Anda di halaman 1dari 6

Ghazwul Fikri, Imperialisme Barat dan

Khilafah Islam
Posted by felixsiauw on Apr 14, 2014

Bagi kaum Muslim, konsep nasionalisme sebagai pemersatu antarmanusia sebenarnya konsep
yang baru karena baru diperkenalkan kurang dari 100 tahun yang lalu. Karena sebelumnya
kaum Muslim hanya mengenal konsep ukhuwah Islam, yaitu ikatan yang muncul dari aqidah
yang sama diantara kaum Muslim
Dengan ikatan ukhuwah yang lahir dari aqidah ini Islam menyatukan baik etnis, bahasa,
bangsa, kelompok. Kesemuanya semua diikat oleh Islam tanpa melihat lagi perbedaan pada
manusia, karena sudah sama aqidahnya. Dalam konsep ukhuwah Islamiyyah, tidak ada kaum
yang dianggap lebih mulia dari yang lain, apakah dia Arab atau Ajam (selain Arab), maka
semua sama dihadapan Allah, yang membedakan hanya ukuran takwanya.
Sebagaimana
hadits
Rasulullah,
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian satu, bapak kalian juga satu.
Sesungguhnya tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang Ajam, tidak pula orang Ajam
atas orang Arab, atau orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit
hitam
atas
orang
berkulit
putih;
kecuali
karena
ketakwaannya.
(HR Ahmad)
Berbeda dengan konsep nasionalisme yang muncul dari ikatan persamaan ancaman dan
persamaan tempat hidup. Munculnya ikatan nasionalisme ini didasarkan atas kekauman dan
kebangsaan, dan ikatannya biasanya disatukan oleh kesamaan etnis, bahasa atau bangsa.
Maka sentimen kesamaan nasib adalah yang paling menonjol, begitu pula dengan kesamaan
tempat tinggal, kesamaan asal, kesamaan bentuk fisik dan lain-lainnya. Karenanya banyak
konflik muncul karena nasionalisme ini padahal agamanya sama, bahkan etnis dan bangsanya
sama. Begitulah yang kita lihat pada Indonesia-Malaysia, Indonesia-Timor Timur dan
perpecahan yang terjadi pada negara-negara Arab saat ini yang notabene atas nama
nasionalisme dan kekauman
Dalam Islam, ikatan-ikatan selain aqidah Islam, yang dimuliakan lebih daripada aqidah Islam
adalah ashabiyah (fanatisme) jahiliyyah.

Rasulullah bersabda, Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada
ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak
juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR Abu Dawud)
Mengomentari hadits ini, Dr. Yusuf Qardhawi menulis dalam kitabnya Halal dan Haram
dalam Islam
Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan
tidak halal seorang muslim merasa fanatik (taasshub) karena warna kulitnya melebihi kulit
orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi
daerah orang lain. Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena
taasshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan
Dr. Yusuf Qardhawi menyimpulkan setelah pembahasan beberapa hadits yang senada dalam
kitabnya Halal dan Haram dalam Islam
Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada
fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada
golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak
diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh Al-Quran
Sangat jauh berbeda nasionalisme dengan ikatan ukhwah Islam yang lahir dari aqidah, yang
dulu pernah menyatukan ratusan juta kaum Muslim dalam 1 kekuatan kepemimpinan;
Khilafah. Selama 1300 tahun semenjak dimulai Rasulullah di Madinah, ukhuwah Islam telah
sukses menjadikan ummat satu tubuh, satu pemikiran dan satu perasaan yaitu Islam. Dengan
ukhuwah Islam mereka bersatu karena sama-sama menyembah pada Tuhan yang satu,
membaca kitab yang satu, meneladani Muhammad yang satu, shalat menghadap kiblat yang
satu, bersatu dalam satu kepemimpinan dengan pemimpin yang satu.
Lalu bagaimana kaum Muslim yang awalnya disatukan ukhuwah atas aqidah dalam satu
kepemimpinan Khilafah lalu terpecah jadi lebih 58 negara (nations) layaknya sekarang?
Semua dimulai pada 1683 saat Khilafah Utsmani menderita kekalahan di gerbang ViennaAustria, kekalahan itu menandai jihad yang terakhir yang dilancarkan oleh kaum Muslim
sekaligus sebagai simbol daripada akhir masa-masa kejayaan kaum Muslim di dunia, dan
selanjutnya memasuki babak baru yaitu keruntuhannya.
Puncak masa keemasan Islam dimulai sejak masa Sultan Muhammad Al-Fatih yang ditandai
dengan penaklukkan Konstantinopel pada 1453, sampai pada masa pemerintahan Khalifah
Sulaiman Al-Qanuni yang membawa kekuasaan Khilafah Utsmaniyyah sampai pada luasan
yang paling besar pada 1566. Adapun kaum Muslim yang memimpin setelahnya kurang
memperhatikan Islam, Al-Quran dan As-Sunnah dan lebih tergiur pada nikmatnya dunia
hingga melupakan tujuan hidup mereka yaitu mengabdi pada Allah, dan lebih suka harta dan
kemewahan yang berlimpah.
Kelemahan internal itu pun diikuti serangan eksternal. Di sebelah Barat Khilafah Utsmani,
bangsa Eropa yang mulai bangkit pemikirannya pasca Rennaisance meninggalkan abad gelap
dan melancarkan perang babak baru kepada kaum Muslim dengan serangan pemikiran
(ghazwul fikri) dan di sebelah Timur, Kerajaan Rusia menjajah wilayah Utara Khilafah yang

