Anda di halaman 1dari 4

Artikel

Filariasis - aspek klinis, diagnosis,


pengobatan dan pemberantasannya
Liliana Kurniawan
Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK
Filariasis limfatik di Indonesia disebabkan oleh W. bancrofti, B. malayi dan B.
timori, menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening. Penularan terjadi melalui
vektor nyamuk Culex spp., Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp.
Dalam perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan adenolimfangitis kuta berulang dan berakhir dengan obstruksi menahun dari sistem limfatik, dengan masa
prepaten/ inkubasi, gejala klinik akut dan menahun.
Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis akuta disertai panas dan
malaise. Pada filariasis bancrofti sering terjadi funikulitis, epididimitis, orchitis, adenolimfangitis inguinal/aksila dengan limfangitis retrograd. Pada filariasis brugia, limfadenitis terutama terjadi pada kelenjar inguinal, dengan limfedema pada pergelangan kaki
dan kaki. Pada saat serangan penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari.
Penderita dapat ditemukan amikrofilaremik ataupun mikrofilaremik.
Gejala menahun terjadi 1015 tahun setelah serangan pertama, berupa cacat yang
mengganggu aktivitas, berupa hidrokel, chyluria, limfedema dan elefantiasis pada filariasisbancrofti dan elefantiasis tungkai sebawah lutut/siku. Mikrofilaremi jarang
ditemukan pada saat ini.
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik untuk menentukan angka kesakitan akut dan menahun (ADR dan CDR). Diagnosis parasitologik
ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam peredaran darah. Deteksi antigen
dengan cara immunodiagnosis dapat dipakai pada masa prepaten/inkubasi, amikrofilaremi dan gejala menahun.
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh, aman, murah dan
belum menunjukkan adanya resistensi obat. Reaksi samping dapat diatasi dengan obat
simptomatik. Dosis standard adalah dosis tunggal 5 mg/kgBB/hari, 15 hari untuk
filariasis bancrofti dan 10 hari untuk filariasis brugia.
Pemberantasan filariasis meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan
penyuluhan, dengan tujuan menurunkan ADR, mf rate dan mempertahankan CDR.
Pengobatan massal dilaksanakan bila ADR > 0% dan mf rate > 5%, bila ADR 0% dan
mf rate < 5% diadakan pengobatan selektif. Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri dari
pemberantasan nyamuk dewasa, jentik nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk.
PENDAHULUAN
Filariasis limfatik merupakan penyakit yang disebabkan
oleh parasit filaria yang menyerang kelenjar dan pembuluh getah
bening

Di Indonesia filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria


bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan Brugia
timori (filariasis brugia) dan dikenal umum sebagai penyakit
kaki gajah atau demam kaki gajah. Diagnosis pasti ditegakkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994

dengan ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah. W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan
sifat biologikB. malayi di Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu
bentuk zoophilic dan anthropophilic. Periodisitas mikrofilaria di
peredaran darah pada jenis infeksi yang hanya ditemukan pada
manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada
manusia dan hewan (kera dan kucing) dapat aperiodik, subperiodik atau periodik.
Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinquefasciatus di daerah perkotaan dan oleh Anopheles spp., Aedes
spp. dan Mansonia spp. di daerah pedesaan. Di dalam nyamuk,
mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi
larva infektif. Larva infektif masuk secara aktif ke dalam tubuh
hospes waktu nyamuk menggigit hospes dan berkembang men
jadi dewasa yang melepaskan mikrofilaria ke dalam peredaran
darah.
Filariasis ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang
berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di
pedesaan di luar JawaBali. Filariasis brugia hanya ditemukan di
pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi filariasis bervariasi antara 2% sampai 70% pada
tahun 1987.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult
filariasis.
Dalam perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang dan berakhir dengan terjadinya
obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit
tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila
diurut dari masa inkubasi maka dapat dibagi menjadi :
1) Masa prepaten
Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai
terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya
sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi
mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak
semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa
kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik amikrofilaremik dan asimtomatik mikrofilaremik.
2) Masa inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai
terjadinya gejala klinis berkisar antara 816 bulan.
3) Gejala klinik akut
Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis
disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya
unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik maupun mikrofilaremik.
Filariasis bancrofti
Pembuluh limfe alatkelamin laki-laki sering terkena disusul
funikulitis, epididimitis dan orchids. Adenolimfangitis inguinal
atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd yang
umumnya sembuh sendiri dalam 315 hari dan serangan terjadi
beberapa kali dalam setahun.
, Filariasis brugia

Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994

Limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering


terjadi setelah bekerja keras. Kdang-kadang disertai limfangitis
retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering
terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita
tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat
terjadi 12 X/tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar
limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk
ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu 3
bulan.
4) Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 1015 tahun setelah serangan akut
pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini,
sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu
aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Filariasis bancrofti
Hidrokel paling banyak ditemukan. Di dalam cairan hidrokel ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi
di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah
dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran
asalnya.
Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan.
Filariasis brugia
Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan
lengan bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih
dari 2 kali ukuran asalnya.
OCCULT FILARIASIS
Tropical Pulmonary Eosinofilia
Bentuk ini terjadi oleh karena terjadinya hipersensitivitas
terhadap mikrofilaria; ditandai dengan hipereosinofilia, IgE
terhadap filaria tinggi, gejala limfadenopati serta asma bronkial.
Gejala cepat menghilang dengan pemberian Dietilkarbamasin.
Beberapa keadaan klinis lain seperti arthritis, tenosynovitis,
fibrosis endomiokardial, glomerulonephritis kadang-kadang
merupakan manifestasi dari occult filariasis. Dari perjalanan penyakitnya filariasis menunjukkan spektrum luas dari manifestasi
klinik, sehingga pada suatu daerah endemik terlihat individu
dengan berbagai bentuk status klinik, yaitu :
1. Amikrofilaremik asimtomatik
2. Amikrofilaremik simtomatik
3. Mikrofilaremik asimtomatik
4. Mikrofilaremik simtomatik
5. Gejala klinik menahun hidrokel, elefantiasis, chyluria.
DIAGNOSIS
1) Diagnosis Klinik
Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik.Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan
akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis adalah : gejala dan peng-

alaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala


menahun.
2)

Diagnosis Parasitologik
Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada
malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan slang hari, 30 menit
setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria secara
morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult
filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara
immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan
mikrofilaremi, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama.
Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi
parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monokional terhadap O. gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W.
bancrofti di Papua New Guinea.
3)

Diagnosis Epidemiologik
Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan
menentukan microfilarial rate (mf rate), Acute Disease Rate
(ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa
sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalni penemuan penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderitaelefantiasis di antara 1000
penduduk, dapat diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan
100 yang mikrofilaremik.
PENGOBATAN
Dietilkarbamasin adalah satu-satunya obat filariasis yang
ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. ()bat ini ampuh, aman dan
murah, tidak ada resistensi obat, tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah
diatasi dengan obat simtomatik. Dietilkarbamasin tidak dapat
dipakai untuk khemoprofilaksis.
Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap
cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam,
dan diekskresi melalui air kemih.
Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur kurang
dari 2 tabula, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau
dalam keadaan lemah.
Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama
12 hari sebanyak 6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis
malayi diberikan 5 mg/kg berat badan selama 10 hari. Pada
occult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg BB selama 23 minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan
mikrofilaremia, gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan pengobatan lebih dari 1 kali untuk
mendapatkan penyembuhan sempurna. Elephantiasis dan
hydrocele memerlukan penanganan ahli bedah.
Reaksi samping Dietilkarbamasin sistemik berupa demam,
sakit kepala, sakit pada otot dan persendian, mual, muntah,

menggigil, urtikaria, gejala asma bronkial sedangkan gejala lokal


berupa limfadenitis, limfangitis, abses, ulkus, funikulitis, epididimitis, orchitis dan limfedema. Reaksi samping sistemik terjadi
beberapa jam setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 25
hari dan lebih sering terjadi pada penderita mikrofilaremik.
Reaksi samping lokal terjadi beberapa hari setelah pemberian
dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan
gejala klinis. Reaksi samping mudah diobati dengan obat
simptomatik.
Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan
filariasis brugia, sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis
harian sampai dicapai dosis total standar, atau diberikan tiap
minggu atau tiap bulan.
Karena reaksi samping Dietilkarbamasin sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maim diharapkan
dapat dikembangkan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/
kurang memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima
oleh penderita.
PEMBERANTASAN FILARIASIS
Pemberantasan filariasis ditujukan pada pemutusan rantai
penularan dengan cara pengobatan untuk menurunkan morbiditas dan mengurangi transmissi.
Pemberantasan filariasis di Indonesia dilaksanakan oleh
Puskesmas dengan tujuan :

Menurunkan Acute Disease Rate (ADR) menjadi 0%

Menurunkan nf rate menjadi < 5%

Mempertahankan Chronic Disease Rate (CDR)


Sasaran pemberantasan adalah daerah endemis lama yang
potensial masih ada penularan dan endemis baru. Prioritas ditujukan pada :

Daerah endemis lama dengan mf rate > 5%.

