Anda di halaman 1dari 30

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN...............................................................

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA......................................................
Anatomi saluran napas.........................................................
Fisiologi pernapasan.............................................................
Asma bronkiale.....................................................................
Definisi asma.................................................................
Faktor risiko asma.........................................................
Patofisiologi..................................................................
Pemeriksaan pada asma ................................................
Kriteria diagnosis asma.................................................
Diagnosis banding.........................................................
Klasifikasi asma............................................................
Penatalaksanaan asma...................................................
Prognosis asma..............................................................

3
3
5
6
6
6
8
10
12
13
13
16
28

BAB III

KESIMPULAN...................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

30

BAB I
1

PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun
terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Selain itu, peningkatan
juga terjadi di negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia. Studi di Asia Pasifik Baru-baru
ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja karena asma lebih tinggi dibandingkan
dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh pasien asma pernah dirawat di rumaah
sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. (1-3)
Asma merupakan penyakit saluran pernapasan kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara seluruh dunia. Penyakit ini bisa
timbul pada semua usia, tetapi lebih banyak di usia muda.

(4,5)

Data World Health

Organization (WHO) pada tahun 2005 prevalensi asma di berbagai negara sangat bervariasi
diperkirakan bahwa jumlah asma akan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025. (5)
Di Indonesia, peningkatan prevalensi asma digambarkan melalui jumlah pasien asma
yang masuk ke ruang gawat darurat Rumah Sakit Persahabatan, yang merupakan salah satu
pusat rumah sakit khusus paru di Indonesia, mengalami peningkatan dari 1,653 pasien pada
tahun 1998 menjadi 2.210 pada tahun 2000, dan meningkat 3 kali lipat pada tahun 2011. Hal
tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang
direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA). (1)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

Anatomi Saluran Napas

Pembagian anatomis saluran napas terdiri atas dua bagian, yaitu saluran napas
penghubung (conducting airways) yang memungkinkan perpindahan udara dari lingkungan
luar ke daerah pertukaran gas dan unit respiratorik akhir (terminal respiratory units) yang
merupakan saluran napas dan struktur alveolus terkait yang berperan dalam pertukaran gas.
Paru
Paru-paru terbagi menjadi dua bagian, yaitu paru-paru kanan yang terdiri atas 3 lobus
(lobus pulmo dextra superior, lobus pulmo dextra media, dan lobus pulmo dextra inferior)
dan paru-paru kiri yang terdiri atas 2 lobus (lobus pilmo sinistra superior dan lobus pulmo
sinistra inferior). Tiap lobus terdiri dari bagian yang lebih kecil disebut dengan segmen. Paru
kanan terdiri atas 2 segmen, di antaranya 5 segmen pada lobus superior, 2 segmen pada lobus
media, dan 3 segmen pada lobus inferior. Sedangkan, paru kiri juga terdiri atas 10 segmen
yang terdiri atas 5 segmen pada lobus superior dan 5 segmen pada lobus inferior.
Pleura
Pleura terbagi menjadi dua, yaitu pleura visceralis dan pleura parietalis. Pleura
visceralis merupakan lapisan pembungkus paru bagian dalam yang langsung membungkus
paru-paru, sedangkan pleura parietalis merupakan lapisan yang membungkus permukaan
dinding thorax bagian luar. Antara kedua lapisan tersebut terdapat rongga yang disebut
dengan kavum pleura. Volume cairan pleura hanya 5-15 ml yang berfungsi untuk
meminimalkan gesekan yang terjadi antara kedua lapisan tersebut saat terjadi pergerakan.
Sistem Saraf Paru
3

Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis yang terdiri dari serabut aferen dan
serabut eferen. Plexus terbentuk dari persarafan simpatis yang berasal dari percabangan
truncus simpatikus dan persarafan parasimpatis dari nervus vagus. Serabut aferen terutama
terdiri atas serabut sensorik vagus yang terdiri atas:
1. Serabut dari reseptor regang bronkopulmonar, yang terletak di trakea dan bronkus
proksimal yang berdampak pada bronkodilatasi dan peningkatan kecepatan frekuensi
denyut jantung.
2. Serabut dari reseptor iritan, yang terletak pada saluran napas proksimal. Stimulasi
serabut ini oleh berbagai rangsang non-spesifik dapat memicu respons eferen,
termasuk batuk, bronkokonstriksi, dan sekresi mukus.
Serabut eferen terdiri dari:
1. Serabut parasimpatis dengan eferen kolinergik muskarinik yang memerantarai
bronkokonstriksi, vasodilatasi paru, dan sekresi kelenjar mukosa.
2. Serabut simpatis yang stimulasinya menimbulkan relaksasi otot polos bronkus,
vasokonstriksi paru, dan inhibisi aktivitas kelenjar sekretorik.
Pembuluh Darah Paru
Sistem sirkulasi paru terbagi menjadi dua, yaitu sirkulasi pulmonal dan sirkulasi
bronkial. Sirkulasi bronkial merupakan bagian dari sirkulasi sistemik yang memberikan
supply kebutuhan nutrisi bagi jaringan paru. Sirkulasi ini berasal dari aorta A. Interkostalis
A. Bronkialis kapiler V. Bronkialis V. Azygos atrium kanan. Kemudian, darah
dari atrium kanan akan dipompa menuju ventrikel kanan dan berlanjut ke sirkulasi pulmonal.
Sirkulasi pulmonal membawa darah dari ventrikel kanan melalui A. Pulmonalis menuju paruparu yang dilanjutkan dengan pertukaran gas antara daerah kapiler yang mengandung banyak
CO2 dengan darah dalam alveoli yang mengandung banyak O2. Setelah itu, darah tersebut
akan dibawa oleh V. Pulmonalis menuju ke ventrikel kiri untuk dipompa ke seluruh tubuh
melalui aorta.

