S BHP
S BHP
TUTORIAL A-1
Nama anggota dan NRP
Muhammad Rifo Jafriadi
1210211127
Luthfi Khairul
1210211185
Setyo Sutanto
1210211142
1210211200
Lisprapikasari
1210211121
Sintya Mutini
1210211132
Andea Ryantika H
1210211087
Sabrina
1210211199
Titi Nurbaiti
1210211193
Hawasyalna
1210211053
1110211074
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
Kata Pengantar
Assalamualaikum wr. wb.
Salam sejahtera bagi umatnya.
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah bhp. Kami pun mengucapkan
terima kasih kepada seluruh penyusun makalah, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.
Makalah ini adalah rangkuman dari hal-hal yang telah kami pelajari untuk melakukan
seminar bhp. Makalah ini dibuat agar kami dapat mengerti lebih dan berbagi informasi tentang
penyakit gagal jantung, penangannya, serta hukum dan kode etik . Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Kami sadar makalah ini belum sempurna, semoga kita semua dapat mengambil ilmu yang
terdapat di dalamnya.Atas perhatiannya kami ucapkan terimaksih.
Daftar Isi
Bab 1
Latar Belakang, tujuan, dan manfaat ................................................................................(4)
Bab 2
Kode Etik dan kaidah dasar bioetik ...............................................................................(5)
Hukum Kodeki ...............................................................................................................(9)
Pedoman pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah .....................................(12)
Penyakit gagal jantung .................................................................................................(16)
Penanganan pasien gagal jantung .................................................................................(23)
Pelayanan pemeriksaan dan penanganan pasien gagal jantung .....................................(27)
Cardiac intensive unit ....................................................................................................(28)
Bab 3
Contoh kasus 1 .............................................................................................................(30)
Pembahasan kasus 1 .....................................................................................................(31)
Contoh kasus 2 .............................................................................................................(32)
Pembahasan kasus 2 ......................................................................................................(33)
Kesimpulan ..............................................................................................................................(34)
Daftar Pustaka .........................................................................................................................(35)
Bab I
LATAR BELAKANG
Masih berkembangnya isu etik terkait hukum dalam perujukan pasien gagal jantung
Masih kurangnya saran dan prasarana untuk penanganan pasien gagal jantung
TUJUAN
Mengetahui kode etik kedokteran Indonesia yang berkaitan dengan isu etik penanganan
dan perujukan pasien gagal jantung
Mempelajari dan mengetahui dasar-dasar hukum dalam perujukan pasien gagal jantung
MANFAAT
Mampu menangani isu-isu etik dalam penanganan dan perujukan pasien gagal jantung
sesuai dengan kode etik yang ada
Bab II
KODE ETIK
Isu etik adalah titik awal pembahasan masalah etika klinis. Konflik berkepanjangan
sering disebabkan karena klinisi tidak trampil menguak aspek etik pasien yang dihadapinya.Isu
etik dapat ditarik dari KDB (moral principle/principle-based ethics/ PBE ). KDB memberi
pegangan pembenaran moral bagi dokter. Terkait prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai
dari sisi etik kaidah yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence. Terkait nilai dan
penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya cerminan kaidah otonomi.
Aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas
hidup insan terkait dengan beneficence, non-maleficence &otonomi.Sedangkan yang
menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan keputusan, seperti factor keluarga,
ekonomi, budaya kaidah terkait justice.Isu etik sering sudah Nampak jelas pada kasus (insight),
karena adanya satu KDB yang dominan mewarnai kasus tersebut.Contoh kasus sederhana
:perlunya informed consent, jelas isu etiknya adalah keberlakuan KDB otonomi. KDB ini yang
akan membingkai kasus di atas.Kemutlakan pemberlakuan 1 KDB atas 1 kasus konkrit dikenal
dengan ketegaran moral (moral stringency).