berdekatan dengan Laut Hitam dengan serangan fisik dan menaklukkan sebagian besar
wilayah-wilayah kaum Muslim.
Inti daripada perang pemikiran kaum Eropa yang dikepalai Inggris pada masanya bukanlah
ingin memurtadkan kaum Muslim, tapi bertujuan agar kaum Muslim tetap berada dalam
agamanya, namun dengan isi kepala yang berbeda, dengan pemikiran yangjauh dengan AlQuran dan Al-Hadits. Karenanya mereka menyebarkan pemikiran semisal nasionalisme dan
demokrasi, untuk menggantikan ukhuwah Islam dan aqidahnya.
Dengan itu Inggris berhasil menguasai Mesir pada 1888 dan India pada 1857. Sementara
lewat perang fisik, Rusia juga membantu Bulgaria, Rumania, Serbia dan Montenegro
memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah, juga dengan menyuntikkan pemikiran semisal
nasionalisme, hingga rakyat-rakyatnya menuntut pemisahan diri dari Khilafah.
Begitulah wilayah Khilafah Islam Utsmaniyyah menyusut secara drastis, karena secara
internal Islam ditinggalkan dan diserang secara eksternal
Keadaan semakin parah saat di internal Khilafah sendiri, gerakan-gerakan nasionalisliberalis-sekuler pun bermunculan. Dimulai dari sekolah-sekolah misionaris di Libanon dan
juga cendekiawan-cendekiawan muda yang mulai silau dengan kemajuan Barat, gerakan ini
berubah menjadi Revolusi Young Turk pada 1908
Gerakan Young Turk ini sesungguhnya tak lain adalah gerakan Freemasonry yang diinisiasi di loji-loji Freemason di Italia dan Yunani, mendapatkan dukungan penuh dari Inggris
dan Prancis, lalu menggulingkan Khalifah terakhir, Sultan Abdul Hamid II pada 1908.
Gerakan sekulerisasi Khilafah Utsmani pun dimulai segera, Young Turk bekerjasama
dengan majikannya Inggris untuk memulai rencana guna mengakhiri Khilafah. Utsmani
Pada 1914-1918 pecah Perang Dunia I. Inggris, Prancis dan Rusia menyatu sebagai Blok
Sekutu melawan Blok Sentral yang disusun oleh Jerman, Austria dan Hungaria. Awalnya
Khilafah Utsmani tak berniat ikut perang dan tetap netral, namun wilayahnya yang berada
ditengah-tengah konflik antarnegara itu tak memungkinkan Khilafah Utsmani untuk tetap
netral.
Setelah ditolak bergabung bersama Blok Sekutu, Khilafah Utsmani bergabung dengan Blok
Sentral, dari sini tampak upaya konspirasi untuk meniadakan Utsmani dengan cara menjebak
Khilafah agar turut serta dalam Perang Dunia I, padahal keadaan Khilafah Utsmani sedang
dalam kondisi yang sangat lemah secara internal maupun eksternal, dengan hutang yang
banyak, teknologi tertinggal dan banyak intrik politik.
Sebagai bagian dari pelaksanaan perang, Inggris yang sangat bernafsu menguasai dunia saat
itu memulai menyusup ke negeri-negeri Muslim untuk memisahkannya dari Utsmani.
Hasilnya, Syarif (Gubernur) Makkah Hussein bin Ali berkenan untuk mengadakan perjanjian
dengan Inggris untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah.
Selepas mendapatkan doktrin Barat tentang Nasionalisme dan dibakar semangat kekauman
Arab, seolah-olah betapa mulia kaum Arab bila dibandingkan kaum Turki yang menjadi
Khalifah. Hussein bin Ali menjanjikan akan memimpin pemberontakan terhadap Khilafah
Utsmani sementara Inggris memasok senjata-senjata dan menjanjikan kemerdekaan negara