Fisiologi Pernapasan (6)


Fungsi utama paru adalah menyelenggarakan pengambilan oksigen oleh darah dan
pembuangan karbondioksida. Sistem respirasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Bagian konduksi yang terdiri dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus,
dan bronkiolus terminalis. Bagian ini relatif kaku dan terbuka, merupakan
4

penghubung antara lingkungan luar dengan paru. Fungsi dari bagian konduksi adalah
mengalirkan udara dan sebagai penyaring, penghangat, dan melembabkan udara
sebelum sampai ke bagian respirasi.
2. Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus
alveolaris, dan alveolus. Bagian respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran
udara dari lingkungan luar dan dalam tubuh.
Terdapat 4 tahap dalam respirasi, yaitu:
1. Ventilasi
Ventilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer dan alveoli. Proses
ini berlangsung di sistem pernapasan.
2. Respirasi eksternal
Respirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian kejadian yang
terlibat dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkuran eksternal dan
sel tubuh. Proses ini terjadi di sistem pernapasan.
3. Transpor gas
Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah
dan jaringan tubuh. Proses ini terjadi di sistem sirkulasi.
4. Respirasi internal
Respirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi
di dalam sel. Proses ini berlangsung di jaringan tubuh.
Pada saat terjadi inspirasi, terjadi kontraksi dari otot-otot pernapasan sehingga
volume rongga thoraks meningkat. Hal ini menyebabkan tekanan intrathorakal menurun.
Udara akan bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan
rendah. Oleh karena itu, pada keadaan ini akan terjadi pergerakan udara dari luar tubuh
menuju rongga thoraks. Sebaliknya, pada saat ekspirasi, akan terjadi relaksasi otot-otot
pernapasan yang menyebabkan menurunnya volime intrathorakal meningkat, sehingga
terjadi peningkatan tekanan intrathorakal. Oleh karena itu, udara akan bergerak dari
rongga thoraks menuju udara luar.
ASMA BRONKIALE
Definisi
Asma adalah penyakit saluran pernapasan dengan karakteristik obstruksi saluran
napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien, baik secara spontan
5

maupun dengan pengobatan), inflamasi saluran napas, dan peningkatan respons saluran napas
terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).(8)
Faktor Risiko Asma

Faktor Risiko Asma

Faktor Host
Genetik
Jenis kelamin
Obesitas

Faktor Lingkungan
Alergen
Infeksi
Occupational sensitizers
Asap rokok
Polusi udara
Makanan

Secara umum, faktor risiko asma terbagi menjadi 2, yaitu: (5)


1. Faktor Host
a. Genetik
Hal yang dapat diturunkan adalah bakat alergi pada penderita asma. Meskipun
belum diketahui secara pasti bagaimana cara penurunannya, penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki keluhan
serupa. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.
Akan tetapi, menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada
masa menopause perempuan lebih banyak.
c. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas
6

dan meningkatan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum


jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat mempengaruhi
gejala fungsi paru, morbiditas, dan status kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen
Alergen yang dapat mencetuskan asma terdiri atas beberapa jenis, antara lain
alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit atau bulu
binatang seperti aning dan kucing, dan lain-lain), alergen luar rumah (serbuk sari
dan spora jamur), bahan yang mengiritasi (parfum, household spray, pembasmi
serangga, dan lain-lain)
b. Infeksi
Infeksi pada saluran napas merupakan keadaan yang seringkali muncul
berbarengan dengan serangan asma yang juga dapat memperberat terjadinya
serangan asma.
c. Occupational sensitizers
Hal ini terjadi pada seseorang yang sebelumnya tidak mengalami asma,
kemudian mengalami serangan asma yang dicetuskan oleh karena terkespos zat
yang terdapat di lingkungan kerjanya. Zat-zat pada lingkungan keja yang berisiko
mencetuskan asma antara lain enzim (deterjen), protein (binatang, tumbuhan),
tepung atau gandum, bahan-bahan kimia, isocyanates (cat semprot, lem), dan lainlain.

d. Asap rokok
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
e. Polusi udara
Polusi udara juga merupakan salah satu faktor yang dapat mencetuskan asma.
Hal ini dikarenakan zat yang terkandung dalam polusi udara dapat merangsang
reaksi hipersensitivitas dan mengakibatkan terjadinya serangan asma.
f. Makanan
7

Makanan pencetus asma pada masing-masing individu tidak sama. Beberapa


makanan yang seringkali menjadi pencetus antara lain susu, telur, kepiting, ikan
laut, cokelat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, bahan pengawet, dan pewarna
makanan.
Patofisiologi (5, 8, 10)
Pencetus

Mediator:

Bronkokonstriksi

Leukotrien, PG2,
Sel dendrit

histamin

Hipersekresi mukus
Edema saluran napas

Aktivasi Th 2
IL-5
Il-4

Sel mast
Limfosit BIgE

Makrofag

Eusinofil

Sel epitel rusak

Obstruksi
saluran
nafas
Batuk
Mengi
Sesak
Microvascular
leakage akibat
sel inflamasi

Mekanisme terjadinya serangan asma didasari oleh terjadinya hipersensitivitas saluran


napas terhadap suatu pencetus atau biasa disebut dengan antigen. Antigen adalah suatu zat
yang merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi untuk menghancurkan antigen
tersebut karena dianggap sebagai benda asing dan berbahaya bagi tubuh. Pada saat pasien
asma terpajan oleh suatu antigen, maka sel dendrit akan bertidak sebagai Antigent Presenting
Cell (APC) yang akan mempresentasikan kepada Th 2 bahwa terdapat suatu antigen dalam
tubuh. Hal ini membuat Th 2 teraktivasi dan mensekresikan IL-4 dan IL-5. IL-4 akan
merangsang proliferasi limfosit B menjadi IgE, sedangkan IL-5 akan merangsang degenerasi
eusinofil di sumsum tulang dan kemudian beredar ke dalam darah.
IgE akan menduduki reseptor di sel mast dan mengakibatkan terjadinya degranulasi
sel mast yang kemudian diikuti tersekresinya mediator pro inflamasi seperti leukotrien, PG2,
dan histamin. Mediator inflamasi tersebut menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi dan juga
hipersekresi mukus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas. Di jalur lain, eusinofil
memproduksi protein dasar yang dapat menyebabkan kerusakan epitel bronkus. Kerusakan
ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang diikuti dengan terkumpulnya sitokin dan
sel inflamasi di tempat terjadinya kerusakan epitel. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan konsentrasi pada daerah yang rusak sehingga terjadi microvascular leakage yang
8

bermanifestasi sebagai edema saluran napas. Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, dan


edema saluran napas menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi saluran napas yang
akan bermanisfestasi sebagai batuk, mengi, dan sesak.

