Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A.

Definisi
Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak ke satu arah. 5
Satu mata bisa terfokus pada satu objek sedangkan mata yang lain dapat bergulir ke dalam,
ke luar, ke atas, atau ke bawah.6 Keadaan ini bisa menetap (selalu tampak) atau dapat pula
hilang timbul yang muncul dalam keadaan tertentu saja seperti saat sakit atau stress.3

B.

Anatomi dan Fisiologi Gerak Bola Mata


1.
Otot dan persarafan5,7
a. Muskulus rektus lateral, kontaksinya akan menghasilkan abduksi atau menggulirnya
bola mata kearah temporal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke IV (saraf abdusen).
b. Muskulus rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau menggulirnya
bola mata kearah nasal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
c. Muskulus rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi, aduksi, dan
intorsi bola mata yang dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
d. Muskulus rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi, adduksi, dan
ekstorsi yang dipersarafi oleh saraf ke III(saraf okulomotor).
e. Muskulus oblik superior, kontraksinnya akan menghasilkan intorsi, abduksi, dan
depresi yang dipersarafi saraf ke IV (saraf troklear)
f. Muskulus oblik inferior ,kontraksinya akan menghasilkan ekstorsi, abduksi, dan
elevasi yang dipersarafi saraf ke III(saraf okulomotor).

Gambar 1. Otot-Otot Gerak Bola Mata


1

2.

Fungsi Otot Penggerak Bola Mata


Normalnya mata mempunyai penglihatan binokuler yaitu setiap saat terbentuk
bayangan tunggal dari kedua bayangan yang diterima oleh kedua mata sehingga terjadi
fusi dipusat penglihatan. Hal tersebut dapat terjadi karena dipertahankan oleh otot
penggerak bola mata agar selalu bergerak secara teratur, gerakan otot yang satu akan
mendapatkan keseimbangan gerak dari otot yang lainnya sehingga bayangan benda yang
jadi perhatian selalu jatuh tepat dikedua fovea sentralis. 5 Syarat terjadi penglihatan
binokuler normal:
1. Tajam penglihatan pada kedua mata sesudah dikoreksi refraksi anomalinya
tidak terlalu berbeda dan tidak terdapat aniseikonia.
2. Otot-otot penggerak kedua bola mata seluruhnya dapat bekerja sama dengan
baik, yakni dapat menggulirkan kedua bola mata sehingga kedua sumbu
penglihatan menuju pada benda yang menjadi pusat perhatiannya.
3. Susunan saraf pusatnya baik, yakni sanggup menfusi dua bayangan yang
datang dari kedua retina menjadi satu bayangan tunggal.

Gambar 2. Penglihatan Binokular Tunggal Stereoskopik


Gangguan gerakan bola mata terjadi bila terdapat satu atau lebih otot mata yang tidak dapat
mengimbangi gerakan otot mata lainnya maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerakan
mata sumbu penglihatan akan menyilang mata menjadi strabismus.7
2

C.

Penyebab6
Strabismus biasanya disebabkan oleh:
1.
Kelumpuhan pada 1 atau beberapa otot penggerak mata (strabismus paralitik).
2.

Kelumpuhan pada otot mata bisa disebabkan oleh kerusakan saraf.


Tarikan yang tidak sama pada 1 atau beberapa otot yang menggerakan mata (strabismus
non-paralitik). Strabismus non-paralitik biasanya disebabkan oleh suatu kelainan di otak.

D.

Klasifikasi8
1.
Menurut manifestasinya
a. Heterotropia : strabismus manifes (sudah terlihat)
Suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua penglihatan
tidak berpotongan pada titik fikasasi.
Contoh: esotropia, eksotropia, hipertropia, hipotropia

Gambar 3. Jenis-Jenis Heterotropia


b. Heteroforia : strabismus laten (belum terlihat jelas)
Penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi dengan

2.

reflek fusi.
Contoh: esoforia, eksoforia
Menurut jenis deviasi
a. Horizontal : esodeviasi atau eksodeviasi
b. Vertikal : hiperdeviasi atau hipodeviasi
c. Torsional : insiklodeviasi atau eksiklodeviasi
d. Kombinasi: horizontal, vertikal dan atau torsional

3.