Kaidah Dasar Bioetik
Kaidah-kaidah bioetik merupakah sebuah hukum mutlak bagi seorang dokter. Seorang
dokter wajib mengamalkan prinsip-prinsip yang ada dalam kaidah tersebut, tetapi pada beberapa
kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan
dengan mengorbankan prinsip yang lain. Kondisi seperti ini disebut Prima Facie. Konsil
Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa
praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut
kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika, yaitu:
1. Beneficence (tindakan berbuat baik)
2. Non Maleficence (tidak merugikan)
5
3. Justice (keadilan)
4. Autonomi (keputusan/pilihan sendiri)
Beneficence
Dalam arti bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat manusia, dokter
tersebut harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Perlakuan terbaik
kepada pasien merupakan poin utama dalam kaidah ini. Kaidah beneficence menegaskan peran
dokter untuk menyediakan kemudahan kepada pasien untuk mengambil langkah positif supaya
dapat meminimalisir akibat buruk yang mungkin terjadi. Prinsip-prinsip yang terkandung
didalam kaidah ini adalah;
Mengutamakan Alturisme.
Memandang
pasien/keluarga/sesuatu
tak
hanya
sejauh
menguntungkan
Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang
orang lain inginkan.Memberi suatu resep berkhasiat namun murah.
Non Maleficence
Non-maleficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil resikonya bagi
pasien yang dirawat atau diobati olehnya. Pernyataan kuno Fist, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti. Non-maleficence mempunyai ciri-ciri:
Menghindari misrepresentasi
Autonomi
Dalam kaidah ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia. Setiap
individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib sendiri.
Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri.
Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan
pasien demi dirinya sendiri. Kaidah Autonomi mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:
Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi.
Justice
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama rata
dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan kedudukan
sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan
kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat
mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien
yang menjadi perhatian utama dokter. Justice mempunyai ciri-ciri :
Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni :
a. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan
mereka
(kesamaan
sumbangan
sesuai
kebutuhan
pasien
yang
memerlukan/membahagiakannya)
b. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka
(kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).
Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat),
khususnya: yang-hak dan yang-baik
Jenis keadilan :
a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b. Distributif (membagi sumber): kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban
bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani;
secara material kepada:
Setiap orang andil yang sama
Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya
Setiap orang sesuai upayanya.
Setiap orang sesuai kontribusinya
Setiap orang sesuai jasanya
Setiap orang sesuai bursa pasar bebas
c. Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama:
Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social
dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.
Libertarian: menekankan hak kemerdekaan social ekonomi (mementingkan prosedur adil >
hasil substantif/materiil).
Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu
Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap
individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).
d. Hukum (umum):
Tukar menukar: kebajikan memberikan/mengembalikan hak-hak kepada yang berhak.
Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai
kesejahteraan umum
Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
10
PENDAHULUAN
11
PEDOMAN PENGENDALIAN
PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4544);
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4431);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4585);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan system Surveilans Epidemiologi Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular;
12
Kesehatan Nomor
I.
PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005, dr 58 juta
kematian di dunia, 17,5 juta (30%) diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung dan
pembuluh darah, terutama oleh serangan jantung (7,6 juta) dan stroke (5,7 juta). Pada
tahun 2015, diperkirakan kematian penyakit jantung dan pembuluh darah di dunia
meningkat menjadi 20 juta.
Di Indonesia, dalam menghadapi permasalahan penyakit jantung dan pembuluh
darah, Departemen Kesehatan telah melakukan berbagai upaya terobosan. Pada tahun
2007 Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta telah ditetapkan
sebagai Pusat Jantung Nasional yang diarahkan menuju rumah sakit kelas dunia dan
membangun system pelayanan jantung secara berjenjang di seluruh Indonesia dengan
ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1102/MENKES/SK/IX/2007.