Batuk terjadi sebagai akibat dari hipersekresi mukus yang menimbulkan rangsangan
refleks tubuh untuk mengeluarkan benda asing yang terdapat pada saluran napas. Selain itu,
karena adanya penyempitan saluran napas disertai dengan tertimbunnya mukus pada jalan
napas, keadaan ini menyebabkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai suara napas
tambahan berupa mengi. Sesak atau rasa berat pada dada disebabkan oleh terganggunya
proses ekspirasi yang umumnya terjadi pada serangan asma akibat adanya obstruksi jalan
napas.
Pada asma terjadi manifestasi klinis akibat obstruksi jalan napas berupa sesak dan
mengi yang umumnya terjadi pada saat ekspirasi. Hal ini dikarenakan tidak seperti proses
inspirasi yang bersifat aktif dengan kontraksi otot M. Intercostalis eksterna dan M.
Diaphragma, proses ekspirasi bersifat pasif dengan adanya proses relaksasi M. Intercostalis
eksterna dan M. Diaphragma yang berakibat terjadinya peningkatan tekanan intrathorakal
yang menyebabkan bertambah parahnya obstruksi jalan napas, sehingga manifestasi sesak
dan mengi terjadi pada saat ekspirasi.
Bronkokonstriksi

Hipertrofi otot polos


bronkus

Remodelling
jaringan

Hipersekresi mukus

jumlah sel goblet

Pembentukan
fibrosis submukosa

Sel epitel
Sel inflamasi
Makrofag

Fibroblas dan
miofibrolas

Deposisi kolagen
dan proteoglikan

Apabila tidak terkontrol dengan baik, reaksi inflamasi yang terjadi pada serangan
asma yang berulang-ulang kali dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada
jaringan saluran napas. Efek bronkokonstriksi dapat berdampak pada hipertrofi otot polos
bronkus yang menyebabkan penebalan dan penyempitan lumen bronkus. Selain itu,
terjadinya hipersekresi mukus mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah sel goblet pada
mukosa saluran pernapasan. Sedangkan sel epitel, sel inflamasi, dan makrofag merangsang
terbentuknya fibroblas dan miofibroblas diikuti dengan deposisi kolagen dan proteoglikan
yang menyebabkan terbentuknya fibrosis atau jaringan ikat pada submukosa saluran napas.
Ketiga hal tersebut merupakan perubahan struktur yang irreversible dan memperberat
obstruksi jalan napas pada pasien asma.
Pemeriksaan Asma (3, 5, 9)
Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mencari beberapa keluhan informasi yang berguna untuk
membantu penegakkan diagnosis asma. Keluhan atau informasi yang penting tersebut antara
lain:
1. Batuk dan waktu terjadinya batuk
2. Rasa sesak atau berat pada dada disertai bunyi mengi (ngik)
3. Faktor pencetus yang memicu timbulnya serangan (alergen/ aktivitas/ emosi/ suhu)
4. Efek terhadap pemberian obat pelega (bronkodilator)
5. Penyakit atopi (dermatitis atopi, rhinitis alergi)
6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hasil yang berbeda dari normal sampai
ditemukannya kelainan tergantung pada derajat serangan asma. Pada umumnya, pemeriksaan
fisik yang ditemukan pada penderita asma antara lain:
1. Inspeksi

: pasien terlihat gelisah, sesak napas (napas cuping hidung, takikardi,


retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis

2. Palpasi

: biasanya tidak ditemukan kelainan yang nyata (serangan asma berat


dapat ditemukan pulsus paradoksus)
10

3. Perkusi

: biasanya tidak ditemukan kelainan yang nyata

4. Auskultasi

: ekspirasi memanjang, mengi (wheezing), suara lendir

Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah

: eusinofil, IgE

2. Sputum

: eusinofil, spiral Crusshman, kristal Charcot Leyden

Pemeriksaan Penunjang (7,9)


1. Spirometri
Pemeriksaan dengan menggunakan spirometri berdasarkan usia, jenis kelamin,
dan tinggi badan untuk menentukan nilai dugaan. Pemeriksaan dilakukan untuk
menilai derajat obstruksi jalan nafas, reversibilitas, dan variabilitas, serta merupakan
penilaian penting untuk penegakkan diagnosis asma.

Reversibilitas 12 % dari nilai pra bronkodilator diagnosis asma

Nilai normal FEV1/FVC >75 %

Nilai normal FEV1>80 %

2. Pemeriksaan Arus Puncak Respirasi


Pemeriksaan APE dilakukan untuk diagnostik dan juga monitoring dari
penderita asma. Nilai APE dianjurkan bukan berdasarkan nilai dugaan tetapi nilai
terbaik yang dapat dicapai pasien sebelumnya. Nilai terbaik didapatkan pada pasien
tidak dalam keadaan serangan (asimptomatik).

Nilai 60 L/menit atau reversibilitas >20% pra inhalasi bronkodilator

Variabilitas APE >20% (pembacaan 2 kali dalam sehari)

3. Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus memperlihatkan hiperesponsivitas yang tak lazim
hampir pada semua pasien asma, termasuk mereka dengan penyakit yang ringan dan
hasil uji fungsi paru rutin yang normal. Hipereaktivitas bronkus didefinisikan sebagai
(1) penurunan sebesar 20% pada FEV1 sebagai respons terhadap faktor pemicu (yang
pada intensitas yang sama menyebabkan <5% perubahan pada orang normal; atau (2)
peningkatan sebesar 20% FEV1 sebagai respons terhadap obat bronkodilator inhalasi.
4. Uji Alergi (Skin Prick Test)
Uji alergi dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit atopik seperti
dermatitis atopi yang merupakan salah satu informasi penting untuk penegakkan
diagnosis asma.
5. Foto Thoraks
11

Foto thoraks yang dilakukan pada pemeriksaan pasien asma bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
Kriteria Diagnosis Asma (5)
1. Gejala Sistem Pernapasan
Gejala tipikal: wheezing, napas pendek, dada berat, batuk
Pasien dengan asma umumnya memiliki >1 gejala di atas
Gejala muncul dengan intensitas yang bervariasi
Gejala lebih berat pada malam hari atau sedang berjalan
Gejala seringkali dicetuskan oleh aktivitas berat (olahraga), tertawa, alergen, atau
udara yang dingin
Gejala seringkali timbul bersamaan atau diperberat dengan infeksi virus
2. Bukti keterbatasan aliran udara ekspirasi
Sedikitnya 1 kali dalam pemeriksaan FEV1/FVC < 75 % (dewasa) dan < 90 % (anak)
Variasi perubahan fungsi paru yang lebih besar dibandingkan dengan orang sehat.
Contoh:
1. FEV1 >12 % atau 200ml post inhalasi bronkodilator, dinamakan bronkodilator
reversibility
2. Rata-rata harian variabilitas diurnal* APE >10 %
3. FEV1 >12 % atau 200ml setelah pengobatan dengan obat anti-inflamasi selama 4
minggu (di luar infeksi saluran pernapasan)
*Dihitung dua kali pembacaan dalam sehari, (selisih APE tertinggi dan terendah dalam
sehari) dibagi dengan rata-rata nilai APE tertinggi dan terendah, kemudian dihitung rataratanya selama 1-2 minggu. Penghitungan dilakukan dengan alat PEF meter yang sama.