Menurut kemampuan fiksasi mata


a. Monokular : bila suatu mata yang berdeviasi secara konstan
b. Alternan : bila kedua mata berdeviasi secara bergantian

4.

Menurut usia terjadinya :


a. kongenital : usia kurang dari 6 bulan.
3

b. didapat
5.

: usia lebih dari 6 bulan.

Menurut sudut deviasi7


a. Inkomitan (paralitik)
Sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan kasus disebabkan kelumpuhan otot
penggerak bola mata.
Diagnosa berdasarkan :
Keterbatasan gerak
Deviasi
Diplopia.
Ketiga tanda ini menjadi nyata, bila mata digerakkan kearah lapangan kerja dari
otot yang sakit. Pada keadaan parese, dimana keterbatasan gerak mata tak begitu
nyata adanya diplopi merupakan tanda yang penting.
b. Komitan (nonparalitik)
Sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi, mengikuti gerak mata yang
sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama.
Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder (deviasi
pada mata yang sehat).

E.

Gejala
Gejalanya berupa:9
1. Mata lelah
2. Sakit kepala
3. Penglihatan kabur
4. Mata juling (bersilangan)
5. Mata tidak mengarah ke arah yang sama
6. Gerakan mata yang tidak terkoordinasi
7. Penglihatan ganda.

F.

Diagnosis7,9,10
1. Ketajaman penglihatan
Pemeriksaan dengan e-chart digunakan pada anak mulai umur 3-3,5 tahun, sedangkan
diatas umur 5-6 tahun dapat digunakan Snellen chart.
2. Cover and Uncover Test: menentukan adanya heterotropia atau heteroforia.

Gambar 4. Cover and Uncover Test


3. Tes Hirscberg: untuk mengukur derajat tropia, pemeriksaan reflek cahaya dari senter pada
pupil.
Cara :
a. Penderita melihat lurus ke depan.
b. Letakkan sebuah senter pada jarak 12 inci (kira-kira 30 cm) cm di depan setinggi
kedua mata pederita.
c. Perhatika reflek cahaya dari permukaan kornea penderita.
d. Keterangan:
- Bila letak di pinggir pupil maka deviasinya 15 derajat.
- Bila diantara pinggir pupil dan limbus deviasinya 30 derajat.
- Bila letaknya di limbus deviasinya 45 derajat.

Gambar 5. Tes Hirscberg


4. Tes Krimsky: mengukur sudut deviasi dengan meletakkan ditengah cahaya refleks kornea
dengan prisma sampai reflek cahaya terletak disentral kornea.
5

Gambar 6. Tes Krimsky


G.

Penatalaksanaan
1.

Tujuan :7
a. mengembalikan penglihatan binokular yang normal
b. alasan kosmetik

2.

Dapat dilakukan dengan tindakan:4,5


a. Ortoptik
1) Oklusi
Jika anak menderita strabismus dengan ambliopia, dokter akan merekomendasikan
untuk melatih mata yang lemah dengan cara menutup mata yang normal dengan
plester mata khusus (eye patch).
2) Pleotik
3) Obat-obatan
b. Memanipulasi akomodasi
1) Lensa plus / dengan miotik
Menurunkan beban akomodasi dan konvergensi yang menyertai
2) Lensa minus dan tetes siklopegik
Merangsang akomodasi pada anak-anak
c. Operatif
Prinsip operasinya :
- reseksi dari otot yang terlalu lemah
- resesi dari otot yang terlalu kuat

3.