Untuk mendekatkan pelayanan rujukan penyakit kardiovaskular sedang dikembangkan
Pusat Pelayanan Jantung Terpadu yang saat ini sudah ada di beberapa provinsi di
Indonesia. Selanjutnya ditetapkan pula Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
997/MENKES/SK/X/2007
dan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
13
14
Riwayat Keluarga
Umur
Jenis Kelamin
Hipertensi
Diabetes Melitus
Dislipidemia
Merokok
Pola makan
Stress
15
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa
penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik,
gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian pada pasien.
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal
jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta
gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian
berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan
klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.2
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan
pembagian:
1. Derajat I : tanpa gagal jantung
2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus dibasal paru, S3 galop dan
peningkatan tekanan vena pulmonalis
3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
4. Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90 mmHg) dan
vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan
kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah,
refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau
square wave blood pressurepada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya
tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut
16
kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas
(warm).
2.
3.
4.
ETIOLOGI
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyakhal. Secara epidemiologi cukup penting
untunk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negaraberkembang penyakit arteri koroner
dan hipertensimerupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi
penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup danpenyakit jantung akibat malnutrisi. Pada
beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada
keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal
jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita.
Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok jugamerupakan faktor yang dapat
berpengaruh padaperkembangan dari gagal jantung. Selain itu beratbadan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung.Hipertensi telah dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard,
serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung.
17
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit
pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi
(kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot
jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri denganatau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE,
sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah
mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah
regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan
kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan
gagal jantung seringkali timbul bersamaan.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut
maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol
menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan
nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat
18
kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.
PATOFISIOLOGI
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung,
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin
dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkankontraktilitas serta vasokons-triksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki
efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada
19
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriureticpeptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada
gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik
dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.
DIAGNOSIS
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak
nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.8-10 Pemeriksaan
penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto
20
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio
thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap
awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg
didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru
bermakna.
Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkena adalah bagian kanan.Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran
abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal
dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila
gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan
gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan
serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting
enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul
pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat
potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi
tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP
plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.Pemeriksaan radionuklide atau
multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada
nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan
fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi
jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
22
23
Kerusakan jantung bawaan dan katup jantung tidak normal dapat diperbaiki dengan
operasi. Penyumbatan arteri jantung dapat diobati dengan angioplasty atau operasi bypass
arterijantung.
Pada gagal jantung parah, otot jantung mungkin rusak dan pengobatan yang tersedia tidak
membantu.Pasien dengan gagal jantung tahap akhir biasanya mempertimbangkan transplantasi
jantung ketika pengobatan lainnya tidak berhasil.
24
PENATALAKSANAAN
Penanganan mutakhir gagal jantung bergantung pada derajat penyakit dan penyebab
terjadinya penyakit gagal jantung. Namun, semua pasien gagal jantung, baik sitolik maupun
diastolic memerlukan pengobatan farmakologi dan non farmakologi.
Pengobatan farmakologi pasien gagal jantung meliputi pemberian obat golongan ACEInhibitor (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin (ARB) sampai dosis optimal jika pasien
tidak memiliki kontraindikasi pemberian golongan obat tersebut. Namun, dapat dilakukan
pemberian kombinasi obat hydralazine dan isosorbidnitrat, jika pasien memiliki kelainan ginjal
yang berat yang ditandai dengan kadar kreatinin yang tinggi, yang merupakan kontra indikasi
pemberian ACE-I dan ARB.
Selain itu, pasien gagal jantung juga harus mendapatkan terapi denganobat golongan beta
blocker (BB) dalam dosis kecil, jika pasien tersebut bebas dari kontra indikasi pemberian obat
beta blocker.
Untuk pasien gagal jantung dengan stadium berat kelas fungsional 3 dan 4, dapat
diberikan obat golongan antagonis aldosteron, seperti spironolactone dengan dosis kecil, jika
tidak membaik dengan pemberian ACE-I, ARB dan BB, karena terbukti meningkatkan angka
survival.