Diagnosis Banding (5,8,9)


1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
PPOK merupakan penyakit paru obstruktif yang memiliki gejala yang hampir
sama dengan asma. Hal yang membedakan adalah setelah dilakukan penatalaksanaan,
bronkodilator reversibility tidak cukup signifikan dibanding dengan asma (> 12 %).
2. Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik memiliki gejala klinis berupa batuk kronik produktif 3 bulan
dalam setahun selama 2 tahun. Gejala utama ini biasanya didapatkan pada pasien
berusia > 35 tahun dan memiliki riwayat merokok. Gejala ditandai dengan adanya
batuk pagi hari, lama-kelamaan disertai dengan mengi, dan menurunnya kemampuan
jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda
3. Obstruksi Mekanik
Pada keadaan adanya obstruksi mekanik, seperti adanya benda asing atau
tumor, dapat ditelusuri dengan anamnesis adanya riwayat tertelan benda asing,
12

penurunan berat badan, dan dilakukan pemeriksaan lanjutan lainnya seperti foto
thoraks untuk menyingkirkan diagnosis tersebut.
4. Gagal Jantung
Pada keadaan gagal jantung, dapat ditemukan gejala khas lain seperti
orthopnoe, dyspnoe on effort, paroxysmal nocturnal dyspnoe. Selain itu, pada
pemeriksaan fisik juga ditemukan ronkhi basah apabila terjadi edema paru, suara
jantung tambahan (S3/ gallop), peningkatan JVP, hepatojugular refluks (+), edema
pada kedua tungkai, hepatomegali, atau asites.
Klasifikasi Asma (3,5,10)
1. Klasifikasi Asma Saat Tidak Serangan
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru), serta obat-obatan yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi menurut berat-ringannya penyakit asma yang sangat penting dalam
menentukan penatalaksanaannya.
Derajat Asma
Intermitten

Persisten ringan

Persisten
sedang

Gejala
Bulanan
Gejala< 1x/minggu
Tanpa gejala di luar
serangan
Serangan singkat
Mingguan
Gejala>
1x/minggu
tetapi < 1x/hari
Serangan
dapat
mengganggu aktivitas
dan tidur

Gejala Malam
2 kali
sebulan

>2 kali
sebulan

Harian

Gejala setiap hari


Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
Membutuhkan
bronkodilator
setiap
hari

>2 kali
sebulan

Faal Paru
APE 80 %
VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE <
20%
APE > 80 %
VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE 2030%
APE 60-80 %

VEP1 60-80% nilai


prediksi
APE 60-80% nilai
terbaik
Variabiliti APE >30%
13

Persisten berat

Kontinyu
Gejala terus-menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas

Sering

APE 60 %
VEP160%
nilai
prediksi
APE60%
nilai
terbaik
Variabiliti APE >30%

Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di


Indonesia, 2004
2. Klasifikasi Asma Saat Serangan
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan.
Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut
meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Perlu
dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai
contoh, seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja,
begitu pula pada pasien episodik jarang, terdapat kemungkinan akan mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.
Parameter
klinis,
fungsi faal paru,
laboratorium
Sesak (breathless)

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan
Bayi:
Menangis keras

Istirahat
Bayi:
Tidak
mau
makan/minum

Posisi

Bisa berbaring

Berbicara
Bayi:
Menangis
pendek dan
lemah
Kesulitan
makan/nete
Lebih suka duduk

Bicara
Kesadaran

Kalimat
Mungkin
irritable
Tidak ada
Sedang, sering
hanya
pada
akhir ekspirasi
Biasanya tidak

Penggal kalimat
Biasanya irritable

Dangkal,
retraksi
interkostal
Takipnoe

Sedang, ditambah
retraksi suprasternal

Sianosis
Wheezing
Penggunaan otot bantu
respiratorik
Retraksi
Frekuensi napas

Tidak ada
Nyaring, sepanjang
ekspirasi inspirasi
Biasanya ya

Takipnoe

Ancaman
henti napas

Duduk bertopang
lengan
Kata-kata
Biasanya irritable
Ada
Sangat
terdengar
stetoskop
Ya

nyaring,
tanpa

Dalam,
ditambah
napas
cuping
hidung
Takipnoe

Bingung
Nyata
Sulit/tidak
terdengar
Gerakan
paradok
torakoabdominal
Dangkal/hila
ng
Bradipnoe

14

Frekuensi nadi

Pulsus
paradoksus
(pemeriksaan
tidak
praktis)
PEFR atau FEV1
(%nilai dugaan/%nilai
terbaik)
Pra bronkodilator
Pasca bronkodilator
Sa 02 %
Pa 02

Pa CO2

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak sadar:


Usia
Frekuensi napas
<2 bulan
<60
2-12 bulan
<50
1-5 tahun
<40
6-8 tahun
<30
Normal
100-120
>120
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak
Usia
Frekuensi nadi
2-12 bulan
<160
1-2 tahun
<120
6-8 tahun
<110
Tidak ada
Ada
Ada
(<10mmHg)
(10-25mmHg)
(>25mmHg)

Bradikardi

Tidak
ada,
tanda
kelelahan
otot
respiratorik

>60%
>80%

40-60%
60-80%

>95%
Normal
(biasanya
tidak
perlu
diperiksa)
<45mmHg

91-95%
>60mmHg

<40%
<60% atau respons
<2jam
90%
<60mmHg

<45mmHg

>45mmHg

3. Klasifikasi Menurut Kontrol Asma


Karakteristi
Terkontrol
k
Gejala siang
Tidak ada
(2/ minggu)
Hambatan
Tidak ada
aktivitas
Gejala
Tidak ada
malam
/
terbangun
Butuh reliever
Tidak ada
/ obat pelega
(2/ minggu)
Fungsi paru
Normal
(PEF
atau
FEV1)

Terkontrol
Sebagian
2/ minggu

Tidak Terkontrol

Ada
Ada
3 / minggu
2/minggu
< 30 % nilai prediksi
atau nilai terbaik

Penatalaksanaan Asma
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen khusus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
15