Arab seusai Perang Dunia I. Inggris menjanjikan wilayah Arab-Iraq-Syam kepada Hussein
bin Ali. Perjanjian mereka terkenal dengan korenspondensi Hussein-McMahon
Pemberontakan Hussein bin Ali dimulai pada 1916 atas bantuan Inggris mulai dari antuan
senjata, informasi sampai informan Lawrence of Arabia yang ditugaskan mendampingi
Hussein bin Ali. Inggris juga membekali bendera Revolusi Arab yang menjadi simbol
ashabiyah (fanatisme) kepada pasukan-pasukan pemberontak ini. Pada gilirannya, bendera ini
pula yang akan digunakan oleh negara-negara Arab di Timur Tengah pasca runtuhnya
Khilafah Islam.
Khilafah Utsmani kewalahan menghadapi serangan luar dan dalam ini. Selama 1917-1918
Yerusalem dan Baghdad direbut Inggris, sementara Amman dan Damaskus direbut pasukan
Revolusi Arab dibawah pimpinan Hussein bin Ali. Perang Dunia I ini pun diakhiri pada 1918
dengan kekalahan Blok Sentral, dan Khilafah Utsmani-lah yang paling menderita kerugian
akibat perang ini, iapun dikuasai Inggris dan Perancis sebagai pemenang
Pengkhianat memang tak mendapat selain pengkhianatan. Seusai Perang Dunia I, Inggris pun
mengkhianati perjanjiannya dengan Hussein bin Ali dengan perjanjian baru yang dibuat
dengan sekutunya Prancis. Lewat perjanjian Sykes-Picot pada 1917, Inggris dan Perancis
punya rencana sendiri membagi tanah Khilafah kaum Muslim. Dalam perjanjian ini Inggris
mendapat Iraq, Kuwait dan Yordan, sementara Prancis mendapat Suriah, Libanon dan Turki
Selatan. Sedangkan wilayah Palestina dan Gaza ditangguhkan Inggris dan Prancis, untuk
diberikan pada Zionis Yahudi lewat Deklarasi Balfour yang disepakai Ratu Elizabeth di tahun
1917

Begitulah kemudian Inggris dan Perancis menaklukkan Khilafah Islam lalu membagi-baginya
menjadi negara kecil yang terpisah-pisah. Inggris lalu mengajarkan nasionalisme dan
memerdekakan Arab. Inggris memberikan wilyah Iraq dan Syria kepada Raja Faisal
keturunan dari Hussein bin Ali, dan wilayah Yordan diberikan pada Raja Abdullah atas
jasanya memihak pada Inggris
Lewat tangan agennya yang berketurunan yahudi, Mustafa Kemal, Inggris mengakhiri
Khilafah dengan menjadikan Mustafa Kemal pahlawan Turki, yang berujung pada
penghapusan Khilafah Islam pada 1923. Saat itu tidak ada lagi naungan dan pelindung bagi
kaum Muslim diseluruh dunia.
Selanjutnya, setalah memastikan pemerintahan di negeri-negeri Muslim agar berdasarkan
sekulerisme dan liberalisme, satu demi satu wilayah Islam dimerdekakan khususnya pasca
Perang Dunia II. Mesir pada 1922, Iraq pada 1932, Libanon pada 1943, Pakistan pada 1947,
Suriah pada 1946, India pada 1947 dan menyusul wilayah-wilayah Islam lainnya.
Wilayah yang dahulunya satu Khilafah Islam, terpecah belah menjadi 58 negara kecil, dan
masing-masing bangga pada dirinya sendiri. Selepas Khilafah dibubarkan, tiada pula
perlindungan bagi kaum Muslim, misalnya saat 1948 negara Israel didirikan oleh PBB dan

US, dan sampai sekarang melakukan pembantaian-pembantaian tak beradab terhadap saudara
kita di tanah Palestina. Sejak Khilafaj itu sirna, pembantaian nyawa, perusakan pemikiran dan
aqidah, semua masuk tanpa terbendung kecuali oleh kelompok kecil dan individu.
Begitulah Allah dan Rasul mewajibkan pada seluruh kaum Muslim seorang pemimpin yang
menerapkan Islam dan membela urusan mereka. Sabda Nabi saw berkaitan dengan ini,
Imam (Khalifah) layaknya perisai, di belakangnya umat berperang, dan kepadanya umat
berlindung (HR Muslim)
Imam yang dimaksud bukan pemimpin sekelompok Muslim, tapi pemimpin seluruh Muslim
yang menerapkan Islam, bukan yang lain. Yaitu Imam yang menyatukan seluruh Muslim atas
dasar aqidah bukan nasionalisme dan menerapkan Al-Quran dan As-Sunnah pada mereka
Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khaththab ra berkata, Tidak ada Islam tanpa
persatuan, tiada persatuan tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan
Karena bila pemimpin tidak menerapkan apa yang diperintah Allah, maka kita akan melihat
dia pasti akan mengabaikan urusan ummat dan agama Islam. Karena itulah pemimpin yang
amanah memang mutlak harus ada dalam Islam namun dia haruslah menerapkan sistem
kepemimpinan yang amanah. Karena hanya dengan sistem amanah yaitu Khilafah maka
ummat akan dipersatukan dan hanya dengan ukhuwah yang lahir dari akidah kita memiliki
kekuatan
Untuk diskusi dan info lebih lanjut, silakan dapatkan di buku Khilafah* tulisan @felixsiauw
atau
follow
akun
@bukukhilafah
buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke
pages Facebook alfatihbookstore
akhukum,
@felixsiauw

Anda mungkin juga menyukai