Obat digitalis hanya diberikan pada pasien gagal jantung yang keadaannya tidak
membaik dengan pemberian ACE-I, ARB, dan BB, pasien dengan fibrilasi atrium yang memiliki
heart rate > 100x/menit dan pasien yang memiliki fraksi ejeksi< 30%. Selainitu, pasien dengan
keadaan diatas dapat diberikan antikoagulan untuk mengantisipasi terjadinya cardio-embloic,
namun harus dipastikan tidak ada kontra indikasi.
Usahakan untuk mengatasi etiologi dari terjadinya gagal jantung. Jika terjadi akibat
penyakit jantung coroner (PJK) dapat diberikan simvastatin dan aspirin.Penyempitan coroner
dapat dilakukan pembalonan, stent atau CABG untuk revaskulaisasi. Perbaikan katup jantung
bias dilakukan jika penyebabnya adalah regurgitasi katup, dan pemberian omega-3 dapat
bermanfaat jika penyebabnya bukan akibat PJK.
Sampai sekarang pusat jantung nasional masih melakukan penelitian untuk menggunakan
obat golongan antagonis vasopressin dan obat-obatan lain secara multicenter di luar negeri.
25
Penatalaksanaan non farmakologi meliputi perubahan dan pengaturan gaya hidup, yang
dilakukan untuk semua kasus penyakit kardiovaskular Tidak kalah penting, edukasi pada pasien
gagal jantung untuk teratur menimbang badan dirumah sangat bermanfaat untuk mengantisipasi
adanya kongesti. Selain itu, dilakukannya pemasangan pacu jantung sangat bermanfaat pada
pasien yang memiliki kondisi interval QRS lebar berupa LBBB yang disertai blok jantung
derajat 1. Pemasangan Cardiac Resyncronization Therapy (CRT) juga dapat dilakukan pada
pasien dengan kondisi dissinkronisasi pada echocardiography.
Selainterapi yang disebutkandiatas, pembentukan klinik gagal jantung sangat diperlukan
dalam mendukung penatalaksanaan pasien-pasien gagaljantung yang sudah dalam stadium berat
dan sering mendapatkan perawatan berulang. Klinik ini, nantinya akan menyediakan pelayanan
kesehatan yang focus dengan pasien-pasien gagal jantung. Perawat-perawat terlatih yang akan
mendampingi pasien, mengontrol kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat-obatan yang sudah
diresepkan juga mampu dan kompeten untuk mengatasi suatu keadaan eksaserbasi gagal jantung
dengan menaikan dosis diuretika. Selain petugasnya yang lebih terlatih dalam menangani pasien
khusus, klinik ini juga harus dilengkapi alat diagnostic dan monitoring seperti echocardiography,
physio-flow, sphygmocoredantele-electrocardiography.Obat-obatan yang lengkap dan fasilitas
pelayanan One Day Care (ODC) juga harus tersedia dalam klinik gagal jantung ini. Monitoring
jarak jauh juga harus dapat dilakukan dengan Cardio-Thoracic Impedance atau Pulmonary
Artery Pressure ( PA Pressure) yang akan dipasang dibawah kulit dada pasien, dan akan
memberikan tanda pada klinik gagal jantung jika terjadi suatu keadaan kongesti paru, sehingga
pasien dapat langsung ditangani oleh petugas kesehatan, baik dengan menaikan dosis terapi atau
dilakukannya ODC.
Penanganan pasien gagal jantung secara terpadu dan mutakhir memerlukan keterlibatan
berbagai bidang sub-specialist kardiovaskular, untuk menghindari keadaan yang dapat
merugikan pihak pasien akibat perawatan dengan biaya besar yang dapat terja diberulang kali
sampai timbulnya suatu kecacatan hingga kematian.
26
27
28
29
Bab III
Contoh kasus
Penolakan Bayi D
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia di kejutkan dengan berita
meninggalnya bayi mungil bernama D. Bayi D meninggal diduga karena mengalami
keterlambatan penanganan. Dalam berbagai berita disebutkan bahwa Bayi D terlahir prematur
dan mengalami gangguan pernapasan karena paru-paru dan jantung yang belum mengembang
sempurna dan beberapa gangguan lain.