Tujuan:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
2. Mencegah eksaserbasi akut;
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
5. Menghindari efek samping obat;
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
7. Mencegah kematian karena asma;
8. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Global Initiative for Asthma (GINA) yang dikoordinasikan oleh National Heart,
Lung, and Blood Institute Amerika Serikat dan World Health Organization (WHO) dalam
GINA: Management and Prevention telah merumuskan tujuan dari penatalaksanaan asma
yang sebelumnya sudah disebutkan. Untuk memenuhi tujuan tersebut, terdapat 5 komponen
yang diterapkan dalam penatalaksanaan asma, antara lain:
1. KIE dan hubungan dokter-pasien
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter
dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini akan mempercepat tujuan
penatalaksanaan asma, yaitu dengan bimbingan dokter, pasien didukung untuk dapat
mengontrol penyakit asma yang dideritanya dengan mengetahui kapan serangan asma
memburuk, apa yang harus dilakukannya, kapan harus segera menghubungi dokter,
kapan harus datang ke rumah sakit, dan akhirnya akan meningkatkan kepercayaan diri
dan ketaatan berobat pasien.
2. Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko
Untuk dapat mengontrol asma dengan baik, perlu dilakukan identifikasi
mengenai faktor yang dapat memicu atau mencetuskan terjadinya serangan asma.
Dengan demikian, pasien dapat menghindari atau menurunkan pajanan terhadap
faktor pencetus tersebut sehingga dapat mencegah terjadinya serangan asma.
3. Penilaian, pengobatan, dan monitoring asma
4. Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan

16

Tujuan
menghilangkan

penatalaksanaan
obstruksi

pada

secepat

asma

eksaserbasi

mungkin,

akut

menghilangkan

antara

lain

hipoksemi,

mengembalikan faal paru ke normal secepat mungkin, dan mencegah kekambuhan.


5. Keadaan asma pada keadaan khusus

Kehamilan meskipun pada saat kehamilan pemberian obat pada serangan asma
harus lebih berhati-hati, akan tetapi serangan asma pada ibu hamil harus cepat
ditangani. Hal ini dikarenakan serangan asma dapat berpengaruh buruk pada
keadaan janin, seperti pertumbuhan janin terhambat, lahir prematur, dan
peningkatan insidensi operasi caesar. Bila terjadi serangan, segera kalukan
pemberian inhalasi agonis 2, oksigen, dan kortikosteroid sistemik.

Rhinitis dan sinusitis sering terjadi bersamaan dengan terjadinya serangan


asma. Rhinosinusitis kronis berkaitan dengan serangan asma berat. Pada sebagian
pasien, kortikosteroid intranasal dapat meningkatkan tercapainya asma terkontrol.

Obesitas asma lebih sulit dikontrol pada pasien dengan obesitas. Penurunan
berat badan harus dimasukkan dalam perencanaan penatalaksanaan pada pasien
asma dengan obesitas.

Penatalaksanaan Farmakologi Asma


Pengontrol
1. Metilxantin
Terdapat 3 golongan obat metilxantin yaitu teofilin, teobromin, dan kafein.
Mekanisme kerja dari obat ini adalah menghambat enzim fosfodiesterase sehingga
menyebabkan bronkodilatasi, juga hambatan pada reseptor adenosin pada saluran
napas yang mencegah terjadinya bronkokonstriksi. Obat yang digunakan sebagai
pengontrol adalah aminofilin lepas lambat atau teofilin lepas lambat.
2. Kortikosteroid sistemik
Efek paling utama dari kortikosteroid adalah menghambat reaksi inflamasi
yang terjadi pada saat serangan yang disebabkan oleh eusinofil, dan mediator lain
seperti leukotrien, asam arakhidonat, prostaglandin, dan lain-lain. Selain itu, obat ini
juga memiliki efek potensiasi terhadap efek agonis. Contoh: prednison dan metil
prednisolon.
3. Agonis 2 long acting

17

Obat ini digunakan sebagai agonis resptor 2 yang terdapat pada saluran
napas, khususnya bronkus. Obat ini memberikan efek relaksasi otot polos bronkus dan
menghambat sekresi mukus pada saluran napas dengan waktu kerja yang lama, maka
digunakan sebagai pengontrol. Contoh: salmeterol.
4. Anti leukotrien
Inhibitor leukotrien merupakan obat asma dengan mekanisme kerja
menghambat sintesis melalui inhibisi enzim 5-lipooksigenase untuk metabolisme
asam arakhidonat dalam proses inflamasi. Contoh obat: zileuton. Antagonis reseptor
leukotrien D4: zafirlukast dan montelukast.
Pelega
1. Metilxantin
Terdapat 3 golongan obat metilxantin yaitu teofilin, teobromin, dan kafein.
Mekanisme kerja dari obat ini adalah menghambat enzim fosfodiesterase sehingga
menyebabkan bronkodilatasi, juga hambatan pada reseptor adenosin pada saluran
napas yang mencegah terjadinya bronkokonstriksi. Obat yang digunakan sebagai
pengontrol adalah aminofilin dan teofilin.

2. Kortikostroid sistemik
Efek paling utama dari kortikosteroid adalah menghambat reaksi inflamasi
yang terjadi pada saat serangan yang disebabkan oleh eusinofil, dan mediator lain
seperti leukotrien, asam arakhidonat, prostaglandin, dan lain-lain. Selain itu, obat ini
juga memiliki efek potensiasi terhadap efek agonis. Contoh: prednison dan metil
prednisolon.
3. Agonis 2 short acting
Obat ini digunakan sebagai agonis resptor 2 yang terdapat pada saluran napas,
khususnya bronkus. Obat ini memberikan efek relaksasi otot polos bronkus dan
menghambat sekresi mukus pada saluran napas. Contoh: terbutalin dan salbutamol.
4. Anti kolinergik
Obat ini menghambat pengeluaran asetilkolin dari N. Vagus di saluran napas
pada reseptor muskarinik. Keadaan ini menyebabkan blokade pada kontraksi otot
polos bronkus dan mengurangi sekresi kelenjar pada mukosa saluran napas. Contoh:
ipratropium bromide.
18

Medikasi
Pengontrol
Steroid Inhalasi
Metilxantin
Kortikosteroid
sistemik
Alternatif anti
inflamasi
Profilaksis
sebelum
exercise/pajanan
Agonis 2 LA
Anti leukotrien

Medikasi
Pelega
Metilxantin
Kortikosteroid
sistemik

Nama Generik

Bentuk Obat

Dosis Obat

Flutikason propionat
Budesonide
Aminofilin lepas lambat
Teofilin lepas lambat
Metilprednisolon
Prednisolon
Kromolin

IDT
IDT, Turbuhaler
Tablet
Tablet
Oral, injeksi
Oral
IDT 5 mg/semprot

125-500 mcg / hari


100-200 mcg / hari
2 x 1 tablet
2 x 125-300 mg
4-40 mg/hari
20-40 mg/hari
1-2 semprot, 3-4 x/hari

