ton/tahun2.000.000
465 ton/jam
4300 jam/tahun
Pengolahan Batubara
c.
Proses peremukan awal bertujuan untukmereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi
ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi (reduction ratio) pada tahap primer ini
adalah 2. Alat yang digunakan adalah roll crusher yang berkapasitas 500 ton/jam. Untuk menaksir
power atau energi (hp) crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation seperti
terlihat berikut ini.
hp/ton
Wi x C x ( F x P )
F x P
(1)
(2)
Wi
= Indeks kerja (work index) yang diperoleh dari hasil uji kemampu-gerusan
(grindability) di lab, untuk batubara sekitar 11,37
C
= konstanta dari pabrik pembuat unit crusher, biasanya di atas 10 tergantung
jenisprimer)
bahan metal pembentuk crusher tersebut. Untuk batubara diambil 10
faktor = 0,75 (crusher
F
= diameter umpan yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
P
= diameter produkta yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
Faktor = konstanta jenis crusher, untuk primer = 0,75 dan sekunder = 1
Hasil perhitungan untuk menaksir kebutuhan energi crusher primer di PT Indocoal Pratama Jaya
dengan menggunakan persamaan (1) dan (2) hasilnya sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -300 mm (300.000 ) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%
hp/ton
Toleransi
total hp 10%
500 jam
= 32,25
x 0,086
+ 3ton
0,75 hp/jam
32,25 hp/jam
ton
hp= x35,25
1,40
1,00
60
lb/cuft
Tidak dipakai
Pengolahan Batubara
K=PxExDxFxWxTxB
di mana:
(3)
K = kapasitas, ton/jam/sqft
P = produksi, ton/jam/sqft
E, D, F, W, T dan B adalah faktor seperti terlihat pada Tabel 2
Tabel 1. Faktor dan konstanta pengukuran luas screen
FAKTOR KONDISI
KONSTANTA KETERANGAN
Efisiensi (E)
90%
Posisi deck (D
Atas
Kehalusan (F)
60%
--
Square
Kering
1,23
--
Pengolahan Batubara
ROM
(Raw coal)
Stockpile
500 tph
Feed = 625 tph
Recirculating load-1
125 tph
Grizzly
GRIZZLY
Opening : 300 mm
Oversize
+300 mm
Hammer
breaking
1
Peremukan tahap-1
Reduction ratio = 2
Primary crushing
Pengayakan tahap-1
Opening : 150 mm
Vibrating
screen-1
Recirculating load-2
125 tph
Oversize
+150 mm
2
Peremukan tahap-2
Reduction ratio = 3
Secondary crushing
Pengayakan tahap-2
Opening : 50 mm
Vibrating
screen-2
Recirculating load-2
125 tph
Oversize
+50 mm
Finish
product
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan batubara
Pengolahan Batubara
10
180
140
160
h
140
t
p
de
120
nci/sec
bed
jam
100
100
ft
8
/im @ 1 0
6
/ja
0
ston
4
0
2
0
0
/
n
o
t
as,
80
it
apas
50
30
1
0
0,1
0,01
0,1
1
0
Ukuran butir,inci
Berikut adalah tahapan perhitungan dimensi vibrating screen-1 untuk mengayak batubara 150 mm.
(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
(2)
500
= 71,43 sqft
7
55
625)=5
+ (0,10 x 500) = 175 ton/jam
Oversize = (0,20 x175
37
Pengolahan Batubara
Bila dibandingkan bed depth (5) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 6,
maka akan terbentuk hanya satu layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh
efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut
screen.
Dari perhitungan luas screen di atas, yaitu 71,43 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi
unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang
berukuran 5 x 16 ft, yaitu TY516RS dapat digunakan. Luas screen TY516RS adalah 80 sqft berarti
lebih besar dari perhitungan dan power yang diperlukan antara 15 HP
(11 kW). Pemilihan
screen tersebut didasari oleh tidak adanya dimensi screen yang sesuai persis dengan hitungan
dan screen dengan seri tersbeut yang paling mendekati. Di samping itu screen jenis ini
dimanfaatkan untuk pemisahan partikel kasar maupun halus serta material yang bersifat lembab
dan lengket, jadi cocok untuk pengayakan batubara. Keuntungan lainnya adalah kapasitas
pengayakan dapat ditambah.
e.
Proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi
ukuran rata-rata 50 mm, dengan demikian nisbah reduksi pada tahap sekunder ini adalah 3. Alat
yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam. Dilihat
dari besarnya nisbah reduksi, yang lebih besar dibanding peremuk primer, maka dapat
diperkirakan bahwa energi yang diperlukan akan lebih besar pula. Taksiran energi tersebut
dihitung sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -50 mm (50.000 ) sebanyak 80%
faktor = 1,00 (crusher sekunder)
hp/ton
total hp
500
ton
jam
0,22
hp
89 kWh
e. Pengayakan tahap-2
Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk memisahkan fraksi
berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil peremukan dari crusher sekunder berukuran 150 mm. Agar memperoleh kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan
pada tahap-2 ini sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.
(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
Posisi deck paling atas dengan opening 50 mm 2 inci; D = 1,00
Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -1 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -2 inci; E =
1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 2 x 2; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara
berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60
= 1,00
60
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -2 = 80%, jadi kemungkinan
produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.
Pengolahan Batubara
55
= 37 ton/jam per inci bed depth
60
175
=5
37
Bila dibandingkan bed depth (5) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 2,
maka akan terbentuk hanya dua layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh
efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut
screen.
Dari perhitungan luas screen di atas, yaitu 98.04 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi
unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang
berukuran 6 x 20 ft, yaitu TY620RS dapat digunakan. Luas screen TY620RS adalah 120 sqft
berarti lebih besar dari perhitungan yang mempunyai keuntungan bahwa kapasitas pengayakan
dapat ditambah. Atau dengan pesanan khusus agar dimensi screen sesuai dengan hasil
perhitungan. Power yang diperlukan oleh seri screen di atas antara 20-40HP (15-30 kW).
3.
Hasil pengolahan terhadap batubara dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu batubara
high grade dan low grade. Untuk mendapatkan kualitas batubara yang sesuai dengan permintaan
pasar dilakukan blending batubara high dan low grade dengan perbandingan tertentu. Faktor
penting yang harus diperhatikan dalam proses blending adalah:
a. Kuantitas batubara yang ada di stockpile
b. Parameter apa yang menjadi tolok ukur blending, biasanya kalori
c. Variasi parameter batubara yang akan di blending
d. Peralatan blending yang memadai
e. Kapasitas stockpile harus mencukupi
Apabila permintaan pasar sesuai dengan kualitas batubara yang ada di stockpile, maka tidak perlu
dilakukan blending.
Persamaan umum yang digunakan untuk blending sebagai berikut:
Qb
di mana:
(N1 ... Nn )
(4)
Qb = Kualitas blending
Qn = Kualitas variasi tumpukan batubara-1, 2, 3, , n
Nn = Berat batubara yang diambil dari tumpukan batubara-1, 2, 3,,n
Terdapat dua cara melakukan blending, yaitu menggunakan system stacking conveyor (stacker)
dan melalui bin yang dilengkapi conveyor feeder seperti sketsa pada Gambar 3 dan Gambar 4.
7
Pengolahan Batubara
Timbunan batubara
yang sudah di blending
COAL
BIN 1
COAL
BIN 2
COAL
BIN 3
Feeders
variable speed
Belt Conveyor
pengangkut
batubara hasil
blending
Belt
weighter
Ratio
Unit
Controller
Pengolahan Batubara
a. Chevron layering
b. Windrow layering
c. Chevron-windrow layering
Blending menggunakan sistem control melalui bin dan feeders dengan kecepatan bervariasi
biasanya menghasilkan blending yang lebih baik dibanding menggunakan stacker conveyor. Hal ini
disebabkan adanya pengontrolan sebagai berikut:
Kecepatan feeder dari setiap bin dapat divariasikan, sehingga tonase yang diproduksi setiap
feeder bervariasi juga sesuai dengan yang telah ditetapkan;
Umpan yang masuk bin dan yang keluar dari setiap feeder dapat dikontrol menggunakan alat
Ratio Unit;
Pemantauan tonage produksi blending dilakukan oleh alat kontrol belt weighter;
Distribusi hasil blending pada tumpukan akhir relatif lebih merata.
