Anda di halaman 1dari 11

Pengolahan Batubara

RENCANA PENGOLAHAN BATUBARA


1. Tujuan proses pengolahan
Dikaitannya dengan rencana pemasaran dan operasi penambangan batubara, maka pengadaan
proses pengolahan batubara (Coal Processing Plant/CCP) bertujuan untuk mengolah batubara
menjadi produk batubara (product area) yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan
mempertimbangkan beberapa hal, misalnya kualitas atau mutu cadangan batubara, metode
penambangan yang terpilih, serta kualitas permintaan pasar, maka proses pengolahan batubara
yang direncanakan di PT. IPJ, meliputi ruang lingkup proses sebagai berikut:
Melakukan reduksi ukuran (size reduction) melalui penggerusan (crushing)
Melakukan pemisahan (clasification) melalui pengayakan (screening)
Melakukan pencampuran (blending) batubara
Melakukan penimbunan/penumpukan batubara (sitockpilling)
Melakukan penanganan limbah air (water pollution treatment).

2. Desain pengolahan batubara


Dalam upaya mengolah batubara menjadi produk akhir yang diminati konsumen perlu rancangan
pengolahan yang komprehensif agar pelayanannya
memuaskan. Rancang bangun unit
pengolahan didasarkan pada faktor-faktor antara lain: target atau permintaan pasar rata-rata,
kualitas batubara dari tambang (raw coal), spesifikasi produk akhir yang diminta, ketersediaan
lahan untuk area pengolahan termasuk tempat penimbunan (stockpile) dan ketersediaan air di
sekitar area pengolahan. Semua faktor tersebut di atas akan menentukan jenis, dimensi dan
kapasitas peralatan atau mesin pengolahan yang dibutuhkan serta flowsheet pengolahan yang
sesuai dengan memperhatikan unsur keselamatan kerja.

2.1 Kapasitas produksi


Kapasitas produksi pengolahan batubara harus mampu mencapai atau memenuhi target produksi
optimum yang direncanakan PT. Indocoal Pratama Jaya, yaitu 2.000.000 ton per tahun dengan
kapasitas stockpile sebesar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan target tahunan tersebut dapat
dihitung kapasitas unit pengolahan yang beroperasi 2 shift/hari (8 jam/shift), 28 hari/bulan dan
efisiensi kerja 80% sebagai berikut:

T = 0,80 x 16 jam/hari x 28 hari/bulan x 12 bulan/tahun = 4300 jam/tahun


K

ton/tahun2.000.000
465 ton/jam
4300 jam/tahun

Loses factor = 8% = 0,08 x 465 = 37 ton/jam


Kterpasang = 465 + 37 = 502 ton/jam
Di mana T dan K masing-masing adalah waktu produksi dan kapasitas produksi. Dengan loses
factor sebesar 8% akan diperoleh kapasitas terpasang sekitar 500 ton/jam.

2.2 Kualitas produksi


Kualitas
produksi
hasil proses
pengolahan
harusTabel
dapat
memenuhi
persyaratan
yang
diinginkan
harus
dihasilkan
pasar.proses
Berdasarkan
pengolahan
surveyseperti
pasarbatubara
terlihat
dapat disimpulkan
pada
berikut:
bahwa
kualitas
batubara yang

Pengolahan Batubara

2.3 Prosedur pengolahan batubara


Prosedur pengolahan
memperlihatkan tahapan proses pengolahan batubara mulai dari
penimbunan raw coal di lokasi pabrik pengolahan sampai produk akhir. Gambar 1 adalah diagram
alir (flowsheet) proses pengolahan yang merupakan gambaran dari prosedur pengolahan batubara
di PT. Indocoal Pratama Jaya.

a. Persiapan pengumpanan (feeding)


Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang atau ROM atau raw
coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan. Ukuran maksimum umpan awal ini
direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap umpan yang lebih besar dari 300 mm akan dilakukan
pengecilan secara manual menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari tambang
maupun hasil pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel loader
untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produkta akhir yang siap
jual.

b. Pengayakan dengan Grizzly


Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -300 mm dan posisinya
terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening) grizzly berukuran 300 mm x 300 mm.
Undersize grizzly -300 mm diangkut belt conveyor untuk umpan crusher primer. Sedangkan fraksi
+300 mm dikembalikan ke tumpukan untuk direduksi ulang menggunakan hammer breaker. Hasil
reduksi ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau pengayakan ulang. Proses ini
berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.

c.