Nedokromil

IDT 2 mg/semprot

2 semprot, 2-4 x/hari

Salmeterol
Zafirlukast

IDT 25 mcg/semprot
Tablet 20 mg

2-4 semprot, 2 x / hari


2 x 20 mg/hari

Bentuk Obat

Dosis Obat

Nama Generik
Teofilin
Aminofilin
Metilprednisolon
Prednisolon

Antikolinergik

Ipratropium bromide

Agonis 2 SA

Terbutalin

Salbutamol

Tablet 130, 150 mg


Tablet 200 mg
Tablet 4, 8, 16 mg,
injeksi
Tablet 5 mg

3-5 mg / kgBB, 3-4 x


sehari
Short course:
24-40 mg/ hari dosis
tunggal atau terbagi
dalam 3-10 hari
IDT 20 mcg/semprot 20 mcg, 3-4x/hari
Solutio (nebulisasi)
0,25-0,5 mg/6 jam
IDT 0,25 mg / 0,25-0,5 mg, 3-4 x/hari
semprot
Oral 1,5-2,5 mg, 3Turbuhaler 0,25 ; 0,5 4x/hari
mg/hirup
(Penggunaan
obat
Solutio 5 mg /2 ml
pelega
sesuai
Tablet 2,5 mg
kebutuhan)
Sirup 1,5 ; 2,5 mg/5
ml
IDT 100mcg/semprot
Inhalasi 200 mcg, 3-4
Solutio 2,5 mg/2 ml ; 5 x/hari
mg/ml
Oral 1-2 mg, 3-4x/hari
Tablet 2, 4 mg
Sirup 1 mg, 2 mg / 5

19

ml
Penatalaksanaan Non-Farmakologi Asma Bronkiale
1. Kontrol Teratur
2. Pola Hidup Sehat

Meningkatkan kebugaran fisik

Berhenti merokok dan menghindari asap rokok

Mengidentifikasi dan menghindari faktor pencetus

Penatalaksanaan Asma Akut


Serangan akut (eksaserbasi asma) adalah episode akut atau sub akut dengan sesak
yang memburuk secara progresif disertai batuk, mengi, dan nyeri dada, atau beberapa
kombinasi gejala tersebut.(1) Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat dan membutuhkan
bantuan medis segera. Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit atau
unit gawat darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah
penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Tujuan penatalaksanaan asma akut antara lain:
1. Menghilangkan obstruksi secepat mungkin
2. Menghilangkan hipoksemi
3. Mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
4. Mencegah kekambuhan
Penatalaksanaan Asma Akut Menurut GINA 2014 (7)

20

Manajemen Eksaserbasi
Penatalaksanaan pada asma akut diawali dengan penilaian terhadap pasien. Hal yang
dinilai antara lain apakah benar yang terjadi adalah serangan asma, apakah terdapat faktor
risiko yang berkaitan dengan keadaan yang mengancam jiwa, dan menilai derajat serangan
asma yang terjadi. Identifikasi pasien serangan asma mengancam jiwa atau berisiko tinggi
kematian:
1. Riwayat serangan asma berat hingga membutuhkan intubasi dan ventilasi
2. Serangan asma hingga masuk RS atau UGD dalam 12 bulan terakhir
3. Tidak sedang menggunakan kortikosteroid IV atau kepatuhan yang buruk dalam
menggunakan kortikosteroid IV
4. Sedang dalam pengobatan atau sudah berhenti menggunakan kortikosteroid oral
5. Pengunaan berlebihan 2 agonis short acting (> 1 canister/bulan)
6. Riwayat gangguan psikiatri atau masalah psikososial
7. Riwayat alergi makanan

21

Bersamaan dengan dilakukan penilaian, juga dipikirkan kemungkinan penyebab lain


yang dapat menyebabkan keluhan serupa, seperti gagal jantung, disfungsi saluran pernapasan
atas, obstruksi benda asing, atau emboli paru.
Setelah dilakukan penilaian, apabila pasien memiliki tanda-tanda serangan asma berat
segera rujuk ke rumah sakit dan apabila ditemukan pasien yang mengalami penurunan
kesadaran (drowsy), kebingungan, atau silent chest, maka pasien perlu dirujuk secepatnya ke
ICU. Pasien secepatnya diberikan pengobatan awal berupa inhalasi 2 agonis short acting,
inhalasi ipratropium bromide, oksigen, dan kortikosteroid sistemik. Selain itu, dapat
diberikan magnesium sulfat apabila pasien tidak memberikan respon pada pengobatan awal.
Apabila serangan yang terjadi merupakan asma derajat ringan atau sedang,
pengobatan awal yang diberikan berupa 2 agonis short acting setiap 20 menit selama 1 jam,
kortikosteroid oral, dan kontrol saturasi oksigen dengan target 93-95 %. Setelah 1 jam,
dilakukan penilaian ulang, apabila keadaan pasien memburuk,

segera lanjutkan

penatalaksanaan seperti pada serangan asma berat.


Penilaian Respons
Monitoring pasien dilakukan dengan frekuensi yang cukup sering selama pengobatan
untuk melihat apakah respons dari pasien membaik atau justru memburuk. Pertimbangkan
untuk rawat inap berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, uji fungsi paru, respons terhadap
pengobatan, riwayat eksaserbasi sebelumnya, dan kemampuan untuk mengontrol asma di
rumah. Selain itu, juga dilakukan pengaturan pengobatan yang sedang berjalan, dengan
meningkatkan dosis obat pengontrol selama 2-4 minggu dan mengurangi penggunaan obat
pelega untuk dipakai sesuai kebutuhan, juga dipastikan mengenai kepatuhan dan apakah
teknik pasien benar dalam penggunaan obat pelega. Jadwalkan pasien untuk follow up
seminggu kemudian.
Follow Up Setelah Eksaserbasi
Pada saat dilakukan follow up, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
1. Pemahaman pasien mengenai faktor pencetus eksaserbasi
2. Faktor risiko yang dapat modifikasi untuk mengurangi eksaserbasi, seperti rokok
3. Pemahaman mengenai tujuan pengobatan dan teknik penggunaan obat pelega yang
benar
4. Review rencana asma tertulis

22

Penatalaksaan Asma Akut Menurut PDPI 2004 (9)


Penatalaksanaan Asma di Rumah

Penatalaksanaan pada serangan asma di rumah diawali dengan penilaian terhadap


derajat serangan. Hal ini berdasarkan pada gejala klinis seperti batuk, sesak, mengi, dada
terasa berat yang bertambah, APE < 80 % nilai terbaik atau prediksi. Langkah selanjutnya
adalah pemberian pengobatan awal berupa inhalasi agonis 2 short acting setiap 20 menit
selama 1 jam atau bronkodilator oral. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan ulang untuk
menilai respons dari pengobatan.
Pada pasien dengan respons baik dengan tanda-tanda gejala batuk, sesak, mengi
membaik dan bertahan selama 4 jam APE > 80 % prediksi atau nilai terbaik, lanjutkan
inhalasi agonis 2 setiap 3 jam sampai dengan 24-48 jam atau dengan alternatif pengobatan
lainnya berupa bronkodilator oral setiap 6-8 jam. Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis
tinggi (bila sedang dalam pengobatan steroid inhalasi) selama 2 minggu kemudian kembali ke
dosis awal. Selanjutnya, hubungi dokter untuk instruksi selanjutnya.