Gangguan tersebut membutuhkan perawatan yang lebih canggih dimana hanya rumah
sakit yang memiliki fasilitas perawatan tersebut (NICU). Dengan segera puskesmas dan keluarga
merujuk Bayi D menggunakan Kartu Jakarta Sehat ke rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU.
Sayang ternyata beberapa rumah sakit (diantara berita menyebutkan sampai 10 rumah sakit)
diduga menolak rujukan yang diajukan Puskesmas tempat awal Bayi D dilahirkan dan mendapat
penanganan pertama.
Alasan yang dikemukakan oleh berbagai rumah sakit tersebut hampir sama yaitu tidak
ada ruang kosong di bagian NICU (Neonatal Intensif Care Unit). Karena tidak ada ruang kosong,
otomatis tidak tersedia fasilitas perawatan yang dibutuhkan oleh Bayi D. Bila memang demikian,
maka wajar bila rumah sakit menolak rujukan yang diajukan.
Namun dalam pemberitaan selanjutnya, Saya membaca reaksi masyarakat mulai negatif
dan berkembang menuju ke kecurigaan, apakah wajar bila sampai 10 rumah sakit mengajukan
alasan yang sama untuk menolak Bayi D? Ataukah penolakan tersebut dikarenakan penggunaan
Kartu Jakarta Sehat (yang desas desusnya bermasalah dalam pengadaan dana sehatnya)? Atau
memang rumah sakit kita pilah pilih dalam menerima pasien?
Bila sebatas membaca berita yang ada, sebagai manusia pastilah kurang lebih pembaca
menganggap pihak rumah sakit tidak memiliki rasa kemanusiaan. Bayi sekecil itu (terlahir
prematur dengan berat kurang lebih 1 kg) yang memiliki masalah pernapasan dan membutuhkan
30
penanganan segera, bukannya diterima dan ditangani, malah keluarga di oper kesana kemari
hingga akhirnya terlambat ditangani dan meninggal dunia. Sebagian besar pembaca menuntut
rumah sakit harus bertanggung jawab, dan tentu saja pemerintah harus disalahkan karena gagal
melindungi rakyatnya.
Pembahasan :
Dari contoh kasus di atas terdapat beberapa kaidah dasar bioetika yang di langgar dalam
kasus tersebut diantara nya :
Beneficence
Di mana pasien bayi D sangat susah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah
sakit X. Dalam hal ini bertentangan dengan nilai kaidah dasar bioetika beneficence yaitu peran
dokter dan rumah sakit dalam pelayanan pasien emergeny khusus nya pasien gagal jantung. Serta
dalam meminimalisir akibat buruk yang terjadi
Non-maleficence
Pada kasus di atas juga terjadi pelanggaran nilai kaidah dasar bioetika non-maleficence
dimana pasien seharusnya di berikan pertolongan terlebih dahulu terutama keadaan emergensi
agar tidak terjadi hal yang lebih buruk bahkan menyebabkan kematian pada pasien.
Dan dari kasus di atas terjadi pelanggaran hukum kedokteran terutama mengenai
pelayanan petugas dan komponen kesehatan terhadap pasien gagal jantung dimana berbunyi
dalam pasal berikut :
31
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005
tentang
Contoh kasus 2
Ribuan kematian yang terjadi di rumah sakit sebenarnya bisa dicegah. Kematian yang
tidak perlu itu mayoritas disebabkan karena kesalahan dokter dalam membuat diagnosa atau
pemberian obat yang tidak tepat.
Tak sedikit pula kematian terjadi karena dokter yang masih junior tidak mendapat
pendampingan seniornya. Pasien berusia lanjut adalah kelompok yang paling rentan dan kerap
mengalami komplikasi yang sulit didiagnosa dan diterapi.