Peremukan tahap awal (primary crusher)

Proses peremukan awal bertujuan untukmereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi
ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi (reduction ratio) pada tahap primer ini
adalah 2. Alat yang digunakan adalah roll crusher yang berkapasitas 500 ton/jam. Untuk menaksir
power atau energi (hp) crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation seperti
terlihat berikut ini.

hp/ton

Wi x C x ( F x P )
F x P

Total hp = Kapasitas crusher x hp/ton x faktor


di mana:

(1)
(2)

Wi

= Indeks kerja (work index) yang diperoleh dari hasil uji kemampu-gerusan
(grindability) di lab, untuk batubara sekitar 11,37
C
= konstanta dari pabrik pembuat unit crusher, biasanya di atas 10 tergantung
jenisprimer)
bahan metal pembentuk crusher tersebut. Untuk batubara diambil 10
faktor = 0,75 (crusher
F
= diameter umpan yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
P
= diameter produkta yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),
Faktor = konstanta jenis crusher, untuk primer = 0,75 dan sekunder = 1

Hasil perhitungan untuk menaksir kebutuhan energi crusher primer di PT Indocoal Pratama Jaya
dengan menggunakan persamaan (1) dan (2) hasilnya sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -300 mm (300.000 ) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%

hp/ton

11,37 x 10 x ( 300.000 x 150.000 )


280,086
kWh
300.000
x
150.000

Toleransi
total hp 10%
500 jam
= 32,25
x 0,086
+ 3ton
0,75 hp/jam
32,25 hp/jam
ton
hp= x35,25

1,40
1,00
60
lb/cuft

Tidak dipakai

Pengolahan Batubara

d. Pengayakan (screening) tahap-1


Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk mengelompok-kan ukuran
fraksi batubara, sehingga disebut juga dengan proses classification. Alat yang dipakai untuk
pengayakan biasanya ayakan getar (vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses
pengayakan tahap awal menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150
mm dan -150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150 mm diresirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta dari proses pengayakan
harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak 500 ton/jam. Untuk itu perlu dilakukan
penaksiran dimensi (panjang dan lebar) dari ayakan (screen) yang harus dipasang.
Terdapat beberapa metoda untuk menentukan dimensi screen dan cara yang dipakai dalam
rancangan unit screen dalam studi ini adalah cara grafis dengan beberapa rangkuman konstanta
(faktor) yang diperlukan seperti terlihat pada Tabel 2. Konstanta tersebut merupakan faktor yang
telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang umumnya digunakan untuk pengayakan
batubara. Gambar 2.a adalah kurva untuk menghitung produkta hasil pengayakan (ton/jam/ft) dan
Gambar 2.b hubungan antara lebar ayakan dengan laju produkta per inci bed depth (ketebalan
lapisan aggregate batubara di atas ayakan) dengan kecepatan 1 ft/sec. Kapasitas screen
dirumuskan sebagai berikut:

K=PxExDxFxWxTxB
di mana:

(3)

K = kapasitas, ton/jam/sqft
P = produksi, ton/jam/sqft
E, D, F, W, T dan B adalah faktor seperti terlihat pada Tabel 2
Tabel 1. Faktor dan konstanta pengukuran luas screen

FAKTOR KONDISI

KONSTANTA KETERANGAN

Efisiensi (E)

90%

Posisi deck (D

Atas

Kehalusan (F)

60%

Pengayakan basah (W)

--

Bentuk bukaan (T)

Square

Densitas aggregat (B)