23

Pada pasien dengan respons buruk dengan gejala menetap atau bertambah berat, APE
< 60 % prediksi atau nilai terbaik, tambahkan kortikosteroid oral dan pengulangan pemberian
agonis 2. Selanjutnya, segera ke dokter atau UGD atau RS.
Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit

Langkah awal pada penatalaksanaan asma akut di rumah sakit adalah dengan
melakukan penilaian terhadap beberapa hal, antara lain anamnesis dan pemeriksaan fisik
(auskultasi, retraksi, heart rate, respiration rate), dan fungsi paru, serta AGD (Analisa Gas
Darah) apabila keadaan menungkinkan. Dari hasil penilaian, dapat diklasifikasikan serangan
asma yang terjadi merupakan asma ringan, sedang, berat, atau mengancam jiwa.
Pada serangan asma ringan sampai dengan berat, langkah selanjutnya adalah
pemberian pengobatan awal yang terdiri dari oksigenasi dengan kanal nasal, inhalasi agonis
2 short acting dengan nebulisasi setiap 20 menit selama 1 jam atau injeksi agonis 2
(Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan), dan kortikosteroid
24

sistemik yang diberikan pada keadaan tertentu, seperti serangan asma berat, tidak ada respon
segera dengan pemberian bronkodilator, dan dalam pengobatan kortikosteroid oral.
Pada serangan asma mengancam jiwa, langkah selanjutnya adalah pasien dipindahkan
ke ICU dengan tatalaksana lebih lanjut berupa inhalasi 2 agonis + antikolinergik,
kortikosteroid IV, aminofilin drip, pertimbangkan injeksi 2 agonis, dan kemungkinan
perlunya tindakan intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik.
Setelah pengobatan awal selama 1 jam, kembali dilakukan penilaian ulang terhadap
pemeriksaan fisik, saturasi oksigen, dan pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi. Kemudian,
pasien dapat diklasifikasikan menjadi respons baik (pemeriksaan fisik normal, APE > 70%),
respons tidak sempurna (pemeriksaan fisik gejala asma ringan-sedang, APE 50-70%, tidak
terjadi perbaikan saturasi oksigen), dan respons buruk (pemeriksaan fisik asma berat, gelisah,
kesadaran menurun, APE < 30 %, PaCO2 > 45 mmHg, PaO2 < 60 mmHg)
Apabila pasien memberikan respons baik dengan pemeriksaan fisik normal dan APE
>70 %, dapat dipulangkan dengan tetap melanjutkan pengobatan berupa inhalasi 2 agonis,
kortikosteroid oral, dan edukasi pasien mengenai cara pemakaian obat yang benar dan
rencana pengobatan selanjutnya.
Setelah pengobatan awal, akan dilakukan penilaian ulang 1 jam kemudian dan akan
dinilai apakah pasien memiliki respons baik terhadap pengobatan, respons tidak sempurna,
atau respons buruk.

Pada pasien dengan respons tidak sempurna, ditemukan pemeriksaan

fisik berupa tanda-tanda serangan asma ringan-sedang, 50 % < nilai APE <70 % , dan saturasi
o2 tidak ada perbaikan, penatalaksanaan selanjutnya yang diberikan adalah rawat inap di
rumah sakit dengan pengobatan berupa inhalasi 2 agonis + antikolinergik, kortikosteroid
sistemik, aminofilin drip, pertimbangkan pemasangan kanul nasal O2 atau masker, pantau
APE, saturasi O2, nadi, dan kadar teofilin.
Setelah dilakukan penilaian ulang, diputuskan apabila keadaan pasien mengalami
perbaikan (APE > 60 %) maka pasien dapat dipulangkan dengan tetap menerima pengobatan
lanjutan berupa pengobatan oral dan inhalasi. Apabila keadaannya memburuk, maka pasien
dipindahkan ke ICU dengan tatalaksana lebih lanjut berupa inhalasi 2 agonis +
antikolinergik, kortikosteroid IV, aminofilin drip, pertimbangkan injeksi 2 agonis, dan
kemungkinan perlunya tindakan intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik.
Beberapa pertimbangan untuk memulangkan, rawat inap, atau merujuk pasien ke ICU
bergantung pada hasil penilaian kembali setelah pasien mendapatkan pengobatan. Kriteria
pasien yang boleh dipulangkan antara lain:
25

1. Pemeriksaan fisik normal


2. APE >70 %
3. Kepatuhan berobat
Kriteria rawat inap pasien antara lain:
1. Pemeriksaan fisik seperti serangan asma ringan atau sedang
2. 50 % < nilai APE <70 %
3. Saturasi O2 tidak ada perbaikan
Kriteria merujuk pasien ke ICU antara lain:
1. Pemeriksaan fisik asma berat
2. Tidak memberikan respons terhadap pengobatan awal
3. Gelisah atau penurunan kesadaran
4.

APE < 30 %

5. Hasil AGD PaCO2 > 45 mmHg atau PaO2 < 60 mmHg


Intubasi atau ventilasi mekanik dapat dilakukan apabila terjadi perburukan klinis
walau dengan pengobatan yang optimal, pasien tampak kelelahan, atau PaCO2 terus
meningkat. Tidak ada kriteria absolut untuk melakukan intubasi dengan syarat sesuai dengan
keterampilan dokter dalam hal menangani masalah pernapasan. Prinsip pentalaksanaan pada
pasien dengan menggunakan ventilasi mekanik adalah sama, yaitu pemberian oksigen yang
adekuat, bronkodilator, dan glukokortikoid sistemik.