Kesalahan yang kerap terjadi di tempat layanan kesehatan tersebut diungkapkan oleh tim
peneliti dari L SHTM. Akibat kesalahan tersebut, pada tahun 2009 diperkirakan terjadi 1.000
kematian di 10 rumah sakit pemerintah Inggris.
Para peneliti mengatakan bahwa 13 persen dari kesalahan itu sebenarnya bisa dihindari.
Bila perkiraan tersebut benar, berarti ada puluhan ribu kematian yang bisa dicegah setiap
tahunnya.
"Kebanyakan kesalahan medis itu dialami oleh dokter junior dalam membuat diagnosa
dan keputusan terapi yang tidak didampingi oleh dokter konsultan," kata Dr. HH, ketua peneliti.
Ia menambahkan, banyak pula pasien yang menderita komplikasi penyakit yang tidak
tertangani dengan baik. Misalnya saja dokter mungkin memberikan obat yang malah
mengganggu ginjal pasien yang sebenarnya memang sudah bermasalah.
32
Dalam suatu kasus, seorang pria berusia 60 tahun yang menderita gagal jantung salah
didiagnosa menjadi kanker kandung kemih. Dokter rupanya tidak mencermati rekam medis
pasien yang menyatakan ia punya riwayat penyakit jantung. Pasien itu akhirnya meninggal
dunia.
Penelitian yang dilakukan Mr. H itu dilakukan setelah hasil laporan tim koroner
menyebutkan kematian seorang pria berusia 60 tahun terjadi karena staf medis yang "tak
kompeten". Pria itu disebutkan meninggal karena dehidrasi di sebuah rumah sakit universitas.
Sebelum meninggal pria tersebut menelepon layanan darurat 911 karena merasa tidak
dipedulikan dokter dan perawat.
Untuk mencegah kesalahan medis, pemerintah Inggris belum lama ini
mengumumkan
bahwa tahun depan, dokter junior harus didampingi oleh dokter senior pada minggu-minggu
awal tugasnya di rumah sakit.
Keputusan tersebut dibuat untuk mengurangi efek yang disebut "musim kematian", yakni
masa dimana kematian di rumah sakit naik sampai 8 persen ketika seorang dokter junior
memulai tugasnya di rumah sakit.
Pembahasan :
Dari kasus di atas, dapat di simpulkan bahwa terjadi pelanggaran nilai kaidah dasar
bioetika terhadap pasien di antara nya :
Non-maleficence
Dimana seorang pria di Inggris akhir nya meninggal dunia akibat kesalahan dokter dalam
mendiagnosis pasien. Di mana hal ini sangat bertentangan dengan nilai kaidah dasar bioetika non
maleficence yang berbunyi tidak membahayakan pasien akibat kelalaian apabila dokter
tersebut tidak melakukan kesalahan dalam mendiagnosa pasien dan memperhatikan rekam medis
pasien maka kematian pasien mungkin dapat di hindari.
33
Dan dari kasus dari atas juga terjadi pelanggaran undang-undang yang berlaku di
masyarakat di antara nya :
KESIMPULAN
Dari pembahasan contoh kasus di atas dapat di simpulkan bahwa kita (dokter) sebagai
ujung tombak dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien harus lah mampu menerapkan kaidah
dasar bioetik terhadap pasien baik dalam sisi beneficence, non-maleficence, justice, ataupun
autonomy serta menerapkan kaidah dasar hukum terhadap pelayanan pasien gagal jantung. Hal
ini penting agar meminimalisir kesalahan dan menghindari kemunginan buruk yang dapat terjadi
pada pasien serta memberikan pelayanan maksimal kepada pasien agar terwujud lah peningkatan
taraf kehidupan pada setiap elemen masyarakat.
34
Daftar Pustaka
http://www.heartcenter.co.id
http://www.singhealth.com.sg/PatientCare/Overseas-Referral/bh/Conditions/Pages/heartfailure.aspx
35