Kering

1,23

--

Pengolahan Batubara

ROM
(Raw coal)
Stockpile
500 tph
Feed = 625 tph

Recirculating load-1
125 tph

Grizzly

GRIZZLY
Opening : 300 mm

Oversize
+300 mm

Hammer
breaking

Undersize -300mm = 500 tph


Feed = 625 tph

1
Peremukan tahap-1
Reduction ratio = 2

Primary crushing

Pengayakan tahap-1
Opening : 150 mm

Vibrating
screen-1

Recirculating load-2
125 tph

Oversize
+150 mm

Undersize -150mm = 500 tph


Feed = 625 tph

2
Peremukan tahap-2
Reduction ratio = 3

Secondary crushing

Pengayakan tahap-2
Opening : 50 mm

Vibrating
screen-2

Recirculating load-2
125 tph

Oversize
+50 mm

Undersize -50mm = 500 tph

Finish
product
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan batubara

Pengolahan Batubara

Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

10

180
140

160

h
140
t
p
de
120
nci/sec
bed

jam
100

100
ft
8
/im @ 1 0
6
/ja
0
ston
4
0
2
0
0

/
n
o
t
as,

80

it
apas
50

30

1
0

0,1
0,01

0,1

1
0

Ukuran butir,inci

Lebar ayakan, feet

Hubungan Antara Produksi


(ton/jam/cuft) dengan ukuran produkta

Hubungan Antara Lebar Ayakan dengan


Bed depth pada Kecepatan Alir 1 ft/sec

Gambar 2. Pengestimasi laju produkta dan bed depth

Berikut adalah tahapan perhitungan dimensi vibrating screen-1 untuk mengayak batubara 150 mm.

(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)

Posisi deck paling atas dengan opening 150 mm 6 inci; D = 1,00


Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -3 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -6 inci; E =
1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 6 x 6; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara
berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60
= 1,00
60
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -6 = 80%, jadi kemungkinan
produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

(2)

Luas screen yang diperlukan


Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 4 ton/jam per sqft
Kapasitas (pers. 3) = 4 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 7 ton/jam per sqft
Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam
Luas screen yang diperlukan =

500
= 71,43 sqft
7

(3) Perhitungan bed depth


Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18
Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar
6. Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6)
Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate
batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aaggregat 60 lbs/cuft dan lebar
efektif screen 4 ft-6)
Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18 = 55 ft/men, maka laju aggregate per

55

inci bed depth = 40 x


= 37 ton/jam per inci bed depth
60
Jadi bed depth =

625)=5
+ (0,10 x 500) = 175 ton/jam
Oversize = (0,20 x175
37

Pengolahan Batubara
Bila dibandingkan bed depth (5) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 6,
maka akan terbentuk hanya satu layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh
efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut
screen.
Dari perhitungan luas screen di atas, yaitu 71,43 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi
unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang
berukuran 5 x 16 ft, yaitu TY516RS dapat digunakan. Luas screen TY516RS adalah 80 sqft berarti
lebih besar dari perhitungan dan power yang diperlukan antara 15 HP
(11 kW). Pemilihan
screen tersebut didasari oleh tidak adanya dimensi screen yang sesuai persis dengan hitungan
dan screen dengan seri tersbeut yang paling mendekati. Di samping itu screen jenis ini
dimanfaatkan untuk pemisahan partikel kasar maupun halus serta material yang bersifat lembab
dan lengket, jadi cocok untuk pengayakan batubara. Keuntungan lainnya adalah kapasitas
pengayakan dapat ditambah.

e.

Peremukan sekunder (secondary crushing)

Proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi
ukuran rata-rata 50 mm, dengan demikian nisbah reduksi pada tahap sekunder ini adalah 3. Alat
yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam. Dilihat
dari besarnya nisbah reduksi, yang lebih besar dibanding peremuk primer, maka dapat
diperkirakan bahwa energi yang diperlukan akan lebih besar pula. Taksiran energi tersebut
dihitung sebagai berikut:
F = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%
P = dijamin konsisten berukuran -50 mm (50.000 ) sebanyak 80%
faktor = 1,00 (crusher sekunder)

hp/ton

11,37 x 10 x ( 150.000 x 50.000 )


150.000 x 50.000

total hp

500

ton
jam

0,22

hp

x 0,22 ton x 1 110 hp/jam

Toleransi 10% = 110 +11 = 121 hp/jam

89 kWh

e. Pengayakan tahap-2
Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk memisahkan fraksi
berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil peremukan dari crusher sekunder berukuran 150 mm. Agar memperoleh kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan
pada tahap-2 ini sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.

