang
dari
200 %
arus asut
slip
faktor
daya
efisiensi
500 %
sampai
1000 %
3%
sampai
5%
0,87
sampai
0,89
87 %
sampai
89 %
13