4.
Kolam pengendap perlu direncanakan dibangun di lokasi pengolahan batubara. Air hujan yang
melewati tumpukan batubara di areal stockpile berpeluang mencemar-kan lingkungan, baik secara
fisik maupun kimia. Secara fisik terjadi ketika aliran air hujan yang melewati tumpukan batubara
akan membawa partikel batubara halus keluar dari tumpukan yang membuat aliran air tersebut
menjadi berwarna hitam. Apabila aliran air yang keluar dari tumpukan batubara masuk ke sungai,
maka dapat menimbulkan pencemaran secara fisik terhadap sungai. Secara kimia terjadi ketika air
hujan bereaksi dengan unsur-unsur kimia yang terkandung dalam mineral yang berasosiasi
dengan batubara, misalnya pyrite dan marcasite. Reaksi kimia ini berupa reaksi oksidasi yang
dapat menjadikan air hujan bersifat asam seperti ditunjukkan oleh persamaan reaksi berikut ini.
2 FeS2+ 7O +2 2 H O2
2 FeSO 4+ 2 H SO
2
Dengan adanya kolam pengendap, maka partikel halus di dalam air limbah atau buangan yang
keluar dari lokasi pengolahan batubara akan diendapkan dan sekaligus dinetralkan kembali
menggunakan gamping (lime). Air limbah yang sudah diolah (treatment) dapat dialirkan ke sungai.
Diharapkan
kolam
pengendap
ini menjadi
solusi
untukpengendap
mengurangi
dampak
negatif
9
akibat aliran
rendah
menjadi
yang
pendek.
air
biasanya
kotor
dari
dekat
tumpukan
dengan
batubara.
sungai,
sehingga
Kolam
jarak pengaliran
dibuat
air
pada
bersih
topografi
kelingkungan
sungai
paling
Pengolahan Batubara
Dimensi kolam disesuaikan dengan debit aliran air kotor yang keluar, namun ukuran panjang x
lebar x dalam sekitar 25 m x 25 m x 2,5 m dapat dibuat sebagai standard. Apabila kurang, maka
dapat dibuat beberapa kolam dengan ukuran yang sama.
5.
Pada prinsipnya unit pengolahan harus selalu dekat dengan sungai karena kaitannya dengan
pekerjaan pembersihan unit-unit
pengolahan, aktifitas penyaliran dan sarana transportasi
pengiriman produk akhir ke konsumen. Untuk mendapatkan luas lahan minimum bagi lokasi
pengolahan dan sekitarnya perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
Jumlah dan luas stockpile untuk timbunan raw batubara agar memenuhi target;
Jumlah dan luas produk akhir (finished product) batubara yang siap diangkut ke konsumen;
Luas pabrik pengolahan atau processing area;
Luas perkantoran dan sekitarnya;
Sarana penunjang lain, misalnya jalan angkut, panjang konveyor, area maneuver alat muat
(loader) dan water treatment.
Bentuk bangun timbunan batubara adalah limas terpancung (lihat Gambar 6) yang volumenya
adalah 1 3 t x (B A B x A , di mana B, A dan t masing-masing adalah luas bidang bawah,
luas bidang atas dan tinggi;
LA
t=4m
35
LB= 200
200 m
188,6
t=4m
200 m
5,
35
7
200 m
Diambil panjang dan lebar alas timbunan 200 m, Tinggi 4 m dan sudut kemiring-an lereng
timbunan 35.
LB= panjang atau lebar sisi alas = 200 m, L dicari
sebagai berikut:
A
= 188,6 m;
tan 35
V
LA= 200
2x
Pengolahan Batubara
Dibandingkan dengan target 200.000 ton/2 bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan
batubara seperti pada Gambar 6 di atas dapat diterima.
10
2x
100
=
tan 35
71,4 m
71,4
10
14,
35
71,
14,
100
100