(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)
Posisi deck paling atas dengan opening 50 mm 2 inci; D = 1,00
Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -1 inci; F = 1,40
Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -2 inci; E =
1,25
Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 2 x 2; T =1,00
Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara
berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60
= 1,00
60
Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor
Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -2 = 80%, jadi kemungkinan
produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

(2) Luas screen yang diperlukan


screen
yang
diperlukan
=
= 2,9
98,04
sqft per sqft
Luas
Dari kurva
pada
Gambar
2.a diperoleh
ton/jam
Laju
11 x 1,4 x 1x 1 = 5,10 ton/jam per sqft
Kapasitas
produksi
(pers.
= 0,8
3) x=625
2,9 =
x 1,25
500 500
ton/jam
x,5

Pengolahan Batubara

(3) Perhitungan bed depth


Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18
Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar
6. Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6)
Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate
batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aggregat 60 lbs/cuft dan lebar
efektif screen 4 ft-6)
Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18 = 55 ft/men, maka laju aggregate per
inci bed depth = 40 x

55
= 37 ton/jam per inci bed depth
60

Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam


Jadi bed depth =

175
=5
37

Bila dibandingkan bed depth (5) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 2,
maka akan terbentuk hanya dua layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh
efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut
screen.
Dari perhitungan luas screen di atas, yaitu 98.04 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi
unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang
berukuran 6 x 20 ft, yaitu TY620RS dapat digunakan. Luas screen TY620RS adalah 120 sqft
berarti lebih besar dari perhitungan yang mempunyai keuntungan bahwa kapasitas pengayakan
dapat ditambah. Atau dengan pesanan khusus agar dimensi screen sesuai dengan hasil
perhitungan. Power yang diperlukan oleh seri screen di atas antara 20-40HP (15-30 kW).

3.

Proses penyampuran batubara (blending)

Hasil pengolahan terhadap batubara dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu batubara
high grade dan low grade. Untuk mendapatkan kualitas batubara yang sesuai dengan permintaan
pasar dilakukan blending batubara high dan low grade dengan perbandingan tertentu. Faktor
penting yang harus diperhatikan dalam proses blending adalah:
a. Kuantitas batubara yang ada di stockpile
b. Parameter apa yang menjadi tolok ukur blending, biasanya kalori
c. Variasi parameter batubara yang akan di blending
d. Peralatan blending yang memadai
e. Kapasitas stockpile harus mencukupi
Apabila permintaan pasar sesuai dengan kualitas batubara yang ada di stockpile, maka tidak perlu
dilakukan blending.
Persamaan umum yang digunakan untuk blending sebagai berikut:

Qb
di mana:

(N1 x Q1 ) ... (Nn x Qn )

(N1 ... Nn )

(4)

Qb = Kualitas blending
Qn = Kualitas variasi tumpukan batubara-1, 2, 3, , n
Nn = Berat batubara yang diambil dari tumpukan batubara-1, 2, 3,,n

Terdapat dua cara melakukan blending, yaitu menggunakan system stacking conveyor (stacker)
dan melalui bin yang dilengkapi conveyor feeder seperti sketsa pada Gambar 3 dan Gambar 4.
7

Pengolahan Batubara

Gambar 3. Sketsa sistem stacking conveyor untuk melakukan blending

Timbunan batubara
yang sudah di blending

COAL
BIN 1

COAL
BIN 2

COAL
BIN 3

Feeders
variable speed

Belt Conveyor
pengangkut
batubara hasil
blending
Belt
weighter

Ratio
Unit

Controller

Gambar 4. Sketsa sistem control blending melalui bin dan feeders


Dengan menggunakan stacker conveyor harus dilakukan proses penimbunan yang menghasilkan
perlapisan teratur agar diperoleh ratio campuran yang relatif memadai. Oleh sebab itu terdapat 3
model blending, yaitu chevron, windrow dan chevron-windrow, yang menghasilkan berbagai
perlapisan seperti terlihat pada Gambar 5.