Daerah endemis lama dan barn yang merupakan daerah


pembangunan, transmigrasi, pariwisata dan perbatasan.
Kegiatan pemberantasan meliputi pengobatan, pemberantasan nyamuk dan penyuluhan. Pengobatan merupakan kegiatan
utama dalam pemberantasan filariasis, yang akan menurunkan
ADR dan mf rate.
Di suatu daerah yang diperkirakan endemik filariasis, 10%
dari penduduknya perlu diperiksa untuk menentukan Acute
Disease Rate dan mf rate. Pengobatan massal dilakukan bila :
ADR > 0%, dan mf rate > 5%; pengobatan selektif dilakukan
bila : ADR = 0%, dan mf rate < 5%.
Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan
menggunakan DEC ada beberapa cara yaitu dosis standard,
dosis bertahap dan dosis rendah. Dianjurkan Puskesmas
menggunakan dosis rendah yang mampu menurunkan mf
ratesampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat
dengan prinsip dasa wisma. Penduduk usia < 2 tahun, hamil,
menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya. DEC diberikan
setelah makan dan dalam keadaan istirahat.
1) Dosis standar
Dosis tunggal 5 mg/kgBB; untuk filariasis bancrofti selama
15 hari, dan untuk filariasis brugia selama 10 hari.

Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994

2) Dosis bertahap
Dosis tunggal 1 tablet untuk usia > 10 tahun, dan 1/2
tablet untuk usia < 10 tahun pada hari 14; disusul 5
mg/kgBB pada hari 512 untuk filariasis bancrofti dan pada
hari 517 untuk filariasis malayi.
3) Dosis rendah
Dosis tunggal 1 tablet untuk usia> 10 tahun, 1/2 tablet untuk
usia < 10 tahun, seminggu sekali selama 40 minggu.
Kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas :
1) Pemberantasan nyamuk dewasa
Anopheles : residual indoor spraying
Aedes
: aerial spraying
2) Pemberantasan jentik nyamuk
Anopheles : Abate 1%
Culex : minyak tanah
Mansonia : melenyapkan tanaman air
tempatperindukan, mengeringkan rawa dan saluran air
3) Mencegah gigitan nyamuk
Menggunakan kawat nyamuk/kelambu
Menggunakan repellent
Kegiatan pemberantasan nyamuk dewasa dan jentik
tidak masuk dalam program pemberantasan filariasis di
Puskesmas yang dikeluarkan oleh P2MPLP pada tahun
1992.
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan
perilaku yang baik untuk menunjang penanggulangan
filariasis.
Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta
keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis dengan
harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis
segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa
darah jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur
serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk.
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun,
dengan melakukan pemeriksaan vektor dan pemeriksaan
darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.

Cermin Dunia Kedokteran No. 96, 1994

KESIMPULAN
Filariasis di Indonesia masih merupakan problem
kesehatan masyarakat yang memberikan dampak ekonomi
sosial yang negatif berupa produktivitas kerja yang menurun
dan beban ekonomi sosial bagi yang menderita elephantiasis.
Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan
menghentikan
transmisi;
diperlukan
program yang
berkesinambungan dan memakan waktu lama, mengingat masa
hidup dari cacing dewasa yang cukup lama.
Meskipun
filariasis
menunjukkan
spektrum
manifestasiklinik
yang
luas,
pengobatan
dengan
dietilkarbamasin diberikan dalam regimen yang sama. Tingkat
kesembuhan tinggi bila belum ada gejala menahun.
Deteksi daerah endemis dilakukan melalui penemuan penderita elephantiasis dan pemberantasan dilaksanakan oleh
Puskesmas melalui pengobatan dan penyuluhan. Pengobatan
massal dilaksanakan bila mf rate > 5% dan ADR > 0%.
Evaluasi pemberantasan dilaksanakan setelah 5 tahun.

KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit


Kaki Gajah di Puskesmas, 1988.
2. Liliana Kumiawan. Beberapa aspek imunologi dan bioteknologi dalam
penanggulangan masalah filariasis. Seminar Penyakit Menular, Jakarta,
Maret 1988. '
3. Parasitologi Kedokteran. Eds. Srisasi Gandahusada, Wita Pribadi, Herry
Ilahude. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988.
4. Partono F, Pumomo. Periodicity studies of B. malayi in Indonesia: recent
findings and a modified classification of the parasite. Trans Roy Soc Trop
Med Hyg 1987; 81: 657-62.
5. Partono F. Lymphatic filariasis. Medicine Intemat 1988. pp 2270-3.
6. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Seminar
Penyakit Menular, Jakarta, Maret 1988.
7. WHO. Lymphatic filariasis. Techn Rep Ser 702, 1984.
8. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit
Kaki Gajah di Puskesmas, 1992.

Anda mungkin juga menyukai