Derajat Serangan
RINGAN
Aktivitas relatif normal
Berbicara satu kalimat dalam
satu napas
Nadi < 100
APE > 80 %
SEDANG
Jalan jarak jauh timbulkan
gejala
Berbicara beberapa kata
dalam satu napas
Nadi 100-120
APE 60-80 %
BERAT
Sesak saat istirahat

Pengobatan
Terbaik:
Inhalasi agonis 2
Alternatif:
Kombinasi oral agonis 2
dan teofilin

Tempat Pengobatan
Di rumah
Di praktik dokter
Klinik
Puskesmas

Terbaik:
UGD / RS
Nebulisasi agonis 2
Praktik dokter
Alternatif:
Klinik
Injeksi agonis 2 SK
Puskesmas
Aminofilin IV
Adrenalin 1/1000 0,3 ml
subkutan
Oksigen
Kortikosteroid sistemik
Terbaik:
UGD / RS
Nebulisasi agonis 2
Klinik
26

Berbicara kata
dalam satu napas
Nadi >120
APE < 60 %

per

kata Alternatif:
Injeksi agonis 2 SK / IV
Aminofilin bolus dilanjutkan
drip
Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK
Oksigen
Kortikosteroid IV
MENGANCAM JIWA
Seperti sarungan akut berat
UGD / RS
Kesadaran menurun
Pertimbangkan intubasi dan ICU
Gelisah
ventilasi mekanik
Sianosis
Gagal napas
Penatalaksaan Asma Akut Menurut Menkes 2008 (3)
Penatalaksanaan pada asma akut diawali dengan penilaian terhadap pasien. Hal yang
dinilai antara lain apakah benar yang terjadi adalah serangan asma, apakah terdapat faktor
risiko yang berkaitan dengan keadaan yang mengancam jiwa, dan menilai derajat serangan
asma yang terjadi.
Pada kasus pasien dengan serangan asma ringan, dapat diberikan pengobatan awal
berupa inhalasi 2 agonis short acting atau secara sistemik apabila sediaan inhalasi tidak
tersedia. Untuk pasien dewasa, dapat diberikan kombinasi dengan teofilin atau aminofilin
oral. Pada keadaan khusus seperti riwayat serangan asma berat sebelumnya, tidak ada respons
segera dengan pengobatan bronkodilator, dan sedang dalam pengobatan kortikosteroid oral,
dapat diberikan kortikosteroid sistemik berupa metil prednisolon dalam waktu 3-5 hari.
Pada pasien dengan serangan asma derajat sedang, dapat diberikan pengobatan berupa
inhalasi 2 agonis short acting dan kortikosteroid oral. Untuk pasien dewasa, dapat
ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip), dan oksigen serta
pemberian cairan IV apabila diperlukan.
Pada pasien dengan serangan asma derajat berat, pasien dirawat di rumah sakit,
kemudian diberikan oksigen dan cairan IV, pengobatan berupa inhalasi 2 agonis short
acting, inhalasi ipratropium bromida, aminofilin IV (bolus atau drip), dan kortikosteroid IV.
Apabila 2 agonis tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.
Pada serangan asma mengancam jiwa, pasien dirujuk ke ICU. Pemberian obat bronkodilator
terutama dalam bentuk inhalasi atau nebuliser. Bila tidak ada, dapat menggunakan IDT
(MDI) dengan alat bantu (spacer).
Prognosis Asma Bronkiale
27

1. Ad vitam

: bonam

Pada umumnya, asma merupakan penyakit yang jarang menyebabkan


kematian. Hal ini bergantung kepada pemahaman pasien untuk mengenali kejadian
serangan asma pada dirinya dan ketepatan penatalaksanaan pada saat terjadinya
serangan.
2. Ad functionam

: dubia

Asma merupakan penyakit yang didasari oleh adanya reaksi inflamasi,


bronkokostriksi, dan hipersekresi mukus yang menyebabkan adanya obstruksi jalan
napas. Apabila tidak terkontrol dengan baik dan terjadi berulang kali, ketiga hal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur jalan napas sehingga dapat
menurunkan fungsi paru secara irreversible.
3. Ad sanationam

: dubia

Asma merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh adanya reaksi


hipersensitivitas dari tubuh yang didasari oleh faktor genetik. Oleh karena itu, tingkat
kekambuhan penyakit ini tergantung pada kepatuhan pasien untuk dapat menghindari
faktor pencetus yang menyebakan munculnya reaksi hipersensitivitas dalam
tubuhnya.

BAB III
KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit paru obstruksif yang disebabkan oleh adanya suatu faktor
pencetus yang dapat merangsang reaksi hipersensitivitas pada tubuh penderita yang dapat
menghasilkan suatu reaksi inflamasi yang berefek pada timbulnya gejala klinis berupa batuk,
sesak, dan mengi. Penatalaksanaan asma terbagi menjadi dua, yaitu terapi farmakologis dan
non farmakologis.
Pada serangan asma akut, tujuan utama pengobatan adalah untuk menghilangkan
obstruksi secepat mungkin, menghilangkan hipoksemi, mengembalikan fungsi paru ke
normal secepat mungkin, dan mencegah kekambuhan. Pemilihan terapi farmakologis pada
asma akut bergantung pada derajat serangan asma yang terjadi.

28

Selain penatalaksanaan asma akut pada pasien asma, sangat penting bagi pasien untuk
mengontrol penyakit ini agar tidak kembali terjadi kekambuhan atau eksaserbasi akut.
Pengontrolan penyakit ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik dengan terapi
farmakologis berupa obat pengontrol ataupun non famakologis, seperti kontrol teratur,
menjaga kebugaran fisik, dan modifikasi serta menghindari faktor pencetus asma itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sihombing, S. Alqi, Q. Nainggolan, O. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakit asma pada usia 10 tahun di Indonesia. J Respir Indo. 2010; (30): 2
2. Lemanske, RF. Busse, WW. JAMA 1997; 278: 1855-73.
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/X1/2008.
4. Alsagaff, H. Mukty, A. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Ed: II. Surabaya: Airlangga
University Press. 2002. p: 263-300
5. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. 2011.
6. Sherwood, L. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed: II. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2001. p: 413-20.
7. Global Initiative for Asthma. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention:
for adults and children older than 5 years. 2014.
29

8. Thomas J, Stephen J. 2007. Patofisiologi Penyakit; Pengantar Menuju Kedokteran


Klinis Ed.V: Penyakit Paru, Penerbit Buku Kedokteran EGC. P: 253-9.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan

Asma

di

Indonesia.

2003.

http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html [Diakses 30 Agustus 2014]


10. Silbernagl S. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2007. P:52-5

30

Anda mungkin juga menyukai