Pengolahan Batubara

a. Chevron layering

b. Windrow layering

c. Chevron-windrow layering

Gambar 5. Timbunan blending batubara menggunakan stacker conveyor

Blending menggunakan sistem control melalui bin dan feeders dengan kecepatan bervariasi
biasanya menghasilkan blending yang lebih baik dibanding menggunakan stacker conveyor. Hal ini
disebabkan adanya pengontrolan sebagai berikut:
Kecepatan feeder dari setiap bin dapat divariasikan, sehingga tonase yang diproduksi setiap
feeder bervariasi juga sesuai dengan yang telah ditetapkan;
Umpan yang masuk bin dan yang keluar dari setiap feeder dapat dikontrol menggunakan alat
Ratio Unit;
Pemantauan tonage produksi blending dilakukan oleh alat kontrol belt weighter;
Distribusi hasil blending pada tumpukan akhir relatif lebih merata.

4.

Kolam pengendap (settling pond)

Kolam pengendap perlu direncanakan dibangun di lokasi pengolahan batubara. Air hujan yang
melewati tumpukan batubara di areal stockpile berpeluang mencemar-kan lingkungan, baik secara
fisik maupun kimia. Secara fisik terjadi ketika aliran air hujan yang melewati tumpukan batubara
akan membawa partikel batubara halus keluar dari tumpukan yang membuat aliran air tersebut
menjadi berwarna hitam. Apabila aliran air yang keluar dari tumpukan batubara masuk ke sungai,
maka dapat menimbulkan pencemaran secara fisik terhadap sungai. Secara kimia terjadi ketika air
hujan bereaksi dengan unsur-unsur kimia yang terkandung dalam mineral yang berasosiasi
dengan batubara, misalnya pyrite dan marcasite. Reaksi kimia ini berupa reaksi oksidasi yang
dapat menjadikan air hujan bersifat asam seperti ditunjukkan oleh persamaan reaksi berikut ini.

2 FeS2+ 7O +2 2 H O2

2 FeSO 4+ 2 H SO
2

Dengan adanya kolam pengendap, maka partikel halus di dalam air limbah atau buangan yang
keluar dari lokasi pengolahan batubara akan diendapkan dan sekaligus dinetralkan kembali
menggunakan gamping (lime). Air limbah yang sudah diolah (treatment) dapat dialirkan ke sungai.
Diharapkan
kolam
pengendap
ini menjadi
solusi
untukpengendap
mengurangi
dampak
negatif
9
akibat aliran
rendah
menjadi
yang
pendek.
air
biasanya
kotor
dari
dekat
tumpukan
dengan
batubara.
sungai,
sehingga
Kolam
jarak pengaliran
dibuat
air
pada
bersih
topografi
kelingkungan
sungai
paling

Pengolahan Batubara
Dimensi kolam disesuaikan dengan debit aliran air kotor yang keluar, namun ukuran panjang x
lebar x dalam sekitar 25 m x 25 m x 2,5 m dapat dibuat sebagai standard. Apabila kurang, maka
dapat dibuat beberapa kolam dengan ukuran yang sama.

5.

Tata letak di unit pengolahan dan sekitarnya

Pada prinsipnya unit pengolahan harus selalu dekat dengan sungai karena kaitannya dengan
pekerjaan pembersihan unit-unit
pengolahan, aktifitas penyaliran dan sarana transportasi
pengiriman produk akhir ke konsumen. Untuk mendapatkan luas lahan minimum bagi lokasi
pengolahan dan sekitarnya perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
Jumlah dan luas stockpile untuk timbunan raw batubara agar memenuhi target;
Jumlah dan luas produk akhir (finished product) batubara yang siap diangkut ke konsumen;
Luas pabrik pengolahan atau processing area;
Luas perkantoran dan sekitarnya;
Sarana penunjang lain, misalnya jalan angkut, panjang konveyor, area maneuver alat muat
(loader) dan water treatment.

a. Geometri dan luas raw coal stockpile


Untuk memenuhi target produksi yang direncanakan sebesar 2.000.000 ton/tahun diperlukan
cadangan raw coal stockpile yang mampu menampung sekitar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan
cadangan raw coal tersebut perlu diketahui bentuk bangun timbunan batubara, sehingga dapat
dipersiapkan luas lahannya dengan perhitungan sebagai berikut:

Bentuk bangun timbunan batubara adalah limas terpancung (lihat Gambar 6) yang volumenya
adalah 1 3 t x (B A B x A , di mana B, A dan t masing-masing adalah luas bidang bawah,
luas bidang atas dan tinggi;
LA
t=4m

35

LB= 200

200 m
188,6
t=4m

200 m

5,

35
7

200 m

Gambar 6. Bentuk bangun dan geometri raw coal stockpile

Diambil panjang dan lebar alas timbunan 200 m, Tinggi 4 m dan sudut kemiring-an lereng
timbunan 35.
LB= panjang atau lebar sisi alas = 200 m, L dicari
sebagai berikut:
A

= 188,6 m;
tan 35

V
LA= 200
2x

B = 200 x 200 = 40.000 m ; A = 188,6 x 188,6 = 35.570 m


1 x 4 x (40000 35570 40000 x 35570 = 151.053 m
3
10
Dengan estimasi densitas raw coal = 1,6 Ton/m, maka berat (W) timbunan raw coal = 241.685
ton/timbunan

Pengolahan Batubara
Dibandingkan dengan target 200.000 ton/2 bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan
batubara seperti pada Gambar 6 di atas dapat diterima.

b. Geometri dan luas product coal stockpile


Stockpile ini digunakan untuk menampung sementara batubara hasil pengolahan. Timbunan
batubara terbentuk dari curahan belt conveyor, sehingga bentuknya adalah kerucut (lihat Gambar
7). Kapasitas timbunan 100.000 ton/bulan, maka dimensi-nya dihitung sebagai berikut:
Diestimasi diameter lingkaran bawah = 100 m, sudut kemiringan timbunan batubara 35 dan
tinggi tumpukan maksimum 10 m, maka diameter lingkaran atas =

10
2x
100
=
tan 35

71,4 m

71,4
10

14,

35
71,

14,

100
100

Gambar 7. Bentuk bangun dan geometri product coal stockpile

Volume dihitung dengan rumus 1 3 h (R r Rr) , di mana h, R dan r masing-masing


adalah tinggi kerucut, jari-jari lingkaran bawah dan jari-jari lingkaran atas.
2
2
V = 1 3 10 50 35,7 (50 x 35,7) = 58.220 m
Dengan estimasi densitas produk batubara 1,8 Ton/m, maka berat (W) timbunan produk akhir
batubara = 104.800 ton/timbunan
2

Dibandingkan dengan target 100.000 ton/bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan


batubara seperti pada Gambar 7 di atas dapat diterima.

c. Dampak timbunan batubara terhadap subsidence


Pembebanan dari stockpile batubara dapat menyebabkan lapisan di bawahnya mengalami
pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan oleh adanya deformasi partikel tanah, keluarnya
air atau udara dari dalam pori-pori tanah dan getaran crusher serta alat-alat pengolahan lainnya.
Secara umum penurunan tanah tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) penurunan
konsolidasi dan (2) penurunan segera:
(1) Penurunan konsolidasi terjadi akibat berubahnya volume tanah jenuh air akibat keluarnya
air dari pori-pori tanah tersebut. Biasanya peristiwa ini memakan waktu lama.
(2) Penurunan segera terjadi setelah terjadi penambahan tegangan akibat beban timbunan
batubara di atasnya dan tidak berpengaruh terhadap kadar air tanah. Timbunan batubara
menimbulkan penyebaran tegangan pada lapisan tanah di bawahnya yang dapat dianalisis
dengan cara pendekatan.
Penuruan segera tidak diperhitungkan karena penuruannya kecil sekali dibanding penurunan
konsolidasi dan juga karena terbatasnya parameter yang dibutuhkan. Sementara penurunan
konsolidasi
atas
pengaruh
timbunan
dan ke
batubara
penurunan
diasumsikan
bawah.untuk
Karena
konsolidasi
terjadi
jangka
umur
dengan
waktu
ini
tambang
pun5merembesnya
kurang
tahun
batubara
begitu
0,5 diperkirakan
mair
signifikan.
sedangkan
ke dua arah
Estimasi
hanya
penurunan
(double
sekitar
penuruan
drainage),
yang
5 tahun,
diijinkan
tanah
maka
yaitu
akibat
m.
ke11

Anda mungkin juga menyukai