Tahapan:7
a. Memperbaiki visus kedua mata dengan terapi oksklusi
a. Pada anak berumur dibawah 5 tahun dapat diteteskan sulfas atropin 1 tetes satu
bulan, sehingga mata ini tak dipakai kira-kira 2 minggu. Ada pula yang
6

menetesinya setiap hari dengan homatropin sehingga mata ini beberapa jam sehari
tak dipakai.
b. Pada anak yang lebih besar, mata yang normal ditutup dilakukan penutupan
matanya 2-4 jam sehari. Dengan demikian penderita dipaksa untuk memakai
matanya yang berdeviasi. Biasanya ketajaman penglihatannya menunjukkan
perbaikan dalam 4-10 minggu. Penutupan ini mempunyai pengaruh baik pada pola
sensorisnya retina, tetapi tidak mempengaruhi deviasi. Sebaiknya terapi
penutupan sudah dimulai sejak usia 6 bulan, untuk hindarkan timbulnya
ambliopia. Penetesan atau penutupan jangan dilakukan terlalu lama, karena takut
menyebabkan ambliopia pada mata yang sehat.
c. Pada strabismus yang sudah berlangsung lama dan anak berumur 6 tahun atau
lebih pada waktu diperiksa pertama, maka hasil pengobatannya hanya kosmetis
saja. Sedapat mungkin ambliopia pada mata yang berdeviasi harus dihilangkan
dengan cara penutupan, pada anak yang sudah mengerti (3 tahun), harus
dikombinasikan dengan latihan ortoptik untuk mendapatkan penglihatan binokuler
yang baik. Kalau pengobatan preoperatif sudah cukup lama dilakukan, kira-kira 1
tahun, tetapi tak berhasil, maka dilakukan operasi.
b. Memperbaiki posisi kedua bola mata agar menjadi ortoforia.
Hal ini dapat dicapai dengan pemberian lensa, melaukan operasi atau kombinasi
keduanya. Tindakan operasi sebaiknya dilakukan bila telah tercapai perbaikan visus
dengan terapi okslusi. Tindakan operatif sebaiknya dilakukan pada umur 4-5 tahun,
supaya bila masih ada strabismusnya yang belum terkoreksi dapat dibantu dengan
latihan.
c. Melatih fusi kedua bayangan dari retina kedua mata agar mendapatkan penglihatan
binokuler sebagai tujuan akhir yang hasilnya tergantung dari hasil operasi, pemberian
lensa koreksi dan latihan ortoptik.
H.

Komplikasi
1. Kosmetik
2. Supresi
Usaha yang tidak disadari dari penderita untuk menghindari diplopia yang timbul akibat
adanya deviasinya.
7

3. Ambliopia
Menurunnya visus pada satu atau dua mata dengan atau tanpa koreksi kacamata dan
tanpa adanya kelainan organiknya.
4. Adaptasi posisi kepala
Keadaan ini dapat timbul untuk menghindari pemakaian otot yang mengalami
kelumpuhan untuk mencapai penglihatan binokuler. Adaptasi posisi kepala biasanya
kearah aksi dari otot yang lumpuh.

I.

Prognosis11
Setelah dilakukan operasi, mata bisa melihat langsung namun masalah tajam
penglihatan masih dapat terjadi. Pada anak-anak dapat memiliki masalah membaca di
sekolah, dan untuk orang dewasa lebih terbatas dalam melakukan kegiatan. Dengan diagnosis
dini dan penanganan segera masalah dapat secepatnya teratasi. Penganan yang terlambat
akan menyebabkan kehilangan penglihatan mata secara permanen. Sekitar sepertiga anakanak dengan strabismus akan mengalami ambliopia sehingga harus dipantau secara ketat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Emelin. Gambaran kejadian strabismus dengan kelainan refraksi. Diunduh dari


www.medicine.uii.ac.id. Diakses tanggal 7 November 2012.
2. Wijaya, Nana. Ilmu penyakit mata. Cetakan ketiga. Jakarta:Abadi tegal.1983.h.212-41.
3. Radjamin. T, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Perhimpunan Dokter Ahli
Mata Indonesia, Airlangga University Press, 121-126.
4. Wijana. N, 1993, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta, 282-311.
5. Voughan D, Asbury T, 1996, Strabismus, dalam Oftalmologi Umum, edisi II, Jilid 1,
Widya Medika, Jakarta, 237-263.
6. Ilyas S, 2000, Strabismus, dalam Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 227-258.

Anda mungkin juga menyukai